Anda di halaman 1dari 2

OMNIBUS LAW CIPTA KERJA

• Apakah OMNIBUS LAW itu??


Secara terminologi, omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti untuk semuanya. Dalam konteks
hukum, omnibus law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang
mengatur banyak hal. Dengan kata lain, omnibus law artinya metode atau konsep pembuatan regulasi yang
menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam
satu payung hukum. RUU Cipta Kerja hanya salah satu bagian dari omnibus law. Dalam omnibus law,
terdapat tiga RUU yang siap diundangkan, antara lain RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan
Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan
Sektor Keuangan. Buruh Dibayar Lebih Rendah di RUU Cipta Kerja? Namun demikian, Omnibus Law Cipta
Kerja jadi RUU yang paling banyak jadi sorotan publik. Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial,
RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor. Secara substansi, RUU
Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama
jutaan pekerja di Indonesia. Hal ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak RUU Cipta
Kerja.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Apa Itu Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan
Isi Lengkapnya", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2020/10/05/102200626/mengenal-apa-
itu-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-dan-isi-lengkapnya?page=all.
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Muhammad Idris

• Apa saja isi OMNIBUS LAW yang dianggap merugikan

1. Terkait upah minimum


Dalam pasal 88C draft RUU berbunyi, Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring
pengaman. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum tersebut merupakan minimum
provinsi. Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2005, penetapan upah dilakukan di
provinsi serta kabupaten/kota/ Sehingga menetapkan UMP sebagai satu-satunya acuan besar nilai
gaji.
2. Memangkas pesangon
Pemerintah akan memangkas pesangon yang diwajibkan pengusaha jika melakukan PHK (pemutusan
hubungan kerja). Nilai pesangon bagi pekerja turun karena pemerintah mengganggap aturan yang
ada pada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak implementatif.
3. Penghapusan izin atau cuti khusus
RUU Cipta kerja mengubah ketentuan cuti khusus atau izin yang tercantum dalam UU Nomor 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Penghapusan izin atau cuti khusus antara lain untuk cuti atau
tidak masuk saat haid hari pertama, keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, pembaptisan
anak, istri melahirkan/keguguran dalam kandungan hingga adanya anggota keluarga dalam satu
rumah yang meninggal dunia.
4. Outsourcing semakin tidak jelas
Omnibus law membuat nasib pekerja alih daya atau outsourcing semakin tidak jelas karena
menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang pekerja outsourcing.
Adapun Pasal 64 UU Ketenagakerjaan berbunyi; Perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis. Pasal 65 mengatur; (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara
tertulis. Ayat (2) mengatur; pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebaga berikut: dilakukan secara terpisah
dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak menghambat
proses produksi secara langsung.
5. Memberikan ruang bagi pengusaha mengontrak seorang pekerja tanpa batas waktu
Omnibus law cipta kerja akan memberikan ruang bagi pengusaha mengontrak seorang pekerja
atau buruh tanpa batas waktu. RUU Cipta Kerja ini menghapus ketentuan Pasal 59 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur tentang aturan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT). PKWT hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun dan hanya boleh
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

• Lantas apakah RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA sesuai dengan PANCASILA??

Cita cita Pendirian Negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, alinia keempat yang berbunyi
diantaranya“…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”

Namun diawal tahun 2020, Pemerintah dengan agenda RUU Omnibus Law telah berupaya merubah
tatanan perundang undangan, dengan dalih fleksibilitas, efisien dan investasi, telah merancang RUU Omnibus
Law Cipta Kerja yang sangat menghawatirkan kaum pekerja, dari berbagai sisi yang sangat fundamental.

Yang Pertama RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah merombak sistem ketenaga Kerjaan, yang semula sesuai
UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan mengatur hubungan industrial melalui tripartite, dengan
melibatkan Pemerintah daerah Kabupaten, sebagai penyelenggara ketenagakerjaan sebagai amanat UUD
1945 pasal 18 ayat 5, dimana pemerintah daerah melalui Dinas Tenaga Kerja melegalkan Serikat Pekerja,
membangun hubungan Industrial Tripartite, baik dalam perselisihan kepentingan, maupun pembahasan
persoalan UMK sebagai Jaring pengaman sosial di bidang ketenagakerjaan. Namun ironisnya RUU Omnibus
Law Cipta Kerja telah menghilangkan sistem tersebut.

Dengan demikian RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah menghancurkan tatanan sistem ketenagakerjaan
Indonesia, dengan menghilangkan peranan Negara dalam bidang KetenagaKerjaan (Kabupaten sebagai hirarki
Konstitusi bagian bawah Negara) dan amanat UUD 1945 pasal 18. Perubahan yang terdapat RUU Omnibus
Law Cipta Kerja, yang merenggut hak Pekerja dan mengancam kesejahteraan pekerja, yakni menghapus
tripartite, UMK, kebebasan berserikat, ancaman PHK setiap saat (Demokrasi pekerja lumpuh), karena kasus
union busting, akan selalu berujung pada PHK jika perselisihan tidak menemui kesepakatan, dengan demikian
jika penentuan Upah dilaksanakan diperusahaan dengan Bipartite, yang melegalkan PHK pekerja secara bebas,
yang ada adalah ketidak seimbangan perundingan, Jaminan Pesangon berkurang, dan kerancuan undang
undang. Selain itu RUU Omnibus Law juga tidak sesuai dengan UU Otonomi Daerah, yang memberikan
keleluasaan pada daerah untuk mengelola bidang Ketenaga Kerjaan. Dengan hilangnya demokrasi politik
pekerja di dalam hubungan Industrial, secara nyata pemerintah dan DPR RI telah membuat suatu UU yang
berpotensi tidak kesesuaian terhadap sila kedua dan kelima.

Anda mungkin juga menyukai