Anda di halaman 1dari 3

UNIVERSITAS JANABADRA YOGYAKARTA

FAKULTAS HUKUM
SOAL RESPONSI
MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS
KELAS :B
DOSEN : RENDRADI SUPRIHANDOKO,SH.,MHum
WAKTU : 19-00 - 23.59 WIB
Hari & tanggal : Kamis, 2 DES2021

SOAL:
1. Coba saudara utarakan Sejarah terbenuknya Peraturan perundangan tentang tindak
Pidana Terorisme di Indonesia, dan apa yang melatarbelakanginya ?

2. Tunjukan pasal mana dalam KUHP dan KUHAP yang memberikan ruang tumbuh
dan berkembangnya Undang Undang Pidana khusus yang memuat ketentuan
ketentuan yang eksepsional dan additional di bidang Teerorisme ! Dan sebutkan
Adagium nya berkaitan dengan relasi hukum umum dan khusus ini dan jelaskan
secara tepat !

3. Tunjukkan pasal pasal dalam UU TPT yang bersifat eksepsional atau menyimpang
baik dalam ketentuan hukum materiil maupun hukum formilnya ! beri contoh masing
masing minimal 1 pasal yang mengaturnya.

4. Menurut saudara Mengapa perlu dibentuk Lembaga khusus yg menangangani


masalah terorisme ?

5. Apa yg dimaksud Penyadapan TPT ? apakah sama dengan penyadapan TP


Korupsi ? mengapa dalam konteks waktu berbeda ?

