Anda di halaman 1dari 17

Kesimpulan Terkait Aturan Ketenagakerjaan

Aturan jam kerja di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah dalam Undang-undang. Undang-undang
yang mengatur jam kerja ini adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(UUK 13/2003).
Dalam Undang-undang tersebut, ada 2 (dua) skema jam kerja yang berlaku di perusahaan yang ada di
Indonesia, yakni:
1. 7 jam kerja dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu yang berlaku untuk 6 hari kerja dengan ketentuan
libur 1 hari;
2. 8 jam kerja dalam sehari atau 40 jam dalam satu minggu yang berlaku untuk 5 hari kerja dengan
ketentuan libur 2 hari.
Perusahaan dapat menyesuiakan aturan jam kerja yang berlaku ini sesuai dengan kebutuhan yang
ada di dalam perusahaan. Termasuk dalam hal hari libur, perusahaan bisa memberikannya di akhir pekan
ataupun di hari lainnya.
Peraturan ini pun bisa tidak berlaku bagi perusahaan usaha tertentu. Hal ini tertuang dalam PP No.35/2021
Pasal 21 Ayat (3) atau UU No.13/2013 Pasal 77 Ayat (3).
Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-233/MEN/2003 Tahun 2003
Tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan
pekerjaan-pekerjaan yang dimaksud antara lain:
1. Pekerjaan yang bergerak di pelayanan jasa kesehatan;
2. Pekerjaan yang bergerak di pelayanan jasa transporasi;
3. Pekerjaan yang bergerak di pelayanan perbaikan alat transportasi;
4. Pekerjaan yang bergerak di bidang usaha pariwisata;
5. Pekerjhaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;
6. Pekerjaan yang bergerak di bidang penyediaan tenaga listrik, pelayanan air bersih, dan penyediaan
bahan bakar minyak dan gas bumi;
7. Pekerjaan di bidang usaha swalayan, perbelanjaan, dan sejenisnya;
8. Pekerjaan yang bergerak di bidang media massa;
9. Pekerjaan yang bergerak di bidang pengamanan;
10. Lembaga konservasi;
11. Pekerjaan-pekerjaan yang jika dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak bahan, dan juga
pemeliharaan/perbaikan alat produksi.

