Anda di halaman 1dari 13

https://www.talenta.

co/blog/administrasi-hr/penting-bagi-hr-ini-panduan-lengkap-uu-
ketenagakerjaan-indonesia/

Penting diketahui bagi HR, ini panduan lengkap UU Ketenagakerjaan terbaru di Indonesia akan
dibahas Mekari Talenta. Hal ini termasuk perubahan terkait Undang-Undang (UU) tentang Cipta
Kerja atau UU No. 11 Tahun 2020 yang baru.

Sebelumnya, pemerintah telah membuat Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang berfungsi untuk mengatur perusahaan dan karyawan atau pekerja.

Tujuan dari UU Ketenagakerjaan ini adalah untuk menjelaskan aturan main yang harus dipahami
serta menjadi patokan antara perusahaan dengan karyawan.

Simak selengkapnya bagaimana peraturan undang-undang ini.

Penting bagi HR, Ini Panduan Lengkap UU Ketenagakerjaan Terbaru Indonesia

UU Ketenagakerjaan terdiri atas 193 pasal.

Dari 193 pasal, ada beberapa pasal yang sangat penting yang harus dipahami bagi perusahaan dan
karyawan.

Waktu Kerja

Pada Pasal 7 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur mengenai waktu kerja karyawan atau pekerja,
yaitu:

1. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
2. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jan 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.

Status Karyawan Pada UU Ketenagakerjaan Terbaru

Kontrak Kerja atau Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara
lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan.

Dalam contoh kontrak kerja karyawan, pekerja dapat mengetahui status kerja.

Status kerja diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 56.

Baca juga: Begini Cara Membuat Surat Keterangan Kerja Karyawan Tetap

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)


Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak diatur dalam Pasal 57 UU
Ketenagakerjaan terbaru.

PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja
dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.

Dalam Pasal 59 ayat (1) Pekerja dianggap sebagai PKWT apabila kontrak kerja tidak lebih dari 3 (tiga)
tahun dan tidak ada masa percobaan kerja (probation).

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) diatur dalam Pasal 60 UU Ketenagakerjaan.

PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja yang bersifat tetap atau biasa disebut karyawan tetap.

Pada PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) dengan waktu paling
lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka berdasarkan aturan hukum,
sejak bulan keempat, pekerja dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT).

Outsourcing

Outsourcing atau alih daya diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 65 ayat (1).

Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui


perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

Pekerja outsourcing tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Baca juga: 5 Perbedaan Karyawan Outsourcing dan Karyawan Kontrak serta Panduan Undang-
Undangnya

Jam Lembur

Pada Pasal 78 UU Ketenagakerjaan terbaru diatur mengenai waktu kerja lembur, yaitu:

1. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan


2. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan
14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

Perhitungan Upah Lembur

Perhitungan diatur dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004.


Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah bulanan dengan cara menghitung upah harian adalah
1/173 upah sebulan.

Rumus perhitungan upah lembur didasarkan pada upah adalah sebagai berikut:

 Apabila lembur dilakukan pada hari kerja :


– Upah kerja lembur pertama dibayar 1,5 kali upah sejam
– Setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar dua kali upah sejam
 Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 6
hari kerja :
– Upah kerja lembur untuk 7 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam
– Upah kerja lembur untuk jam kedelapan dibayar 3 kali upah sejam
– Upah kerja lembur jam kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 kali upah sejam
 Apabila kerja lembur dilakukan pada libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek misal
Jumat :
– Upah kerja lembur untuk 5 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam,
– Upah kerja lembur untuk jam keenam dibayar 3 kali upah sejam
– Upah kerja lembur jam ketujuh dan kedelapan dibayar 4 kali upah sejam.
 Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 5
hari kerja :
– Upah kerja lembur untuk 8 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam,
– Upah kerja lembur untuk jam kesembilan dibayar 3 kali upah sejam
– Upah kerja lembur jam kesepuluh dan kesebelas dibayar 4 kali upah sejam.

Cuti

Berdasarkan Undang Undang Ketenagakerjaan terbaru pada Pasal 79 ayat (2), pekerja yang telah
bekerja minimal 1 (satu) tahun berturut-turut berhak untuk mendapatkan cuti sekurang-kurangnya
12 hari.

Namun, perusahaan dapat menyesuaikan peraturan tentang cuti tahunan karyawan swasta
berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang
telah disepakati antara perusahaan dan pekerja.

Aturan Pengupahan

Dasar pengupahan di Indonesia diatur pada UU Ketenagakerjaan terbaru Pasal 88 ayat (1) yaitu
setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.

