Anda di halaman 1dari 6

ARTIKEL TENTANG KASUS PENOLAKAN RUU

OMNIBUS LAW CIPTA KERJA

Di Susun Oleh :
Denada Fatma Agustin Fauzie- 2061256
Dosen Pengampu :
Retno Catur K.D S.H., M.H.

STIE PGRI DEWANTARA JOMBANG


PRODI MANAJEMEN
2020-2021
PENOLAKAN RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA

Empat pilar digadang-gadang merupakan fondasi atau dasar yang


menentukan kokohnya bangunan yang muncul dari penerapan Pancasila. Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara adalah kumpulan nilai-nilai luhur yang
harus dipahami secara mutlak oleh seluruh masyarakat. Untuk menjadi cermin
dalam kehidupan ketatanegaraan dengan mewujudkan bangsa dan negara yang
adil, makmur, sejahtera dan bermartabat. Konsep dari Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara terdiri dari Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.

Dari empat pilar tersebut RUU omnibus law cipta kerja merupakan salah
satu kasus yang diangkat dari salah satu pilar yaitu UUD 1945. Omnibus law
pertama kali muncul dalam pembacaan pidato pertama Joko Widodo sebagai
Presiden untuk kedua kalinya. Dalam pidatonya, Presiden menyinggung sebuah
konsep hukum undang-undang yang disebut omnibus law. Saat itu, Presiden
mengungkapkan planningnya mengajak DPR untuk membahas dua undang-
undang yang akan menjadi omnibus law. Pertama, RUU Cipta Lapangan Kerja,
dan UU Pemberdayaan UMKM.

Di Indonesia banyak sekali undang-undang yang masih saling tumpang


tindih, ini yang mencoba diselesaikan melalui Omnibus Law, Salah satunya dari
sektor ketenagakerjaan. Jika disahkan, RUU Cipta Kerja akan mengalami banyak
revisi pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah
berencana menghapuskan, mengubah, dan menambahkan pasal terkait dengan
undang-undang Ketenagakerjaan.

Contohnya, pemerintah merencanakan untuk mengubah skema pemberian


uang pensiun kepada pekerja yang terkena PHK. Besaran uang pensiun ditentukan
berdasarkan berapa lama karyawan bekerja di satu perusahaan. Namun, jika
aturan yang berlaku pada undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dibandingkan dengan skema Omnibus Law RUU Cipta Kerja
justru mengalami penyusutan.
RUU omnibus law ini melanggar hak-hak yang seharusnya memberi
keuntungan untuk para pekerja, namun undang-undang baru ini banyak merugikan
para pekerja mulai dari soal upah, ancaman PHK semena-mena hingga
menyusutnya pesangon yang akan diterima. para pekerja memberatkan beberapa
poin dari udang-undang di antaranya soal penghapusan upah minimum
kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP).

Aturan Undang-undang Omnibus Law ini dinilai membuat upah pekerja


menjadi lebih rendah. Tidak adanya batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) atau pegawai kontrak inilah yang banyak mereka kritisi. Aturan Undang-
undang Omnibus Law ini dinilai merugikan para pekerja karena jangka waktu
kontrak akan berada di tangan pengusaha dan status pekerja kontrak bisa
selamanya. Perusahaan pun sewaktu-waktu dapat melakukan PHK kepada para
pekerja.

Sejak tahun lalu pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja dimulai DPR


dan pemerintah hal tersebut memang menuai kritik, baik dari kalangan buruh
maupun akademisi. Meski ribuan bahkan mungkin puluhan ribu rakyat turun ke
jalan sebagai bentuk penolakan, Pemerintah dan DPR RI tetap menetapkan RUU
cipta kerja yang di sahkan pada Senin, 5 Oktober 2020. Melalui klaim DPR RI,
RUU yang memuat 15 bab dan 174 pasal ini disahkan setelah melalui banyak
pembahasan dan juga perdebatan yang panjang. Sejak 20 April hingga 3 Oktober
2020 terhitung ada 64 kali rapat guna membahas masalah ini.

Kabar mulanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan disahkan pada 8
Oktober. Masyarakat sipil, Serikat-serikat buruh, mahasiswa, petani, dan banyak
elemen masyarakat prodemokrasi menandai tanggal ini untuk berencana
menggelar demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja ke Senayan saat DPR
menggelar rapat paripurna. Pada tanggal 6-8 Oktober Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI) bahkan merencanakan mogok nasional. Namun langkah DPR
dan Pemerintah membatalkan perencanaan tersebut.
Pada 5 Oktober pukul 10 pagi, kalangan internal DPR mendengar kabar
bahwa RUU Cipta Kerja akan disahkan. Lantaran secara prosedur tidak masuk
akal kabar ini sempat dianggap angin lalu. Pada 3 Oktober, RUU Cipta Kerja baru
disepakati oleh Badan Legislasi DPR dan pemerintah. Setelah itu regulasi yang
sudah disepakati harus dicek ulang, perbaikan non-substansial. Biasanya untuk
satu undang-undang pengecekan non-substansialnya saja membutuhkan waktu
dua pekan sampai satu bulan tergantung seberapa tebal dan kompleks regulasi
tersebut. UU Cipta Kerja semestinya membutuhkan Waktu lebih panjang untuk
merampungkannya karena ia memengaruhi 79 undang-undang sekaligus.