Aturan Istirahat Kerja

Peraturan terkait istirahat kerja ini diatur dalam UUK 13/2003 Pasal 79, Ada 2 aturan jam istirahat
yang berlaku menurut Undang-undang, yakni:
1. Peraturan Istirahat di Antara Jam Kerja
Peraturan pertama terkait istirahat yang didapatkan karyawan saat bekerja adalah peraturan istirahat
di antara jam kerja. Ketika Anda sudah bekerja selama 4 jam, Anda memiliki hak untuk beristirahat
minimal selama 30 menit. Istirhat yang menjadi hak karyawan ini tidak termasuk ke dalam jam kerja.
Jadi, perhitungan 40 jam kerja dalam seminggu atau 8 jam kerja dalam sehari ini di luar jam istirahat
yang didapatkan oleh karyawan.
2. Peraturan Istirahat dalam Seminggu.
Selain peraturan istirahat antara jam kerja, peraturan jam istirahat juga berlaku dalam seminggu. Untuk
perusahaan yang menggunakan peraturan kerja 6 hari dalam satu minggu, perusahaan memberikan
hak istirahat satu hari dalam satu minggu.Sedangkan bagi perusahaan yang menggunakan peraturan 5
hari kerja, berarti perusahaan memberikan hak istirahat 2 hari dalam satu minggu. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, perusahaan bisa memberikan istirahat kerja ini di akhir pekan
atau weekend ataupun di hari lainnya.
3. Aturan Jam Kerja Shift.
Berdasarkan peraturan pemerintah, tidak ada aturan khusus yang membahas mengenai jam kerja shift.
Namun dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.KEP.233/MEN/2003 Tentang
Jenis dan Pekerjaan yang Dijalankan Terus Menerus terdapat indikasi diperbolehkannya perusahaan
menerapkan pekerjaan shift. Bahkan, dalam peraturan tersebut, perusahaan diperbolehkan
mempekerjakan karyawan pada hari libur resmi dari pemerintah. Ini berlaku bagi perusahaan yang
dijalankan terus menerus. Shift ini ditetapkan agar perusahaan tetap bisa menerapkan peraturan 40
jam kerja dalam seminggu meski perusahaan dijalan secara terus menerus. Perusahaan dapat membagi
jam kerja karyawan berdasarkan shift agar jam kerja mereka tidak melebihi 40 jam dalam satu minggu.
4. Aturan Jam Kerja Lembur.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK 13/2003) pemerintah
juga menetapkan peraturan lembur karyawan. Karyawan dapat bekerja secara lembur paling banyak 3
jam dalam satu hari dan 13 jam dalam satu minggu. Atas pekerjaan lembur yang dilakukan oleh
karyawan, perusahaan wajib memberikan upah lembur sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak hanya itu,
perusahaan juga wajib memberikan perintah lembur kepada karyawan yang bersangkutan baik secara
tertulis ataupun melalui media digital. Jika perusahaan tidak memberikan perintah ini, karyawan yang
bersangkutan dapat menolak kerja lembur.
5. Aturan Cuti Karyawan.
Selain karyawan berhak mendapatkan waktu istirahat baik di antara jam kerja dan juga dalam satu
minggu, karyawan juga berhak mendapatkan cuti karyawan. Cuti ini didapatkan dengan persyaratan
yang diatur dalam Undang-undang. Pada UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 79 Ayat (2) dijelaskan bahwa
seorang pekerja berhak mendapatkan cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari dalam satu tahun.
Karyawan bisa mendapatkan cuti tahunan jika telah bekerja selama 12 bulan atau satu tahun secara
terus menerus di perusahaan tersebut.
6. Aturan Cuti Bersama.
Cuti bersama merupakan cuti yang dilakukan di hari kurang efektif, seperti di antara hari libur dan akhir
pekan, hari raya keagamaan, hingga hari besar nasional. Ketika karyawan mengambil cuti bersama ini,
jatah cuti tahunan karyawan tersebut akan berkurang sesuai jumlah hari dalam cuti bersama.
7. Aturan Cuti Hamil.
Karyawati yang sedang hamil mendapatkan hak untuk mengambil cuti selama 1,5 bulan baik itu
sebelum dan sesudah melahirkan.
8. Cuti Sakit.
Bagi karyawan yang sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk bekerja, karyawan berhak
mendapatkan cuti sakit. Jumlah hari yang diberikan ketika cuti sakit ini sesuai anjuran yang diberikan
oleh dokter.
9. Aturan Cuti Haid.
Cuti haid juga menjadi bagian yang harus diperhatikan perusahaan untuk setiap karyawati. Cuti haid ini
berlaku bagi karyawati yang mengalami sakit pada awal siklus menstruasi. Berdasarkan rasa sakit ketika
menstruasi yang biasanya terjadi di 2 hari pertama, karyawati berhak mendapatkan cuti haid selama 2
hari dan upah karyawati tetap dibayar penuh sesuai UU Ketenagakerjaan Pasal 81.
10. Aturan Cuti Haji/Umrah.
Bagi karyawan yang ingin melaksanakan ibadah haji atau umrah, karyawan berhak mendapatkan cuti
haji atau umrah selama 50 hari atau berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dengan karyawan
yang bersangkutan.Berdasarkan UU Ketenagakerjaan Pasal 93 Ayat (2) perusahaan diwajibkan
membayarkan upah secara penuh ketika karyawan menjalankan ibadah haji atau umrah. Cuti ini hanya
diberikan satu kali kepada karyawan.
11. Aturan Cuti Penting Lainnya
Selain cuti-cuti yang dijelaskan di atas, terdapat cuti lainnya yang diatur dalam Pasal 93 Ayat (2) dan (4)
yakni:
a. Karyawan menikah: 3 hari;
b. Karyawan menikahkan anak: 2 hari;
c. Karyawan mengkhitkan anak: 2 hari;
d. Karyawan membaptis anak: 2 hari;
e. Istri karyawan melahirkan atau gugur kandung: 2 hari;
f. Suami/istri, orang tua/mertua, anak/menantu meninggal: 2 hari;
g. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal: 1 hari.
12. Aturan Jam Kerja Khusus
13. Tidak semua pekerjaan bisa diselesaikan sesuai ketentuan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Oleh karenanya ada aturan jam kerja khusus yang memiliki jam kerja lebih sedikit dan juga lebih banyak
dari yang sudah ditentukan oleh Undang-undang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
2021 Pasal 23, ada beberapa ciri pekerjaan yang memperbolehkan jam kerjanya kurang dari ketentuan
pemerintah, yaitu:
a. Pekerjaan dengan penyelesaian pekerjaan kurang dari 7 jam dalam satu hari dan 35 jam dalam
satu minggu;
b. Pekerjaan dengan waktu kerja yang fleksibel;
c. Pekerjaan yang boleh dilakukan di luar lokasi kerja utama.
Sedangkan untuk pekerjaan dengan jam kerja lebih dari ketentuan Undang-undang, ada beberapa
sektor yang diperbolehkan memiliki jam kerja lebih dari ketentuan pemerintah, yaitu:
a. Pekerjaan di bidang energi dan sumber daya yang ada di daerah tertentu;
b. Pekerjaan di daerah pertambangan;
c. Pekerjaan di bidang perikanan;
Aturan Pengupahan di Indonesia

Pengupahan diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”) Pasal 88-90, yang direvisi melalui Omnibus Law atau UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja.
Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu, pemerintah pusat
menetapkan kebijakan pengupahan yang meliputi:
a. upah minimum;
b. struktur dan skala upah;
c. upah kerja lembur;
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
e. bentuk dan cara pembayaran upah;
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Ketentuan rinci mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun
2021 tentang Pengupahan sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja, yang sekaligus mencabut PP Nomor 78
Tahun 2015.

Struktur dan Skala Upah


Dalam menyusun struktur dan skala upah yang digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan upah,
pengusaha perlu memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, begitu menurut Pasal 92 UU
Ketenagakerjaan yang telah direvisi Omnibus Law.
Sesuai Perpu Cipta Kerja No.2 Tahun 2022, ketentuan Pasal 92 UU Ketenagakerjaan diubah sehingga
berbunyi:
(2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah bagi
pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih.
Setelah itu, peninjauan upah dilakukan oleh pengusaha secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah dapat dilihat di
PP Pengupahan.

Kewajiban Pembayaran Upah


Ketika pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, maka upah tidak perlu dibayar. Namun, upah tetap harus
dibayarkan jika:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat
melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan,
membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau
menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap
negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari
pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, diatur untuk melaksanakan
pembayaran upah sebagaimana disebutkan di atas.
Perhitungan Upah Pokok
Jika komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok minimal
sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Sanksi
Pekerja/buruh dapat dikenai denda jika melakukan pelanggaran kesengajaan atau kelalaiannya. Sebaliknya,
jika pengusaha terlambat membayar upah, dapat pula dikenai denda sesuai dengan persentase tertentu
dari upah pekerja/buruh. Pengenaan denda dalam pembayaran upah tersebut diatur oleh Pemerintah.
Sementara itu, jika perusahaan pailit atau dibekukan karena peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh dianggap sebagai utang yang pelunasannya harus
diprioritaskan.
 Tunjangan Hari Raya
 Pemberian THR diatur oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari
Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh.
Di Perusahaan Hari Raya Keagamaan di Indonesia yang dimaksud dalam Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri untuk Pekerja beragama Islam, Hari Raya Natal untuk
Pekerja beragama Katolik dan Protestan, Hari Raya Nyepi untuk Pekerja beragama Hindu, Hari Raya Waisak
untuk Pekerja beragama Buddha, dan Hari Raya Imlek untuk Pekerja beragama Konghucu.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016, ada 6 poin penting yang perlu
diketahui tentang THR:
1. Masa Kerja Pekerja

THR wajib diberikan kepada pekerja yang telah bekerja minimal 1 bulan di perusahaan. Perhitungan untuk
pekerja dengan masa kerja kurang dari 12 bulan dan lebih dari 12 bulan berbeda. Jika pekerja dengan masa
kerja lebih dari 12 bulan mendapatkan THR sebesar upah 1 bulan, pekerja dengan masa kerja 1 bulan dan
kurang dari 12 bulan mendapatkan THR dengan perhitungan ((masa kerja)/12) x upah 1 bulan.

Definisi “upah” yang digunakan sebagai basis perhitungan THR dapat berbeda-beda sesuai dengan
kebijakan perusahaan. Namun pada dasarnya, perusahaan menggunakan salah satu besaran berikut
sebagai basis perhitungan THR:
1. Hanya gaji pokok
2. Gaji pokok dan tunjangan tetap
Berikut ini beberapa contoh perhitungan THR sebagai ilustrasi.
2. Bentuk THR
THR hanya dapat diberikan dalam bentuk uang rupiah. Dengan kata lain, pemberian THR berupa voucher,
paket sembako, parsel dan hadiah lainnya tidak dihitung sebagai THR.
3. Waktu Pemberian THR
Pemberian THR oleh perusahaan kepada pekerja wajib dilakukan selambat-lambatnya 7 hari atau seminggu
sebelum Hari Raya Keagamaan berlangsung. Sebagai contoh, apabila Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal
17 Juni 2017, maka perusahaan harus memberikan THR kepada pekerja maksimal tanggal 10 Juni 2017.
4. THR bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri
Pekerja Kontrak Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/Tetap) berhak mendapatkan THR jika pemutusan hubungan
kerja terjadi 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Sedangkan bagi Pekerja Kontrak Waktu Tidak Tertentu
(PKWT/Kontrak) tidak berhak atas aturan tersebut.
Perdebatan seringkali muncul jika terjadi kasus pemutusan hubungan kerja dalam waktu yang cukup dekat
dengan Hari Raya Keagamaan. Ada baiknya hal-hal tersebut dibahas dengan pihak manajemen serta
karyawan yang bersangkutan secara terbuka dan kekeluargaan untuk menghindari sengketa lebih lanjut.
5. Pajak THR
PPh 21 atas THR hanya dikenakan bagi pekerja yang mendapatkan THR di atas Pendapatan Tidak Kena
Pajak (PTKP), yaitu Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun.
Jika pekerja mendapatkan THR kurang dari Rp 4,5 juta, maka pekerja tersebut tidak dikenakan PPh 21 THR.
6. Sanksi Perusahaan
Sebelum adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 yang mengatur tentang THR,
perusahaan tidak dikenakan sanksi apapun jika tidak memberikan THR kepada pekerja. Namun, setelah
adanya peraturan tersebut, perusahaan akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 5% dari total THR
yang harus dibayarkan jika tidak memberikan THR kepada pekerja.
Denda yang dimaksud adalah THR yang harus dibayarkan oleh perusahaan ke pekerja ditambah dengan 5%
dari total THR yang didapatkan oleh pekerja. Sehingga, perusahaan akan lebih dirugikan secara finansial
sebagai sanksi akibat tidak memberikan THR sebagaimana peraturan pemerintah.
 Jam Kerja
 Jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari.
Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur jam kerja bagi pekerja di sektor
swasta. Sedangkan, untuk pengaturan mulai dan berakhirnya waktu jam kerja diatur sesuai dengan
kebutuhan perusahaan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama
(PKB).
Dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 77 ayat 1 mewajibkan setiap perusahaan untuk mengikuti
ketentuan jam kerja yang telah diatur dalam 2 sistem yaitu:

Kedua sistem jam kerja yang berlaku memberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1
(satu) minggu. Apabila jam kerja dalam perusahaan melebihi ketentuan tersebut, maka waktu kerja yang
melebihi ketentuan dianggap sebagai lembur, sehingga pekerja berhak atas upah lembur.
Tanya jawab waktu istirahat kerja menurut Peraturan Ketenagakerjaan terbaru bisa dilihat di sini.
 Status Karyawan
 Kontrak kerja atau perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan
dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun waktu tidak tertentu, yang memuat syarat-syarat
kerja serta hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan.
Dalam kontrak kerja, pekerja dapat mengetahui status kerja. Status kerja diatur dalam UU Cipta Kerja Bab
IV Ketenagakerjaan poin 12 hingga 16 yang merevisi Pasal 56 hingga 61 UU Ketenagakerjaan.
Status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya:
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk karyawan kontrak adalah perjanjian kerja antara pekerja
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu.
Ketentuan mengenai sifat dan jenis kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan
PKWT tidak disebutkan di Perpu Cipta Kerja, melainkan diatur dalam PP No 35/2021.
Jangka waktu PKWT paling lama menjadi 5 tahun, termasuk perpanjangan kontrak dan tidak ada masa
percobaan kerja (probation). Hubungan kerja berakhir pada saat selesainya jangka waktu kontrak atau
selesainya pekerjaan yang diperjanjikan.
b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap atau biasa disebut karyawan tetap.
Pada PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) dengan waktu paling lama 3
(tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka berdasarkan aturan hukum, sejak bulan
keempat, pekerja dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT).
Selain status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya hubungan kerja, ada juga pekerja harian lepas
(freelancer) dan pekerja alih-daya (outsourcing). Pada dasarnya, mereka termasuk pekerja PKWT, namun
agak berbeda dengan PKWT secara umum.
a. Pekerja Harian Lepas (Freelancer)
Pekerja harian lepas diatur dalam Pasal 10 PP No 35 Tahun 2021. Perjanjian kerja harian lepas merupakan
PKWT yang dilaksanakan untuk pekerjaan tertentu yang jenis dan sifat atau kegiatannya tidak tetap,
berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan, serta pembayaran upah pekerja didasarkan pada
kehadiran.
Perjanjian ini harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Apabila
pekerja bekerja 21 hari atau lebih dalam 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut, maka hubungan kerja demi
hukum berubah menjadi PKWTT dan status pekerja harian lepas berubah menjadi karyawan tetap.
b. Pekerja Alih Daya (Outsourcing)
Pekerja outsourcing adalah pekerja yang tidak direkrut secara langsung, melainkan disediakan oleh pihak
ketiga atau perusahaan penyedia tenaga kerja (alih daya). Perjanjian kerja dilakukan oleh pengusaha
dengan perusahaan alih daya berdasarkan kebutuhan penggunaan tenaga kerja untuk waktu tertentu.
Sedangkan, pekerja outsourcing merupakan karyawan dari perusahaan alih daya yang merekrut mereka.
Ketentuan outsourcing terdapat pada UU Cipta Kerja poin 20 tentang perubahan Pasal 66 UU
Ketenagakerjaan serta PP No 35 Tahun 2021.

Berdasarkan Perpu Cipta Kerja terbaru, ketentuan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan diubah, yaitu menjadi:
1. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.
2. Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Tanya jawab UU Cipta Kerja seputar Perjanjian Kerja dapat dilihat di sini.
 Cuti
 Berdasarkan Undang-undang no. 13 tahun 2003 Pasal 79 ayat (2), pekerja yang telah bekerja minimal
selama 12 bulan atau 1 (satu) tahun berturut-turut berhak untuk mendapatkan cuti sekurang-kurangnya 12
hari. Namun, perusahaan dapat menyesuaikan ketentuan cuti pekerja berdasarkan Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah disepakati oleh perusahaan dan
pekerja.
Lihat di sini untuk ulasan seputar jenis dan hak cuti karyawan menurut UU terbaru.
 Sakit
 Apabila karyawan tidak dapat melakukan pekerjaannya dikarenakan sakit, pengusaha tetap wajib
membayar upah/gajinya. Di Indonesia tidak terdapat waktu maksimal karyawan diberikan izin sakit.
Karyawan yang tidak masuk kerja karena sakit selama 2 hari berturut-turut atau lebih harus menyertakan
surat keterangan sakit dari dokter. tanpa keterangan resmi tersebut karyawan akan dianggap mangkir dan
diperhitungkan sebagai cuti tahunan.
Apabila sakit yang diderita karyawan cukup parah sehingga memerlukan waktu yang lama untuk kembali
bekerja, akan dilakukan penyesuaian terhadap upah yang diterimanya:
1. Untuk 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah,
2. Untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah,
3. Untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah,
4. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh
pengusaha.
 Peraturan Lembur
 Pengusaha wajib membayar upah kerja lembur jika mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja yang
telah ditentukan Undang-Undang. Kerja lembur harus memenuhi syarat berikut:
a. ada perintah dari pengusaha dan persetujuan dari pekerja bersangkutan secara tertulis dan/atau melalui
media digital;
b. maksimal waktu lembur 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu, tidak termasuk lembur pada
waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi.
Upah kerja lembur dihitung menggunakan upah sejam yang didasarkan pada upah bulanan. Upah sejam
yaitu 1/173 kali upah sebulan (gaji pokok dan tunjangan tetap). Berikut ini ketentuannya:
1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja maka:
a) upah 1 jam pertama dibayar 1.5 kali upah sejam;
b) untuk setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar 2 kali upah sejam.
2. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 5 hari kerja
dan 40 jam seminggu, maka:
a) untuk 8 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-9 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-10, ke-11, dan ke-12, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.
3. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 6 hari kerja
dan 40 jam seminggu, maka:
a) untuk 7 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-8 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-9, ke-10, dan ke-11, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.
Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, maka:
a) untuk 5 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-6 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-7, ke-8, dan ke-9, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.
 Pemutusan Hubungan Kerja
 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK dapat dilakukan
dikarenakan alasan-alasan tertentu dan dilarang apabila dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang.
Pengusaha wajib merundingkan perihal PHK dengan serikat pekerja atau dengan pekerja, apabila
perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan maka PHK hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau pengadilan
hubungan industrial.
Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak yang seharusnya diterima oleh pekerja sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 serta dalam kesepakatan yang ada pada Perjanjian Kerja Bersama atau
Peraturan Perusahaan. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran yang tertera dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama, pengusaha dapat melakukan PHK setelah pekerja
yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut.
5 Peraturan Ketenagakerjaan Ini Wajib Dipahami Oleh Tim HR

#1 Undang-undang ketenagakerjaan
Undang-undang Ketenagakerjaan adalah payung untuk semua peraturan terkait ketenagakerjaan di
Indonesia.
Pada 2021, beberapa pasal di undang-undang tersebut diperbarui, pasca pengesahan undang-undang cipta
kerja.
Adapun isi Undang-undang Ketenagakerjaan yang perlu dipahami oleh tim HR antara lain:
1) Perjanjian kerja
Dalam pasal 56 disebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau tidak tertentu.
Perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu dan selesainya pekerjaan tertentu. Jangka
waktu atau pekerjaan tertentu telah selesai berdasarkan perjanjian kerja.
Di pasal 58, perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
kerja.
Pasal 59 menuliskan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dibuat untuk pekerjaan yang jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Perjanjian ini tidak dapat diadakan
untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Sedangkan pasal 60 menyebutkan, perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa
percobaan kerja paling lama tiga bulan. Informasi lebih lanjut soal perjanjian kerja diatur dalam PP.
2) Perlindungan pekerja
Pasal 76 melindungi pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara
pukul 23.00-07.00.
Pengusaha juga dilarang mempekerjakan pekerja hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi
kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya jika bekerja antara pukul 23.00-07.00.
3) Waktu kerja
Pasal 77 mengatur waktu kerja di mana untuk lima hari kerja dalam satu minggu, waktu kerja karyawan
selama delapan jam per hari. Untuk enam hari kerja, waktu kerja tujuh jam per hari.
Ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Untuk
pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
4) Waktu lembur
Pasal 79 tertulis bahwa pengusaha wajib membayar upah kerja lembur pekerja, asal mereka menyetujui
waktu lembur paling lama empat jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu. Ketentuan lebih
lanjut diatur dalam PP.
5) Pengupahan
Di pasal 88 tertulis bahwa setiap pekerja berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja sesuai dengan kesepakatan dan dilarang membayar upah
lebih rendah dari upah minimum. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengupahan diatur di PP.
Namun, pasal 90 menyebutkan pengupahan pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
6) Pesangon
Dalam pasal 156 ayat, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja
dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja.

#2 Peraturan pemerintah
Beberapa peraturan pemerintah di bidang ketenagakerjaan yang wajib dipahami oleh tim HR adalah:
 PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
 PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan
 PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan
#3 Peraturan menteri
Tim HR perlu memahami Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari
Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh Di Perusahaan.
Permen ini mengatur tentang THR terkait masa kerja, bentuk, waktu pembagian, dan pajak THR, serta
sanksi perusahaan jika perusahaan tidak membayar atau telat membayar THR dan THR bagi karyawan yang
mengundurkan diri.

#4 Peraturan daerah
Peraturan daerah adalah salah satu peraturan yang wajib dipatuhi oleh perusahaan sesuai daerah
masing-masing.
Sebut saja, kepala daerah mengeluarkan peraturan daerah yang mewajibkan perusahaan merekrut warga
lokal sebagai karyawan, jika perusahaan membuka kantor di daerah tersebut.
Contohnya, Keputusan Gubernur Nomor 1153 Tahun 2022 Tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2023.

#5 Perjanjian Kerja Bersama (PKB)


Selain peraturan di atas, terdapat perjanjian kerja bersama (PKB). Ini ialah persetujuan yang dibuat oleh
perusahaan dengan karyawan untuk memberikan hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak.
Syarat PKB adalah ada kesepakatan antara kedua pihak, terdapat objek perjanjian, subyek hukum–
seseorang yang berusia di atas 18 tahun–, dan memiliki dasar hukum.
Tingkatkan Pemahaman Mengenai Peraturan Ketenagakerjaan
Bagi tim HR yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum, memahami peraturan ketenagakerjaan
cukup rumit.
Anda harus memahami undang-undang sekaligus PP tentang ketenagakerjaan. Memang, memahami pasal
per pasal pun memerlukan waktu.
Untuk meningkatkan pemahaman terhadap peraturan ketenagakerjaan, Anda perlu melakukan beberapa
cara, yaitu:
 Bergabung ke komunitas HR
 Berbagi ilmu bersama tim legal
 Mengikuti sertifikasi profesi HR
 Mengikuti webinar atau lokakarya tentang hubungan industrial

Penutup
Bagi tim HR, memahami undang-undang ketenagakerjaan serta peraturan yang berhubungan dengan
tenaga kerja adalah wajib.
Dengan bekal ini, Anda dapat menjembatani kebutuhan perusahaan dan keinginan karyawan. Anda juga
dapat menghindarkan kedua belah pihak dari masalah serta bisnis tetap compliance.
Penting bagi HR, Ini Panduan Lengkap UU Ketenagakerjaan Terbaru Indonesia
UU Ketenagakerjaan terdiri atas 193 pasal.
Dari 193 pasal, ada beberapa pasal yang sangat penting yang harus dipahami bagi perusahaan dan
karyawan.

Waktu Kerja
Pada Pasal 7 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur mengenai waktu kerja karyawan atau pekerja, yaitu:
1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu; atau
2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jan 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu.

Status Karyawan Pada UU Ketenagakerjaan Terbaru


Kontrak Kerja atau Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan
dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-
syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan.
Dalam contoh kontrak kerja karyawan, pekerja dapat mengetahui status kerja.
Status kerja diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 56.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)


Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak diatur dalam Pasal 57 UU Ketenagakerjaan
terbaru.
PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
Dalam Pasal 59 ayat (1) Pekerja dianggap sebagai PKWT apabila kontrak kerja tidak lebih dari 3 (tiga) tahun
dan tidak ada masa percobaan kerja (probation).

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)


Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) diatur dalam Pasal 60 UU Ketenagakerjaan.
PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan
kerja yang bersifat tetap atau biasa disebut karyawan tetap.
Pada PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) dengan waktu paling lama 3
(tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka berdasarkan aturan hukum, sejak bulan
keempat, pekerja dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT).

Outsourcing
Outsourcing atau alih daya diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 65 ayat (1).
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Pekerja outsourcing tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Jam Lembur
Pada Pasal 78 UU Ketenagakerjaan terbaru diatur mengenai waktu kerja lembur, yaitu:
1. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
2. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat
belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib membayar upah kerja lembur.
Perhitungan Upah Lembur
Perhitungan diatur dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004.
Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah bulanan dengan cara menghitung upah harian adalah 1/173
upah sebulan.
Rumus perhitungan upah lembur didasarkan pada upah adalah sebagai berikut:
a. Apabila lembur dilakukan pada hari kerja :
1. Upah kerja lembur pertama dibayar 1,5 kali upah sejam.
2. Setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar dua kali upah sejam
b. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 6 hari kerja :\
1. Upah kerja lembur untuk 7 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam
2. Upah kerja lembur untuk jam kedelapan dibayar 3 kali upah sejam
3. Upah kerja lembur jam kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 kali upah sejam
c. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek misal Jumat :
1. Upah kerja lembur untuk 5 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam,
2. kerja lembur untuk jam keenam dibayar 3 kali upah sejam
3. Upah kerja lembur jam ketujuh dan kedelapan dibayar 4 kali upah sejam.
d. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 5 hari kerja :
1. Upah kerja lembur untuk 8 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam.
2. Upah kerja lembur untuk jam kesembilan dibayar 3 kali upah sejam
3. Upah kerja lembur jam kesepuluh dan kesebelas dibayar 4 kali upah sejam.

Cuti
Berdasarkan Undang Undang Ketenagakerjaan terbaru pada Pasal 79 ayat (2), pekerja yang telah bekerja
minimal 1 (satu) tahun berturut-turut berhak untuk mendapatkan cuti sekurang-kurangnya 12 hari.
Namun, perusahaan dapat menyesuaikan peraturan tentang cuti tahunan karyawan swasta berdasarkan
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah disepakati
antara perusahaan dan pekerja.

Aturan Pengupahan
Dasar pengupahan di Indonesia diatur pada UU Ketenagakerjaan terbaru Pasal 88 ayat (1) yaitu setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Adapun kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
adalah:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan PPh pasal 21.
Pada pasal 88 ayat (4), pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL),
produktivitas, serta pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah juga melarang pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum sebagaimana diatur
pada Pasal 89.
Jika pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, dapat dilakukan penangguhan.
Aturannya disesuaikan dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan.

Kewajiban Pembayaran Upah


Kewajiban pembayaran upah diatur dalam UU Ketenagakerjaan terbaru Pasal 93 ayat (2) dimana upah
tetap harus dibayarkan pengusaha ke pekerja apabila:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat
melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan,
membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau
menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap
negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari
pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
b. Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, diatur untuk melaksanakan
pembayaran upah sebagaimana disebutkan di atas.

Sakit
Apabila karyawan tidak dapat melakukan pekerjaannya dikarenakan sakit, pengusaha tetap wajib
membayar upah/gajinya.
Hal ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 93 ayat (3), yaitu:
1. Untuk 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah,
2. Untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah,
3. Untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah,
4. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh
pengusaha.

Perhitungan Upah Pokok


Di dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 94 terutama yang menyangkut komponen upah terdiri dari upah pokok
dan tunjangan tetap.
Maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Sanksi Pekerja dan Perusahaan


Sanksi bagi pekerja dan perusahaan terkait dengan pengupahan diatur dalam Pasal 95 UU
Ketenagakerjaan, yaitu:
a. Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesenjangan atau kelalaiannya dapat
dikenakan denda.
b. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan penbayaran
upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
c. Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam
pembayaran upah.
d. Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.

Tuntutan Kedaluwarsa
Pada Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dijelaskan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2
tahun sejak timbulnya hak.

Pemutusan Hubungan Kerja UU Ketenagakerjaan Terbaru


Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 150.
Ketentuan mengenai PHK dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di
badan usaha yang berbadan hukum atau tidak. Milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain
yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan imbalan dalam
bentuk lain.
Pada prinsipnya, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikata buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

Larangan Pengusaha Melakukan PHK UU Ketenagakerjaan Terbaru


Pada Pasal 153 UU Ketenagakerjaan, Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan
alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di
dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peratauran perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan mengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha
yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik,
atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan
kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya berlum dapat
dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayata (1) batal
demi hukum dan pengusaha waajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

Pesangon atau Uang Penghargaan Korban PHK UU Ketenagakerjaan Terbaru


Pekerja yang terkena PHK, berhak mendapatkan uang pesangon. Ini diatur dalam Pasal 156 UU
Ketenagakerjaan.
Perhitungan pesangon pensiun dan PHK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai
berikut:
1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
3. masa kerja 2 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
7. masa kerja 6 (enam) atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang darai 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Sedangkan Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan
upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan
upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
Adapun uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja;
c. pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian
hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Perubahan Terkait UU Ketenagakerjaan Terbaru Pada Undang-undang (UU) Tentang Cipta Kerja atau UU
No.11 Tahun 2020 Yang Baru.
Bagaimana, apakah sudah paham dengan beberapa pasal yang sangat penting bagi perusahaan dan
karyawan dalam Undang Undang Ketenagakerjaan?
Untuk dokumen lengkapnya, Anda bisa unduh di sini.
Atau untuk perubahannya adalah sebagai berikut.
Mencabut:
1. UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
2. Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang
Gangguan (Hinderordonnantie)
Mengubah:
1. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara
2. UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
3. UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
4. UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
5. UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
6. UU No. 6 Tahun 2017 tentang Arsitek
7. UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
8. UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
9. UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan
Petambak Garam
10. UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
11. UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten
12. UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
13. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
14. UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan
15. UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
16. UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
17. UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
18. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
19. UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
20. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
21. UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
22. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
23. UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
24. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
25. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
26. UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
27. UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
28. UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
29. UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
30. UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
31. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
32. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
33. UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
34. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan
35. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
36. UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
37. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
38. UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
39. UU No. 38 Tahun 2009 tentang POS
40. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( UU Ketenagakerjaan terbaru)
41. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
42. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
43. UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
44. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
45. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
46. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
47. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
48. UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
49. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
50. UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
51. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
52. UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
53. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
54. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
55. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
56. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
57. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
58. UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
59. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
60. UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
61. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
62. UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang
63. UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
64. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
65. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
66. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
67. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
68. UU No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-
Undang
69. UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang
70. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
71. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
72. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
73. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
74. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan
75. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
76. UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
77. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
78. UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
79. UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah
80. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
81. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
82. UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
p

Anda mungkin juga menyukai