Anda di halaman 1dari 4

Nama : Raihan Maulana

Kelas : A

Nim : 202010110311033

Hukum Ketenagakerjaan

Perbedaan Isi Undang-undang Ketenagakerjaan dengan Undang-undang Cipta Kerja/


Ombinus Law

A. WAKTU ISTIRAHAT DAN CUTI


1) Istirahat Mingguan
Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan: "Istirahat mingguan 1
(satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2(dua) hari untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu."
Sementara dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 79 ayat (2) huruf b tersebut mengalami perubahan
di mana aturan 5 hari kerja itu dihapus, sehingga berbunyi: istirahat mingguan 1 hari untuk 6
hari kerja dalam 1 minggu.
2) Istirahat Panjang
Dalam Pasal 79 Ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja berhak atas
istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan
kedelapan masing masing satu bulan jika telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus
pada perusahaan yang sama.
Ketentuannya: pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2
tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun. Namun
dalam RUU Cipta Kerja regulasi terkait hak cuti panjang tersebut tak diatur melainkan
menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau diatur melalui perjanjian kerja sama yang
disepakati.
B. UPAH
1) Upah satuan hasil dan waktu
Undang-undang Ketenagakerjaan tidak mengatur upah satuan hasil dan waktu. Sementara,
dalam RUU Ciptaker, upah satuan hasil dan waktu diatur dalam Pasal 88 B. Dalam ayat (2)
pasal 88 B tersebut juga dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai upah satuan hasil
dan waktu diatur dalam peraturan pemerintah (pp).

2) Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota


Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan di tingkat provinsi,
kabupaten/kotamadya, dan sektoral diatur lewat Pasal 89 dan diarahkan pada pencapaian
kelayakan hidup. Dalam pasal tersebut, upah minimum provinsi ditetapkan Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Sedangkan penghitungan komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup
layak diatur dengan Keputusan Menteri.
Namun, Omnibus Law Ciptaker menghapus pasal tersebut dan menggantinya menjadi
Pasal 88 C. Dalam pasal pengganti tersebut upah sektoral dihapuskan sedangkan penetapan
upah minimum provinsi diatur dan ditetapkan gubernur berdasarkan kondisi ekonomi dan
ketenagakerjaan dengan syarat tertentu. Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang diatur
dalam Pasal 88 C didasarkan pada data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di
bidang statistik. Sementara, syarat tertentu yang dimaksud meliputi pertumbuhan ekonomi
daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum tersebut diatur
dalam peraturan pemerintah. Yang tak berubah adalah upah minimum kabupaten/kota tetap
harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Di samping itu, Omnibus Law Ciptaker juga
mencantumkan pasal baru, yakni Pasal 90 B yang mengecualikan ketentuan upah minimum
untuk UMKM. Upah pekerja UMKM diatur berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan
pemberian kerja sedangkan tata cara lebih lanjut pengaturan upah pekerja untuk UMKM
diatur lebih lanjut lewat pp.
C. UANG PENGGANTIAN HAK

Dalam UU Ketenagakerjaan, Uang Penggantian Hak diatur dalam pasal 156 ayat (4). Dalam
RUU Ciptaker, ketentuan uang penggantian hak yang wajib dibayarkan pengusaha sebagai
pesangon karyawan di-PHK berkurang.
Dalam UU Ketenagakerjaan, uang penggantian hak terdiri dari uang pengganti cuti tahunan
yang belum diambil dan belum gugur; uang pengganti biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana diterima bekerja; dan uang penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
Namun dalam Pasal 156 ayat (4) bagian Ketenagakerjaan Omnibus Law Cipta Kerja, hanya
ada dua jenis uang penggantian hak yang diwajibkan kepada pengusaha, yakni uang pengganti
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur serta biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana mereka diterima bekerja.
Di luar itu uang penggantian hak yang wajib diberikan kepada buruh masuk ke dalam
kategori "hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
D. JAMINAN SOSIAL
1) Jaminan Pensiun
UU Ketenagakerjaan Pasal 167 ayat (5) menyatakan bahwa pengusaha yang tak
mengikutsertakan pekerja yang terkena PHK karena usia pensiun pada program pensiun
wajib memberikan uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan
uang penggantian hak. Jika hal tersebut tak dilakukan, maka pengusaha dapat terkena sanksi
pidana.
Namun RUU Ciptaker menghapus ketentuan sanksi pidana bagi perusahaan tersebut, yakni
pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan "Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun."
2) Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Dalam Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menambahkan program jaminan sosial baru yaitu
Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan
prinsip asuransi sosial. Hal ini tercantum dalam Pasal 82 RUU Cipta Kerja.
E. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
Dalam UU Ketenagakerjaan perusahaan boleh melakukan PHK dengan 9 alasan yang
meliputi: perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status perusahaan,
pekerja melanggar perjanjian kerja, pekerja melakukan kesalahan berat, pekerja memasuki usia
pensiun, pekerja mengundurkan diri, pekerja meninggal dunia, serta pekerja mangkir. Dalam
Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menambah poin alasan perusahaan boleh melakukan PHK
dalam Pasal 154 A.
Beberapa alasan tersebut di antaranya: perusahaan melakukan efisiensi; perusahaan
melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan; dan perusahaan dalam
keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Kemudian, perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja; pekerja mengalami
sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya
setelah melampaui batas 12 bulan; pekerja buruh memasuki usia pensiun; dan pekerja
meninggal.
F. STATUS KERJA
Pasal 56 UU Ketenagakerjaan mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap
pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1
tahun. Sementara dalam Omnibus Law Ciptaker, ketentuan Pasal 59 itu dihapus. Dengan
penghapusan pasal ini, tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya bisa
saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup.
G. JAM KERJA
Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14
jam per minggu. Sedangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja waktu kerja lembur diperpanjang
menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.
H. TENAGA KERJA ASING

Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Ciptaker mengubah dan menghapus sejumlah aturan tentang
pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Contohnya, dalam UU
Ciptaker pemerintah menghapuskan kewajiban izin tertulis bagi pengusaha yang ingin
mempekerjakan TKA. Sebagai gantinya, pengusaha hanya diwajibkan memiliki rencana
penggunaan TKA.

Anda mungkin juga menyukai