Anda di halaman 1dari 41

Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan

UU NO. NOMOR 12 TAHUN 2011


TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
Asas Peraturan Perundangan

• Dasar peraturan perundang-undangan selalu peraturan perundang-undangan.


• Peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hanya dapat dihapus, dicabut, atau diubah oleh peraturan
perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi.
• Peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama.
• Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah.
• Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang
bersifat umum.
Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan dan
Jaminan Sosial Bagi tenaga Kerja
• UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
• UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
• UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS
• UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
• UU Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh
• PP Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
• PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan PHK
• PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan
• UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
• UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
• PP Nomor 45 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun
• PP Nomor 37 Tahun 2021 Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan
• Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 Tentang THR Keagamaan Bagi Buruh/Pekerja di Perusahaan
• Permenaker Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Alat Pelindung Diri
• dll
Pasal dalam UU 13 Tahun 2003 yang dihapus

• Ps 46,48,64,65 (Pengaturan tentang TKA)


• Ps 89,90,91,97,97 (Pengupahan)
• Ps 152,154,155,158,159, 161-172 (PHK & Pesangon)
• 184 (sanksi Administrastif) atas pelanggaran ps 167
• Pengaturan lebih lanjut diatur dalam PP
NORMA KERJA DAN SYARAT KERJA
• Hak dan kewajiban antara Pengusaha dan Pekerja yang telah diatur dalam undang-undang
dinamakan normatif (norma kerja), sedangkan syarat kerja  meliputi hak dan kewajiban
yang belum diatur dalam undang-undang dan memang perlu diatur dalam hubungan kerja
(karena tidak mungkin semua hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja diatur
detail dalam undang-undang).

Hak dan kewajiban yang sifatnya normatif (norma kerja) misalnya mengenai Upah
Minimum, mengenai lembur, mengenai waktu istirahat, dll.

Hak dan kewajiban yang sifatnya syarat kerja misalnya pengaturan mengenai pakaian
kerja, pengaturan mengenai jam masuk kerja, pengaturan mengenia waktu hari libur dll.
UPAH,LEMBUR,JAM KERJA DAN ISTIRAHAT

Upah adalah hak Pekerja/Buruh yang diterima dan, dinyatakan dalam


bentuk uang sebagai imbalan dari Pengusaha atau pemberi kerja kepada
Pekerja/Buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
Perjanjian Kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
(PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan)
Pasal 6 PP 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan
(1) Kebijakan pengupahan ditujukan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dalam bentuk:
a. Upah; dan
b. pendapatan non-Upah.

