Anda di halaman 1dari 4

Celah- Celah Pada UU Cipta Kerja-Ketenagakerjaan

● Pemerataan standar upah minimum provinsi/ UMP

Pasca berlakunya UU Cipta Kerja, mekanisme penentuan upah minimum berubah menjadi
semakin tidak berpihak pada kepentingan pekerja. Berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang
Pengupahan – salah satu turunan UU Cipta Kerja – formula penentuan upah minimum hanya mengacu
pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Ini meliputi variabel-variabel seperti kemampuan daya beli,
tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Salah satu kritik terhadap kebijakan ini adalah
hilangnya pertimbangan atas kebutuhan hidup layak (KHL) dalam penentuan upah minimum. Kondisi
ekonomi dan ketenagakerjaan tidak berbanding lurus dengan kenaikan kebutuhan hidup pekerja. Hal ini
terbukti dari kisruh penetapan upah minimum tahun 2022. Sejak November 2021, gelombang penolakan
upah minimum Jakarta semakin membesar setelah pemerintah mengumumkan bahwa proyeksi kenaikan
upah minimum provinsi hanya sekitar 1,09 persen. Padahal, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI), misalnya, menghitung bahwa harusnya kenaikan upah minimum ada di kisaran 7-10 persen.
Mereka mengacu pada survei kebutuhan hidup layak yang dilakukan oleh KSPI di 10 provinsi.

● Waktu kerja dalam seminggu lebih lama

PP Nomor 35 Tahun 2021 dalam hal ini mengatur waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan
paling lama 4 jam sehari dan 18 jam dalam 1 minggu, tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada
waktu istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi. Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan dan
Kepmenaker 102/2004 mengatur waktu kerja lembur maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu. Selain
akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding.
Mengingat, upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme
pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Berkurangnya hak cuti dan istirahat Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya
diperoleh sekali dalam sepekan. Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk
memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam
sepekan.

● Tidak mengatur pembayaran upah bagi pekerja yang berhalangan

Dalam UU Cipta Kerja ini, diatur mengenai upah satuan hasil dan waktu. Upah satuan hasil
adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Ini termasuk
juga upah per jam. Upah satuan hasil ini ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah
disepakati.

● Jaminan Sosial

Omnibus law berpotensi mengancam jaminan sosial yakni jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Sistem
kerja fleksibel membuat pekerja tidak bisa mendapat jaminan hari tua dan jaminan pensiun karena tidak
ada kepastian pekerjaan. Sistem kerja fleksibel akan membuat buruh berpindah pekerjaan setiap tahun
dengan upah beberapa jam dalam satu hari yang besarannya di bawah upah minimum.
● Ketentuan M.engenai Lembur

Jam lembur maksimum diperpanjang menjadi empat jam sehari dan 18 jam seminggu. Namun,
jam lembur maksimum tidak berlaku untuk sektor bisnis atau pekerjaan tertentu. Jam dan upah lembur
akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, serta klarifikasi lebih lanjut tentang sektor usaha atau
pekerjaan tertentu yang tidak dikenai jam lembur maksimal serta jam lembur maksimal yang berlaku
yang akan berlaku untuk itu.

Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur. Selain itu, UU Cipta
Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal
selama enam tahun.

· Penghapusan hak pekerja dalam phk yang penggantian hak

Omnibus Law Cipta Kerja dan UU 13/2003 juga mengatur pemberian uang penggantian hak pekerja.
Menurut UU 13/2003, uang penggantian hak pekerja itu meliputi:
1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja;
3. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus)
dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.

Sedangkan uang penggantian hak pekerja menurut Omnibus Law Cipta Kerja yakni:

1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;


2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja;
3. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
● Penggunaan outsourcing (alih daya) yang massif

Selain itu, UU tersebut juga menghapus batasan lima jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal
66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, catering,
security, driver, dan jasa penunjang sektor migas. Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan
yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau
pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing. Artinya ke depan
semua jenis pekerjaan bisa menggunakan outsourcing. Dengan kondisi itu, seorang buruh tidak lagi
memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya

● Sanksi pidana terhadap pengusaha pelanggar terancam hilang


Penghapusan Sanksi Pidana

1) Ketentuan Pasal 81 angka 62 UU 11/2020 telah menghapus ketentuan mengenai sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 UU 13/2003 berimplikasi pada tidak adanya sanksi pidana bagi
pengusaha yang tidak memberikan uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak kepada
pekerja/buruh yang di-PHK dan tidak diikutsertakan dalam program pensiun;

2) Ketentuan Pasal 81 angka 63 UU 11/2020 telah mengubah ketentuan mengenai sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU 13/2003 berimplikasi pada tidak dapat dijeratnya pengusaha
secara pidana apabila tidak membayar uang penghargaan dan uang penggantian hak kepada pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja;

3) Ketentuan Pasal 81 angka 65 UU 11/2020 telah mengubah ketentuan mengenai sanksi pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 187 UU 13/2003 berimplikasi pada lembaga penempatan kerja swasta
yang tidak berizin (ilegal) dan pengusaha yang tidak mentaati ketentuan mengenai jabatan dan standar
kompetensi dalam mempekerjakan TKA tidak dapat dijerat dengan sanksi pidana atau tidak bisa lagi
dianggap sebagai tindak pidana pelanggaran;

4) Ketentuan Pasal 81 angka 66 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan Pasal 188 UU 13/2003
berimplikasi pada lembaga pelatihan kerja swasta yang tidak berizin (ilegal) tidak dapat dijerat dengan
sanksi pidana atau tidak bisa lagi dianggap sebagai tindak pidana pelanggaran.

● Batas waktu karyawan kontrak batas waktu dibatasi maksimal 5 tahun dan
maksimal 3 periode kontrak

UU No 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal
59 UU No 13 Tahun 2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus
tanpa batas batas waktu. Dengan demikian, karyawan kontrak bisa diberlakukan seumur hidup tanpa
pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja.

● Uang Penggantian Hak Korban PHK Berkurang dalam UU Ciptaker

Pemerintah mengubah ketentuan uang penggantian hak bagi pekerja yang terkena PHK dalam
Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam Pasal 156 ayat (4) bagian
Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja, hanya ada dua jenis uang penggantian hak yang diwajibkan kepada
pengusaha. Pertama, uang pengganti cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur. Kedua, biaya
atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana mereka diterima bekerja.

Di luar itu, uang penggantian hak yang wajib diberikan kepada buruh masuk ke dalam kategori
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Berkurangnya kewajiban uang penggantian hak yang diatur dalam RUU Cipta Kerja menunjukkan
pemerintah lepas tanggung jawab terhadap hak atas tempat tinggal serta kesehatan pekerja.

Pasalnya, dalam perumusan pasal tersebut, kata Kahar, pemerintah berdalih penghapusan
dilakukan karena jarang ada perusahaan yang memberikan uang penggantian perumahan serta pengobatan
dan perawatan.
*penjelasan diatas, keuntungan bagi pengusaha pada kelemahan diatas

Anda mungkin juga menyukai