Anda di halaman 1dari 7

 Aturan Pengupahan di Indonesia

 Meski UU Cipta Kerja telah dicabut dan tidak berlaku lagi, sesuai Ketentuan Penutup  Perpu No 2 Tahun 2022, peraturan
pelaksanaan dari UU No 11 Tahun 2020 tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Perpu.
Salah satu peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang tetap berlaku adalah PP No 36 tentang Pengupahan.
Pengupahan diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) Pasal 88-
90, yang direvisi melalui Omnibus Law atau UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu, pemerintah pusat menetapkan kebijakan
pengupahan yang meliputi:
a. upah minimum;
b. struktur dan skala upah;
c. upah kerja lembur;
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
e. bentuk dan cara pembayaran upah;
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Ketentuan rinci mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan
sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja, yang sekaligus mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015.

Struktur dan Skala Upah


Dalam menyusun struktur dan skala upah yang digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan upah, pengusaha perlu
memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, begitu menurut Pasal 92 UU Ketenagakerjaan yang telah direvisi
Omnibus Law. Setelah itu, peninjauan upah dilakukan oleh pengusaha secara berkala dengan memperhatikan kemampuan
perusahaan dan produktivitas. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah dapat dilihat di PP Pengupahan.
Kewajiban Pembayaran Upah
Ketika pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, maka upah tidak perlu dibayar. Namun, upah tetap harus dibayarkan jika:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya,
isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota
keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena
kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, diatur untuk melaksanakan pembayaran upah
sebagaimana disebutkan di atas.
Perhitungan Upah Pokok
Jika komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok minimal sebesar 75% (tujuh puluh
lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
Sanksi
Pekerja/buruh dapat dikenai denda jika melakukan pelanggaran kesengajaan atau kelalaiannya. Sebaliknya, jika pengusaha
terlambat membayar upah, dapat pula dikenai denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Pengenaan
denda dalam pembayaran upah tersebut diatur oleh Pemerintah.
Sementara itu, jika perusahaan pailit atau dibekukan karena peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-
hak lainnya dari pekerja/buruh dianggap sebagai utang yang pelunasannya harus diprioritaskan.

 Tunjangan Hari Raya

 Pemberian THR diatur oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan
bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Hari Raya Keagamaan di Indonesia yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tersebut adalah  Hari Raya Idul
Fitri untuk Pekerja beragama Islam, Hari Raya Natal untuk Pekerja beragama Katolik dan Protestan, Hari Raya Nyepi untuk
Pekerja beragama Hindu, Hari Raya Waisak untuk Pekerja beragama Buddha, dan Hari Raya Imlek untuk Pekerja beragama
Konghucu.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016, ada 6 poin penting yang perlu diketahui tentang THR:
1. Masa Kerja Pekerja

THR wajib diberikan kepada pekerja yang telah bekerja minimal 1 bulan di perusahaan. Perhitungan untuk pekerja dengan masa
kerja kurang dari 12 bulan dan lebih dari 12 bulan berbeda. Jika pekerja dengan masa kerja lebih dari 12 bulan mendapatkan
THR sebesar upah 1 bulan, pekerja dengan masa kerja 1 bulan dan kurang dari 12 bulan mendapatkan THR dengan perhitungan
((masa kerja)/12) x upah 1 bulan.

