Anda di halaman 1dari 4

Mengupas Penderitaan Pekerja di Polemik RUU Cipta Kerja

Siapa yang tak kenal RUU Cipta Kerja? RUU atau Rancangan Undang-Undang ini merupakan salah
satu RUU dari sekian banyak rancangan peraturan yang memiliki suatu problematika di dalamnya. Tentu, ketika
berbicara tentang problematika akan menuai pro dan kontra tergantung bagaimana kita membuka mata melalui
sudut pandang yang mana. Lalu apa hubungannya dengan Omnibus Law? RUU Cipta Kerja yang dirancangkan
ini tak terlepas dari adanya Omnibus Law. Secara Bahasa, Omnibus Law memiliki arti yaitu hukum untuk
semua atau secara deskripsi merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki suatu substansi
lebih dari satu muatan. Dengan demikian, omnibus ini memiliki dampak yang akan memengaruhi berbagai
aspek atau multisektoral. Konsep Omnibus Law ini telah diterapkan di beberapa negara lain seperti Amerika
Serikat, Belgia, Inggris untuk melakukan suatu rancangan undang-undang dalam pembenahan konflk yang
timbul dan adanya tumpang tindih norma dalam perundang-undangan. Proses rancangan ini dianggap memakan
waktu lebih cepat mengingat ada suatu hal atau kepentingan yang mendesak. 1 Akan tetapi, yang menjadi salah
satu perhatian ialah bahwa konsep Omnibus Law ini sebenarnya belum dikenal di Indonesia, hal ini terlihat pada
Undang-Undang yang belum masukan konsep ini sebagai salah satu asas dalam sumber hukum kita dikarenakan
2
Indonesia lebih menganut sistem hukum Civil Law yang dimana sejatinya tidak mengenal konsep omnibus.
Pandangan saya jika dilihat dari perspektif legislatif, ini merupakan suatu hal yang baru bagi para pemangku
kebijakan pembuat Undang-Undang (UU) dalam menyelesaikan persolan apabila memang adanya tuntutan
perbaikan yang mendesak. Sehingga,, pemerintah memberikan suatu terobosan baru guna menanggulangi
rancangan undang-undang secara tanggap dan cepat. Namun demikian, Omnibus Law dinilai kurang demokratis
karena tidak melibatkan banyak pihak dalam pembuatan peraturannya mengingat pengejaran atas waktu juga
dilakukan. Bahkan, Joko Widodo juga menargetkan RUU ini akan selesai dalam kurun waktu 100 hari saja.
Kali ini dalam Omnibus Law yang dilakukan pemerintah terdapat tiga RUU yang siap diundangkan, antara lain:
RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian,
dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan3. Namun, yang paling mengundang perhatian
para penggiat hukum dan aktivis ialah RUU Cipta Kerja yang saat ini kabarnya akan segera disetujui oleh para
pemangku kebijakan.

