Anda di halaman 1dari 10

A.

ANALISA YURIDIS

1. Penggelapan Dalam Jabatan sebagaimana Pasal 374 KUHP Dalam


Prespektif Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo
Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perpu) Nomor 2 tahun 2022
Tentang Cipta Kerja menjadi Undang – Undang.

1.1. Tujuan dan Urgensi diciptakannya Undang-Undang Nomor 11 tahun


2020 tentang Cipta Kerja jo Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang
Nomor 2 tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang – Undang.

Bahwa sesuai dengan tujuan awal diciptakan dan diberlakukannya


Undang – Undang Cipta Kerja atau lebih dikenal dengan sebutan
OMNIMBUS LAW sebagaimana yang disebutkan dalam Konsiderans huruf C
Undang-Undang Nomor Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang
Cipta Kerja menjadi Undang – Undang yang berbunyi :
“Bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai
aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan
pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah,
peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis
nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan
pekerja”.

Dan disebutkan juga alasan dari pembentukan sebagaimana dalam


Penjelasan Umum paragraf 8 halaman 3 atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang –
Undang yang berbunyi :
“Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta
Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan
terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan
untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara
merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka
memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait
dengan:
a. Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
b. Peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja;
c. Kemudahan, pemberdayaan, dan pelindungan Koperasi dan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
d. Peningkatan investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis
nasional”.

Bahwa sebagaimana bunyi Kosiderans dan Penjelasan Umum dari


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022
Tentang Cipta Kerja menjadi Undang – Undang, telah menjelaskan mengenai
urgensi dan Kepentingan dari dibentuknya UU OMNIMBUS LAW terutama
dalam hal meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja,
sehingga Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo
Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 2 tahun 2022 Tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang berlaku Asas Lex spesialis Derogat Legi
Generalis dan Pasal 103 KUHP terhadap peraturan perundang-undangan
yang bersifat umum, hal tersebut membuat Undang-Undang Nomor 11 tahun
2020 tentang Cipta Kerja jo Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 2
tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, menjadi
Spesial/Khusus terutama mengenai Perihal Ketenagakerjaan, sehingga
aturan – aturan yang ada di dalam UU OMNIMBUS LAW wajib
didahulukan dan membuat aturan umum yang juga mengatur mengenai
Ketenagakerjaan tunduk pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020
tentang Cipta Kerja jo Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 2
tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang – Undang.

1.2. Urgensi Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja


Bersama dalam sebuah Perusahaan.
1) Peraturan Perusahaan (PP)

Peraturan perusahaan atau PP merupakan salah satu pengaturan


internal perusahaan selain perjanjian kerja dan Perjanjian Kerja Bersama.
Peraturan Perusahaan merupakan amanah yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”). Peraturan perusahaan merupakan peraturan yang
dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja
dan tata tertib perusahaan.

Peraturan Perusahaan telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan sebagaimana Pasal 1 ayat 20 jo. Pasal 1
angka 1 Permenaker 28/2014 menyebutkan bahwa “ PP atau Peraturan
perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha
yang memuat syarat syarat kerja dan tata tertib perusahaan”.

Peraturan perusahaan memiliki urgensi yang penting dalam suatu


badan usaha. Peraturan perusahaan merupakan dokumen yang
mengatur lebih lanjut yang tidak diatur dalam perjanjian kerja dan yang
ada di dalam hukum Ketenagakerjaan.

Berdasarkan pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2013 tentang Ketenagakerjaan, diatur bahwa “Pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku
setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.” Namun
hal tersebut dapat dikecualikan apabila telah terdapat Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) dalam suatu Perusahaan.

Adapun beberapa hal yang wajib dimasukan dalam Peraturan


Perusahaan. Menurut Pasal 111 UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat:
1. Hak dan kewajiban pengusaha
2. Hak dan kewajiban pekerja/buruh
3. Syarat kerja
4. Tata tertib perusahaan
5. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan
Selanjutnya terhadap Peraturan Perusahaan yang sudah dibuat
oleh Pengusaha harus lah dilakukan Pengesahan yang dilakukan oleh
Pejabat yang berwenang sebagaimana ketentuan dalam pasal Pasal 7
ayat (1) Permenaker 28/2014 mengenai Pengesahan PP dilakukan oleh:
a. Kepala SKPD bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, untuk
perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota;
b. Kepala SKPD bidang ketenagakerjaan provinsi, untuk perusahaan
yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1
(satu) provinsi;
c. Direktur Jenderal, untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari
1 (satu) provinsi.

2) Perjanjian Kerja
Berdasarkan Pasal 50 jo. Pasal 51 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”),
hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha
dan pekerja/buruh, yang mana perjanjian kerja dapat dibuat secara
tertulis atau lisan.
Sebuah surat kontrak kerja, harus dibuat berdasarkan Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, yakni pada pasal 52 ayat 1
Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal
tersebut dijelaskan bahwa, kontrak kerja harus mengatur mengenai
beberapa hal yang meliputi:
 Kesepakatan dari kedua belah pihak (perusahaan dan pekerja).
 Kecakapan atau kemampuan melakukan perbuatan hukum.
 Berisi tentang pekerjaan yang diperjanjikan.
 Pekerjaan yang dituliskan di dalam perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan peraturan, kesusilaan dan ketertiban yang
ada di dalam UU yang berlaku

3) Perjanjian Kerja Bersama (PKB).


Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 ayat 20 jo. Pasal 1 angka 1 Permenaker 28/2014 Perjanjian
kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan
antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat
buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau
perkumpulan pengusaha yang memuat syarat syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.

Bahwa sebagaimana dalam ketentuan Pasal 14 angka 1


Permenaker 28/2014 yang berbunyi : PKB dirundingkan oleh serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
telah tercatat pada instansi yang menyelenggarakan urusan di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

Bahwa berdasarkan aturan dan ketentuan hukum diatas, secara


jelas mengenai Peraturan Perusahaan (PP) dalam sebuah Perusahaan
adalah hal yang BERSIFAT WAJIB, meskipun dapat dilakukan
pengecualian apabila dalam suatu perusahaan telah dibuat Perjanjian
Kerja Bersama (PKB), sehingga apabila suatu perusahaan tidak membuat
Peraturan Perusahaan (PP) dan Juga tidak terdapat juga Perjanjian Kerja
Bersama (PKB), maka perusahaan tersebut telah melakukan pelanggaran
dan dapat dikenakan Sanksi Pidana Denda sebagimana diatur dalam
Pasal 188 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan telah diubah dalam
Undang – Undang Omnimbus Law atau Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja
menjadi Undang-Undang yang berbunyi :
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat
(1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, atau Pasal 148 dikenai sanksi pidana
denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Oleh sebab itu apabila suatu Perusahaan yang memiliki jumlah


karyawan lebih dari 10 namun tidak memiliki Peraturan Perusahaan (PP)
dan tidak juga dilakukan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan Serika
Kerja, maka hal tersebut merupakan perbuatan Pelanggaran dari
Perusahaan yang wajib dikenai sanksi Pidana Denda.

1.3. Pasal 52 Ayat 2 dan Penjelasan Pasal Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan
Hubungan Kerja.

Bahwa Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo


Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 2 tahun 2022 Tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang, sebagai bentuk aturan pelaksana dari
peraturan a quo maka diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan
Kerja, terhadap Tindak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan yang dilaporkan
Oleh Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) Kepada
Karyawan, jika dihubungkan dengan Pasal 52 Ayat (2) yang berbunyi :
“Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap
Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat
mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama maka Pekerja/Buruh berhak atas…dst”. Dan
“pelanggaran bersifat mendesak” Dalam Penjelasan Pasalnya Berbunyi :
“Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga
Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap
Pekerja/Buruh, misalnya dalam hal : melakukan penipuan, pencurian,
atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan..dst”;

Bahwa dengan berlakunya ketentuan dalam Pasal a quo mewajibkan


kepada perusahaan-perusahaan untuk mengatur secara spesifik dan
dimasukan kedalam Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja dan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) mengenai Perbuatan yang dianggap
“Pelanggaran Bersifat Mendesak” sebagaimana dalam Penjelasan Pasal
52 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021
Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu
Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja, misalnya dalam hal : melakukan
penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
Perusahaan..dst”

Bahwa apabila suatu Perusahaan tidak mengatur mengenai tindakan –


tindakan yang dikategorikan sebagai Pelanggaran Bersifat Mendesak di
dalam suatu Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja dan Perjanjian
Kerja Bersama (PKB), maka hal tersebut merupakan kesalahan dari Pihak
Perusahaan dan apabila ditemukan Suatu Perusahaan tidak mempunyai
Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama maka
hal tersebut adalah sebuah Pelanggaran yang dilakukan Perusahaan karena
telah melanggar ketentuan sebagimana diatur dalam Pasal 188 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan dan telah diubah dalam Undang – Undang Omnimbus
Law atau Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2
Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang
berbunyi :
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1),
Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, atau Pasal 148 dikenai sanksi pidana denda
paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Sehingga terhadap Karyawan yang melakukan perbuatan sebagaimana


