Anda di halaman 1dari 7

STUDI KASUS UU CIPTA KERJA

HUMAN CAPITAL TM 8

PROGRAM STUDI AKUNTANSI D-4

KELOMPOK 6 D-P2 :

1. Abdul Aziz Ramdani (J0414221202)


2. Ajeng (J0414221144)
3. Anggi Aulia (J0414221311)
4. Emelia Amanda Putri (J0414221315)
5. Yanti Kartika Putri (J0414221048)

Dosen Pengampu :
Novi Rosyanti S.E., M.Ak.

TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada akhir tahun 2020 pemerintah tengah mengesahkan Undang-Undang Nomor


11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dengan menggunakan konsep
Omnibus Law. Undang-Undang ini dijadikan sebuah skema dalam upaya membangun
perekonomian Indonesia agar dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia (Kurniawan, 2020). Konsep Omnibus Law ini merupakan konsep yang baru
digunakan dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Sistem ini biasanya disebut
sebagai Undang-Undang sapu jagat karena mampu mengganti beberapa norma undang-
undang dalam satu peraturan (Prabowo, 2020).

Alasan pemerintah membuat Omnibus Law karena sudah terlalu banyak


regulasi yang dibuat, kemudian menimbulkan persoalan tersendiri, seperti tumpah
tindih regulasi. Akibatnya, tidak sedikit menimbulkan konflik kebijakan atau
kewenangan antara satu kementerian/lembaga dengan kementerian/lembaga
lainnya, dan juga antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Regulasi
yang tumpang tindih ini akhirnya berdampak pada terhambatnya implementasi
program pembangunan dan memburuknya iklim investasi di Indonesia. Sehingga
membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat sulit tercapai. Bersamaan dengan itu, tantangan era ekosistem
masyarakat digital juga semakin berkembang, dimana Indonesia sudah tidak bisa
lagi berlama-lama terbelit oleh prosedur formal. Berdasarkan hal ini, maka jalan
satu-satunya adalah dengan untuk menyederhanakan dan sekaligus
menyeragamkan regulasi secara cepat ialah melalui skema Omnibus Law.

1.2 Tujuan

 Untuk memahami dasar hukum perlindungan dan jaminan bagi pekerja menurut UU
Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja (Omibus Law)
 Mengalisis kasus-kasus ketenagakerjaan dan memberikan opini solusinya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Omnibus Law diambil dari kata omnibus dan Law. Omnibus itu sendiri berasal dari kata
“omnis” dalam bahasa latin yang bermakna “semua” atau “banyak. Sedangkan makna Law
adalah “hukum”, sehingga dapat disimpulkan bahwa Omnibus Law adalah hukum yang
mengatur semua hal dalam satu bidang. Kata Omnibus yang berasal dari Bahasa Latin digunakan
untuk beberapa terminologi hukum. Penggunaan Omnibus yang disambung dengan kata Law
sebenarnya jarang digunakan, bahkan tidak terdapat dalam Black’s Law Dictionary. Istilah yang
digunakan adalah Omnibus Bill. Oleh karenanya dari segi hukum, kata Omnibus lazimnya
disandingkan dengan kata Law atau Bill yang berarti suatu peraturan yang dibuat berdasarkan
hasil kompilasi beberapa aturan dengan substansi dan tingkatannya berbeda. UU No. 13-2003
Tentang Ketenagakerjaan, Omnibus Law – UU Cipta Kerja Khususnya Klaster Ketenagakerjaan
yang meliputi Isu-isu ketenagakerjaan yaitu Bentuk Perikatan Kerja, Penetapan upah minimum,
Pesangon, Program jaminan kehilangan pekerjaan, Rencana penggunaan tenaga kerja asing, dan
Waktu kerja.

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,


istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang bersifat umum yaitu, setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun masyarakat. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan telah merumuskan pengertian istilah ketenagakerjaan sebagai segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Dari
pengertian ini, dapat dipahami bahwa, yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berkaitan dengan pekerja/buruh, menyangkut hal-hal sebelum masa kerja,
antara lain; menyangkut pemagangan, kewajiban mengumumkan lowongan kerja, dan lain-lain .
BAB III
PEMBAHASAN

KASUS 1 : Kerusuhan dari PT GNI dampak dari UU Cipta Kerja

a) Kasus :

Bentrok antara pekerja WNI yang mogok kerja dengan pekerja WNA yang tidak mau
diajak mogok kerja. Akar masalah dari kerusuhan yang terjadi di PT GNI adalah kurang
patuhnya pihak manajemen perusahaan pada UU yang sudah ada. Utamanya, dalam
implementasi aturan dan undang-undang yang terkait ketenagakerjaan. Misalnya terkait
penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), PT GNI sangat tertutup oleh orang luar,
apalagi wartawan, bahkan anggota dewan pun sangat susah untuk bisa masuk kedalam
perusahaan.

b) Opini kelompok :

Pandangan kami terkait kasus tersebut adalah bahwa pernyataan tersebut memiliki
kebenaran dalam hal perlunya penguatan di ruang regulasi atau undang-undang yang harus
melindungi hak-hak pekerja. Kejadian di PT GNI Morowali Utara menunjukkan adanya
kekurangan dalam sistem regulasi yang tidak cukup melindungi hak pekerja. Dalam industri
manapun, keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan kepentingan pekerja harus
dijaga dengan baik. Undang-undang yang berpihak kepada pekerja harus memastikan bahwa
pekerja diperlakukan secara adil, dan melindungi hak mereka dalam hal upah, lingkungan
kerja yang aman, dan perlindungan dari diskriminasi atau pelecehan.

