Anda di halaman 1dari 12

Ada 9 Perubahan UU Ketenagakerjaan Lewat UU Cipta Kerja

Meliputi pelatihan kerja; penempatan tenaga kerja; penggunaan TKA; PKWT;


alih daya; waktu kerja, waktu istirahat, dan cuti; upah; PHK; sanksi pidana dan
administratif.

Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) telah
mengubah puluhan UU, salah satunya UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Ada beberapa perubahan signifikan dalam norma
ketenagakerjaan, diantaranya aturan PKWT, alih daya, penggunaan TKA,
mekanisme PHK, hingga sanksi administratif dan pidana.     

Legal Research and Analysis Manager Hukumonline, Christina Desy, mencatat


UU Cipta Kerja mengubah sedikitnya 9 ketentuan yang diatur dalam UU
Ketenagakerjaan.

Pertama, pelatihan kerja, UU Ketenagakerjaan mengatur lembaga pelatihan


kerja swasta wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota. UU Cipta
Kerja tak banyak mengubah ketentuan ini, hanya menambah kewajiban untuk
memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan pemerintah pusat jika terdapat
penyertaan modal asing.

Kedua, penempatan tenaga kerja. UU Ketenagakerjaan mengatur pelaksanaan


penempatan tenaga kerja terdiri dari instansi pemerintah bidang ketenagakerjaan
dan lembaga swasta berbadan hukum yang memiliki izin dari menteri
ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. UU Cipta Kerja memperjelas
lembaga penempatan tenaga kerja swasta harus memenuhi perizinan berusaha
dengan memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat.

“Ketentuan mengenai perizinan berusaha ini diatur lebih lanjut dalam PP No.5
Tahun 2021 dan Permenaker No.6 Tahun 2021,” kata Desy dalam diskusi
secara daring bertema “Aspek Ketenagakerjaan Pasca Berlakunya UU Cipta
Kerja” yang diselenggarakan Hukumonline dan Justika.com, Jumat (7/5/2021).
(Baca Juga: Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta
Kerja)

Ketiga, penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Desy menjelaskan UU


Ketenagakerjaan mewajibkan pemberi kerja yang memperkerjakan TKA untuk
memiliki izin tertulis. UU Cipta Kerja mengubah kewajiban itu dan sekarang
pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki rencana penggunaan
tenaga kerja asing (RPTKA) yang disahkan pemerintah pusat.

RPTKA itu dikecualikan untuk direksi atau komisaris dengan kepemilikikan


sahan tertentu; pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara
asing; atau TKA yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan
produksi yang terhenti karena keadaan darurat; vokasi; perusahaan rintisan
(start-up) berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka
waktu tertentu.

Keempat, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Desy menyebut UU


Ketenagakerjaan mengatur sanksi berupa peralihan PKWT menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) jika terjadi pelanggaran terkait jenis
pekerjaan, jangka waktu dan perpanjangan atau pembaharuan PKWT. UU Cipta
Kerja hanya membuka peluang peralihan PKWT menjadi PKWTT untuk
pelanggaran terkait jenis pekerjaan. PKWT didasarkan atas 2 hal yaitu jangka
waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. UU Ketenagakerjaan melarang
masa percobaan dalam mekanisme PKWT. Hal tersebut juga diatur dalam UU
Cipta Kerja dan ditegaskan selain masa percobaan itu batal demi hukum, masa
kerja tersebut tetap dihitung. Hal baru yang diatur UU Cipta Kerja yakni adanya
kompensasi bagi buruh pada saat berakhirnya PKWT atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu.

Kelima, alih daya (outosurcing). Desy menyebut UU Cipta Kerja menghapus


sejumlah pasal alih daya yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan
yakni soal pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja. UU Cipta Kerja
mengatur lebih tegas soal tanggung jawab perusahaan alih daya terhadap
perlindungan pekerja baik upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan
yang timbul. Ketentuan alih daya dalam UU Cipta Kerja mengadopsi putusan
MK yang intinya pengalihan perlindungan hak pekerja jika terjadi pergantian
perusahaan alih daya dan selama objek pekerjaannya tetap ada.