Pasal 7
(2) Upah terdiri atas komponen:
a. Upah tanpa tunjangan;
b. Upah pokok dan tunjangan tetap;
c. Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap; atau
d. Upah pokok dan tunjangan tidak tetap.
(3) Dalam hal komponen Upah terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, besarnya Upah pokok paling sedikit 75%.(tujuh puluh lima persen) dari jumlah
Upah pokok dan tunjangan tetap.
(3) Dalam hal komponen Upah terdiri atas Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh
lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap.
(4) Komponen Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan digunakan ditetapkan dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
(5) Persentase besaran Upah pokok dalam komponen Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) untuk jabatan atau pekerjaan tertentu, dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 8
(1) Pendapatan non-Upah berupa tunjangan hari raya keagamaan.
(2) Selain tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1, Pengusaha dapat memberikan pendapatan non-Upah berupa:
a. insentif;
b. bonus;
c. uang pengganti fasilitas kerja; dan/atau
d. uang servis pada usaha tertentu
Pasal 14
Upah ditetapkan berdasarkan:
a. satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil.
Pasal 15
Upah berdasarkan satuan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a
ditetapkan secara:
a. per jam;
b. harian; atau
c. bulanan.
• Pasal 16
(1) Penetapan Upah per jam hanya dapat diperuntukkan bagi Pekerja/Buruh yang bekerja secara
paruh waktu.
(2) Upah per jam dibayarkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh.
(3) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh lebih rendah dari hasil perhitungan
formula Upah per jam.
(4) Formula perhitungan Upah per jam sebagai berikut:
Upah per jam = Upah sebulan / 126
(5) Angka penyebut dalam formula perhitungan Upah per jam dapat dilakukan peninjauan apabila
terjadi
perubahan median jam kerja Pekerja/Buruh paruh waktu secara signifikan.
(6) Peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dan ditetapkan hasilnya oleh Menteri
dengan
mempertimbangkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh dewan pengupahan nasional.
Pasal 17
Dalam hal Upah ditetapkan secara harian, perhitungan Upah sehari sebagai berikut:
a. bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 25 (dua
puluh lima); atau
b. bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 21 (dua
puluh satu).
Pasal 18
(1) Upah berdasarkan satuan hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b ditetapkan sesuai dengan
hasil pekerjaan yang telah disepakati.
(2) Penetapan besarnya Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengusaha berdasarkan
hasil kesepakatan antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha.
Pasal 19
Penetapan Upah sebulan berdasarkan satuan hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b untuk
pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, ditetapkan berdasarkan Upah rata-rata 12
(dua belas) bulan terakhir yang diterima oleh Pekerja/Buruh
Pasal 40
(1). Upah tidak dibayar apabila Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan
pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dan Pengusaha wajib
membayar Upah jika Pekerja/Buruh:
a. berhalangan;
b. melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
c. menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya; atau
d. bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi Pengusaha tidak
mempekerjakannya
karena kesalahan Pengusaha sendiri atau kendala yang seharusnya dapat dihindari Pengusah
(3) Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
berhalangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. Pekerja/Buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. Pekerja/Buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan; atau
c. Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja karena:
1. menikah;
2. menikahkan anaknya;
3. mengkhitankan anaknya;
4. membaptiskan anaknya;
5. istri melahirkan atau keguguran kandungan;
6. suami, istri, orang tua, mertua, anak, dan/atau menantu meninggal dunia; atau
7. anggota keluarga selain sebagaimana dimaksud pada angka 6 yang tinggal dalam 1 (satu)
rumah meninggal dunia.
• (4) Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
melakukan
kegiatan lain di luar pekerjaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. menjalankan kewajiban terhadap negara;
b. menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya;
c. melaksanakan tugas Serikat Pekerja/Serikat Buruh atas persetujuan Pengusaha dan dapat
dibuktikan dengan adanya pemberitahuan tertulis; atau
d. melaksanakan tugas pendidikan dan/atau pelatihan dari Perusahaan.
(5) Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena
menjalankan hak
waktu istirahat atau cutinya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c apabila
Pekerja/Buruh
melaksanakan:
a. hak istirahat mingguan;
b. cuti tahunan;
c. istirahat panjang;
d. istirahat sebelum dan sesudah melahirkan; atau
e. istirahat karena mengalami keguguran kandungan.
Pasal 58
(1) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah terdiri atas:
a. denda;
b. ganti rugi;
c. pemotongan Upah;
d. uang muka Upah; •
e. sewa rumah dan/atau sewa barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha
kepadaPekerja/Buruh;
f. utang atau cicilan utang Pekerja/Buruh; dan/atau
g. kelebihan pembayaran Upah.
(2) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 63
(1) Pemotongan Upah oleh Pengusaha dapat dilakukan
untuk pembayaran:
a. denda;
b. ganti rugi;
c. uang muka Upah;
d. sewa rumah dan/atau sewa barang milik Perusahaan
yang disewakan oleh Pengusaha kepada
Pekerja/Buruh;
e. utang atau cicilan utang Pekerja/Buruh; dan/atau
f. kelebihan pembayaran Upah.
(2) Pemotongan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan sesuai
dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau
Perjanjian Kerja Bersama.
(3) Pemotongan upah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dan huruf e harus dilakukan berdasarkan
kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis.
19/42
(4) Pemotongan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf f dilakukan tanpa persetujuan
Pekerja/Buruh.
Pasal 64
Pasal 64
(1) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pihak ketiga
hanya dapat dilakukan berdasarkan surat kuasa
dari Pekerja/Buruh.
(2) Surat kuasa setiap saat dapat ditarik kembali.
(3) Surat kuasa dari Pekerja/Buruh dikecualikan untuk
semua kewajiban pembayaran oleh Pekerja/Buruh
terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada badan
yang menyelenggarakan jaminan sosial yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 65
Jumlah keseluruhan pemotongan Upah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 63 paling banyak 50% (lima puluh
persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima
Pekerja/Buruh.
JAM KERJA, ISTIRAHAT DAN LEMBUR
Pasal 21 ( PP Nomor 35 Tahun 2021)
(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.8 (delapan )jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) Jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha
atau pekerjaan tertentu.
(4) Pelaksanaan jam kerja bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan diatur dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasa 22
Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh pada waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) wajib memberi waktu istirahat mingguan kepada Pekerja/ Buruh meliputi:
a. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Waktu Kerja Lembur
Pasal 26
(1) Waktu Kerja Lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu)
hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Ketentuan Waktu Kerja Lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk
kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi.
Pasal 27
(1) Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2l ayat (2), wajib membayar Upah Kerja Lembur.
(2) Kewajiban membayar Upah Kerja Lembur dikecualikan bagi Pekerja/Buruh dalam golongan
jabatan tertentu.
(3) Pekerja/Buruh dalam golongan jabatan tertentu mempunyai tanggung jawab sebagai pemikir,
perencana, pelaksana, dan latau pengendali jalannya Perusahaan dengan waktu kerja tidak dapat
dibatasi dan mendapat Upah lebih tinggi.
(4) Pengaturan golongan jabatan tertentu diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian Kerja Bersama.
(5) Apabila golongan jabatan tertentu tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan,
atau Perjanjian Kerja Bersama maka Pengusaha wajib membayar Upah Kerja Lembur.
Pasal 31
(1) Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2l ayat (2) wajib membayar Upah Kerja Lembur dengan ketentuan:
a. untuk jaM kerja lembur pertama sebesar 1,5 (satu koma lima) kali Upah sejam; dan
b. untuk setiap ja- kerja lembur berikutnya, sebesar 2 (dua) kali Upah sejam.
(2) Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
membayar Upah Kerja Lembur, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau
hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, dengan
ketentuan:
a. perhitungan Upah Kerja Lembur dilaksanakan
sebagai berikut:
1. jam pertama sampai dengan jam ketujuh, dibayar 2 (dua) kali Upah sejam;
2. jam kedelapan, dibayar 3 (tiga) kali Upah sejam; dan
3. jam kesembilan, jam kesepuluh, dan jam kesebelas, dibayar 4 (empat) kali Upah sejam;

b. jika hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, perhitungan Upah Kerja Lembur dilaksanakan
sebagai berikut:
1. jaM pertama sampai dengan jam kelima, dibayar 2 (dua) kali Upah sejam;
2. jam keenam, dibayar 3 (tiga) kali Upah sejam; dan
3. jam ketujuh, ja- kedelapan, dan jam kesembilan, dibayar 4 (empat) kali Upah
sejam
(3) Perusahaan yang mempekerjakan Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib membayar Upah Kerja Lembur, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat
mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat
puluh) jam seminggu, dengan ketentuan perhitungan Upah Kerja Lembur dilaksanakan
sebagai berikut:
a. jam pertama sampai dengan jam kedelapan, dibayar 2 (dua) kali Upah sejam;
b. jam kesembilan, dibayar 3 (tiga) kali Upah sejam; dan
c. jam kesepuluh, jam kesebelas, dan jam kedua belas, dibayar 4 (empat) kali Upah
sejam.
Pasal 32
(1) Perhitungan Upah Kerja Lembur didasarkan pada Upah bulanan.
(2) Cara menghitung Upah sejam yaitu I ll73 (satu per seratus tujuh puluh tiga) kali Upah sebulan.
(3) Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan
Upah Kerja Lembur 100 %(seratus persen) dari Upah.
(4) Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok,tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap,
apabila Upah pokok ditambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75 % (tujuh puluh lima persen)
keseluruhan Upah maka dasar perhitungan Upah Kerja Lembur sama dengan 75% (tujuh puluh lima
persen) dari keseluruhan Upah.
Pasal 33
(1) Dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayar secara harian maka penghitungan besarnya Upah sebulan
dilaksanakan dengan ketentuan :
a. Upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima), bagi Pekerja/Buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu; atau
b. Upah sehari dikalikan 21 (dua puluh satu), bagi Pekerja/Buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu.
(2) Dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, Upah sebulan sama
dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.
(3) Dalam hal Upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 lebih rendah dari Upah minimum maka
Upah sebulan yang digunakan untuk dasar penghitungan Upah Kerja Lembur yaitu Upah minimum yang
berlaku di wilayah tempat Pekerja/Buruh bekerja.
Pasal 34
(1) Dalam hal Perusahaan telah melaksanakan pembayaran Upah Kerja Lembur dengan sebutan
lain dan nilai perhitungan Upah Kerja Lembur sama dengan atau lebih baik maka perhitungan
Upah Kerja Lembur tetap berlaku.
(2) Upah Kerja Lembur dengan sebutan lain dan nilai perhitungannya yang telah dilaksanakan
oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Upah Kerja Lembur sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Pelaksanaan pembayaran Upah Kerja Lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (21 diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
UU NOMOR 2 TAHUN 2004
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL (PHI)

Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang


mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
JENIS/MACAM PERSELISIHAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
PERSELISIHAN
KEPENTINGAN PERSELISIHAN ANTAR
(PERBEDAAN PENDAPAT SERIKAT BURUH
DALAM PEMBUATAN DAN/ DALAN SATU
PERUBAHAN SYARAT PERUSAHAAN
KERJA DALAM
SPK,PP,PKB)

PERSELISIHAN HAK
(TIMBUL KARENA TIDAK PERSELISIHAN PHK
DIPENUHINYA HAK (PERBEDAAN PENDAPAT
NORMATIF AKIBAT TERKAIT PHK)
PERBEDAAN PENAFSIRAN
KETENTUAN/PERATURAN
YANG ADA)
MEDIASI Hubungan Industrial
yang selanjutnya disebut mediasi
adalah penyelesaian perselisihan ARBITRASE Hubungan Industrial yang
hak, perselisihan kepentingan, selanjutnya disebut arbitrase adalah
perselisihan pemutusan hubungan penyelesaian suatu perselisihan kepentingan,
kerja, dan perselisihan antar dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
serikat pekerja/serikat buruh buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar
hanya dalam satu perusahaan Pengadilan Hubungan Industrial melalui
melalui musyawarah yang kesepakatan tertulis dari para pihak yang
ditengahi oleh seorang atau lebih berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
mediator yang netral perselisihan kepada arbiter yang putusannya
KONSILIASI Hubungan mengikat para pihak dan bersifat final
Industrial yang selanjutnya
disebut konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau
perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih konsiliator
yang netral
MEDIATOR KONSILIATOR ARBITER
PERAN MEMBANTU MEMBANTU MENYELESAIKAN
MENYELESAIKAN MENYELESAIKAN SENGKETA
SENGKETA DAN SENGKETA DAN DENGAN
MENGELUARKAN MENGELUARKAN MEMUTUS (FINAL)
ANJURAN ANJURAN
TERTULIS JIKA TERTULIS JIKA
KESEPAKATAN KESEPAKATAN
TIDAK TERCAPAI TIDAK TERCAPAI
SIFAT PASIF AKTIF AKTIF
KEKUATAN TIDAK MENGIKAT TIDAK MENGIKAT MENGIKAT
HUKUM
PERKARA PERSELISIHAN PERSELISIHAN PERSELISIHAN
HAK, KEPENTINGAN, KEPENTINGAN
KEPENTINGAN, PHK, ANTAR DAN ANTAR
PHK, ANTAR SERIKAT PEKERJA SERIKAT PEKERJA
SERIKAT PEKERJA
TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
BIPARTIT
Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau
PERMOHONAN
serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial EKSEKUSI (JIKA
(Mak. 30 HK sejak dimulai perundingan) PERJANJIAN
BERSAMA TIDAK
DILAKSANAKAN)
GAGAL
(TRIPARTIT) RISALAH SEPAKAT
Melibatkan PERUNDINGAN
DIDAFTARKAN KE
pihak ke 3
PENGADILAN UTK
MENDAPATKAN AKTA
LAPOR/CATAT KE PERJANJIAN BUKTI PENDAFTARAN
DISNAKER BERSAMA
MELAMPIRKAN
BUKTI TELAH
DILAKUKAN
PERUNDINGAN
SEPAKAT (BUAT SETUJU ISI ANJURAN (BUAT
PERJANJIAN PERJANJIAN BERSAMA DAN
BERSAMA DIDAFTARKAN KE
DAFTARKAN KE PENGADILAN) MAK 3 HK SEJAK
KONSILIASI ARBITASE ANJURAN DISETUJUI
PENGADILAN)