Adapun kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) adalah:

a. upah minimum;

b. upah kerja lembur;

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f. bentuk dan cara pembayaran upah;

g. denda dan potongan upah;

h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j. upah untuk pembayaran pesangon; dan

k. upah untuk perhitungan PPh pasal 21.

Pada pasal 88 ayat (4), pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak
(KHL), produktivitas, serta pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah juga melarang pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
diatur pada Pasal 89.

Jika pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, dapat dilakukan penangguhan.

Aturannya disesuaikan dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan.

Baca juga: Unsur Hubungan Kerja dalam Membuat Perjanjian Kerja

Kewajiban Pembayaran Upah

Kewajiban pembayaran upah diatur dalam UU Ketenagakerjaan terbaru Pasal 93 ayat (2) dimana
upah tetap harus dibayarkan pengusaha ke pekerja apabila:

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan;

c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan,


membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak
atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal
dunia;

d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban


terhadap negara;

e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang


diperintahkan agamanya;

f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat
dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha;


dan

i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, diatur untuk melaksanakan
pembayaran upah sebagaimana disebutkan di atas.

Sakit

Apabila karyawan tidak dapat melakukan pekerjaannya dikarenakan sakit, pengusaha tetap wajib
membayar upah/gajinya.

Hal ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 93 ayat (3), yaitu:

1. Untuk 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah,


2. Untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah,
3. Untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah,
4. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja
dilakukan oleh pengusaha.

Perhitungan Upah Pokok

Di dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 94 terutama yang menyangkut komponen upah terdiri dari upah
pokok dan tunjangan tetap.

Maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Baca juga: Karyawan Outsourching, Aturan Hukum dan Masa Kerjanya

Sanksi Pekerja dan Perusahaan

Sanksi bagi pekerja dan perusahaan terkait dengan pengupahan diatur dalam Pasal 95 UU
Ketenagakerjaan, yaitu:

 (1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesenjangan atau kelalaiannya
dapat dikenakan denda.
 (2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan
penbayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah
pekerja/buruh.
 (3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah.
 (4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh
merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

Tuntutan Kedaluwarsa
Pada Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dijelaskan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu
2 tahun sejak timbulnya hak.

Pemutusan Hubungan Kerja UU Ketenagakerjaan Terbaru

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 150.

Ketentuan mengenai PHK dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi
di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak. Milik orang perseorangan, milik persekutuan atau
milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-
usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan
imbalan dalam bentuk lain.

Pada prinsipnya, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikata buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

Baca juga: Menjawab Soal PHK dan ‘Dirumahkan’ dari Aspek Hukum saat COVID-19

Larangan Pengusaha Melakukan PHK UU Ketenagakerjaan Terbaru

Pada Pasal 153 UU Ketenagakerjaan, Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan alasan :

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu
tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;

b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap


negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;

c. pekerja/buruh menjalankan ibadah ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. pekerja/buruh menikah;

e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;

f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh


lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peratauran
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh,


pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja
atas kesepakatan mengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan


pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi
fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya berlum
dapat dipastikan.

Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayata (1)
batal demi hukum dan pengusaha waajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan.

Baca juga: Menghitung Bonus Tahunan Karyawan, Ini Contohnya

Pesangon atau Uang Penghargaan Korban PHK UU Ketenagakerjaan Terbaru  

Pekerja yang terkena PHK, berhak mendapatkan uang pesangon. Ini diatur dalam Pasal 156 UU
Ketenagakerjaan.

Perhitungan pesangon pensiun dan PHK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai
berikut:

1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;


2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
3. masa kerja 2 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan
upah;
5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
7. masa kerja 6 (enam) atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang darai 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Sedangkan Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut :

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6
(enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun,
7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

Adapun uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.

Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Perubahan Terkait UU Ketenagakerjaan Terbaru Pada Undang-undang (UU) Tentang Cipta Kerja
atau UU No.11 Tahun 2020 Yang Baru.

Bagaimana, apakah sudah paham dengan beberapa pasal yang sangat penting bagi perusahaan dan
karyawan dalam Undang Undang Ketenagakerjaan?

Untuk dokumen lengkapnya, Anda bisa unduh di sini.

Atau untuk perubahannya adalah sebagai berikut.

