Anda di halaman 1dari 7

MEMBEDAH UNDANG - UNDANG CIPTA KERJA KOMPARASI DENGAN

UNDANG - UNDANG KETENAGAKERJAAN

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan


Dosen Pengampu : Dr. Devi Rahayu, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh:

Syafiil Anam (190111100215)

Joan Charlotte Angelie (190111100216)

Chusnul Chotimah (190111100228)

Abdus Somad (190111100165)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN
2020
Membedah Undang-Undang Cipta Kerja Komparasi Dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan

No. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Undang-Undang Cipta Kerja


1. Tidak mengatur terkait perlindungan Mengatur perlindungan buruh
buruh/pekerja setelah di PHK melalui Program Jaminan
Kehilangan Pekerjaan, diatur di
dalam Pasal 46A-46E
2. Tenaga Kerja Asing wajib mendapatkan Tenaga Kerja Asing hanya cukup
izin tertulis dari menteri atau pejabat yang memiliki Rencana Penggunaan
ditunjuk, sesuai dengan Pasal 42 ayat (1) Tenaga Kerja Asing (RPTKA),
Sesuai Pasal 42 ayat (1)
3. Tercantumnya ketentuan mengenai PKWT Menghapus ketentuan Pasal 59
melalui Pasal 59 UU Ketenagakerjaan mengenai
PKWT
4. Sistem kerja alih daya (outsourcing) Tidak terbatasnya sistem kerja alih
dibatasi, sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) daya (outsourcing), sehingga dapat
bekerja diberbagai sektor
5. Menyertakan tenaga kerja kepada jaminan Menghapus ketentuan sanksi
sosial yang mana jika tidak disertakan, pidana kepada pengusaha yang
maka wajib membayar pesangon melanggar terkait jaminan sosial
6. Pesangon pekerja/buruh bisa didapatkan Pesangon pekerja/buruh
dengan paling sedikit 32 kali upah didapatkan dengan paling banyak
19 kali upah
Poin 1
Perlu diketahui bersama, bahwa terkait dengan adanya Omnibus Law Undang-
Undang Cipta Kerja sejak awal perancangannya bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada seluruh tenaga kerja di berbagai perusahaan di Indonesia. Maka
dari itu, Pemerintah melalui UU Cipta Kerja ini mencantumkan hal-hal yang sekiranya
menjadi hak untuk para pekerja dalam menjalankan pekerjaannya, salah satunya
dengan dicantumkannya Pasal 46A sampai Pasal 46E di dalam UU Cipta Kerja. Pasal
tersebut berbunyi sebagai berikut :
Pasal 46A
(1) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak
mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan.
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara
jaminan sosial ketenagakerjaan dan Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan jaminan
kehilangan pekerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 46B
(1) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial.
(2) Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan untuk mempertahankan
derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan pekerjaan.
Pasal 46C
Peserta Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah setiap orang yang telah
membayar iuran.
Pasal 46D
(1) Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi
pasar kerja, dan pelatihan kerja.
(2) Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh peserta setelah
mempunyai masa kepesertaan tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 46E
(1) Sumber pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan berasal dari:
a. modal awal pemerintah;
b. rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau
c. dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan keberadaan pasal-pasal tersebut, memberikan pembaruan di dalam
perubahan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, dimana berbanding terbalik
dengan UU Ketenagakerjaan yang tidak memberikan kepastian terhadap buruh atau
pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja.

Poin 2

Keberadaan pasal yang dimaksud dalam poin pertama tersebut tidak serta merta
membuat UU Cipta Kerja ini tanpa masalah. Terbukti dengan adanya pasal terkait
penggunaan Tenaga Kerja Asing. Di dalam pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan,
terdapat ketentuan bahwa seluruh Tenaga Kerja Asing harus memiliki izin tertulis dari
Menteri atau pejabat yang berwenang. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tercantum
sesuai dengan Pasal 42 ayat (1) yang berbunyi :

“Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki
izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.”
Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang telah tercantum di dalam UU
Cipta Kerja pada Pasal 42 ayat (1) yang berbunyi :
“Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki
rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah
Pusat.”
Pasal ini akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003, dimana seluruh Tenaga Kerja Asing harus mendapatkan ijin tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun
2018, bahwa Tenaga Kerja Asing harus mendapatkan ijin seperti Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (Imta) atau
Vitas. Pengesahan Omnibus Law akan mempernudah perizinan TKA karena
perusahaan yang menggunakan TKA hanya perlu RPTKA saja.

Pasal ini bisa mengancam eksistensi tenaga kerja lokal karena sudah tidak ada
lagi screening terhadap mereka. Dikhawatirkan nantinya, semua sektor bisa dimasuki
Tenaga Kerja Asing. Padahal idealnya berdasarkan UU Ketenagakerjaan, TKA hanya
bisa diisi untuk bidang tertentu sebagai tenaga ahli sebagai bagian dari sebuah
transformasi teknologi.

