Anda di halaman 1dari 12

KONSTITUSI NEGARA

Konstitusi Negara
Sebenarnya. konstitusi (constitution) berbeda dengan Undang-Undang Dasar
(Grundgezets), dikarenakan suatu kekhilafan dalam pandangan orang
mengenai konstitusi pada negara-negara modern sehingga pengertian
konstitusi itu kemudian disamakan dengan Undang-Undang Dasar.
Secara umum terdapat dua macam konstitusi yaitu :
1) Konstitusi tertulis dan
2) Konstitusi tak tertulis.
Hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau Undang-
Undang Dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai
pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga
kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.
Konstitusi Negara
Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia telah sepakat utntuk
menyusun sebuah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan
segala arti dan fungsinya. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia sebagai sesuatu
”revolusi grondwet” telah disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh panitia
persiapan kemerdekaan Indonesia dalam sebuah naskah yang dinamakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dengan demikian,
sekalipun Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan konstitusi yang sangat
singkat dan hanya memuat 37 pasal namun ketiga materi muatan konstitusi
yang harus ada menurut ketentuan umum teori konstitusi telah terpenuhi
dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Konstitusi Negara
Pada dasarnya kemungkinan untuk mengadakan perubahan atau penyesuaian itu
memang sudah dilihat oleh para penyusun UUD 1945 itu sendiri, dengan merumuskan
dan melalui pasal 37 UUD 1945 tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Dan
apabila MPR bermaksud akan mengubah UUD melalui pasal 37 UUD 1945 ,
sebelumnya hal itu harus ditanyakan lebih dahulu kepada seluruh Rakyat Indonesia
melalui suatu referendum.(Tap no.1/ MPR/1983 pasal 105-109 jo. Tap
no.IV/MPR/1983 tentang referendum)
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu
agenda sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan ke empat pada sidang
tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya komisi
konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komperhensif tentang
perubahan UUD 1945 berdasarkan ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang
pembentukan komisi Konstitusi.
Kasus yang Bertentangan dengan
Konstitusi : HAM
Peristiwa berdarah G30SPKI memang berakhir dengan sejumlah
tanda tanya dan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Pada
tahun 2012, penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM
ternyata menemukan pelanggaran HAM yang cukup berat seusai
peristiwa tersebut.
Korban dari peristiwa ini adalah anggota PKI, serta beberapa
organisais masyarakat lain yang satu jalan dengan mereka. Bahkan,
banyak masyarakat sipil yang tidak sengaja dibunuh juga karena
dianggap sebagai anggota PKI meskipun bukan.
Kasus yang Bertentangan dengan
Konstitusi : HAM
Pelanggaran HAM tersebut berupa penganiayaan, perbudakan,
pembunuhan massal, penghilangan paksa nyawa seseorang dan
pemerkosaan.
Setelah ditemukan oleh Komnas HAM dan mendapatkan perhatian
dari Kejaksaan Agung, sampai sekarang kasus ini tengah di proses.
Terakhir, jumlah korban yang diperkirakan dibunuh dan meninggal
pada pembunuhan massal di tahun 1965 tersebut mencapai hampir
1,5 juta orang, bahkan kemungkinannya bisa lebih besar.
Kasus yang Bertentangan dengan
Konstitusi : HAM
Meskipun begitu, kasus ini sangat mempolarisasi masyarakat
Indonesia, di satu sisi, masyarakat Indonesia banyak sekali yang
membenci PKI, namun, di lain sisi, kekejaman TNI dan oknum
lainnya dalam menumpas balik PKI juga patut dipertanyakan.
Terlebih lagi ketika banyak masyarakat sipil yang menjadi korban
dari tindakan serangan balik ini.
Omnibus Law
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menuntaskan pembahasan
Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Ombibus Law ini akan
disahkan dalam rapat paripurna DPR. Proses pembahasan serta rencana pengesahan ini
jadi kontroversi dan mengundang kritikan dari berbagai kalangan masyarakat,
termasuk buruh.
Dampak bagi buruh
1. Kontrak tanpa batas (Pasal 59)
Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha
untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
2. Hari libur dipangkas (Pasal 79)
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur
dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja
wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu
pekan.
Omnibus Law
3. Aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88)
Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja
tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk
pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
4. Sanksi tidak bayar upah dihapus (Pasal 91)
Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal
kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu
dihapuskan seluruhnya.
Omnibus Law
5. Hak memohon PHK dihapus (Pasal 169)
UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan
hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.
Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan
PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan,
di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam. Pengajuan PHK
juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga
bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja
akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali,
dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156. Namun, Pasal 169 ayat
(3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang
diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut
tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta
Kerja.
Kesimpulan

Berdasarkan pengertian konstitusi itu sendiri perlu


ditanyakan kepada rakyat jika ingin merubah undang-
undang. Sedangkan untuk kasus omnibus law sendiri
banyak rakyat yang menolak dan melakukan demo untuk
menolak omnibus law karena dirasa UU Cipta Kerja
hanya menguntungkan bagi pengusaha dan banyak
merugikan untuk pekerja terutama buruh. Sehingga
sepertinya perlu diadakannya peninjauan ulang untuk
UU Cipta Kerja itu sendiri agar sesuai dengan rakyat
Indonesia.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai