Anda di halaman 1dari 8

Kelompok 9 :

Galuh Lintang Kencana - 6052001427


Dayyanah Sayang - 6052001402
Thorijk Farras Ataya - 6052001300
Alyssa Rachel Ann - 6052001317

TUGAS:

Diskusikanlah bagaimana agar pihak perwakilan Pemerintah (dilakukan oleh Dinas


Ketenagakerjaan kota Medan), SP dan TPL dapat mengatur hubungan kerja dan hubungan
industrial mereka secara baik. Hal-hal yang harus anda perhatikan adalah:

- Apa agenda negosiasi yang ingin diusulkan oleh kelompok anda?

- Menurut kelompok anda, kepentingan apa yang dimiliki oleh para pihak dalam masalah
yang mereka hadapi?

- Menurut kelompok anda, bagaimana isi kesepakatan yang ideal, untuk kebaikan semua
pihak?

JAWABAN:

Agenda negosiasi yang akan diajukan oleh kelompok adalah mengenai:

- Pengaturan jam kerja, Pengaturan Upah Lembur, Hak Cuti, dan Hak Istirahat Kerja yang
disesuaikan dengan UU No. 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang serta
peraturan lainnya yang terkait.
- Pengadaan perjanjian kerja khususnya kepada para Pekerja Harian Lepas (PHL).
- Melaksanakan apa yang diperjanjikan antara PT Toba Pulp Lestari Tbk dengan Serikat
Pekerja dalam Perjanjian Kerja Bersama yang sudah sejalan dengan peraturan
perundang-undangan.

Menurut kelompok kami, pihak pengusaha memiliki kepentingan untuk mendapatkan jumlah
pekerja yang besar dengan biaya upah atau hak-hak pekerja yang minimal, sehingga mereka
cenderung untuk mempekerjakan pekerja di luar yang diperjanjikan demi menghindari kerugian
yang berakibat pada pelanggaran hak dari pihak perusahaan. Di sisi lain, pekerja memiliki
kepentingan untuk memperoleh hak yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan yang berlaku dan apa yang dijanjikan kepadanya, khususnya hak jam kerja,
upah kerja, upah kerja lembur, kerja lembur paksa, hak cuti & istirahat, hak kesehatan &
keselamatan kerja bagi Pekerja Harian Lepas pada perusahaan PT. Toba Pulp Lestari Tbk. Yang
dalam praktiknya ketentuan-ketentuan tersebut belum dijalankan dengan sesuai.

Isi kesepakatan yang ideal untuk kebaikan kedua belah pihak tentunya menjalankan praktik kerja
yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan, yang kami
jabarkan dan bagi kedalam poin-poin di bawah ini:

1. Pengaturan mengenai Jam Kerja

Berdasarkan peraturan PKB mengenai jam kerja diatur di dalam Pasal 24 ayat 2 yang
menyatakan “jam kerja adalah rata rata 40 (empat puluh) jam seminggu”.

● Pasal 77 ayat 2 UU Ketenagakerjaan tahun 2013 menjelaskan mengenai jam


kerja:

- 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja seminggu


- 8 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja seminggu

Jika perusahaan mempekerjakan karyawan melebihi 7 atau 8 jam sehari


dan 40 hari seminggu maka harus dihitung sebagai kerja lembur.

Di dalam kasus yang terjadi antara PT Toba Pulp Lestari Tbk dengan
pekerja harian lepas mengenai jam kerja, PHL dalam pelaksanaan
kerjanya tidak sesuai dengan aturan yang dibuat di dalam aturan PKB dan
tidak sesuai dengan peraturan UU Ketenagakerjaan, pada praktiknya PHL
bekerja mulai dari siang hingga malam sampai mencapai 14 jam kerja
dalam sehari seharusnya di dalam uu ketenagakerjaan dan di PKB
mengatur jam kerja maksimal 40 jam seminggu atau 7 - 8 jam dalam
sehari.

2. Pengaturan mengenai Upah kerja

Berdasarkan Pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 35/2021 upah pekerja/ buruh yang
dibayar secara harian maka perhitungan besarnya upah sebulan, yaitu:

a. Upah sehari x 25 untuk pekerja/buruh yang bekerja 6 hari dalam seminggu.

b. Upah sehari x 21 untuk pekerja/buruh yang bekerja 5 hari dalam seminggu.

c. Rp 100.000 x 21 = Rp 2.100.000 → Maka seharusnya upah minimum pekerja


harian untuk 25 hari kerja adalah Rp 2.100.000 sedangkan dalam praktik rata -
rata upah yang diterima hanyalah Rp 1.945.000 - Rp 1.427.000

Pada praktiknya mereka para pekerja khususnya PHL bekerja selama 25 hari dalam
sebulan, yang artinya 6 hari dalam seminggu lebih satu hari hanya mendapatkan upah
dengan rata-rata Rp 1.945.000 - Rp 1.427.000, bahkan banyak dari mereka yang
mendapatkan upah di bawah Rp.1.000.000 per bulan. Yang dimana ini dibawah batas
upah minimum dan dapat dikatakan pihak perusahaan tidak memenuhi hak-hak para PHL
sesuai dengan ketentuan yang sudah ada. PKB yang dibuat oleh pihak perusahaan sudah
sejalan dengan peraturan perundang-undangan, namun pihak perusahaan melanggar PKB
yang dibuatnya sendiri.

3. Pengaturan mengenai lembur dan upah lembur


● stDalam PKB kerja lembur hanya bisa dilakukan jika:
a. Dalam hal yang pada suatu waktu tertentu saja seperti di saat waktu
tertentu dimana terdapat pekerjaan yang menumpuk.
b. Yang dimana kerja lembur itu harus dilaksanakan secara sukarela dan juga
secara insentif namun terdapat pengecualian seperti:
- Pekerjaan yang jika tidak selesai akan membahayakan kesehatan
dan keselamatan orang.
- Dalam hal pekerjaan yang belum selesai bisa membahayakan atau
menimbulkan pengusaha, negara, atau masyarakat.
- Jika terdapat keadaan darurat.
- Dalam hal orang pekerja buruh shift terpaksa harus kerja karena
penggantinya belum atau tidak datang (max 16 jam). Pekerja dan
buruh berhak menolaknya.
c. Apabila pekerja/buruh ditugaskan untuk stand by oleh departemen masing
masing, yang dimana bagi pekerja/buruh di bawah supervisor/team leader
akan diberikan weekend coverage allowance yang besarnya sesuai dengan
ketentuan perusahaan.
● Di PKB mengenai upah kerja lembur pekerja/buruh:
a. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari biasa (sesuai jadwal):

I. untuk jam kerja lembur pertama dibayar sebesar 1 ½ (Satu setengah)


kali upah sejam.
II. untuk setiap jam berikutnya dibayar sebesar 2 (dua) kali upah sejam.

b. Apabila kerja lembur dilakukan pd hari istirahat mingguan (day off) dan
atau hari libur resmi:

I. Untuk setiap jam dalam batas jam kerja norma (Sesuai jadwal),
dibayar sebesar 2 kali upah sejam.
II. Untuk jam kerja pertama berikutnya, dibayar sebesar 3 kali upah
sejam.
III. Untuk jam kerja kedua dan tiap-tiap berikutnya, dibayar sebesar 4
kali upah sejam.

● Upah lembur yang harus diterima menurut Pasal 31 PP No. 35/2023 adalah:

○ 1 jam pertama 1,5 x upah sejam = 1,5 x Rp 50.000 = Rp. 75.000

○ Setiap jam kerja lembur berikutnya 2 kali upah sejam = 2 x 50.000 =


100.000. Maksimal lembur 4 jam sehingga sisa 3 jam. Rp 100.000 x 3 =
300.000

○ Maka upah lembur yang seharusnya diterima Rp 375.000,-

○ cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan

● Dalam Pasal 26 PP No. 35 Tahun 2021 waktu kerja lembur itu hanya dapat
dilakukan paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu namun
tidak termasuk pada kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan
dan atau hari libur resmi.

● Dalam Pasal 29 (1) PP No. 35 Tahun 2021 Perusahaan yang mempekerjakan


Pekerja/Buruh selama Waktu Kerja Lembur berkewajiban:

a. membayar Upah Kerja Lembur;

b. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya; dan

c. memberikan makanan dan minuman paling sedikit 1.400 (seribu empat


ratus) kilo kalori, apabila kerja lembur dilakukan selama 4 (empat) jam
atau lebih. (21 Pemberian makanan dan minuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c tidak dapat digantikan dalam bentuk uang.

● Pada pasal 30 ketentuan kerja lembur ini berlaku kepada semua perusahaan,
kecuali bagi perusahaan pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

● Selain itu, berdasarkan Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021


mengatakan bahwa perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu
lembur berkewajiban untuk membayar upah lembur, memberikan waktu istirahat
secukupnya, memberikan makanan dan minuman minimal 1400 kalori apabila
lembur dilakukan selama 4 jam atau lebih.

