Anda di halaman 1dari 4

Senin, 29 Juni 2020

(UJIAN AKHIR SEMESRER)


NAMA : Dwiki Damarjati
NIM : 19110254
MATA UJIAN : Hukum Perburuhan
KELAS : B2
DOSEN PENGUJI : Samun Ismaya, SH., M.Hum
1. Perjanjian kerja yang telah dibuat bisa tidak sah, batal, atau bahkan batal demi hukum,
karena perjanjian kerja tidak memenuhi beberapa syarat sah perjanjian kerja. Menurut
pasal 1320 KUH Perdata syarat sahnya perjanjian itu ada 4, yaitu :
 Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
 Kecakapan untuk membuat perjanjian;
 Suatu hal tertentu;
 Suatu sebab yang halal.
Syarat No. 1 dan 2 dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek
yang membuat perjanjian. Sedang, syarat No. 3 dan 4 dinamakan syarat objektif karena
berkenaan dengan objek dalam perjanjian. Masing-masing syarat (syarat subjektif
maupun objektif) di atas memiliki konsekuensi kebatalan jika tidak terpenuhi salah satu
unsur di dalamnya, yaitu:
Voidable; jika syarat pertama dan kedua, atau salah satunya tidak terpenuhi, maka salah
satu pihak dapat memintakan kebatalan atas perjanjian itu melalui pengadilan. Selama
tidak dibatalkan oleh hakim, maka perjanjian itu masih tetap dianggap sah dan mengikat
kedua belah pihak.
Null and Void; jika syarat ketiga dan keempat, atau salah satunya tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Yang berarti perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.
2. Jenis Pemutusan Hubungan Kerja antara lain
Pemutusan Hubungan Kerja yang berasal dari sisi pegawai dikarenakan:
 Kesalahan Berat
 Ditahan Pihak Berwajib Karena Melakukan Tindak Pidana
 Melakukan Pelanggaran dalam Perjanjian Kerja
 Mangkir
 Force Majeure (Keadaan Memaksa)
 Mengundurkan Diri (Resign)
 Pensiun
 Meninggal Dunia
Pemutusan Hubungan Kerja yang berasal dari sisi perusahaan:
 Perubahan Status atau Penggabungan Perusahaan
 Perusahaan Melakukan Efisiensi
 Perusahaan Pailit/Bangkrut
Menurut Pasal 62 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jika salah satu pihak mengakhiri
hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu dalam PKWT, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dalam Pasal 61 ayat (1), maka
pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut wajib membayar ganti rugi. Ganti rugi
tersebut harus diberikan kepada pihak lainnya sebesar upah karyawan sampai dengan
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Apabila ganti rugi atau denda
kerja ada di dalam kontrak kerja, maka secara hukum karyawan wajib mematuhi isi
kontrak tersebut. Termasuk wajib membayar pinalti atau denda kerja, jika memutuskan
untuk mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir.
3. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, Perusahaan dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
 Perusahaan Melakukan Efisiensi, Apabila perusahaan melakukan efesiensi dan
bukan pailit, merugi 2 tahun berturut-turut atau force majeure, imbalan untuk
pegawai sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Imbalan tersebut
berupa uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali
dan uang penggantian hak.
 Perusahaan Pailit/Bangkrut, Jika perusahaan mengalami kebangkrutan atau Pailit,
imbalan pegawai telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Imbalan
tersebut berupa uang pesangon sebesar 1 kali, uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 kali, dan uang penggantian hak.
Terkait dengan situasi yang berada di luar kehendak manusia, pandemi Covid-19 bisa
dijadikan alasan perusahaan untuk melakukan PHK, karena adanya Perubahan status dan
efisiensi perusahaan. Perubahan status, penggabungan, peleburan, dan perubahan
kepemilikan dapat menjadi alasan perusahaan melakukan PHK. Umumnya, PHK akan
dilakukan untuk efisiensi perusahaan seandainya perusahaan memerlukan perampingan
karyawan atau ada beberapa posisi yang tidak dibutuhkan lagi.
4. Asas “No Work No Pay” tidak bisa diterapkan untuk semua kondisi, dalam Peraturan
Pemerintah (PP ) Pengupahan No 78 Tahun 2015, Pasal 24 ayat (1), perusahaan tetap
diwajibkan membayar upah pekerja yang tidak masuk atau tidak bekerja karena tiga hal
berikut ini :
 Berhalangan, yakni sakit dan tak dapat melakukan pekerjaan; sakit pada haid hari
pertama dan kedua (pekerja perempuan); tidak masuk karena menikah,
menikahkan anaknya, mengkhitankan anaknya, membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan atau keguguran, suami/isteri/anak/orangtua/mertua/menantu atau
keluarga yang tinggal serumah meninggal dunia.
 Melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, yakni menjalankan kewajiban
terhadap negara; menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya;
melaksanakan tugas serikat pekerja/buruh atas persetujuan pengusaha; dan tugas
pendidikan dari perusahaan.
 Menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, meliputi hak istirahat mingguan; cuti
tahunan; istirahat panjang; cuti sebelum dan sesudah melahirkan; atau cuti
keguguran.
5. Dasar penentuan upah menurut PP No. 78 Tahun 2015 adalah berdasarkan :
 Satuan waktu
Upah berdasarkan satuan waktu sebagaimana dimaksud, menurut PP ini,
ditetapkan secara harian, mingguan, atau bulanan. Dalam hal upah ditetapkan
secara harian, menurut PP ini, perhitungan upah sehari adalah: a. bagi perusahaan
dengan sistem waktu kerja 6 hari dalam seminggu, upah sebulan dibagi 25; atau b.
bagi perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 hari dalam seminggu, upah sebulan
dibagi 21. "Penetapan besarnya upah berdasarkan satuan waktu sebagaimana
dimaksud dilakukan dengan berpedoman pada struktur dan skala upah, yang
disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi," bunyi pasal 14 ayat 1,2 PP itu. Struktur dan skala
upah sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, wajib diberitahukan kepada seluruh
pekerja/buruh, dan harus dilampirkan oleh perusahaan pada saat permohonan: a.
pengesahan dan pembaruan peraturan perusahaan; atau b. pendaftaran,
perpanjangan, dan pembaruan perjanjian kerja bersama.

