Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Membahas tentang pelanggaran HAM yang banyak dibicarakan


salah satunya pelanggaran HAM pada UU cipta kerja. Undang –
undang cipta kerja atau undang – undang nomor 11 tahun 2020
tentang cipta kerja (disingkat UU Ciptaker atau UU CK) adalah UU
yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI
dan diundangkan pada 2 November 2020 dengan tujuan untuk
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing
dan dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan
untuk izin usaha dan membebaskan tanah. Karena memiliki
panjang 1.187 halaman dan mencakup banyak sektor, UU ini juga
disebut sebagai undang – undang sapu jagat atau omnibus law.
UU cipta kerja sendiri di ciptakan dengan harapan mampu
menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas – luasnya di tengah
persaingan kompetitif terhadap tuntutan globalisasi ekonomi.

Tetapi UU cipta kerja ini menuai kritik karena dikhawatirkan akan


menguntungkan pemilik perusahan (terutama perusahaan asing),
konglomerat , kapitalis, investor (terutama investor asing) dan
merugikan hak – hak pekerja serta meningkatkan deforterasi di
Indonesia dengan mengurangi perlindungan lingkungan. Hal ini
juga dinilai banyak merugikan buruh, nelayan, dan kelompok
masyarakat lainnya, lebih banyak melayani kepentingan korporasi,
hingga melahirkan hiper regulasi semu. Pembuatan UU tersebut
pun banyak yang tidak sesuai dengan dengan mekanisme
pembentukan perundang-undangan. Walau telah disahkan DPR,
masih terdapat cacat dalam proses perundangan berupa
perubahan isi materi UU yang dapat berimplikasi pada hukum
pidana. Undang – undang cipta kerja telah dinyatakan
“inkonstitusional bersyarat” oleh Mahkama Konstitusi, di mana
undang – undang tersebut harus diperbaiki hingga maksimal 25
November 2023.
Sehingga hal tersebut juga dapat dikatakan pelanggaran HAM
yang tertulis dalam UU No. 39 Tahun 1999, hak asasi manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. HAM meliputi hak asasi pribadi, hak asasi ekonomi, hak
asasi politik, hak asasi sosial dan kebudayaan, hak asasi untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan, serta hak asasi manusia untuk mendapatkan
perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan. Sedangakan UU
cipta kerja sendiri adalah undang – undang yang di ciptakan
dengan mengesampingka.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah:
1) Apa yang dimaksud UU Cipta Kerja?
2) Apa yang dimaksud pelanggaran HAM?
3) Apa yang merupakan kasus Omnibus Law?

1.3 Tujuan Pembuatan Laporan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1) Untuk mengetahui apa itu UU cipta kerja.
2) Untuk mengetahui alasan pembuatannya.
3) Untuk mengetahui masalah yang terjadi.
4) Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihannya.
5) Untuk msnyelesaikan tugas PP yang diberikan Bapak/Ibu Guru.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kasus Omnibus Law


Pengesahan Rancangan UU Omnibus Law Cipta Kerja jadi sorotan banyak
kalangan. Poin-poin dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini pun siap untuk
diundangkan.

Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan


Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, meski dalam
proses pembahasan antara pemerintah dengan parlemen diiringi protes. Pun
setelah disahkan oleh dewan.

Meski sudah disahkan oleh Anggota Dewan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja
ini harus melewati serangkaian proses untuk benar-benar menjadi Undang-
Undang.

Alurnya, ketika RUU disetujui DPR dan wakil pemerintah, selanjutnya


diserahkan ke presiden untuk dibubuhkan tanda tangan dan terdapat keterangan
pengesahan serta diundangkan dalam lembaga negara.

Jika RUU tersebut tidak ditandatangani oleh presiden dalam kurun waktu paling
lama 30 hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, maka RUU tersebut sah
menjadi UU dan wajib diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Kemenkum-HAM).

Pengertian ‘Omnibus Law’

Omnibus Law adalah sebuah konsep yang menggabungkan secara resmi


(amandemen) beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu bentuk
undang-undang baru.

Ini dilakukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi dan memangkas masalah
dalam birokrasi, yang dinilai menghambat pelaksanaan dari kebijakan yang
diperlukan.

Konsep omnibus law atau juga dikenal dengan omnibus bill sendiri umumnya
digunakan di negara yang menganut sistem common law, seperti Amerika
Serikat dalam membuat regulasi.

Jadi, UU Omnibus Law Cipta Kerja artinya UU baru yang menggabungkan


regulasi dan memangkas beberapa pasal dari undang-undang sebelumnya
termasuk pasal tentang ketenagakerjaan menjadi peraturan perundang-undangan
yang lebih sederhana.

Dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, maka UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) tidak berlaku lagi.