================ selamat mengerjakan ===================

Nama : Muhammad Bahrul Ulum 19110054


NIM : 19110054
Jawaban

1. Akhir Desember 2002, terjadi serangan teror bom terhadap restoran McDonald’s
di Makassar. Awal 2003 terdapat teror bom di kompleks Mabes Polri Jakarta,
bandara Soekarno Hatta, teror bom di Hotel JW Marriot, ledakan bom di kafe
Bukit Sampoddo Indah, Kabupaten luwu, Palopo, bom di Kedubes Australia
tahun 2004 silam, bom di Pamulang, Tangerang, hingga Bom Bali II pada tahun
2005.
Namun salah satu terdakwa bom bali I saat itu, Masykur Abdul Kadir kemudian
mengajukan permohonan judicial review terhadap UU No. 16 Tahun 2003
tentang Penerapan Perppu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu No. 1
Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akhirnya, pada 23 Juli 2004,
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 16 Tahun 2003.
Dalam putusannya, lima orang majelis hakim mengabulkan permohonan judicial
review terhadap UU No. 16 Tahun 2003 karena keberlakuan UU tersebut
bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hal ini merujuk pada Pasal 28I UUD
1945 yang menyebutkan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun. Sedangkan empat orang majelis hakim lain, menyatakan pendapat yang
berbeda (dissenting opinion).
Pada 14 Januari 2016, terjadi ledakan dan serangan bom di jalan MH Thamrin,
gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Serangan di tengah kota Jakarta itu
menghentakkan banyak pihak. Menko Polhukam saat itu Luhut Binsar Panjaitan
meminta DPR untuk merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Harapannya, UU yang baru bisa mencegah tindakan
teroris secara preventif sehingga serangan tidak terjadi.
Seminggu setelah itu, RUU Anti Terorisme pun masuk Program Legislasi
Nasional Prioritas Tahun 2016. Dalam revisi terdapat sejumlah poin perubahan
usulan pemerintah. Mulai adanya penambahan batas waktu penangkapan dan
penahanan; Izin penyadapan cukup dari hakim pengadilan; Penanganan kasus
diperluas termasuk bagian dari upaya preventif; Mencabut paspor bagi WNI yang
mengikuti pelatihan militer teror di luar negeri; Pengawasan terhadap terduga dan
mantan terpidana terorisme hingga proses rehabilitasi.
Pada 11 Februari 2016 draf RUU Anti-Terorisme diserahkan ke DPR. Lalu, DPR
membentuk panitia khusus pembahasan RUU Anti Terorisme. Keberadaan
anggota Pansus RUU Anti Terorisme disahkan pada 12 April 2016. Sejumlah
pasal disebut koalisi masyarakat sipil sebagai pasal kontroversial. Misalnya
terkait penahanan selama 6 bulan tanpa status hukum jelas, yang disebut pasal
Guantanamo. Lalu, pasal soal keterlibatan dan kedudukan TNI dalam
pemberantasan terorisme. Hingga definisi terduga teroris hingga luasnya cakupan
tindakan terorisme dan kekerasan.
Seiring dengan pembahasan RUU Anti-Terorisme ini, serangan bom terus
berlangsung. Misalnya, meledaknya bom di Mapolresta Surakarta pada 5 Juli
2016. Bom gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan pada 28 Agustus 2016. Bom
Gereja Oikumene, Samarinda dan Bom Vihara Budi Dharma, Kota Singkawang,
Kalimantan Barat masing-masing pada 13 dan 14 November 2016.
Teranyar, peristiwa bom di Kampung Melayu pada 24 Mei 2017. Serta, dua hari
beruntun serangan di Jawa Timur. Tepatnya di tiga gereja di Surabaya dan Rusun
Wonocolo Sidoarjo pada 13 Mei 2018 dan serangan bom di Mapolresta Surabaya
keesokan harinya, pada 14 Mesi 2018. Presiden Joko Widodo menegaskan, jika
RUU Anti Terorisme tak kunjung disahkan hingga Juni, maka akan diterbitkan
Perppu.
Dan pada tanggal 25 Mei 2018 akhirnya DPR resmi mengesahkan Revisi
Undang-Undang (RUU) No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme (Antiterorisme) menjadi undang-undang.
2. Pasal 103 KUHP dianggap sebagai penghubung antara KUHP dan UU diluar
KUHP. Pasal tersebut menyatakan UU pidana khusus dapat mengabaikan
ketentuan umum dalam KUHP. Pengabaian itu terjadi karena adanya irisan dari
ruang lingkup yang sama antara KUHP dan ketentuan khusus yang berada diluar
KUHP.
Adagium yang mendasari UU Pidana Khusus adalah Asas Lex Specialis derogat
legi generalis yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan
mengesampingkan aturan hukum yang umum.
3. Contoh pasal yang menyimpang dalam UU TPT yaitu terdapat pada pasal 43C
ayat (1). Ayat ini menyebut pengertian kontra radikalisasi sebagai “suatu proses
terencana, terpadu, sistimatis dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap
orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme untuk
menghentikan penyebaran paham radikal terorisme."
4. Karena dalam rangka mencegah dan menanggulangi ancaman terorisme di dalam
negeri, Pemerintah telah menempuh berbagai cara, terutama dengan mengambil
tindakan-tindakan yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pemerintah,
melalui aparat terkait, telah melakukan pendekatan melalui tokoh masyarakat,
tokoh agama moderat dan yang cenderung radikal guna mengubah pemikiran
radikal menjadi moderat, yakni dengan memberikan pengertian sesungguhnya
tentang istilah jihad yang selama ini “disalahartikan”. Sementara itu, penegakan
hukum dalam memerangi terorisme dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tanpa pandang bulu, serta tidak mengarah
pada penciptaan citra negatif kepada kelompok masyarakat tertentu. Sementara
itu, perang melawan terorisme didasari upaya untuk menegakkan ketertiban
umum dan melindungi masyarakat bukan atas tekanan dan pengaruh negara asing
ataupun kelompok tertentu dan dilakukan melalui koordinasi antarinstansi terkait
dan komunitas intelijen serta partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat. Di
samping itu, diterapkannya strategi demokrasi serta diberikannya kesempatan
kepada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya secara positif dan terbuka
sesuai dengan koridor hukum.
5. Yang dimaksud penyadapan TPT adalah menyadap pembicaraan melalui telepon
atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,
merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk
mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan Terorisme. Penyadapan dalam
TPT dengan TP Korupsi berbeda, karena penyadapan dalam TPT dilakukan
untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Anda mungkin juga menyukai