Definisi “upah” yang digunakan sebagai basis perhitungan THR dapat berbeda-beda sesuai dengan kebijakan perusahaan.
Namun pada dasarnya, perusahaan menggunakan salah satu besaran berikut sebagai basis perhitungan THR:
1. Hanya gaji pokok
2. Gaji pokok dan tunjangan tetap
Berikut ini beberapa contoh perhitungan THR sebagai ilustrasi.
2. Bentuk THR
THR hanya dapat diberikan dalam bentuk uang rupiah. Dengan kata lain, pemberian THR berupa voucher, paket sembako,
parsel dan hadiah lainnya tidak dihitung sebagai THR.
3. Waktu Pemberian THR
Pemberian THR oleh perusahaan kepada pekerja wajib dilakukan selambat-lambatnya 7 hari atau seminggu sebelum Hari Raya
Keagamaan berlangsung. Sebagai contoh, apabila Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 17 Juni 2017, maka perusahaan harus
memberikan THR kepada pekerja maksimal tanggal 10 Juni 2017.
4. THR bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri
Pekerja Kontrak Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/Tetap) berhak mendapatkan THR jika pemutusan hubungan kerja terjadi 30
hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Sedangkan bagi Pekerja Kontrak Waktu Tidak Tertentu (PKWT/Kontrak) tidak berhak
atas aturan tersebut.
Perdebatan seringkali muncul jika terjadi kasus pemutusan hubungan kerja dalam waktu yang cukup dekat dengan Hari Raya
Keagamaan. Ada baiknya hal-hal tersebut dibahas dengan pihak manajemen serta karyawan yang bersangkutan secara terbuka
dan kekeluargaan untuk menghindari sengketa lebih lanjut.
5. Pajak THR
PPh 21 atas THR hanya dikenakan bagi pekerja yang mendapatkan THR di atas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu
Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun.
Jika pekerja mendapatkan THR kurang dari Rp 4,5 juta, maka pekerja tersebut tidak dikenakan PPh 21 THR.  
Lihat di sini untuk mempelajari contoh kasus perhitungan PPh 21 THR secara lebih mendetail.

6. Sanksi Perusahaan
Sebelum adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 yang mengatur tentang THR, perusahaan tidak
dikenakan sanksi apapun jika tidak memberikan THR kepada pekerja. Namun, setelah adanya peraturan tersebut, perusahaan
akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayarkan jika tidak memberikan THR kepada
pekerja.
Denda yang dimaksud adalah THR yang harus dibayarkan oleh perusahaan ke pekerja ditambah dengan 5% dari total THR yang
didapatkan oleh pekerja. Sehingga, perusahaan akan lebih dirugikan secara finansial sebagai sanksi akibat tidak memberikan
THR sebagaimana peraturan pemerintah.

 Jam Kerja

 Jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari.  Undang-Undang No.13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur jam kerja bagi pekerja di sektor swasta. Sedangkan, untuk  pengaturan mulai dan
berakhirnya waktu jam kerja diatur sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP)
atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 77 ayat 1 mewajibkan setiap perusahaan untuk mengikuti ketentuan jam kerja
yang telah diatur dalam 2 sistem yaitu:

Kedua sistem jam kerja yang berlaku memberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila
jam kerja dalam perusahaan melebihi ketentuan tersebut, maka waktu kerja yang melebihi ketentuan dianggap sebagai lembur,
sehingga pekerja berhak atas upah lembur.
Tanya jawab waktu istirahat kerja menurut Peraturan Ketenagakerjaan terbaru bisa dilihat di sini.