Dalam perusahaan ini pengaturan kerja lembur dan juga pengaturan upah lembur
mereka sudah sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Peraturan Pemerintah No.
35 Tahun 2021. Namun kenyataannya para PHL disini bekerja hingga 14 jam kerja.
Banyak pekerja yang harus melakukan lembur namun tidak mendapatkan upah lembur,
mereka juga terpaksa untuk melakukan Kerja lembur tanpa ada alasan yang penting dan
jelas. Para PHL tersebut bisa menuntut atas hak mereka yang sudah dilanggar oleh
perusahaan.

5. Pengaturan hak cuti & istirahat

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 80 angka 25 UU No. 6/2023 menyatakan bahwa pengusaha
wajib memberikan waktu cuti dan istirahat. Waktu minimal istirahat tersebut mencakup:

- istirahat jam kerja: 30 menit setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan tidak
terhitung sebagai jam kerja.
- Istirahat mingguan : 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.

Sedangkan untuk waktu cuti, mencakup cuti tahunan dengan minimal 12 hari kerja setelah
pekerja bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Dimana pelaksanaan cuti tahunan ini
perlu untuk diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Dalam PKB hal ini sebetulnya sudah diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 dan ketentuannya sudah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, khususnya
pada PHL ketentuan ini tidak dijalankan dengan sesuai karena masih terdapat PHL yang tidak
mendapatkan hak cuti maupun hak istirahat kerjanya.

6. Pengadaan Perjanjian Kerja

Pekerja Harian Lepas (PHL) dapat dikategorikan sebagai pekerja dengan status Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, hal ini dijelaskan pada Pasal 10 angka (1) PP No. 35/2021 yang menyatakan :

“ PKWT yang dapat dilaksanakan terhadap pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat atau
kegiatannya bersifat tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) berupa pekerjaan
tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta pembayaran upah
Pekerja/Buruh berdasarkan kehadiran.”

Kemudian ayat (2) menjelaskan kembali bahwa PKWT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan Perjanjian Kerja Harian. Dengan syarat sebagaimana tercantum
pada ayat (3) dengan pasal yang sama, yaitu:

1. Pekerja bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan;
2. Apabila pekerja bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau bahkan lebih dari itu perjanjian harian kerja menjadi tidak berlaku dan
hubungan kerja tersebut berubah dengan status Perjanjian Kerja Tidak Waktu Tertentu.

Pasal 2 PP No. 35/2021 menyebutkan perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan
baik untuk perjanjian kerja waktu tertentu ataupun perjanjian kerja waktu tertentu. Sehingga
pekerja PHL sekalipun bekerja secara fleksibel, dapat menuntut hak kerja nya dan dicantumkan
dalam kesepakatan kerja berbentuk perjanjian kerja agar hak-hak tersebut yang tidak terpenuhi
tersebut menjadi jelas. Kemudian apabila ia dipekerjakan selama lebih dari 21 hari atau lebih
lama dari 3 bulan secara berturut-turut PHL dapat menuntut hak nya sebagai pekerja berstatu
PKWTT.

7. Pengaturan Mengenai Kesehatan & Keselamatan Kerja

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 mengatakan bahwa:

“BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b


menyelenggarakan program:

a. jaminan kecelakaan kerja;


b. jaminan hari tua;
c. jaminan pensiun;
d. jaminan kematian; dan
e. jaminan kehilangan pekerjaan.”

Ketentuan kesehatan dan keselamatan kerja secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan No. 5 Tahun 2023 yaitu, mengenai penyelenggaraan program jaminan
kecelakaan kerja dan jaminan kesehatan bagi Pekerja Harian Lepas, Borongan, dan Perjanjian
Kerja Waktu tertentu (PKWT). Dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa:

“ jaminan kecelakaan kerja selanjutnya disingkat dengan JKK adalah manfaat berupa uang
tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta (pekerja) mengalami
kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja”

Pasal 3 ayat (1) Permenaker No. 5/2021 kemudian ikut menyatakan bahwa pemberi kerja harus
mendaftarkan pekerja sebagai peserta dalam program JKK, program JKM, dan program JHT
pada BPJS Ketenagakerjaan yang sesuai dengan perundang-undangan. Bahkan ayat (2) ikut
menyebutkan pada saat pendaftaran, anggota keluarga juga diikutsertakan pada program BPJS
Ketenagakerjaan ini