Keenam, waktu kerja, waktu istirahat, dan cuti. Menurut Desy perubahan yang
paling signifikan dalam UU Cipta Kerja yakni jam kerja lembur yang tadinya
dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu
menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. UU Cipta Kerja tidak mengatur
soal waktu istirahat panjang dan diserahkan pengaturannya dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Ketujuh, upah. UU Cipta Kerja masih mengatur upah minimum provinsi dan
upah minimum kabupaten/kota, tapi menghapus upah minimum sektoral. UU
Cipta Kerja juga mengatur upah minimum untuk usaha mikro dan kecil
ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja. Soal struktur dan
skala upah, UU Cipta Kerja mengatur pengusaha wajib menyusun struktur dan
skala upah di perusahaan dan melakukan peninjauan upah secara berkala
dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Sebelumnya UU Ketenagakerjaan mengatur pengusaha menyusun struktur dan
skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan,
dan kompetensi dan melakukan peninjauan upah secara berkala dengan
memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Delapan, PHK. Desy mengatakan UU Ketenagakerjaan mengatur PHK dapat


dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan
industrial. Tapi dalam UU Cipta Kerja pemberi kerja harus memberitahukan
maksud dan alasan PHK kepada pekerja dan/atau serikat pekerja. Jika pekerja
tidak menolak pemberitahuan itu, maka PHK itu bisa dilakukan. Tapi jika
pekerja menolak maka dilakukan perindingan bipartit dan jika tidak mencapai
kesepakatan, maka berlanjut sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.

UU Cipta Kerja juga mengatur alasan baru yang dapat digunakan untuk
melakukan PHK yaitu penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). “PHK
dapat terjadi karena alasan perusahaan dalam keadaan PKPU. Besaran
kompensasi pesangon yang diterima pekerja dalam UU Cipta Kerja juga
mengalami perubahan.”

Sembilan, sanksi pidana dan administratif. Desy mencatat ada beberapa


perubahan terkait sanksi pidana dan administratif UU Cipta Kerja yang
sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan. Misalnya, UU Ketenagakerjaan
mengatur sanksi pidana berupa penjara 1 sampai 4 tahun atau denda Rp10 juta
sampai Rp400 juta dikenakan terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan
terkait mogok kerja.

“Tadinya (dalam UU Ketenagakerjaan) tidak boleh perusahaan melarang


pekerja mogok kerja, tapi sekarang ketentuan pidana itu dihapus UU Cipta
Kerja,” katanya.
PART 2

Omnibus Law : Pasal Apa saja yang


Diubah dari UU Ketenagakerjaan?
By

Kantor Kita

June 23, 2021

1886

Omnibus Law : Pasal Apa saja yang Diubah dari UU Ketenagakerjaan?

Omnibus Law : Pasal Apa saja yang Diubah dari UU Ketenagakerjaan? – HRD ajaknya
sudah paham dengan beberapa perubahan pasal ketenagakerjaan yang dibahas dalam
Omnibus Law. Pasal tentang lembur, upah sampai jaminan sosial ada beberapa perubahan.
Namun pastinya perusahaan akan menyesuaikan perubahan ini sehingga sistem aplikasi
kantor juga ikut menyesuaikan.

Omnibus law atau UU Cipta Kerja, salah satu topik yang cukup hangat di tahun 2020 awal
sampai akhir. Banyak pro kontra dari dibuatnya UU Cipta Kerja, walau akhirnya pada bulan
November 2020 akhirnya Undang-Undang ini sudah resmi di tanda tangani oleh Presiden.
UU Cipta Kerja ini berkaitan dengan UU Ketenagakerjaan, beberapa pasal diubah, ditambah
bahkan dihapus. Padahal sebelumnya UU Ketenagakerjaanlah yang digunakan sebagai satu
dasar untuk mengatur sistem kerja seluruh Indonesia.

Apa saja sih perbedaan UU ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja ini? Apakah sangat
berpengaruh sampai menimbulkan keriuhan dalam proses pembuatanya?