TIDAK SEPAKAT
SIDANG MEDIASI (7 HK
MEDIATOR
setelah mediator MENGELUARKAN TIDAK SETUJU
MEDIASI mendapatkan ANJURAN TERTULIS (AJUKAN GUGATAN
pelimpahan MAK 10 HK KE PENGADILAN)
penyelesaian DISAMPAIKAN KPD
perselisihan PARA PIHAK
TK PERTAMA PENGADILAN HUBUNGAN TK PERTAMA &
UNTUK INDUSTRIAL di PN TERAKHIR UNTUK
NILAI GUGATAN
PERSELISIHAN PERSELISIHAN
DIBAWAH 150 JT UU No. 2 Tahun 2004 KASASI KE MA
BEBAS BIAYA HAK,PHK,KEPENTI ANTAR SERIKAT
PERKARA NGAN Penyelesaiaan Perselisihan
BURUH
Hubungah Industrial

Pasal 58 Pasal 85
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, (1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya
pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk sebelum tergugat memberikan jawaban.
biaya eksekusi yang nilai gugatannya di bawah Rp (2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu,
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh
Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat

Pasal 82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja Pasal 86
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang- Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan, dapat diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka
diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu
diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.
pengusaha.
Pasal 93
(1) Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang
Pasal 83 tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, Ketua Majelis Hakim
(1) Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah menetapkan hari sidang berikutnya.
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim (2) Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal
kepada pengugat. penundaan.
(3) Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu atau para pihak
diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal 94
(1) Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak
datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya
dianggap gugur, akan tetapi penggugat berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
(2) Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak
datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim
dapat memeriksa dan memutus perselisihan tanpa dihadiri tergugat.

Pasal 96
(1) Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua
Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya
yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan
kedua.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak juga
dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan
Industrial.
(4) Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan
perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Alur Beracara PHI
POSITA
(URAIAN/DALI
L DASAR
TUNTUTAN)

JAWABAN REPLIK DUPLIK


GUGATAN (PENGGUGAT) PEMBUKTIAN
(TERGUGAT) (TERGUGAT)

PETITUM
(TUNTUTAN
YANG KASASI KE MAHKAMAH
DIMINTAKAN
KPD HAKIM)
AGUNG (PERSELISIHAN PUTUSAN
HAK,PHK,KEPENTINGAN)
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
UU Nomor 21 Tahun 2000

Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,


oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh dan keluarganya.
UU NO. 21 TAHUN 2000

SERIKAT BURUH FEDERASI KONFEDERASI


MINIMAL 10 PEKERJA MINIMAL 5 SERIKAT MINIMAL 3 FEDERASI
(DALAM 1 PERUSAHAN BURUH
MAKSIMAL 3 SERIKAT
BURUH)
LKS BIPARTIT

Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan


konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan industrial di satu perusahaan yang
anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/
serikat buruh yang sudah tercatat instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau
unsur pekerja/buruh

Anda mungkin juga menyukai