Isi UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

UU Cipta kerja ini terdiri atas 11 klaster pembahasan dengan beberapa poin di
dalamnya, di antaranya:

 Penyederhanaan perizinan berusaha


 Persyaratan investasi
 Ketenagakerjaan
 Kemudahan dan perlindungan UMKM
 Kemudahan berusaha
 Dukungan riset dan inovasi
 Administrasi pemerintahan
 Pengenaan sanksi
 Pengadaan lahan
 Investasi dan proyek pemerintahan
 Kawasan ekonomi

Poin-Poin UU Omnibus Law Cipta Kerja

Jika disandingkan dengan undang-undang pendahulunya, pada UU Cipta Kerja


ini ada beberapa perbedaan terkait kebijakan ketenagakerjaan.

Ada perubahan dan penghapusan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU
13/2003.

Berikut poin-poin perubahan pada UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU


Ketenagakerjaan 13/2003:

a. Jam Kerja/Hari Libur


Poin terkait jam kerja atau hari libur dalam UU baru ini adalah:
1. Jam Kerja
Waktu kerja lembur menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Pada UU
sebelumnya, disebutkan waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari
dan 14 jam per minggu.

2. Hari Libur Mingguan


Hari libur bekerja atau istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja. Artinya,
dalam seminggu hari kerja sebanyak 6 hari itu liburnya 1 hari.

Ini berbeda dengan UU 13/2003 yang mencantumkan bahwa istirahat mingguan


sesuai Pasal 79 ayat (2) huruf b ada 2 pilihan, yakni istirahat mingguan 1 hari
untuk 6 hari kerja dalam satu minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam satu
minggu.

3. Istirahat Panjang
Tidak ada kewajiban bagi perusahaan atas pemberian istirahat panjang. Jadi,
hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama
6 tahun secara terus menerus yang selama ini berlaku di UU sebelumnya itu
diserahkan sebagai kewenangan perusahaan.

4. Cuti Haid
Tidak tercantum cuti haid bagi perempuan di hari pertama dan kedua. Belum
bisa dipastikan apakah pasal terkait cuti haid diubah atau dihilangkan, Dalam
Pasal 81 UU 13/2003 diatur bahwa pekerja/buruh wanita wajib mendapat cuti
selama masa haid dan dibayar upah.

5. Cuti Hamil-Melahirkan
Tidak tercantum mengenai cuti hamil dan melahirkan. Belum bisa dipastikan
apakah pasal terkait cuti hamil-melahirkan diubah atau dihilangkan. Pada UU
sebelumnya Pasal 82, diatur mekanisme cuti hamil melahirkan bagi pekerja
perempuan. Di dalamnya termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh
perempuan yang mengalami keguguran.

6. Hak Menyusui
Tidak tercantum mengenai hak menyusui. Belum bisa dipastikan apakah pasal
terkait hak menyusui diubah atau dihilangkan. Sebelumnya dalam Pasal 83 UU
23/2003 diatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu
harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus
dilakukan selama waktu kerja.
b. Status Pekerja/Karyawan

Pasal mengenai PKWT yang ada di UU Ketenagakerjaan dihapus. Tidak ada


ketentuan yang mengatur tentang syarat Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) atau
pekerja kontrak. Artinya, tidak ada batasan aturan pekerja bisa dikontrak alias
status kontrak tanpa batas.

Pasal dalam UU 13/2003 yang dihapus ini adalah Pasal 59, yang mengatur
perjanjian PKWT terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu
boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. Jika mengacu pada
penjelasan Pasal 59 ini, artinya masa kontrak pekerja maksimal 3 tahun, dan
setelah itu dilakukan pengangkatan atau tidak dilanjutkan.

C. Upah
Sementara itu aturan mengenai pengupahan diubah menjadi 7 kebijakan,
di antaranya:

1. Upah minimum
2. Struktur dan skala upah
3. Upah kerja lembur
4. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan
tertentu
5. Bentuk dan cara pembayaran upah
6. Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah
7. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban
lainnya

Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan disebutkan ada


11 kebijakan pengupahan. 4 ketentuan terkait pengupahan pada UU
13/2003 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja ini adalah:

1. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya


2. Upah untuk pembayaran pesangon
3. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan
4. Denda dan potongan upah

1. Upah Satuan Hasil dan Waktu


Dalam UU Cipta Kerja ini, diatur mengenai upah satuan hasil dan waktu.
Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu
seperti harian, mingguan atau bulanan. Ini termasuk juga upah per jam.
Upah satuan hasil ini ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang
telah disepakati.

2. Upah Minimum
Di UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, upah minimum disebutkan hanya
berupa Upah Minimum Provinsi (UMP). Artinya, Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota
(UMSK) tidak digunakan lagi. Sehingga penentuan upah minimum
berdasarkan provinsi atau gaji UMP.

3. Rumus Penghitungan Upah Minimum


Dalam menghitung besar upah minimum, dalam UU Cipta Kerja
digunakan rumus:

UMt + 1 = UMt + (UMt) x % PEt)

Keterangan:

 UMt: Upah minimum tahun berjalan


 PEt: Pertumbuhan ekonomi tahunan
 Tidak memasukkan perhitungan inflasi, tetapi menjadi pertumbuhan
ekonomi daerah

Rumus penghitungan upah minimum dalam UU 13/2003 adalah:

UMt + {UMt, x (INFLASIt + % Δ PBDt)}

Keterangan:

 UMt: Upah minimum yang ditetapkan


 UMt: Upah minimum tahun berjalan
 INFLASIt: Inflasi tahunan
 Δ PDBt: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahunan

4. Bonus
Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja diatur mengenai pemberian bonus,
atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai masa kerjanya.