tindakan Pelanggaran yang bersifat Mendesak namun tidak diatur dalam
Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) hanya dapat dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari
Perusahaan, sehingga Perbuatan “Penggelapan” yang diatur dalam
Ketentuan Pasal 372 KUHP jo 374 KUHP, tidak dapat dikenakan kepada
Karyawan sebagai bentuk Konsekuensi Hukum jika Perbuatan
“Penggelapan” tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
dan Perjanjian Kerja Bersama, dan Karyawan Tidak Bisa Dikenakan
Ketentuan Pasal 372 KUHP jo 374 KUHP karena Undang-Undang Nomor 11
tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang
Nomor 2 tahun 2022 Tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang,
merupakan aturan yang bersifat khusus dan Pasal 374 KUHP haruslah
tunduk pada Undang-Undang Omnimbus Law tersebut.

1.4. Adanya Gugatan PHI yang sedang dalam Proses Kasasi, sehingga
terhadap Perkara A quo bersifat Ne Bis In Idem

Bahwa terhadap perkara a quo dimana adanya Gugatan dan Putusan


Pengadilan Hubungan Industrial nomor : 78/Pdt.Sus-PHI/2023/PN. Plg yang
kini sedang diajukan proses Kasasi, dimana dalam Putusan a quo Terdakwa
(karyawan) tidak terbukti melakukan Tindak Pidana Penggelapan
sebagaimana yang di nyatakan oleh Perusahaan (Pelapor) dan senyatanya
terbukti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Terdakwa (Karyawan)
dilakukan karena telah memasuki usia Pensiun.

Bahwa dihubungkan Pasal 52 Ayat (2) yang berbunyi : “Pengusaha


dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh
karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran bersifat mendesak
yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian
Kerja Bersama maka Pekerja/Buruh berhak atas…dst”. Dan “pelanggaran
bersifat mendesak” Dalam Penjelasan Pasalnya Berbunyi : “Pelanggaran
bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat
langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh,
misalnya dalam hal : melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan
barang dan/atau uang milik Perusahaan..dst”; yang merupakan aturan
pelaksana dari aturan Lex Spesialis Derogate Legi Generalis/Khusus
terhadap Penggelapan dalam jabatan yang diatur pada Ketenagakerjaan.
Sehingga penggunaan pasal 374 terhadap Terdakwa (karyawan) yang
melakukan Penggelapan barang milik Perusahaan dimana perusahaan tidak
memiliki Peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
KUHP tidak dapat dikenakan karena pasal 374 KUHP adalah aturan yang
bersifat Umum dan harus mendahulukan aturan yang bersifat Khusus yaitu
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Undang –
Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang – Undang Nomor 2 tahun 2022 Tentang Cipta Kerja
menjadi Undang – Undang, dalam hal ini Pasal 52 Ayat (2) Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan
Pemutusan Hubungan Kerja.

Bahwa Sebagaimana keterangan Ahli Dr. Sri Sulastri, S.H.,M.Hum,


dalam persidangan tanggal 23 Januari 2024 yang menyatakan : Bahwa
mengenai seorang karyawan yang dituduhkan melakukan Penggelapan
dalam jabatan terhadap harta milik Perusahaan, dan karyawan telah
melakukan Upaya Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial
bahkan telah ada Putusannya, terhadap tindakan dari perusahaan dengan
melaporkan karyawan melanggar ketentuan pasal 374 KUHP yang mana
Objek, Subjek yang dikenakan menyangkut perbuatan Penggelapan yang
mana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu
Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja Pasal 52 Ayat
(2) adalah hal yang sama, sehingga terhadap perkara tindak pidana tersebut
akan berlakunya asas Ne Bis In Idem.

Bahwa berdasarkan kaidah hukum dan ketentuan hukum diatas


terhadap perkara a quo, dimana Terdakwa didakwakan melakukan
Perbuatan Penggelapan Dalam Jabatan sebagaimana Pasal 374 KUHP jelas
berlakunya Asas Ne Bis In Idem. Sehingga perbuatan dalam perkara a quo
tidak dapat di lakukan penuntutan kembali.
2. Legal Standing PT. Sawitri Agro Lestari sebagai Pelapor Tindak Pidana
Penggelapan Dalam Jabatan.

Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab


penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar.

3. Terdapat Pertanggung Jawaban dari Terdakwa dengan mengganti seluruh


Kerugian yang di Dakwakan sehingga Perbuatan Penggelapan yang di
Dakwakan dianggap selesai

Anda mungkin juga menyukai