Berikut ulasan mengenai Omnibus Law dan perubahan dalam UU Ketenagakerjaan.

Image 1 Beberapa Peraturan dari Omnibus Law

Garis Besar Perubahan dari UU Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law, Mencangkup


Masalah

1. Durasi Kerja
2. Lembur
3. Upah Minimum
4. Kompensasi

Apa Tujuan di buatnya Omnibus Law?

Menurut RUU Cipta Kerja Bab 1 Pasal 3, menuliskan bahwa Undang-Undang Cipta kerja ini
dibuat dengan tujuan :

1. Menciptakan lapangan kerja secara merata untuk seluruh masyarakat Indonesia


2. Menciptakan kemudahan dan perlindungan untuk UMK-M dan Perkoperasian
3. Meningkatkan ekosistem investasi
4. Kemudahan berusaha
5. Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja
6. Percepatan proyek strategis pemerintah

Beberapa Perubahan UU Ketenagakerjaan dan Omnibus Law


1. Waktu Kerja

Soal waktu kerja ini, perubahan yang diberikan tidak cukup banyak, namun memiliki arti
yang penting.

Dalam UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 menuliskan

Waktu kerja ( Pasal 77 ayat 2) meliputi :

1. 7 jam satu hari dan 40 puluh jam 1 minggu, 6 hari kerja dalam satu minggu atau; 8 jam satu
hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.
2. (1) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor
usaha atau pekerjaan tertentu. Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau
pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 diatur dengan Keputusan Menteri.

Sedangkan dalam UU Cipta Kerja ( Pasal 77) menuliskan ayat 2 dan 3 sama, hanya saja ayat
4 diubah dengan

Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Waktu Kerja pada Sektor Usaha atau Pekerjaan Tertentu, diatur sebagai berikut:

Perusahaan pada sektor usaha atau pekerjaan tertentuyang menerapkan waktu kerja kurang
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai karakteristik:

1. penyelesaian pekerjaan kurang dari 7 jam 1 hari dan kurang dari 35 jam 1 minggu;
2. waktu kerja fleksibel; atau
3. pekerjaan dapat dilakukan di luar lokasi kerja.

2. Jam Lembur

Mengenai lembur ini ada perubahan cukup jelas dalam peraturan jam lembur, perubahan
seperti berikut

Jam Lembur UU Ketenagakerjaan Jam Lembur UU Cipta Kerja

(Pasal 78) (Pasal 78)


Pengusaha yang mempekerjakan (1) Waktu Kerja Lembur hanya dapat dilakukan
pekerja/buruh melebihi waktu kerja paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dan 18 (delapanbelas) jam dalam 1 (satu)
harus memenuhi syarat : minggu.

a. Ada persetujuan pekerja/buruh yang (2)  Ketentuan Waktu Kerja Lembur


bersangkutan;

b. Waktu kerja lembur hanya dapat


dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam
1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dalam 1 (satu) minggu.
termasuk kerja lembur yang dilakukan pada
waktu istirahat mingguan dan/atau hari libur
 
resmi.
Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
membayar upah kerja lembur.

Dengan perubahan waktu lembur tersebut, Perusahaan bisa mengikuti peraturan yang baru
dimana waktu lembur karyawan bisa satu jam lebih panjang.

UU Cipta Kerja ini juga menuliskan cara penghitungan upah lembur untuk karyawan.
Penghitungan upah lembur sebagai berikut:

1. Jam kerja lembur pertama sebesar 1.5 kali upah sejam


2. Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya sebesar dua kali upah sejam.

Sedangkan jika lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi (untuk 6
hari kerja), penghitungan lembur sbb:

1. Jam pertama sampai dengan jam ketujuh, dibayar dua kali upah sejam;
2. Jam kedelapan, dibayar 3 kali upah sejam
3. Jam kesembilan, kesepuluh dan kesebelas dibayar 4 kali upah sejam.
Omnibus Law : Pasal Apa
saja yang Diubah dari UU Ketenagakerjaan?

jika lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi (untuk 5 hari kerja),
penghitungan lembur sbb:

1. Jam pertama sampai dengan jam kedelapan 2 kali upah sejam


2. Jam kesembilan dibayar 3 kali upah sejam
3. Jam kesepuluh sampai duabelas dibar 4 kali upah sejam.

Dengan peraturan waktu lembur dan upah lembur ini, Perusahaan diharapkan bisa
menyesuaikan dengan baik.

