Anda di halaman 1dari 8

PERAN PEMERINTAH DALAM BIDANG

KETENAGAKERJAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG


NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Rizky Julranda
Fakultas Hukum Universitas Riau

Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja


atau lebih akrab dikenal dengan istilah Omnibus Law menuai polemik pro dan
kontra di tengah masyarakat. Bahkan Undang-Undang yang telah disahkan ini,
telah memantik aksi demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah di Indonesia.
Kondisi Pandemi tak menyurutkan ingar bingar masyarakat yang ditunggangi oleh
mahasiswa dan para buruh yang merasa dirugikan dengan adanya Omnibus Law
ini. Penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak menyurutkan pemerintah untuk
menindaklanjuti UU itu dengan menyusun sejumlah peraturan pelaksana baik
dalam peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan presiden (perpres).

Sejumlah akademisi hukum tanah air angkat bicara, baik sebagai kontra
ataupun sebagai pihak pro. Undang-Undang ini disebut-sebut terlalu terburu-buru
untuk disahkan ke dalam Lembaran Negara. Selain itu, Undang-Undang ini dinilai
cacat prosedur formil, mengingat belum pernah ada metode penyusunan serupa
sebelumnya dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia. Undang-
Undang ini bisa dibilang merupakan salah satu karya bangsa Indonesia baru dalam
hal produk hukum.

Singkatnya, istilah Omnibus Law pertama kali di Indonesia disebutkan


dalam Pidato Presiden Jokowi pada Sidang Paripurna MPR RI Dalam Rangka
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024 pada tanggal 20
Oktober 2019 menyampaikan: “Pemerintah akan mengajak DPR untuk
menerbitkan dua Undang-Undang besar. Pertama, Undang-Undang Cipta
Lapangan Kerja. Kedua, Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Masing-masing
Undang-Undang tersebut akan menjadi Omnibus Law, yaitu satu Undang-Undang
yang sekaligus merevisi beberapa Undang-Undang”. Kemudian arahan Presiden
dalam Rapat Terbatas tentang Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang
Perekonomian tanggal 30 Oktober 2019: “Omnibus Law agar diberi judul Cipta
Lapangan Kerja, yang substansinya tetap terkait dengan ekosistem investasi”.

Saat ini kondisi Global (Eksternal) terjadi ketidakpastian dan perlambatan


ekonomi, adanya dinamika geopolitik berbagai belahan dunia, perubahan
teknologi, industri 4.0, dan perkembangan ekonomi digital yang begitu pesat.
Sementara itu di dalam negeri (intenal), pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran
5% dalam 5 tahun terakhir. Realisasi Investasi pada 2018 sebesar Rp 721,3
Triliun, 2019 sampai dengan kuartal 3 sebesar Rp 601,3 Triliun. Di bidang
Ketenagakerjaan, jumlah angka pengangguran tercatat sekitar 7,05 juta orang,
angkatan kerja baru sebanyak 2 sd 2,5 Juta Orang/ Tahun, dan Pekerja informal
sebanyak 70,49 Juta orang (55,72%).

Tak hanya itu, Permasalahan Ekonomi dan Bisnis juga menjadi hal yang
menarik, banyaknya Tumpang tindih Regulasi, Efektivitas Investasi yang Rendah,
Tingkat Pengangguran yang memprihatinkan, Angkatan Kerja baru setiap tahun
yang besar namun tidak dibarengi dengan lapangan kerja yang tersedia, dan
jumlah Penduduk yang Tidak Bekerja serta jumlah UMKM yang besar, namun
Produktivitasnya masih tergolong rendah.

Paparan di atas adalah salah satu latar belakang pemberlakuan Undang-


Undang Omnibus Law ini. Pemerintah Indonesia menargetkan di usianya yang ke
100 tahun, atau pada tahun 2045 menjadi negara ekonomi terkuat keempat di
dunia berada di bawah China, India, dan Amerika Serikat. Di tahun yang sama
pula, Indonesia menargetkan penghasilan rata-rata perkapita penduduk sebesar Rp
27 juta rupiah per bulan. Pemerintah menargetkan Indoneisa telah keluar dari
Jebakan Negara Berpendapatan Menengah (Middle Income Trap), Tingkat
kemiskinan mendekati 0%, PDB mencapai USD 7 Triliun (peringkat ke-4 PDB
Dunia), Tenaga Kerja berkualitas, dan menjadi negara maju pada tahun 2040.

Hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja ini, hematnya adalah sebagai strategi


yang digunakan pemerintah untuk memuluskan target dan harapan tersebut, dan
dapat menjawab permasalahan di atas. Selama ini, birokrasi dan perizinan yang
sangat rumit dan berbelit-belit dianggap sebagai salah satu penghambat iklim
investasi yang masuk ke Indonesia, yang dengan investasi yang tercipta tersebut
diharapkan akan menciptakan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat.

Dalam Undang-Undang a quo, salah satu klaster yang disorot masyarakat


yakni Ketenagakerjaan. Pasal 80 UU Cipta Kerja menyebut dalam rangka
penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan
kesejahteraan buruh dalam mendukung ekosistem investasi, UU ini mengubah,
menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur
dalam 4 UU yakni UU Ketenagakerjaan, UU SJSN, UU BPJS, dan UU PPMI.

UU Cipta Kerja mengubah 31 pasal, menghapus 29 pasal, dan menyisipkan


13 pasal baru dalam UU Ketenagakerjaan. 31 pasal yang diubah itu meliputi Pasal
13, 14, 37, 42, 45, 47, 49, 56, 57, 58, 59, 61, 66, 77, 78, 79, 88, 92, 94, 95, 98,
151, 153, 156, 157, 160, 185, 186, 187, 188, dan 190 UU Ketenagakerjaan. Selain
itu, UU Cipta Kerja menghapus sebanyak 29 pasal UU Ketenagakerjaan meliputi
Pasal 43, 44, 46, 48, 64, 65, 89, 90, 91, 96, 97, 152, 154, 155, 158, 159, 161, 162,
163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, dan 184. UU Cipta Kerja
menyisipkan 13 pasal dalam UU Ketenagakerjaan meliputi Pasal 61A, 88A, 88B,
88C, 88D, 88E, 90A, 90B, 92A, 151A, 154A, 157A, dan 191A.

Dalam dunia Ketenagakerjaan, peran pemerintah sangatlah penting.


Penataan sistem penyelenggaraan ekonomi yang berpihak kepada rakyat tidak
terlepas dari fungsi negara itu sendiri dalam bidang ekonomi (Husni, 2020: 21).
Sebagai salah satu pihak atau subjek dalam hukum Ketenagakerjaan, pemerintah
dapat bertindak atau berperan sebagai regulator, fasilitator, perlindungan,
pengawasan, pelatihan kerja, dan lain-lain melalui peraturan dan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Berikut ini adalah peran serta pemerintah dalam
Ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020
tentang Cipta Kerja, lebih tepatnya diatur dalam Bab IV atau klaster
Ketenagakerjaan, diantaranya adalah:

1. Peran Pemerintah sebagai Regulator


Dalam hal regulasi, peran pemerintah sangatlah penting dalam dunia
ketenagakerjaan. Karena pemerintahlah yang menciptakan Undang-Undang
yang mengatur Ketenagakerjaan, dengan Undang-Undang tersebut kemudian
melahirkan banyak pengaturan pelaksana seperti Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah. Berikut ini adalah bebrapa regulasi
yang diatur pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011
tentang Cipta Kerja:
a. Waktu Kerja
Pengaturan waktu kerja tetap mengedepankan hak dan
perlindungan pekerja:
 Waktu kerja normal :
- Ditetapkan paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1
minggu.
- Pekerjaan yang melebihi jam kerja diberikan Upah Lembur.
- Pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
 Waktu kerja untuk jenis pekerjaan tertentu:
- Pekerjaan yang karena sifatnya dapat diselesaikan atau
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam per hari, misalnya
pekerjaan paruh waktu, ekonomi digital.
- Pekerjaan pada sektor-sektor tertentu yang melewati batas
maksimal jam kerja normal (lebih 8 jam per hari) misalnya
sektor migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan
perikanan.
b. Upah Minimum
Dalam Pasal tepatnya pada Pasal 88 sisipan Undang-Undang Cipta
Kerja, memuat beberapa regulasi yang diatur oleh pemerintah,
diantaranya adalah:
- Upah minimum ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup
pekerja/buruh dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan
ekonomi daerah atau inflasi daerah.
- UM hanya berlaku bagi pekerja baru yang bekerja kurang dari 1
tahun, namun pekerja tersebut tetap dimungkinkan menerima upah di
atas UM dengan memperhatikan kompetensi, pendidikan dan
sertifikasi.
- Pekerja dengan masa kerja 1 tahun ke atas, mengikuti ketentuan
upah sesuai dengan struktur upah dan skala upah pada masing-
masing perusahaan.
- Upah Minimum Provinsi (UMP) wajib ditetapkan oleh gubernur
- Upah minimum kabupaten/kota harus lebih tinggi dari upah
minimum provinsi.
- Kenaikan Upah Minimum dihitung dengan menggunakan formula
perhitungan upah minimum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
- Penyederhanaan struktur Upah Minimum dengan menghapus Upah
Minimum Sektoral (UMS). Namun setelah UU ini disahkan, bagi
daerah yang menetapkan UMS, maka UMS yang telah ditetapkan
tersebut tetap berlaku (untuk pekerja yang telah menerima UMS
yang telah lebih tinggi dari UM Kabupaten/Kota tidak boleh
diturunkan)
- Bagi usaha mikro dan kecil berlaku upah berdasarkan kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja, sekurang-kurangnya sebesar
persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat.
- Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum
- Industri padat karya dapat diberikan insentif berupa perhitungan
upah minimum tersendiri, untuk mempertahankan kelangsungan
usaha dan kelangsungan bekerja bagi pekerja.
- Skema upah per jam dapat diberikan:
1) Untuk jenis pekerjaan tertentu (konsultan, pekerjaan paruh
waktu, dll), dan jenis pekerjaan baru (ekonomi digital);
2) Untuk memberikan hak dan perlindungan bagi pekerja pada
jenis pekerjaan tertentu.
3) Apabila upah berbasis jam kerja tidak diatur, maka pekerja
tidak mendapatkan perlindungan upah.
c. Kebijakan Pengupahan Pekerja
Pasal 88 Ayat 2 menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat
menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan
hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kebijakan pengupahan yang dimaksud pada ayat 2 tersebut meliputi:
a. upah minimum;
b. struktur dan skala upah;
c. upah kerja lembur;
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
alasan tertentu;
e. bentuk dan cara pembayaran upah;
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dang.upah sebagai
dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur


dengan Peraturan Pemerintah.

