Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

HUKUM KETENAGAKERJAAN

Oleh :

YOSUAALEXANDER NAPITUPULU

1909155562

KELAS G
HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KERJA DALAM
PERSPEKTIF ATURAN CIPTA KERJA

A. PENDAHULUAN

Masalah jumlah pengangguran yang bergerak naik mendorong pe merintah


untuk menanggulangi persoalan dengan membentuk Un dang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Menurut Menteri/Kepala
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa,
saat ini jumlah pengangguran di Indonesia sudah naik sekitar 3,7 juta orang
akibat pandemi COVID-19. Dengan tambahan tersebut, potensi jumlah
penganggur Indonesia bisa menjadi 10,58 juta orang. Peme rintah optimistis
bahwa UU Cipta Kerja nantinya akan mampu me ningkatkan iklim investasi di
Indonesia dan membuat banyak peru sahaan mengalihkan investasinya ke
Indonesia. Sejak awal pembahasan, klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta
Kerja sangat menyita perhatian publik. Presiden Joko Widodo dan Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani per nah bersepakat untuk
menunda pembahasan materi mengenai klaster ketenagakerjaan agar dibahas di
akhir persidangan DPR.2 Konstelasi penolakan UU sedikit berubah setelah
pertemuan bebe rapa perwakilan serikat pekerja dan Panitia Kerja (Panja)
Rancang an UU Cipta Kerja pada Agustus 2020. Dalam pertemuan itu, se rikat
pekerja bersama perwakilan Panja RUU Cipta Kerja menyepa kati beberapa hal
yang rencananya akan diadopsi dalam Daftar In ventarisasi Masalah (DIM)
RUU Cipta Kerja.

B. PEMBAHASAN

2.1 Tenaga Kerja Asing

UU Cipta Kerja menghapus kewajiban bagi pemberi kerja yang mempekerjakan


tenaga kerja asing untuk memperoleh izin dari menteri atau pejabat yang
ditunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Ketenagakerjaan. Istilah
tenaga kerja asing ditujukan bagi warga negara asing pemegang visa yang
bekerja di Indonesia.7 Ber dasarkan pengaturan baru dalam UU Cipta Kerja,
pemberi kerja cukup memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(RPTKA) yang disahkan oleh pemerintah pusat. Sebelumnya, UU
Ketenagakerjaan mengatur bahwa pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja
asing ditentukan dalam Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja (IMTA).Kelima,
alih daya. Syahdan menyebut poin penting UU Cipta Kerja terkait alih daya
yakni menghapus perbedaan mekanisme pemborongan pekerjaan dan penyedia
jasa tenaga kerja dalam UU Ketenagakerjaan. Pelindungan buruh, upah, dan
kesejahteraan, syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan
sekurang-kurangnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan
menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.UU Cipta Kerja juga menghapus
pembatasan jabatan tertentu bagi tenaga kerja asing. Sebelumnya, Pasal 46 UU
Ketenagakerjaan melarang tenaga kerja asing untuk menduduki jabatan tertentu
yang diatur dengan keputusan menteri. Lampiran Keputusan Menteri
Ketenagakerjaan Nomor 349 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang
Dilarang Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing menguraikan 18 jabatan, yang
paling banyak adalah terkait personalia. Berdasarkan UU Cipta Kerja, pemberi
kerja juga tidak lagi diwajibkan untuk memulangkan tenaga kerja asing ke
negara asal setelah hubungan kerja berakhir. Selain itu, UU Cipta Kerja
mengubah ketentuan Pasal 42 UU Ketenagakerjaan mengenai kewajiban bagi
pemberi kerja yang mem pekerjakan tenaga kerja asing untuk memiliki izin
tertulis dari Men teri atau pejabat yang ditunjuk. Dalam aturan baru, pemberi
kerja hanya cukup memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang
disahkan Pemerintah Pusat. Pertanyaannya, apakah pemerintah mampu
menjamin dengan melonggarkan

aturan bagi tenaga kerja asing tidak akan berdampak pada pengurangan
penyerapan tenaga kerja dalam negeri?