c) Solusi yang dapat diberikan :

Untuk kasus di PT GNI Morowali Utara, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan, di
antaranya:

1) Penegakan hukum yang lebih kuat: Pihak berwenang harus menindak tegas
perusahaan yang melanggar undang-undang dan tidak memenuhi hak-hak pekerja.
2) Peningkatan regulasi: Undang-undang harus diperkuat untuk memastikan
perlindungan yang lebih baik bagi pekerja. Regulasi harus mengatur keamanan dan
kesehatan kerja, upah, jam kerja, dan hak-hak lainnya.
3) Pelatihan dan kesadaran pekerja: Pekerja harus dilatih untuk memahami hak-hak
mereka dan diberi kesadaran akan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja. Ini
akan membantu mereka untuk mengidentifikasi dan melaporkan kondisi yang
berbahaya atau melanggar peraturan.
4) Keterlibatan serikat pekerja: Serikat pekerja dapat menjadi suara bagi para pekerja
dan memperjuangkan hak-hak mereka. Keterlibatan serikat pekerja dapat membantu
mendorong perusahaan untuk memperbaiki kondisi kerja dan menjamin hak-hak
pekerja.
5) Audit dan inspeksi: Pemeriksaan dan audit teratur harus dilakukan untuk memastikan
bahwa perusahaan mematuhi regulasi dan melindungi hak-hak pekerja. Ini akan
membantu mencegah pelanggaran dan memastikan kondisi kerja yang lebih baik.

Kasus 2 : Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal karyawan PT.Ramayana pada masa
pandemi COVID-19

a) Kasus:

PT. Ramayana Lestari Sentosa (RALS) terpaksa menutup sejumlah gerai dan pembatasan
operasional selama April-Mei 2020 serta melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
terhadap 421 karyawan sejak Januari hingga Juni 2020. Total karyawan per Juni 2020
berjumlah 5.475 dari total 5.896 karyawan per Desember 2019. Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) yang terjadi diawal tahun 2020 ini memberikan dampak besar pada badan
hukum tersebut yaitu perkiraan rugi bersih sebesar 75% setelah adanya penutupan beberapa
gerai department store di penjuru negeri. Dalam laporan di Keterbukaan Informasi BEI
Ramayana memproyeksikan bahwa total pendapatan (Konsolidasi) perseroan akan terimbas
sekitar 25-50%. Adapun sekitar 2.700 pegawai lainnya mendapatkan pemotongan gaji
sebesar 50%. Dengan hal ini, maka PT.Ramayana Lestari Sentosa menyatakan bahwa ada
unsur keterpaksaan dalam melakukan PHK dan pemotongan gaji tersebut akibat pandemi.

b) Opini kelompok:
Menurut kami kasus PHK massal karyawan pada masa pandemi Covid-19 menunjukkan
pentingnya perlindungan sosial dan keselamatan kerja yang memadai bagi karyawan. Situasi
pandemi Covid-19 telah memberikan banyak tekanan pada bisnis dan ekonomi, dan banyak
perusahaan mungkin merasa perlu melakukan tindakan drastis seperti PHK massal untuk
menjaga keberlangsungan bisnis mereka. Namun, tindakan ini tidak boleh dilakukan dengan
mengabaikan hak-hak dan kesejahteraan karyawan.

Secara keseluruhan, kasus PHK massal karyawan pada masa pandemi Covid-19
menunjukkan bertapa pentingnya perlindungan pekerja, solidaritas, dan dukungan
antarkaryawan, serta peran pemerintah dan regulasi dalam menjaga keadilan dan
kesejahteraan sosial.
c) Solusi yang diberikan

Kasus PHK massal karyawan Ramayana pada masa pandemi Covid-19 adalah masalah
yang sangat kompleks dan memerlukan pendekatan yang hati-hati dan komprehensif. Berikut
ini adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk menyelesaikan kasus ini:

1) Berkomunikasi dengan pihak perusahaan: Untuk memahami rasa sakit melakukan PHK
secara massal. Hal ini dapat dilakukan melalui perwakilan karyawan, serikat pekerja atau
melalui proses negosiasi.
2) Evaluasi kontrak kerja dan kebijakan Perusahaan: Untuk memastikan apakah PHK
tersebut dilakukan sesuai dengan aturan hukum dan peraturan yang berlaku.
3) Membantu karyawan yang terkena PHK: Ini bisa dilakukan dengan memberikan
pelatihan tentang peluang pekerjaan, memberikan atau program pengembangan
keterampilan, atau memberikan bantuan keuangan sementara.
4) Memperkuat perlindungan pekerja Dalam jangka Panjang: Upaya perlu dilakukan untuk
memperkuat perlindungan pekerja, termasuk hak-hak pekerja dan keamanan kerja dalam
situasi pandemi seperti ini. Pihak pemerintah dan pekerja dapat berperan dalam
memperjuangkan hal ini.
5) Pemantauan dan evaluasi Terakhir: Perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
tindakan yang telah diambil untuk menyelesaikan kasus ini.
Kasus 3:

Kasus 4:

Anda mungkin juga menyukai