 Status Karyawan

 Kontrak kerja atau perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik
untuk waktu tertentu maupun waktu tidak tertentu, yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban pekerja dan
perusahaan. Dalam kontrak kerja, pekerja dapat mengetahui status kerja. Status kerja diatur dalam UU Cipta Kerja Bab IV
Ketenagakerjaan poin 12 hingga 16 yang merevisi Pasal 56 hingga 61 UU Ketenagakerjaan.
Status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya:
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk karyawan kontrak adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Pekerja dianggap sebagai karyawan
PKWT apabila kontrak kerja tidak lebih dari 5 tahun dan tidak ada masa percobaan kerja (probation). Hubungan kerja berakhir
pada saat selesainya jangka waktu kontrak atau selesainya pekerjaan yang diperjanjikan.
b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap atau biasa disebut karyawan tetap. Pada PKWTT dapat mensyaratkan adanya
masa percobaan kerja (probation) dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka
berdasarkan aturan hukum, sejak bulan keempat, pekerja dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT).
Selain status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya hubungan kerja, ada juga pekerja harian lepas (freelancer) dan pekerja
alih-daya (outsourcing). Pada dasarnya, mereka termasuk pekerja PKWT, namun agak berbeda dengan PKWT secara umum.
a. Pekerja Harian Lepas (Freelancer)
Pekerja harian lepas diatur dalam Pasal 10 PP No 35 Tahun 2021. Perjanjian kerja harian lepas merupakan PKWT yang
dilaksanakan untuk pekerjaan tertentu yang jenis dan sifat atau kegiatannya tidak tetap, berubah-ubah dalam hal waktu dan
volume pekerjaan, serta pembayaran upah pekerja didasarkan pada kehadiran.
Perjanjian ini harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Apabila pekerja bekerja 21
hari atau lebih dalam 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut, maka hubungan kerja demi hukum berubah menjadi PKWTT dan
status pekerja harian lepas berubah menjadi karyawan tetap.
b. Pekerja Alih Daya (Outsourcing)
Pekerja outsourcing adalah pekerja yang tidak direkrut secara langsung, melainkan disediakan oleh pihak ketiga atau
perusahaan penyedia tenaga kerja (alih daya). Perjanjian kerja dilakukan oleh pengusaha dengan perusahaan alih daya
berdasarkan kebutuhan penggunaan tenaga kerja untuk waktu tertentu.
Sedangkan, pekerja outsourcing merupakan karyawan dari perusahaan alih daya yang merekrut mereka.
Ketentuan outsourcing terdapat pada UU Cipta Kerja poin 20 tentang perubahan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan serta PP No 35
Tahun 2021. 
Tanya jawab UU Cipta Kerja seputar Perjanjian Kerja dapat dilihat di sini.

 Cuti

 Berdasarkan Undang-undang no. 13 tahun 2003 Pasal 79 ayat (2), pekerja yang telah bekerja minimal selama 12 bulan atau 1
(satu) tahun berturut-turut berhak untuk mendapatkan cuti sekurang-kurangnya 12 hari. Namun, perusahaan dapat
menyesuaikan ketentuan cuti pekerja berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) yang telah disepakati oleh perusahaan dan pekerja.
Lihat di sini untuk ulasan seputar jenis dan hak cuti karyawan menurut UU terbaru.

 Sakit

 Apabila karyawan tidak dapat melakukan pekerjaannya dikarenakan sakit, pengusaha tetap wajib membayar upah/gajinya. Di
Indonesia tidak terdapat waktu maksimal karyawan diberikan izin sakit. Karyawan yang tidak masuk kerja karena sakit selama
2 hari berturut-turut atau lebih harus menyertakan surat keterangan sakit dari dokter. tanpa keterangan resmi tersebut karyawan
akan dianggap mangkir dan diperhitungkan sebagai cuti tahunan.
Apabila sakit yang diderita karyawan cukup parah sehingga memerlukan waktu yang lama untuk kembali bekerja, akan
dilakukan penyesuaian terhadap upah yang diterimanya:
1. Untuk 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah,
2. Untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah,
3. Untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah,
4. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

 Peraturan Lembur

 Pengusaha wajib membayar upah kerja lembur jika mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja yang telah ditentukan
Undang-Undang. Kerja lembur harus memenuhi syarat berikut:
a. ada perintah dari pengusaha dan persetujuan dari pekerja bersangkutan secara tertulis dan/atau melalui media digital;
b. maksimal waktu lembur 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu, tidak termasuk lembur pada waktu istirahat
mingguan atau hari libur resmi.
Upah kerja lembur dihitung menggunakan upah sejam yang didasarkan pada upah bulanan. Upah sejam yaitu 1/173 kali upah
sebulan (gaji pokok dan tunjangan tetap). Berikut ini ketentuannya:
1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja maka:
a) upah 1 jam pertama dibayar 1.5 kali upah sejam;
b) untuk setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar 2 kali upah sejam.
2. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 5 hari kerja dan 40 jam
seminggu, maka:
a) untuk 8 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-9 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-10, ke-11, dan ke-12, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.
3. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 6 hari kerja dan 40 jam
seminggu, maka:
a) untuk 7 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-8 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-9, ke-10, dan ke-11, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.
Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, maka:
a) untuk 5 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-6 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-7, ke-8, dan ke-9, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.

