Anda di halaman 1dari 3

Nama : Danang Prasetyo

NIM : 20518241022

Prodi : Pendidikan Teknik Mekatronika

Kelas : E

Tugas : Mengidentifikasi dan mengkritisi satu permasalahan aktual yg berkaitan dengan "BANGSA dan
NEGARA"

Omnibus law RUU Cipta Kerja

Omnibus law RUU Cipta Kerja telah resmi disahkan di rapat paripurna. Kesepakatan soal RUU ini diambil
dalam rapat paripurna yang digelar di gedung DPR pada tanggal 5/10/2020. Omnibus law sendiri adalah
regulasi atau Undang-Undang (UU) yang mencakup berbagai isu atau topik. Istilah ini disebut Presiden
Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pertamanya setelah dilantik menjadi presiden untuk kedua
kalinya pada Oktober 2019 silam. Jokowi menyebutkan bahwa omnibus law akan menyederhanakan kendala
regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Pemerintah juga meyakini omnibus law akan memperbaiki
ekosistem investasi dan daya saing Indonesia sehingga bisa memperkuat perekonomian nasional.

Omnibus law yang akan dibuat Pemerintah Indonesia, terdiri dari dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU
Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Dan saat ini yang telah diresmikan adalah Omnibus law RUU
Cipta Kerja.

Dalam Rapat paripurna DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus
Law Cipta Kerja yang telah disetujui 7 fraksi yang terdiri dari PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem,
PKB, PPP dan PAN, namun ada 2 fraksi yang menolak yaitu Partai Demokrat dan PKS. Disamping
itu koalisi masyararakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menolak secara
tegas dan menyatakan Mosi Tidak Percaya RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Berikut isi Omnibus Law Cipta Kerja yang menjadi sorotan :


1. Terkait upah minimum
Dalam pasal 88C draft RUU berbunyi, “Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring
pengaman.” Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum tersebut merupakan minimum
provinsi. Pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2005, penetapan upah dilakukan di
provinsi serta kabupaten/kota/ Sehingga menetapkan UMP sebagai satu-satunya acuan besar nilai
gaji.
2. Memangkas pesangon
Pemerintah akan memangkas pesangon yang diwajibkan pengusaha jika melakukan PHK
(pemutusan hubungan kerja). Nilai pesangon bagi pekerja turun karena pemerintah mengganggap
aturan yang ada pada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak implementatif.
3. Penghapusan izin atau cuti khusus
RUU Cipta kerja mengubah ketentuan cuti khusus atau izin yang tercantum dalam UU Nomor 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Penghapusan izin atau cuti khusus antara lain untuk cuti
atau tidak masuk saat haid hari pertama, keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan,
pembaptisan anak, istri melahirkan/keguguran dalam kandungan hingga adanya anggota keluarga
dalam satu rumah yang meninggal dunia.
4. Outsourcing semakin tidak jelas
Omnibus law membuat nasib pekerja alih daya atau outsourcing semakin tidak jelas karena
menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang pekerja outsourcing.
Adapun Pasal 64 UU Ketenagakerjaan berbunyi; Perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis. Pasal 65 mengatur; (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat
secara tertulis. Ayat (2) mengatur; pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebaga berikut: dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan tidak
menghambat proses produksi secara langsung.
5. Memberikan ruang bagi pengusaha mengontrak seorang pekerja tanpa batas waktu
Omnibus law cipta kerja akan memberikan ruang bagi pengusaha mengontrak seorang pekerja
atau buruh tanpa batas waktu. RUU Cipta Kerja ini menghapus ketentuan Pasal 59 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal tersebut mengatur tentang aturan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). PKWT hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun
dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Banyak Kalangan yang menolak RUU Cipta kerja ini. RUU tersebut dianggap masih belum
sempurna dan justru dapat merugikan masyarakat.

KRITIK :

Dalam Pengesahan RUU Cipta kerja terlihat mendada-ada. Dikarenakan DPR sendiri mempercepat
pelaksanaan rapat pengesahan RUU Cipta kerja ini. Dimana dalam perencanaan akan digelar pada 8 Oktober
mendatang karena alasan laju Covid-19. Tapi Rapat pengesahan ini malah dilaksanakan lebih awal ditengah
pandemic. Yang notabennya segala sesuatunya sulit didapatkan. Terutama dalam masalah ekonomi dimana-
mana. Banyak rakyat yang terkena PHK, kehilangan penghasilan, tidak bisa bekerja dll. Dan dengan
disahkannya RUU ini maka akan mempersulit keadaan di masa saat ini mau pun di masa mendatang. Dari
pasal-pasal yang dibuat dapat merugikan rakyat khususnya buruh. Tapi bisa membuat pihak perusahaan
bertambah wewenangnya dan hak para pekerja/burupun jadi terambil.. Para pekerja/Buruh dirugikan dengan
beberapa hal diantaranya adanya potensi terkena PHK lebih besar dengan tidak adanya uang
pesangon/pesangon dikurangi. Tidak hanya itu izin/cuti juga dipangkas. Jadi wajar apabila para buruh
melaksanakan aksi demonstrasi. Selain itu dalam alurnya rapat pihak yang menolak (Fraksi Partai Demokrat)
Omnibus Law seolah tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat bahkan menurut suatu kabar
micnya di mute. Sehingga dalam rapat tersebut terjadi debat antara kubu yang menolak (Fraksi Partai
Demokrat) dengan pimpinan rapat hingga terjadi walk out dari pihak penolak RUU Cipta kerja.

Pengesahan RUU Cipta kerja ini seolah-olah dengan adanya covid-19 ini, hanya sebagai tameng untuk
mengelabui rakyat saja. Massa serikat buruh yang semula akan menggelar aksi juga disekat di daerah masing-
masing. Upaya menggelar demo juga dilarang dengan alasan masih dalam situasi pandemi virus corona.
Direncanakan bahwa Buruh bakal menggelar mogok nasional selama tiga hari berturut-turut. Jadi dengan
adanya Covid-19 ini membuat keuntungan bagi DPR dan Pemerintah.

Dalam Pengesahan RUU Cipta kerja ini tidak terdapat asas Demokratis. Dimana Pengesahan Omnibus Law
RUU Cipta Kerja ini merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat,
perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang. Suara rakyat tidak didengar , bahkan penolakan
berbagai elemen masyarakat tidak ditanggapi dan tak menghambat langkah DPR dan pemerintah untuk
melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Bahkan, DPR dan pemerintah tak peduli dengan berbagai protes
kalangan masyarakat. Rapat Paripurna DPR ini pun terkesan mendadak, rahasia, dan tertutup. Dan ini tanda
kemunduran demokrasi Indonesia. Seluruh Warga Negara Indonesia menangis melihat apa yang dengan
Negeri ini dimana suara rakyat tidak didengar.

Seharusnya DPR sebagai wakil dari rakyat melaksanakan amanat rakyat. Apa yang menjadi keinginan rakyat
dan menanggapi apa yang menjadi permasalahan dalam kehidupan masyarakat. Bukan malah membuat
keputusan yang mana asalnya bukan dari rakyat dan membebani rakyat. DPR harus rela berkorban demi
rakyat bukan malah mengorbankan rakyat kecil. Dalam Demokrasi pemerintah Indonesia saat ini harus
dibenahi.

REFERENSI :

https://www.suara.com/news/2020/10/05/213315/omnibus-law-cipta-kerja-arti-dan-isi-omnibus-law-yang-
rugikan-pekerja?page=3

Anda mungkin juga menyukai