Mencabut:

1. UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan


2. Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang
Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie)

Mengubah:

1. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara
2. UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
3. UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
4. UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
5. UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
6. UU No. 6 Tahun 2017 tentang Arsitek
7. UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
8. UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
9. UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, dan Petambak Garam
10. UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
11. UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten
12. UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
13. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
14. UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
15. UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
16. UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
17. UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
18. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
19. UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
20. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
21. UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
22. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
23. UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
24. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
25. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum
26. UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
27. UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
28. UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
29. UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
30. UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
31. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
32. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
33. UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
34. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan
35. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
36. UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
37. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
38. UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
39. UU No. 38 Tahun 2009 tentang POS
40. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( UU Ketenagakerjaan terbaru)
41. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
42. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
43. UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
44. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
45. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
46. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
47. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
48. UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
49. UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
50. UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
51. UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
52. UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
53. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
54. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
55. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
56. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
57. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
58. UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
59. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
60. UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
61. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
62. UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
63. UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
64. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
65. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
66. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
67. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
68. UU No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
Menjadi Undang-Undang
69. UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi
Undang-Undang
70. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
71. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
72. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
73. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
74. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
75. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
76. UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
77. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
78. UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
79. UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah
80. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
81. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
82. UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal

Gunakan Aplikasi Talenta HRIS Agar Lebih Mudah Mengikuti Peraturan Pemerintah yang Baru
Terkait UU Ketenagakerjaan Terbaru

Agar lebih mudah, Anda bisa menggunakan teknologi software HRIS berbasis cloud seperti Mekari
Talenta.

Fitur yang dimiliki Mekari Talenta di dalamnya memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam
mengelola database dan aktivitas karyawannya secara aman dan teratur sesuai dengan aturan UU
Ketenagakerjaan Terbaru.

Fitur-fitur yang ada di Mekari Talenta seperti payroll system, absensi online, slip gaji online, dan
masih banyak lainnya, dapat membantu pekerjaan perusahaan secara praktis.

Dasar Peraturan Ketenagakerjaan Untuk HRD

Ada beberapa peraturan resmi dari pemerintah terkait ketenagakerjaan yang digunakan sebagai
pedoman atau dasar untuk HRD dalam pembuatan peraturan. Beberapa dasarnya adalah sebagai
berikut

1. Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003

Merupakan undang-undang yang khusus membahas mengenai ketenagakerjaan di Indonesia. Ada


banyak peraturan yang di bahas dalam UU Ketenagakerjaan ini adalah urusan perjanjian kerja,
magang, jam kerja, pengupahan, cuti sampai dengan permagangan. UU ini menjadi dasar utama
untuk HRD dalam mengelola produk.

2. Undang-Undang No 11 Tahun 2020 – Cipta Kerja

UU cipta kerja merupakan undang-undang yang digunakan untuk melengkapi UU Ketenagakerjaan.


UU ini merupakan penyempurnaan UU Ketenagakerjaan denga nada perbaikan, pengubahan dan
pelengkapan.

Baca Artikel : Kelola SDM sekaligus Inventaris dengan Software HRIS   

3. Peraturan Daerah

Peraturan daerah juga menjadi dasar membuat peraturan dari perusahaan. Misalnya peraturan
tentang perekrutan masyarakat setempat sampai dengan urusan pembuangan limbah, upah
minimum dan peraturan lainya. Jadi peraturan daerah menjadi peraturan yang perlu
dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan.

4. Peraturan Kerja Bersama

Peraturan kerja bersama juga menjadi satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan peraturan
di perusahaan. Peraturan internal menjadi satu peraturan yang sudah disepakai oleh semua bagian
perusahaan, sehingga memahaminya untuk menghindari salah Langkah juga merupakan hal penting
untuk HRD.

Itulah beberapa kebutuhan dasar yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan peraturan di
perusahaan. HRD tidak bisa membuat peraturan sendiri atau peraturan yang tidak berdasar karena
Sebagian besar keperluan peraturan ketenagakerjaan sudah diatur di undang-undang.

CUTI

. Tidak hanya itu, aturan dan hak cuti karyawan harus disusun secara lengkap dan sesuai ketentuan
pemerintah yang terbaru. Realitanya, masih banyak ditemukan Human Capital Practitioner yang
bingung terhadap hal ini. Coba kita perhatikan, hak cuti karyawan dalam Omnibus Law meliputi 

1. Cuti tahunan (annual leave), 


2. Cuti sakit, 
3. Cuti menikah,
4. Cuti haid
5. Cuti melahirkan/keguguran
6. Cuti ayah (paternal leave)
7. Cuti haji/umrah
8. Cuti panjang (untuk perusahaan tertentu)
9. Cuti penting.