 Pemutusan Hubungan Kerja

 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK dapat dilakukan dikarenakan alasan-alasan tertentu
dan dilarang apabila dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang. Pengusaha wajib merundingkan perihal PHK dengan
serikat pekerja atau dengan pekerja, apabila perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan maka PHK hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau pengadilan hubungan
industrial.
Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima oleh pekerja sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 serta dalam
kesepakatan yang ada pada Perjanjian Kerja Bersama atau Peraturan Perusahaan. Dalam hal pekerja/buruh melakukan
pelanggaran yang tertera dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama, pengusaha dapat melakukan
PHK setelah pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut.

 Hak atas Upah

 Sesuai Pasal 88A yang disisipkan Omnibus Law dalam UU Ketenagakerjaan, hak pekerja atas upah timbul sejak terjadi
hubungan kerja hingga berakhirnya hubungan kerja. Setiap pekerja berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang
sama nilainya.
Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja sesuai kesepakatan, namun tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Apabila kesepakatan tersebut lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum.
Pasal 88B menambahkan, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Ketentuan lebih lanjut dapat dilihat di PP
Pengupahan yang baru.

 Upah Minimum

 Pasal 88C, 88D, dan 88E mengatur ketentuan upah minimum. Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP)
berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang
statistik. Di samping itu, gubernur juga dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berdasarkan pertumbuhan
ekonomi daerah atau inflasi kabupaten/kota bersangkutan.
Upah minimum dihitung menggunakan formula upah minimum yang tercantum dalam PP Pengupahan, yang memuat variabel
pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Upah minimum hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari 1 tahun, dan
pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
Sedangkan menurut Pasal 90A dan 90B, upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja di perusahaan. Ketentuan upah minimum dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil, di mana upah ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
Tanya jawab UU Cipta Kerja seputar Pengupahan dapat dilihat di sini.

 Struktur dan Skala Upah

 Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 tahun 2017 tentang struktur dan skala upah, dijelaskan bahwa
struktur dan skala upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai yang tertinggi, ataupun sebaliknya, yang
memuat kisaran nilai nominal upah dari yang terkecil sampai yang terbesar untuk setiap golongan jabatan. Golongan jabatan
adalah pengelompokan jabatan berdasarkan nilai atau bobot jabatan.
Struktur dan skala upah wajib disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan
kompetensi. Tahapan penyusunan struktur dan skala upah yaitu analisa jabatan, evaluasi jabatan dan penentuan struktur dan
skala upah. Dalam Permenaker 1/2017 ini juga mewajibkan pengusaha untuk memberitahukan struktur dan skala upah kepada
seluruh pekerja/buruhnya secara perseorangan.

 PPh 21

 Peraturan terbaru mengenai Pajak Penghasilan atau PPh 21 mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.
PER-16/PJ/2016. Cara menghitung PPh 21 menyesuaikan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak yaitu:

Per 7 Oktober 2021, pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan. UU ini mengubah beberapa aturan Pajak Penghasilan (PPh), salah satunya Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Perpajakan
sehingga berdampak pada perubahan perhitungan PPh 21 karyawan perusahaan. Aturan ini berlaku mulai tahun pajak 2022.
Berikut ini perubahan tarif pajak orang pribadi berdasarkan UU HPP terbaru:
Terdapat perbedaan dalam perhitungan PPh 21 karyawan tetap dan karyawan tidak tetap. 
Berikut contoh yang menggambarkan perubahan perhitungan PPh 21 karyawan berdasarkan UU Nomor 7 tahun 2021.
Seorang back-end developer menerima gaji dan tunjangan tetap sebesar Rp10.000.000 setiap bulan dari perusahaan, statusnya
belum menikah dan tanpa tanggungan, serta memiliki NPWP.
Perhitungan PPh 21 berdasarkan UU PPh:

Anda mungkin juga menyukai