Kemudian, pertanyaan berikutnya adalah bagaimanakah peran pemerintah


dalam peningkatan kompetensi tenaga kerja dalam ne geri yang bekerja bersama
tenaga kerja asing sementara kewajiban alih teknologi dan alih keahlian
dihapuskan? Padahal, UU Ketena gakerjaan mengatur penggunaan tenaga kerja
asing secara selektif dengan maksud untuk mendayagunakan tenaga kerja
Indonesia se cara optimal melalui alih teknologi.8 Namun, UU Cipta Kerja
meng ubah ketentuan Pasal 45 UU Ketenagakerjaan dengan menghapus kan
kewajiban menunjuk tenaga kerja lokal sebagai tenaga pendamping untuk alih
teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing yang menduduki jabatan
tertentu. Ketentuan teknis lebih lanjutnya mengenai tenaga kerja asing belum
diketahui, mengingat materi tentang tenaga kerja asing lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Pe merintah sebagaimana tercantum dalam revisi Pasal 49 UU
Ketenagakerjaan yang diubah dalam pasal 81 UU Cipta Kerja. Dengan
penghapusan kewajiban alih teknologi dan alih keahli an tersebut artinya perlu
merevisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan
Tenaga Kerja Asing. Dalam Perpres tersebut, Pemerintah memberi kemudahan
bagi investor atau pelaku industri yang memang membutuhkan Tenaga Kerja
Asing (TKA) untuk sektor tertentu. Pemberi kerja yang mempeker jakan TKA
wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga kerja pendamping bagi
tenaga asing yang menjalankan peran seba gai berikut:

1. Menduduki jabatan selain direksi dan komisaris; 2. Melaksanakan pendidikan


dan pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan
yang diduduki oleh TKA, dan

3. Memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bahasa Indonesia kepada (TKA)

Pasal 27 Perpres tersebut menyebutkan bahwa penunjukan tenaga kerja


Indonesia sebagai pendamping dilaksanakan untuk alih tek nologi dan alih
keahlian. Selain itu, pemberi kerja wajib untuk me laporkan pelaksanaan
penggunaan tenaga kerja asing setiap tahun kepada menteri, yang meliputi
laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping.

Penghapusan kewajiban alih teknologi dan alih keahlian akan berdampak pada
pelindungan tenaga kerja Indonesia. Utamanya, mereka yang bekerja di
perusahaan multinasional yang mempekerjakan tenaga kerja asing yang masih
belum mendapatkan manfaat dari kebijakan tersebut secara optimal.9
Berdasarkan The Global Competitiveness Report 2018-2019, Indonesia dinilai
rendah atau tergolong terbatas untuk kompetensi inovasi di bidang teknologi,
sehingga alih teknologi masih harus terus diupayakan. Dalam kaji annya terkait
alih teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai perlu
adanya peninjauan kembali peraturan alih teknologi, khususnya dalam
penetapan jangka waktu pendamping an.Selain itu, perlu dilakukan upaya
penguatan kesepakatan atau negosiasi dengan perusahaan Penanaman Modal
Asing (PMA) untuk mendorong pelaksanaan alih teknologi melalui skema pen
dampingan dan pendidikan/pelatihan. Optimalisasi pengawasan pusat yang
bersinergi dengan pengawas di daerah untuk pemantauan implementasi kegiatan
pendampingan dan pendidikan/pelatih an alih teknologi,

2.2 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

UU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU Ketenagakerjaan tentang Perjanjian


Kerja Waktu Tertentu (PKWT). PKWT adalah perjanji an kerja antara pekerja
dengan pengusaha atau perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk jenis pekerjaan tertentu. PKWT juga mengatur
kedudukan atau jabatan, gaji atau upah pekerja, tunjangan, serta fasilitas pekerja
dan hal-hal lain yang bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi.
Perusahaan hanya bisa melakukan PKWT maksimum dua tahun dan ha nya
boleh perpanjangan satu kali untuk jangka waktu maksimum satu tahun. Setelah
itu, perusahaan wajib mengangkat pekerja se bagai karyawan tetap jika ingin
terus mempekerjakannya. Dalam praktiknya, penyelundupan hukum berupa
pelanggaran batas waktu PKWT sering terjadi. Praktik lain, setelah kontrak
selesai, pekerja melamar lagi pada perusahaan yang sama.11 UU Cipta Kerja
tidak lagi mengatur batasan waktu bagi ske ma kontrak kerja berdasarkan waktu
tertentu. Pemerintah menilai, pengaturan batasan maksimal PKWT selama tiga
tahun dalam UU Ketenagakerjaan tidak fleksibel dan memberatkan dunia
usaha.12 Ada materi yang disisipkan dalam Pasal 61A tentang kewajiban
kompensasi dari pengusaha ketika jangka waktu PKWT berakhir. Pengusaha
memberikan kompensasi pada pekerja dengan masa kerja minimal satu tahun di
perusahaan yang bersangkutan. Detail mengenai mekanisme kompensasi ini
baru akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
pelaksana UU Cipta Kerja. Pertanyaan yang belum terjawab dengan ketentuan
ini misal nya ketidakjelasan sumber pendanaan, apakah nantinya kompensasi
ini bersumber dari iuran wajib yang dibayar oleh pengusaha seperti praktik
yang diberlakukan oleh perusahaan minyak dan gas atau melalui mekanisme
lain.