Semua cuti tersebut bersifat wajib, di mana perusahaan harus memberikannya dan membayar
upahnya meski karyawan bersangkutan tidak menjalankan pekerjaan. Namun, di luar itu ada jenis
cuti yang tidak diatur UU sehingga sifatnya opsional dan merujuk pada peraturan dan kebijakan
perusahaan masing-masing (unpaid leave).
uti Menurut UU Ketenagakerjaan

Pemahaman mengenai hak karyawan yang tertuang dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dapat diberikan pemahaman sebagai berikut:

1. Cuti Tahunan

Dalam bekerja selama satu tahun, karyawan berhak mendapatkan libur paling sedikit 12 hari.
Merujuk pada Pasal 79 ayat 2 dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat
beberapa ketentuan yang dapat dibuat oleh perusahaan perihal hak  karyawan yang bersangkutan.

2. Cuti Sakit

Karyawan berhak mendapatkan cuti sakit dan memiliki surat keterangan sakit dari dokter. Dan bagi
karyawan berjenis kelamin perempuan, mendapatkannya saat masa menstruasi datang pada hari
pertama dan kedua. Hal ini dapat merujuk dalam Pasal 81 dan 93 ayat 2, walaupun ada beberapa
perusahaan yang tidak mencantumkan hal ini.

3. Cuti Haid

Jumlah hak cuti: 2 hari, upah dibayar penuh. Cuti ini masih jarang sekali diterapkan di perusahaan
dan seringkali masih disamakan dengan cuti sakit.

4. Cuti Bersalin

Karyawan perempuan yang telah hamil berhak mendapatkan cuti selama 1,5 bulan sebelum
kelahiran dan 1,5 bulan setelah kelahiran. Mengenai perolehan gaji akan tetap tanpa pemotongan
atau pengurangan. Pengaturan mengenai cuti hamil/melahirkan diatur dalam Pasal 82 UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut :

Ayat 1 “Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum
saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan
dokter kandungan atau bidan”

Lebih lanjut, Pasal 84 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menetapkan “Setiap
pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat hamil dan melahirkan berhak mendapat upah
penuh.”

Namun di beberapa perusahaan diatur cuti melahirkan secara akumulatif 3 bulan, mengingat tidak
mudah menghitung dan menentukan HPL (Hari Perkiraan Lahir). 

5. Cuti keguguran

Dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum
mengurus hak cuti melahirkannya maka mendapatkan hak cuti 1,5 bulan, dengan upah dibayar
penuh.

6. Cuti Ayah
Masih berhubungan dengan perkara melahirkan, seorang suami mendapatkan hak cuti 2 hari dengan
upah dibayar penuh. Cuti ini dapat digunakan oleh suami yang perlu mendampingi istrinya saat
melahirkan.

7. Cuti Bersama Oleh Negara

Sesuai dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
SE.302/MEN/SJ-HK/XII/2010 Tahun 2010 dengan pembahasan Pelaksanaan Cuti Bersama di Sektor
Swasta. Pelaksanaan bersama ini diperuntukan bagi karyawan khusus perusahaan swasta tanpa
pengurangan atau pemotongan  tahunan. Umumnya hal ini diberikan pada saat hari besar
keagamaan.

8. Cuti Haji/Umrah

Hak cuti 50 hari juga disesuaikan menurut kesepakatan dengan perusahaan dan dengan upah
karyawan dibayar penuh Ketentuan cuti ini terdapat dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 93 ayat (2).

9. Cuti Alasan Penting

Jangka waktu cuti berdasarkan alasan penting dapat dilihat dalam Pasal 93 ayat 2 dan 4. Umumnya
alasan penting ini berkaitan dengan keperluan mendesak seperti: menikah, ada sanak saudara yang
meninggal, menikahkan anak dll. Pekerja berhalangan hadir/melakukan pekerjaannya dikarenakan
suatu alasan penting. Dalam pasal 93 ayat 4 UU no.13/2003 disebutkan bahwa pekerja berhak atas
cuti tidak masuk kerja karena halangan dan tetap dibayar penuh (upah pokok + tunjangan tetap).

Alasan/keperluan penting tersebut mencakup :

 Pekerja menikah, dibayar untuk 3 (tiga) hari


 Menikahkan anaknya, dibayar untuk 2 (dua) hari
 Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk 2 (dua) hari
 Membaptiskan anaknya, dibayar untuk 2 (dua) hari
 Istri melahirkan/mengalami keguguran kandungan, dibayar untuk 2 (dua) hari
 Suami/istri, orang tua/mertua, anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk 2 (dua)
hari
 Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk 1 (satu) hari.

Itu adalah kumpulan aturan cuti yang perlu HC Practitioner perhatikan. Hendaknya hubungan antara
karyawan dan pemegang kebijakan di perusahaan dapat terjalin lebih erat dengan adanya
pengetahuan yang cukup akan hal ini, yang mana cuti menjadi kasus yang seringkali
membingungkan. 

Anda mungkin juga menyukai