RUU Cipta Kerja sendiri sangat berkaitan dengan pengubahan atas pasal-pasal atau poin-poin yang
mendasari dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 40
tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial, dan UndangUndang Nomor 24 tahun 2011 tentang badan
penyelenggara jaminan sosial. Jika melihat secara lebih lanjut, RUU ini diciptakan karena adanya pemerintah
yang menginginkan sebuah pembangunan perekenomian di mana dapat memperluas keleluasaan investor untuk
datang ke negeri ini sehingga permasalahan pengangguran dapat teratasi. Namun, pada realita sosial banyak
sekali pihak-pihak atau sekelompok serikat pekerja yang menolak adanya RUU ini. Justru mereka lah yang akan
merasa dirugikan dan merasakan dampak langsungnya. Apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam
hal ini dirasa terlalu tergesa-gesa seperti dikejar berbagai aspek yang mendesak sehingga banyak sekali pihak
yang tak terakomodir dalam pembuatan RUU Cipta Kerja. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(KSPSI) menyatakan bahwa buruh tidak dilibatkan dalam penyusunan omnibus law, bahkan ia juga mengatakan
bahwa
1
Sekar Drupadi Muninggar et al. ,“Konseptualisasi Omnibus Law Sebagai Upaya Sinkronisasi Regulasi Pergaraman Di Indonesia”,
Jurnal Legislatif, Vol. 3, No.2, Juni 2020.
2
Ibid., hlm. 247.
3
Ahmad Efendi, “Arti Omnibus Law dan Isi RUU Cipta Kerja Pemicu Demo Buruh-Aktivis”, https://tirto.id/arti-omnibus-law-dan-isi-
ruu-cipta-kerja-pemicu-demo-buruh-aktivis-f1uf, diakses 5 Oktober 2020.
tidak ada satupun konferedasi buruh yang setuju. Ia menyarankan sebaiknya pemerintah juga perlu
berkomunikasi terlebih dahulu dengan buruh sebelum merumuskan aturan cipta lapangan kerja. 4 Selain itu,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga sempat merilis kertas kebijakan yang di mana berisikan terkait
tentang kajian dan kritik RUU Cipta Kerja dalam bentuk rekomendasi terhadap pemerintah dan juga DPR. LBH
juga menyarankan bahwa pemerintah harus mengawali pembuatan RUU ini dengan memberikan perlindungan
hukum yang utuh dan maksimal demi memanifestasikan iklim kerja yang produktif dan berkualitas. Dengan
kata lain, pekerja harus dilihat sebagai subjek, bukan sekedar objek. LBH menganggap pada fenomena ini,
pemerintah justru salah memerhatikan piramida kebijakan yang salah, justru yang diperhatikan ialah piramida
yang terbalik di mana para investor/pengusaha lah yang diberikan perlindungan secara penuh daripada para
pekerja/buruh. Menurut LBH, Omnibus Law hanya akan melahirkan ketidakadilan berupa pengorbanan hak-hak
pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja,
mendukung politik upah murah, membuka ruang PHK massal, hingga penghapusan pidana perburuhan.
Implikasi lainnya juga berdampak pada pelanggaran alih fungsi zona dan maraknya penggusuran.5

Sejatinya, masih banyak lagi pihak-pihak yang juga mengeluarkan sebuah pernyataan terkait sikap tidak
setuju atas rancangan peraturan ini, namun ketika kita melihat dari suatu kondisi sosiologis apabila memang
banyak bertentangan dengan berbagai pihak, itu artinya perlu adanya peninjauan kembali atas dasar-dasar yang
merangkai rancangan cipta kerja ini. Kesadaran masyarakat ini memberikan suatu respons yang di mana
seharusnya dapat mendorong para pembuat kebijakan dalam membuka koridor penghapusan kepentingan
politik para penguasa yang tidak memihak kepada nila-nilai kerakyatan. Tindakan pembuatan produk hukum
serta pembarahuan di dalamnya harus ditujukan untuk memanifestasikan keseimbangan sosial (social
equilibrium) yang tentunya hal ini menjadi aspek sosiologis yang dituju harus menjadi rujukan dalam
pembentukan sebuah kebijakan demi kehidupan yang aman, adil dan sejahtera. Metode penelitian ini
menggunakan yuridis normatif. Politik hukum perundang-undangan seharusnya mencakup tiga hal: (i)
menjamin keadilan dalam masyarakat (guarantee justice in society); (ii) menciptakan ketentraman hidup (creat
alive placidity) dengan memelihara kepastian hukum; dan (iii) mewujudkan kegunaan (realize use) 6. Dari sekian
data dan acuan yang sudah saya paparkan di atas, pemerintah seharusnya melakukan peninjauan ulang atau
pembatalan dalam semua proses perancangan undang-undang ini demi keselamatan rakyat Indonesia. Sebagai
mahasiswa saya mendukung secara penuh dengan apa yang menjadi rekomendasi Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta dimana hal ini harus lebih mengedepankan kepastian dan perlindungan hukum kepada kelompok
pekerja. Terlebih dari itu, upaya pemberantasan korupsi juga perlu digalakkan karena menurut saya ini
merupakan salah satu penyumbang segala masalah sosial terbesar. Saya rasa pemerintah dan DPR sudah tahu
bahwa adanya sebuah hukum yang positif harus memberikan rasa adil dan sejahtera pada rakyat. Adapun yang
menjadi tugas yang harus diselesaikan bagi DPR dan para legislator dalam membuat RUU Cipta Kerja ini yakni
menghilangkan kesan bahwa posisi buruh dilemahkan. Sebab, bila ini terjadi eksploitasi perushaan terhadap
buruh akan menjadi suatu realita yang nyata. Antisipasi penyimpangan terhadap pekerja sebenarnya telah diatur
pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 akan tetapi masih saja sering terjadi Tindakan eksploitasi
sehingga pekerja sering kehilangan hak dan kewajibannya. RUU Cipta kerja diharapkan mampu menengahi hal