2.3 Ahli Daya (Outsourcing)


Pasal 66 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerjaan alih daya dibatasi
hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan penunjang. Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No. 27/ PUU-IX/2011, MK memutuskan bahwa
alih daya merupakan suatu hal yang wajar dalam rangka efisiensi usaha dan
perusahaan yang mengontrak pekerja dengan sistem alih daya harus
menggunakan skema PKWTT untuk melindungi hak-hak mereka. Berdasarkan
Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, jenis pekerjaan alih daya adalah jenis pekerjaan
yang bukan menjadi bisnis utama, se perti pelayanan kebersihan (cleaning
service), penyediaan makanan bagi pekerja (catering), tenaga pengaman
(security), usaha penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha
penyediaan angkut. an pekerja. Namun dalam revisinya, Pasal 66 UU Cipta
Kerja tidak lagi mencantumkan batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dila
rang dilakukan oleh pekerja alih daya. Artinya, UU Cipta Kerja memberi
peluang bagi perusahaan alih daya untuk mempekerjakan pekerja untuk
berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu. Hal ini
berpotensi membuat penggunaan tenaga alih daya semakin tidak terkontrol jika
tidak ada regulasi turunan dari UU Cipta Kerja untuk mengatur lebih lanjut.

UU Cipta Kerja juga menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan


yang mengatur perjanjian pemborongan pekerjaan karena pemerintah tidak
ingin masuk ke dalam ranah perjanjian bisnis atau perdata. Pemerintah hanya
mengatur soal pelindungan pekerja dari perjanjian kerja yang menempatkan
pekerja pada posisi rentan ketika dihadapkan pada pemberi kerja. Sehingga
apabila merefleksikan ke hubungan kerja perusahaan alih daya dengan
pekerjanya; maka bisa menggunakan PKWT atau PKWTT sehingga membuka
peluang untuk mengangkat pekerja alih daya menjadi pekerja tetap. Untuk itu,
terdapat syarat bahwa perusahaan alih daya wajib berbadan hukum dan
memenuhi perizinan berusaha yang akan diatur kemudian dengan Peraturan
Pemerintah. UU Cipta Kerja juga mewajibkan perusahaan memberi kompensasi
kepada pekerjanya jika PKWT berakhir, paling sedikit masa kerja satu tahun
yang besarannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2.4 Waktu Kerja


Pasal 77 UU Ketenagakerjaan membatasi waktu kerja 40 jam dalam satu
minggu dengan opsi 7 jam sehari untuk 6 hari kerja atau 8 jam kerja sehari
untuk 5 hari kerja, dengan pengecualian bagi sektor usaha atau pekerjaan
tertentu yang diatur dengan Keputusan Men teri. UU Cipta Kerja kemudian
merevisi pasal 77 tersebut dan mengatur bahwa ketentuan waktu kerja dapat
dikecualikan bagi pekerja di sektor usaha tertentu, dengan pengaturan waktu
kerja yang dise pakati dalam perjanjian kerja, atau diatur lebih lanjut melalui per
aturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dengan mengacu ke Peraturan
Pemerintah. Selain itu, Pasal 81 angka 21 dan 22 UU Cipta Kerja mengubah
sejumlah aturan waktu kerja lembur dalam UU Ketenagakerjaan. Sebelumnya,
Pasal 78 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa waktu kerja lembur hanya
dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam sehari dan 14 jam dalam seminggu.
UU Cipta Kerja menambah waktu lembur menjadi 4 jam sehari dan 18 jam
seminggu. Pengusa ha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja harus
men dapatkan persetujuan dengan pekerja bersangkutan. Dengan de mikian,
waktu kerja keseluruhan bagi pekerja bisa mencapai 58 jam alam seminggu.

2.5 Pengupahan

UU Cipta Kerja menghapus, mengubah dan memperkenalkan peng aturan baru


mengenai pengupahan. Jika dalam UU Ketenagakerja an hanya dikenal jenis
upah minimum, maka dalam pasal 88B UU Cipta Kerja terdapat konsep
pengupahan dengan satuan waktu dan hasil berdasarkan jam. Menteri
Ketenagakerjaan Ida Fauziyah men jelaskan, aturan baru tersebut bertujuan
mengakomodasi kebutuhan sektor usaha yang membutuhkan fleksibilitas skema
pemberian upah tenaga kerja yang belum ada dasar hukumnya di Indonesia.21
Ketentuan upah per jam harus diikuti dengan persyaratan yang sangat ketat
karena berpotensi potensi eksploitasi dari pemberi ker ja sangat besar. Model
pekerjaan dengan mekanisme pengupahan berdasarkan jam dengan dasar
hukum Peraturan Pemerintah juga berpotensi tidak melibatkan partisipasi
pemangku kepentingan se cara berimbang. Masih berhubungan dengan upah,
UU Cipta Kerja juga meru muskan pengaturan baru terkait upah minimum.
Dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan berdasarkan
upah sektoral serta upah di tingkat provinsi dan upah di tingkat kabupa ten/kota
yang diarahkan pada pencapaian kelayakan hidup. Dalam pasal itu, upah
minimum provinsi