Sementara itu dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya tidak diatur terkait


dengan pemberian bonus ini.
d. Pesangon
Berikut beberapa poin mengenai pesangon dalam UU Omnibus Law Cipta
Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan:

1. Uang Penggantian Hak


Tidak ada uang penggantian hak dalam UU Cipta Kerja. Sebelumnya,
dalam UU Ketenagakerjaan mengenai uang penggantian hak ini diatur
dalam Pasal 154 ayat (4).

2. Uang Penghargaan Masa Kerja


Tidak ada uang penghargaan masa kerja 24 tahun dalam UU Omnibus
Law Cipta Kerja ini. Sebelumnya, dalam UU 13/2003 ini terkait
pemberian uang penghargaan bagi pekerja/buruh yang memiliki masa
kerja 24 tahun atau lebih menerima uang penghargaan sebanyak 10 bulan
upah, yang tercantum dalam Pasal 156 ayat (3).

3. Uang Pesangon
Terkait pesangon dalam UU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat
peringatan
2. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena
peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan
3. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena
perusahaan merugi 2 tahun dan pailit.
4. Tidak ada uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga
jika pekerja/buruh meninggal
5. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan
memasuki usia pensiun.

Sedangkan aturan mengenai uang pesangon dalam UU Ketenagakerjaan


13/2003 sebagai berikut:

1. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena


melakukan pelanggaran setelah diberi surat peringatan yang diatur dalam
perjanjian kerja, perjanjian perusahaan atau perjanjian kerja sama (diatur
dalam Pasal 161).
2. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena
perubahan status atau penggabungan perusahaan maupun perubahan
kepemilikan perusahaan, sebesar 1 kali gaji, uang penghargaan masa kerja
1 kali, uang penggantian hak (diatur dalam Pasal 156).
3. Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan
merugi dan pailit (sesuai Pasal 164 dan 165)
4. Pemberian uang santunan pada ahli waris atau keluarga pekerja jika
pekerja/buruh meninggal dunia.
5. Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki
usia pensiun. Pesangon diberikan sebanyak 2 kali, uang penghargaan masa
kerja 1 kali dan uang penggantian hak (sesuai Pasal 156 dan 167).

e. Jaminan Sosial
Pengaturan mengenai jaminan sosial dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja
dan UU 13/2003 diantaranya:

1. Jaminan Pensiun
Tidak ada sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan
pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan diatur bagi perusahaan yang


tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun
akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling
lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling
banyak Rp500.000.000.

2. Jaminan Kehilangan Pekerjaan


Adanya pengaturan program jaminan sosial baru, yaitu Jaminan
Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan
perusahaan berdasarkan prinsip asuransi sosial.

Jaminan kehilangan pekerjaan ini sebelumnya tidak diatur dalam UU


13/2003.

f. PHK
Berikut perbedaan ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
yang diatur dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 dibanding UU
Ketenagakerjaan ini.

Boleh Melakukan PHK


Dalam UU 13/2003, ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK,
diantaranya:
1. Perusahaan bangkrut
2. Perusahaan tutup karena merugi
3. Perubahan status perusahaan
4. Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
5. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
6. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
7. Pekerja/buruh mengundurkan diri
8. Pekerja/buruh meninggal dunia
9. Pekerja/buruh mangkir

Sementara itu, pada UU Omnibus Law Cipta Kerja ini bertambah 5 poin
lagi, sehingga totalnya menjadi 14 alasan yang memperbolehkan
perusahaan melakukan PHK, yaitu:

A. Perusahaan melakukan efisiensi


B. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan perusahaan

1. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang


2. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
3. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah
melampaui batas 12 bulan

Itulah poin-poin dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 yang perlu
diketahui dan dipahami, baik pekerja pada umumnya, maupun secara
khusus bagi Anda yang bekerja di bagian pengelolaan Sumber Daya
Manusia (SDM) atau Human Resources (HR) dalam perusahaan.

MAKALAH PELANGGARAN HAM


“KASUS UU CIPTA OMNIBUSLAW”
DISUSUN OLEH :
Dewi Zalfa Rizqiya Kamila
Dhini Rizqa Hafizhah
Dzikriy Andrian Saputra
Herlina Evania
Ibnu Rhasya Prasetyo R
Indi Rosita
Vira Rahmayanti

Pengertian ‘Omnibus Law’...................................................3


Isi UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja...............................4
Poin-Poin UU Omnibus Law Cipta Kerja...................................4
a. Jam Kerja/Hari Libur..................................................4
b. Status Pekerja/Karyawan............................................6
C. Upah...............................................................................6
d. Pesangon........................................................................8
e. Jaminan Sosial...............................................................9
f. PHK...............................................................................10

Anda mungkin juga menyukai