4
Ihsanuddin, “Mengenal Omnibus Law, Aturan "Sapu Jagat" yang Ditolak Buruh”,
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/20/13152061/mengenal-omnibus-law-aturan-sapu-jagat-yang-ditolak-buruh?page=3,
diakses 5 Oktober 2020.
5
Ahmad Efendi, loc. cit.
6
Arif Hidayat et al. ,”Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium di Indonesia”, Jurnal Ius Constituendum, Vol. 4, No. 2, 2
Oktober 2019.
ini. Supaya optimal, pemerintah harus melakukan beberapa Langkah yakni DPR bersama pemerintah
seharusnya melibatkan public dimana konsep omnibus law sendiri dapat memiliki efek terhadap banyak sektor,
DPR dan pemerintah lebih transparan terkati informasi cipta kerja, DPR dan pemerintah harus memberikan
preview RUU yang sudah dibuat dan menjelaskan efek yang timbul dari suatu perancangan peraturan.7

Dengan demikian, omnibus law di Indonesia merupakan suatu hal yang masih perlu dibenahi dalam
praktiknya. Pemerintah dan seluruh jajarannya yang berwenang membuat RUU harus dinilai lebih
mengedepankan suara rakyat. Bagaimana bisa hukum tersebut akan bernilai hukum yang bermartabat apabila ia
diciptakan untuk membuat suatu keresahan di kalangan masyarakat khususnya kelompok pekerja pada kasus
ini. Pemerintah perlu adanya rujukan sosiologis yang ada sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
membuat perundang-undangan. Akan tetapi di sisi lain, pemerintah juga perlu menemukan cara lain untuk
membangun sebuah perekonomian yang makmur agar investor dapat menciptakan peningkatan pergerakan roda
perekenomian negara kita. Pada intinya, harus ditemukan cara yang lebih baik lagi dalam meningkatkan
penanaman modal investor tanpa mengesampingkan hak-hak dan kepentingan rakyat Indonesia. Panjang umur
perjuangan.

7
Fajar Kurniawan et al. “Problematikan Pembentukan RUU Cipta Kerja dengan Konsep Omnibus Law pada Klaster Ketenagakerjaan
Pasal 89 Angka 45 Tentang Pemberian Pesangon Kepada Pekerja yang Di PHK”, Jurnal Panorama Hukum, Vol. 5, No.1, Juni 2020
DAFTAR PUSTAKA
Efendi, Ahmad, “Arti Omnibus Law dan Isi RUU Cipta Kerja Pemicu Demo Buruh-Aktivis”,
https://tirto.id/arti-omnibus-law-dan-isi-ruu-cipta-kerja-pemicu-demo-buruh-aktivis-f1uf, diakses 5 Oktober
2020
Hidayat, Arif et al. ,”Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium di Indonesia”, Jurnal Ius
Constituendum, Vol. 4, No. 2, 2 Oktober 2019.
Ihsanuddin, “Mengenal Omnibus Law, Aturan ‘Sapu Jagat’ yang Ditolak Buruh”,
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/20/13152061/mengenal-omnibus-law-aturan-sapu-jagat-yang-
ditolak-buruh?page=3, diakses 5 Oktober 2020.
Kurniawan, Fajar et al., “Problematikan Pembentukan RUU Cipta Kerja dengan Konsep Omnibus Law pada
Klaster Ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 45 Tentang Pemberian Pesangon Kepada Pekerja yang Di PHK”,
Jurnal Panorama Hukum, Vol. 5, No.1, Juni 2020.
Muninggar, Sekar Drupadi et al. ,“Konseptualisasi Omnibus Law Sebagai Upaya Sinkronisasi Regulasi
Pergaraman Di Indonesia”, Jurnal Legislatif, Vol. 3, No.2, Juni 2020.

Anda mungkin juga menyukai