2. Peran Pemerintah sebagai Perlindungan


a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perkembangan teknologi digital dan revolusi industri 4.0,
menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap dan
membutuhkan pekerja untuk jangka waktu tertentu (Pekerja Kontrak).
Dalam UU ini merubah Pasal 56 UU Ketenagakerjaan yang mengatur
antara lain soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang
menyebut jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan PKWT
ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan
diubah dan tidak lagi memuat ketentuan sebelumnya yang mengatur
jangka waktu PKWT paling lama 2 tahun dan boleh diperpanjang 1 kali
untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Artinya kontrak seumur hidup
tidak ada batas waktu kontrak. Berikut penjelasannya:
1. Perjanjian Kerja Waktu Kontrak (PKWT) hanya untuk pekerjaan
yang memenuhi syarat tertentu (tidak tetap).
2. Pekerja Kontrak diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan
Pekerja Tetap, antara lain dalam hal: Upah, Jaminan Sosial,
Perlindungan K3, termasuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja.
3. PKWT memberikan perlindungan untuk kelangsungan bekerja dan
perlindungan hak pekerja sampai pekerjaan selesai.
4. Apabila PKWT berakhir, pekerja berhak mendapatkan uang
kompensasi sesuai dengan masa kerja (diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah
5. Syarat PKWT tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dengan penyesuaian terhadap
perkembangan kebutuhan dunia kerja.
6. Dengan dibukanya PKWT untuk semua jenis pekerjaan maka
kesempatan kerja lebih terbuka sehingga dapat meningkatkan
perluasan kesempatan kerja.
b. Alih Daya (Outsourcing)
 Pengusaha Alih Daya (outsourcing) wajib memberikan hak dan
perlindungan yang sama bagi pekerjanya, baik sebagai Pekerja
Kontrak maupun Pekerja Tetap, antara lain dalam hal: Upah,
Jaminan Sosial, Perlindungan K3.
 Peningkatan perlindungan hak Pekerja Kontrak pada Alih Daya
berupa hak atas kompensasi pengakhiran hubungan kerja.
c. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pada Pasal 153 (1) Pemerintah mengatur larangan Pengusaha yang
melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan
alasan di bawah ini:
a. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-
menerus;
b. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;
c. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. menikah;
e. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
g. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h. mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan
j. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Apabila pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha
wajib mempekerjakan kembali pekerja/ buruh yang bersangkutan.

3. Peran Pemerintah sebagai Jaminan


a. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)
Undang-Undang ini menambahkan program jaminan sosial baru
yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (Pasal 46A), yang dikelola oleh
BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial. Dimana
jaminan kehilangan pekerjaan tersebut diselenggarakan oleh badan
penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Pemerintah Pusat.
Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan untuk mempertahankan
derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/ buruh yang kehilangan
pekerjaan.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah skema baru terkait
dengan jaminan ketenagakerjaan yang tidak mengurangi manfaat dari
berbagai jaminan sosial lainnya seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JJK),
Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan
Pensiun. JKP tidak menambah beban bagi pekerja/buruh.
a. Uang Pesangon
Pasal 156 (1) menyebutkan bahwa dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima. Secara total ada 25 kali uang pesangon dengan 19 kali
ditanggung pemberi kerja dan 6 kali ditanggung program JKP. Namun
Undang-Undang ini menghapus pesangon untuk:
- pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan.
- pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status
kepemilikan perusahaan.
- pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan
pailit.
- pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh
meninggal
- pesangon bagi ahli waris atau keluarga apabila pekerja/buruh
meninggal
4. Peran Pemerintah sebagai Pengawasan
a. Pengawasan Tenaga Kerja Asing
Dalam rangka pengawasan terhadap Tenaga Kerja Asing,
pemerintah mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada
tenaga kerja asing. Penggunaan TKA pun dibatasi hanya untuk jenis
pekerjaan tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh pekerja di dalam
negeri. TKA yang melakukan kegiatan tertentu, yaitu: maintenance
(darurat), vokasi, start up, kunjungan bisnis dan penelitian dibebaskan
dari kewajiban RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing).
Memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan
kerjanya berakhir. Pasal 42 (1) menyebutkan bahwa setiap pemberi kerja
yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja
asing.
5. Peran Pemerintah sebagai Fasilitator Pelatihan Kerja
Program JKP selain memberikan manfaat cash benefit juga memberikan
manfaat lainnya, yaitu peningkatan skill dan keahlian melalui pelatihan
(upgrading dan up skilling) serta akses informasi Ketenagakerjaan. Pasal 13
(1) menyatakan bahwa Pelatihan kerja diselenggarakan oleh: lembaga
pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau lembaga
pelatihan kerja perusahaan.

REFERENSI

Husni, Lalu. 2020. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Edisi Revisi. PT


RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Lisdya, Shelly. 2020. Mengulik Perbedaan UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta


Kerja. URL: https://www.urbanasia.com/cekik-kaum-buruh-ini-perbedaan-
uu-ketenagakerjaan-dan-uu-cipta-kerja/. Diakses pada 3 Maret 2021.

Anda mungkin juga menyukai