Untuk masalah absen lembur dan penggajian ini, Perusahaan bisa menghitung upah lembur
pekerja menggunakan aplikasi absensi dan payroll online, dimana ada fitur absensi karyawan
untuk penghitungan lembur secara otomatis, sesuai waktunya, sehingga setiap karyawan yang
lembur bisa otomatis terlihat dan terhitung upahnya dengan mudah.

HRD tidak perlu menghitung satu persatu karena dengan aplikasi absensi dan payroll ini
urusan absensi dan penggajian akan lebih ringkas dan cepat.

Salah satu aplikasi absensi online yang cukup populer adalah Kantor Kita, selesaikan masalah
gaji dan absensi dengan cepat.

Baca Artikel : BPJS: Tunjangan Kesehatan Yang Penting Untuk Karyawan

3. Pemberian Kompensasi

Pemberian kompensasi untuk pekerja ini ada perubahan. Jika sebelumnya, di UU


Ketenagakerjaan Pasal 47, masalah kompensasi ini wajib dibayarkan kepada setiap tenaga
kerja asing sedangkan untuk UU Cipta Kerja terdapat sisipan pasal 61A,  menuliskan bahwa
Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang hubungan
kerjanya berdasarkan masa kerja buruh/pekerja di perusahaan.
Dengan adanya peraturan berdasarkan UU Cipta Kerja ini, berarti Perusahaan yang
menggunakan pekerja kontrak atau PKWT wajib memberikan kompensasi di akhir masa
kerjanya.

4. Upah Minimum

ini adalah salah satu pasal yang cukup disorot, memang ada beberapa perubahan antara UU
Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja.

Beberapa perubannya sebagai berikut :

Pengupahan dalam UU Ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 88 dengan ketentuan Upah


Minimum dijelaskan dalam pasal 89, yang berisi :

1. Upah minimum didasarkan pada wilayah provinsi, atau kabupaten/kota


2. Upah minimun berdasarkan sektor provinsi atau kabupaten/kota.
3. Upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak
4. Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Provinsi atau Bupati/Walikota.

Sedangkan upah minimum berdasarkan UU Cipta Kerja, diatur di pasal 88C menuliskan
bahwa pengupahan karyawan menggunakan upah minimum provinsi dan UMK. Dimana
UPM ini diarahkan kepada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Pun UMK harus lebih
tinggi daripada UMP. Upah minimun sektoral juga dihapuskan dalam UU Cipta Kerja ini.
Untuk penangguhan pembayaran seperti pasal 90 di tiadakan dalam UU Cipta Kerja.

Pasal 89 dan 90 dalam UU Ketenagakerjaan juga dihapus dan diganti dengan pasal 88C, dan
ada penyisipan pada pasal 90 menjadi 90B yang menuliskan pengecualian upah minimum
untuk usaha mikro kecil.

Kesimpulan

Ada beberapa perubahan yang cukup berpengaruh terhadap peraturan Perusahaan untuk
pekerja/buruh, perubahan-perubahan ini tertulis dalam UU Cipta Kerja, diluar kontroversinya
yang cukup besar di Indonesia, pastinya masyarakat berharap perubahan ini tetap
memberikan keadilan kepada seluruh pekerjan di Indonesia.
Secara garis besar, perubahan UU Ketenagakerjaan dan Omnibus Law, kita sajikan dalam
tabel berikut ini

Mudahkan urusan administrasi karyawan dengan aplikasi absensi online, Kantor Kita. Siap
membantu Anda mengurus absensi dan payroll dengan mudah. Dapatkan masa trial 15 hari,
untuk pengguna pertama dan nikmati pengalaman absensi yang menyenangkan.

Anda mungkin juga menyukai