● Namun dalam praktik disebutkan bahwa para PHL tidak diikutsertakan sebagai anggota
BPJS sehingga banyak penyakit yang mereka alami harus diselesaikan secara mandiri
sedangkan hal ini bertentangan dengan apa yang tercantum dalam Permenaker 5/2023
Pasal 3 ayat (1) diatas. Juga bertentangan dengan PKB diantara keduanya khususnya
pasal 40 dan Pasal 48 yaitu :
○ Pasal 40 : dalam hal pekerja/buruh dan keluarganya sakit mendadak, mereka bisa
menggunakan fasilitas klinik perusahaan, mereka diperkenankan berobat pada
dokter terdekat dengan penggantian biaya oleh pelaku kesehatan tambahan sesuai
dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Artinya, sekalipun pekerja
menyelesaikan masalah kesehatannya secara mandiri, perusahaan harus
melakukan penggantian biaya berobat pekerja dan hal ini tidak dipenuhi oleh
perusahaan dalam praktiknya.
○ Pasal 48 : pemberi kerja harus mengikutsertakan seluruh pekerja ke dalam
program kesehatan kerja. Artinya, PHL memiliki hak yang sama untuk
diikutsertakan dalam program BPJS Ketenagakerjaan.
● Dalam Pasal 39 PKB disebutkan bahwa pengusaha dapat memberikan program asuransi
kesehatan tambahan. Maka, jika pengusaha belum dapat mendaftarkan atau
mengikutsertakan PHL ke dalam program BPJS, setidaknya dia dapat menjamin
kesehatan pekerja dengan mengikutsertakan mereka pada program asuransi kesehatan
lainnya yang disediakan oleh pihak perusahaan.
● Pasal 39 PKB mengatur mengenai perawatan
(1) Dalam rangka memelihara kesehatan pekerja/buruh dan keluarganya (istri dan
anak sesuai ketentuan perusahaan), pengusaha mengikutsertakan pekerja/buruh
dan keluarga dalam program jaminan kesehatan nasional sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku
(2) Penyelenggaraan jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas,
berpedoman kepada peraturan perundangan yang berlaku
(3) Program asuransi kesehatan tambahan diberikan oleh pengusaha sesuai dengan
ketentuan dan kemampuan pengusaha
(4) Setiap pekerja/buruh wajib bersedia untuk diperiksa kesehatannya oleh dokter
perusahaan atau dokter yang ditunjuk oleh pengusaha, baik secara berkala
maupun khusus, atas biaya pengusaha

Peraturan yang diatur di dalam Pasal 39 PKB tersebut sudah sesuai dengan
Permenaker No. 5/2021 ke Pasal 3 ayat (2)

KESIMPULAN:

Dalam hal ini, PKB yang dibuat oleh pihak perusahaan sudah sejalan dengan apa yang diatur di
dalam peraturan perundang-undangan. Hanya saja mengenai PHL seharusnya tetap diikat dengan
perjanjian kerja demi kejelasan hak dan kewajiban bagi para pihak. Karena pada pelaksanaannya
atau praktiknya, pihak perusahaan tidak menjalankan apa yang menjadi kewajibannya dan apa
yang dijanjikan dalam memenuhi hak-hak para pekerja/buruh, khususnya bagi para Pekerja
Harian Lepas (PHL) mengenai jam kerja, upah kerja, upah lembur, hak cuti, hak istirahat, serta
hak kesehatan dan hak keselamatan kerja. Kemudian, akan lebih baik jika di dalam perjanjian
kerja tersebut (perjanjian kerja PKWT), PHL yang telah melewati batas waktu yang ditentukan
oleh undang-undang dapat ditegaskan mengenai statusnya menjadi PKWTT.

Kemudian, demi terpenuhi kepentingan pihak perusahaan dan pihak pekerja/buruh yang dalam
hal ini khususnya PHL. Yang dimana juga pihak perusahaan tidak ingin mengalami kerugian
yang lebih besar serta kehilangan tenaga kerja, para pihak melakukan mediasi untuk
meminimalisir pengeluaran atau kerugian bagi para pihak dan mengambil jalan tengah yang
menurut kami idealnya pihak perusahaan melakukan apa yang sudah diatur di dalam PKB yang
dibuat demi terlaksananya tujuan perusahaan serta kesejahteraan bagi para pekerja. Karena
dengan terpenuhi hak-hak tersebut pekerja pun dapat bekerja secara maksimal, sehat, dan
sejahtera dan menghasilkan output yang baik untuk perusahaan PT. Toba Pulp Lestari Tbk.

Anda mungkin juga menyukai