2.6 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Sebelumnya UU Ketenagakerjaan hanya memperbolehkan perusa haan


melakukan PHK dengan alasan bangkrut, tutup karena meru gi, perubahan status
perusahaan, pekerja melanggar perjanjian ker ja, pekerja melakukan kesalahan
berat, pekerja memasuki usia pen siun, pekerja mengundurkan diri, pekerja
meninggal dunia, serta pekerja mangkir. Namun pasal 154A (1) (b) UU Cipta
Kerja me nambahkan satu alasan untuk PHK bagi pekerja yaitu efisiensi per
usahaan. Perusahaan hanya bisa memilih jalan PHK apabila perusahaan tersebut
tutup permanen. Dengan kata lain, perusahaan yang hanya tutup sementara
tidak boleh memecat pegawainya. Namun, UU Cipta Kerja menyatakan
perusahaan dapat melakukan PHK dengan alasan efisiensi, baik yang diikuti
dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan
yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian. Padahal, Mahkamah
Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan No 19/PUU-IX/2011 yang me
nyatakan alasan efisiensi saja tidak dapat dijadikan alasan PHK.

2.7 Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

UU Cipta Kerja menambah program jaminan sosial baru yakni Jaminan


Kehilangan Pekerjaan dalam pasal 18 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional
sebagaimana direvisi dalam pasal 81 UU Cipta Ker ja. Jaminan ini dikelola oleh
BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan kepada
pekerja/buruh yang menjadi korban PHK dengan besaran 6 bulan upah. Dalam
program Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini, Pemerintah Pusat membayarkan
iuran anggota; berbeda dengan jaminan sosial lain seperti BPJS Kesehat

an misalnya yang beban pembayarannya jatuh ke masing-masing peserta


asuransi. Meski inisiatif jaminan ini patut dihargai oleh publik, namun
mengingat penerapannya sangat bergantung pada peraturan pelaksana yang
kelak mengatur; langkah berikutnya ada

lah mengawal perumusan dan implementasi program jaminan ter baru ini.

Hal lain yang perlu dicermati juga adalah tentang besaran upah, Jika dilihat dari
rumusan pasal 46D UU Cipta Kerja, besaran 6 bu lan upah tersebut bukan hanya
berbentuk uang tunai tetapi juga da pat berupa akses informasi pasar kerja, dan
pelatihan kerja. Ini ber arti, komponen jaminan kehilangan pekerjaan yang
merupakan ba gian dari pesangon tidak semuanya berupa uang tunai; tapi bisa
juga

dikonversikan dalam bentuk lainnya. Dengan memberikan uang tu ang,


sebetulnya memberikan keleluasaan bagi penerimanya untuk menggunakan
sesuai kebutuhan.

Penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengi kutsertakan


pekerjanya dalam program pensiun sebagaimana sebe lumnya diatur dalam pasal
184 UU Ketenagakerjaan juga merupa kan satu hal yang patut disayangkan dari
UU Cipta Kerja. Ketentu an pidana dalam UU Ketenagakerjaan harusnya
dipandang sebagai bentuk pelindungan untuk pemenuhan hak-hak
pekerja/buruh.

C. KESIMPULAN

Kebijakan dasar dalam hukum ketenagakerjaan adalah memberikan


pelindungan kepada pihak yang rentan yaitu pekerja/buruh. Ama nat dari Pasal
27 (2) dan Pasal 28D (2) UUD 1945 menjamin bah wa hak untuk bekerja dan
mendapatkan imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja merupakan hak asasi yang konstitusional. Keberadaan peraturan
perundang-undangan Ke tenagakerjaan dimaksudkan untuk menyeimbangkan
posisi tawar yang terdapat dalam hubungan kerja antara pekerja dengan
pengusaha.
DAFTAR PUSTAKA
Estu Dyah Arifianti dan Nabila, 2020, Kertas Advokasi Kebijakan atas UU
Cipta Kerja

Lanny Ramli, 2008, Hukum Ketenagakerjaan

Agusmidah, 2010, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan

Lanny Ramli, 2008, Hukum Ketenagakerjaan

Devi Rahayu, 2019, Buku Ajar Hukum Ketengakerjaan

Zaeni Asyhadie dan Rahmawati Kusuma, 2019, Hukum Ketenagakerjaan

Muhammad Azhar, 2015, Hukum Ketenagakerjaan

Endah Pujiastuti, 2008, Penagantar Hukum Ketenagakerjaan

Muhammad Sadi dan Sobandi, 2020, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia

Dalinama Telaumbanua, 2019, Hukum Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai