Kelas : A
Nim : 202010110311033
Hukum Ketenagakerjaan
Dalam UU Ketenagakerjaan, Uang Penggantian Hak diatur dalam pasal 156 ayat (4). Dalam
RUU Ciptaker, ketentuan uang penggantian hak yang wajib dibayarkan pengusaha sebagai
pesangon karyawan di-PHK berkurang.
Dalam UU Ketenagakerjaan, uang penggantian hak terdiri dari uang pengganti cuti tahunan
yang belum diambil dan belum gugur; uang pengganti biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana diterima bekerja; dan uang penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
Namun dalam Pasal 156 ayat (4) bagian Ketenagakerjaan Omnibus Law Cipta Kerja, hanya
ada dua jenis uang penggantian hak yang diwajibkan kepada pengusaha, yakni uang pengganti
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur serta biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana mereka diterima bekerja.
Di luar itu uang penggantian hak yang wajib diberikan kepada buruh masuk ke dalam
kategori "hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
D. JAMINAN SOSIAL
1) Jaminan Pensiun
UU Ketenagakerjaan Pasal 167 ayat (5) menyatakan bahwa pengusaha yang tak
mengikutsertakan pekerja yang terkena PHK karena usia pensiun pada program pensiun
wajib memberikan uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan
uang penggantian hak. Jika hal tersebut tak dilakukan, maka pengusaha dapat terkena sanksi
pidana.
Namun RUU Ciptaker menghapus ketentuan sanksi pidana bagi perusahaan tersebut, yakni
pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan "Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun."
2) Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Dalam Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menambahkan program jaminan sosial baru yaitu
Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan
prinsip asuransi sosial. Hal ini tercantum dalam Pasal 82 RUU Cipta Kerja.
E. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
Dalam UU Ketenagakerjaan perusahaan boleh melakukan PHK dengan 9 alasan yang
meliputi: perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi, perubahan status perusahaan,
pekerja melanggar perjanjian kerja, pekerja melakukan kesalahan berat, pekerja memasuki usia
pensiun, pekerja mengundurkan diri, pekerja meninggal dunia, serta pekerja mangkir. Dalam
Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menambah poin alasan perusahaan boleh melakukan PHK
dalam Pasal 154 A.
Beberapa alasan tersebut di antaranya: perusahaan melakukan efisiensi; perusahaan
melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan; dan perusahaan dalam
keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Kemudian, perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja; pekerja mengalami
sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya
setelah melampaui batas 12 bulan; pekerja buruh memasuki usia pensiun; dan pekerja
meninggal.
F. STATUS KERJA
Pasal 56 UU Ketenagakerjaan mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap
pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1
tahun. Sementara dalam Omnibus Law Ciptaker, ketentuan Pasal 59 itu dihapus. Dengan
penghapusan pasal ini, tidak ada batasan aturan seseorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya bisa
saja pekerja tersebut menjadi pekerja kontrak seumur hidup.
G. JAM KERJA
Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14
jam per minggu. Sedangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja waktu kerja lembur diperpanjang
menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.
H. TENAGA KERJA ASING
Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Ciptaker mengubah dan menghapus sejumlah aturan tentang
pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Contohnya, dalam UU
Ciptaker pemerintah menghapuskan kewajiban izin tertulis bagi pengusaha yang ingin
mempekerjakan TKA. Sebagai gantinya, pengusaha hanya diwajibkan memiliki rencana
penggunaan TKA.