 Satuan Hasil
Sedangkan upah berdasarkan satuan hasil ditetapkan sesuai dengan hasil
pekerjaan yang telah disepakati. Penetapan besarnya Upah sebagaimana
dilakukan oleh pengusaha berdasarkan hasil kesepakatan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha. "Penetapan upah sebulan berdasarkan satuan hasil
sebagaimana dimaksud, untuk pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan ditetapkan berdasarkan upah rata-rata 3 bulan terakhir yang
diterima oleh pekerja/buruh," bunyi pasal 16 PP ini. Menurut PP ini, pengusaha
wajib membayar upah pada waktu yang telah dijanjikan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh. Dalam hal hari atau tanggal yang telah disepakati jatuh pada hari
libur atau hari yang diliburkan, atau hari istirahat mingguan, menurut PP ini,
pelaksanaan pembayaran upah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. "Pembayaran upah oleh pengusaha
dilakukan dalam jangka waktu paling cepat seminggu 1 kali atau paling lambat
sebulan 1 kali kecuali bila perjanjian kerja untuk waktu kurang dari satu minggu,"
bunyi pasal 19 PP ini. Upah sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dapat
dibayarkan secara langsung atau melalui bank. Dalam hal Upah dibayarkan
melalui bank, maka upah harus sudah dapat diuangkan oleh pekerja/buruh pada
tanggal pembayaran upah yang disepakati kedua belah pihak.
PP ini juga menegaskan, bahwa pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala
untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup dan/atau peningkatan produktivitas kerja
dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan. Peninjauan upah sebagaimana
dimaksud diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
6. Ketentuan mengenai pekerja anak diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 75 UU
Ketenagakerjaan.
Pada dasarnya Pasal 68 UU Ketenagakerjaan melarang pengusaha mempekerjakan anak,
akan tetapi terdapat pengecualian di dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur
mengenai hak-hak bagi pekerja anak.
7. Kondisi tempat kerja pasca covid 19 ialah mematuhi protokol kesehatan daan anjuran
dari pemerintah yg berlaku.
Namun jika mana keadaan karyawaan dalam jumlah besar dan banyak ….kembal lagi ke
kebijakan dari perusahaan dan kesepakatan perjanjian untuk pihak karyawann.

8. Peran Pemerintah menjadi salah satu kunci penting di dalam banyak hal yang
berhubungan dengan ketenagakerjaan.kesempatan ini mencoba menggalinya dari
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan


menyusun perencanaan tenaga kerja secara berkesinambungan yang meliputi
perencanaan tenaga kerja makro dan perencanaan tenaga kerja mikro serta disusun atas
dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi:
 penduduk dan tenaga kerja.
 kesempatan kerja.
 pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja.
 produktivitas tenaga kerja.
 hubungan industrial
 kondisi lingkungan kerja
 pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja dan
 jaminan sosial tenaga kerja.

Anda mungkin juga menyukai