Pasal 79 adalah pasal yang banyak di persoalkan para buruh yang isisnya
menyatakan istirahat hanya 1 hari per minggu. Artinya, dalam Omnibus
Law RUU Cipta Kerja kewajiban perusahaan memberikan waktu istirahat kepada
pekerja atau buruh makin berkurang. Pemerintah dianggap memberikan legalitas
bagi perusahaan yang selama ini menerapkan jatah libur hanya sehari dalam
sepekan jika hal tersebut di sahkan. kebijakan masing-masing perusahaan yang
menetapkan libur dua hari per minggu, tidak diatur pemerintah. posisi pekerja
dalam hal ini dinilai lemah.

RUU yang sarat kontroversi ini banyak di sesesalkan pengesahannya dari


banyak kalangan. Pertama, karena dinilai bermasalah dan merugikan rakyat
banyak dalam pasal RUU ini, khususnya para pekerja. Selain itu, di tengah
meruaknya virus Corona dan pandemi RUU ini disahkan padahal keadaan belum
sepenuhnya terkendali. Ada kesan, pemerintah dan DPR RI meloloskan RUU ini
secara sengaja dengan memanfaatkan pandemi.

Pasalnya, saat semua mata dan konsentrasi tercurah penuh pada


penanganan virus Corona dan upaya menangani pandemi, pembahasan RUU ini
bahkan pernah dilakukan secara diam-diam di sebuah hotel pada akhir pekan.
Menurut aturan baik kegiatan atau rapat selama pandemi hanya dilakukan selama
5 hari kerja. Banyak pertanyaan yang muncul mengenai kondisi ini yang tentu
mencurigakan. Alasan apa yang diperlukan DPR secara diam-diam hanya untuk
membahas dan mengesahkan sebuah undang-undang.
Intinya terdapat pihak tertentu yang menciptakan tindakan anarkis dalam
momentum pengesahan UU Cipta Kerja untuk memanfaatkan hal tersebut. Jika
ketidaksetujuan dengan UU Cipta Kerja siapapun dapat dan berhak mengajukan
keberatannya ke Mahkamah Konstitusi. Disediakan pula cara-cara mekanisme
penolakan namun dengan mengikuti peraturan dan perundangan yang berlaku.

Dalam hal ini penerapan sila kelima dalam pancasila yaitu Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia seharusnya dapat dijadikan rujukan dalam UU
Cipta Kerja pada setiap klaster. mencermati nilai-nilai yang terkandung dalam
dasar negara, DPR dan pemerintah harus mempertimbangkan berbagai pendapat,
aspirasi, pemikiran, dan tanggapan yang berkembang di masyarakat sehingga
tidak menimbulkan konflik dan penolakan secara luas yang mengancam persatuan
dalam merumuskan dan membahas UU.

Sebagaimana asas hukum “solus publica suprema lex” (kepentingan rakyat


berada di atas segala-galanya termasuk di atas undang-undang) RUU yang
diusulkan harus bersesuaian dengan kepentingan rakyat tidak hanya dibentuk
untuk kepentingan kelompok tertentu dan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
di negeri insulinde ini tidak melalaikan kepentingan rakyat Indonesia dalam
pengambilan keputusan RUU Cipta Kerja .

Jaminan hak asasi manusia dan perlindungan terhadap segala yang


berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang sifatnya mendasar
telah diamanatkan oleh Konstitusi Indonesia. disini masyarakat memiliki hak
untuk menyuarakannya melalui media apapun jika hal tersebut dilanggar.

Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo bahwa “hukum untuk


manusia, bukan manusia untuk hukum” sebab undang-undang yang baik sesuai
dengan kebutuhan masyarakatnya. Selain itu, dalam memahami hierarki
perundang-undangan dalam RUU Cipta Kerja masih ada kekeliruan yang
dipandang sebagai kesalahan sangat fatal dalam ilmu hukum. Karena itu RUU
Cipta Kerja dilakukan revisi yang sangat mendasar agar tidak menimbulkan
konkurensi norma dan melanggar hak rakyat yang bersifat mendasar. peluang
yang diciptakan bagi kelompok yang bertujuan destruktif sehingga kelompok
tersebut memperoleh alasan untuk bergerak melalui Proses pengesahan UU Cipta
Kerja.

Itulah proses Pengesahan UU Cipta Kerja yang kelihatan isi dan


maksudnya kurang tersosialisasikan dengan baik, sekaligus terlihat kurang di
diskusikan dengan baik, serta kurang sesuai karena diluncurkan pada waktu yang
agak kurang tepat. Sebelum adanya pengabsahan harus dilakukan penyeuaian
secara mutatis mutandis dan menilai setiap pandangan dari segala sisi.

Sumber : https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/07/094657565/ruu-cipta-
kerja-tragedi-di-tengah-pandemi?page=all

Anda mungkin juga menyukai