Poin 3

Selanjutnya perbedaan yang perlu digaris bawahi adalah dihapusnya ketentuan


yang ada didalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT), dimana di dalam pasal tersebut mengatur ketentuan kapan pekerja
dapat diberlakukan sebagai tenaga kerja yang memiliki kontrak, sehingga nantinya
ketika masa kontrak sudah habis, maka selanjutnya perusahaan harus menentukan
apakah pekerja itu tetap dipekerjakan atau tidak dilanjutkan. Jika dipekerjakan kembali,
maka perusahaan wajib memperkejakan sebagai pekerja tetap. Pasal tersebut berbunyi
diantaranya :

“(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau


diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya
boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun. (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu
tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu
tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga
puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan
paling lama 2 (dua) tahun.”
Sementara itu, ketentuan tersebut di dalam UU Cipta Kerja dihapus. Tidak ada
pasal yang menyebutkan rentang waktu untuk PKWT. Hal tersebut membuat seolah-
olah PKWT dapat dikontrak seumur hidup. Dnegan demikian, keberadaan UU Cipta
Kerja dapat berdampak buruk kepada hak-hak pekerja seperti pesangon, dimana dalam
hal ini pesangon hanya dikhususkan untuk pekerja tetap. Sementara pekerja kontrak
tidak mendapatkan haknya. Penghasilan pekerja kontrak juga berbeda dengan pekerja
tetap. Pekerja kontrak juga dapat di PHK dengan mudah. Oleh karenanya, setelah
disahkannya UU Cipta Kerja ini dapat mengurangi kesejahteraan pekerja yang dalam
hal ini banyak diisi oleh para buruh.
Poin 4
Pasal yang juga menjadi perhatian di dalam UU Cipta Kerja adalah terkait
dengan adanya sistem kerja outsourcing, dimana di dalam Pasal 66 UU Cipta Kerja
tidak ada ketentuan yang berbunyi terkait dengan pembatasan lembaga outsourcing,
sehingga UU Cipta Kerja akan membuka kemungkinan bagi lembaga outsourcing untuk
mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh
waktu. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas.
Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang telah ada di dalam UU
Ketenagakerjaan pada Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi :
“Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi”
Dengan demikian, aturan UU Ketenagakerjaan terkait penggunaan outsourcing
dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok. Kemudian timbul adanya
kekhawatiran jika memang ketentuan di dalam UU Cipta Kerja benar-benar terjadi,
maka berbagai sektor produksi dapat diisi oleh outsourcing.
Poin 5
Kemudian perbedaan yang perlu dikaji kembali adalah dihapusnya ketentuan
sanksi pidana kepada pengusaha yang melanggar ketentuan yang telah tercantum di UU
Ketenagakerjaan, dimana ketentuan yang dihapus tersebut di UU Ketenagakerjaan
berada di Pasal 184 yang berbunyi :
“Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167
ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).”
Sementara di Pasal 167 ayat (5) berbunyi :
“Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).”
Namun kemudian ketentuan mengenai sanksi tersebut di dalam UU Cipta Kerja
dihapus dan tidak ada lagi sanksi bagi pengusaha yang tidak menyertakan pekerja ke
dalam jaminan sosial.
Hal tersebut menambah kekhawatiran akan adanya kesewenangan yang
dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh dimana buruh akan mengalami
pengurangan hak-hak, sementara pengusaha dibiarkan untuk tidak memenuhi hak-hak
buruh, ditunjukkan dengan tidak adanya sanksi pidana terhadap pengusaha.
Poin 6
Kemudian yang menjadi sorotan adalah terkait dengan pesangon yang wajib
dikeluarkan oleh perusahaan kepada pekerja/buruh, dimana di dalam ketentuan UU
Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (2) yang berbunyi :
“Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling
sedikit sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2
(dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan)bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.”
Sementara itu, di dalam UU Cipta Kerja, Pemerintah mengganti frasa “paling
sedikit”, menjadi “paling banyak”. Hal ini tertuang di dalam Pasal 156 ayat (2) yang
berbunyi :
“Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak
sesuai ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2
(dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.”
Pergantian frasa di dalam pasal tersebut juga berdampak kepada pengurangan
pesangon yang didapatkan, yang sebelumnya pesangon didapatkan hingga 32 kali upah,
namun di dalam UU Cipta Kerja dikurangi menjadi 19 kali upah. Hal ini jelas masih
terdapat pasal yang bisa mengurangi hak pekerja/buruh. Tidak menutup kemungkinan,
keberadaan pasal ini mampu berdampak buruk pada tingkat kesejahteraan buruh.
Terlebih dengan ketentuan-ketentuan UU Cipta Kerja yang cenderung menguntungkan
pihak pengusaha.

Anda mungkin juga menyukai