Anda di halaman 1dari 17

Kumpulan Peraturan Ketenagakerjaan :

Bagaimana Rumus penghitungan pembayaran THR yang benar sesuai UU yang berlaku ?

Jawaban :
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja
Di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”), besarnya Tunjangan Hari Raya (“THR”) ditetapkan
sebagai berikut:
a.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar
1 (satu) bulan upah.
b.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari
12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa
kerja x 1(satu) bulan upah.
 
Upah satu bulan tersebut adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap (Pasal 3 ayat
(2) Permenaker 4/1994). Apa saja tunjangan tetap itu? Kita dapat melihat mengenai tunjangan
tetap dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan
Non Upah (“SE Menaker 7/1990”).
 
Dalam SE Menaker 7/1990 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah
adalah suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap
untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan
pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Isteri; Tunjangan Anak; Tunjangan Perumahan;
Tunjangan Kematian; Tunjangan Daerah dan lain-lain. Tunjangan Makan dan Tunjangan
Transport dapat dimasukan dalam komponen tunjangan tetap apabila pemberian tunjangan
tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran, dan diterima secara tetap oleh pekerja menurut satuan
waktu, harian atau bulanan.
 
Berdasarkan ketentuan di atas, apabila tunjangan jabatan Anda diberikan secara tetap, tidak
dikaitkan dengan kehadiran, dan diterima secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu serta
dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, maka tunjangan
jabatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tunjangan tetap.
 
Oleh karena itu, merujuk pada pengaturan perhitungan THR di atas, maka tunjangan jabatan
yang Anda terima termasuk ke dalam perhitungan THR Anda.
 
Sebagai referensi, Anda juga dapat membaca artikel Perhitungan THR untuk Karyawan yang
Baru Dipromosi.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar Hukum:
1.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-04/MEN/1994 Tahun
1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan;
2.    Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor SE-07/MEN/1990 Tahun
1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah.

Wajibkah Perusahaan Membayar Lembur Pekerja yang Upahnya di atas UMP?


Selamat siang, perusahaan kami bergerak dalam bidang jasa marketing research, dan sekarang
karyawan tetap (staff level) kami hampir setiap 2 atau 3 hari di setiap minggunya harus bekerja
lembur dikarenakan deadline dari klien kami. Karyawan kami terutama level staff memiliki gaji
atau pendapatan tetap setiap bulannya yang sudah lebih tinggi dari UMP yang sudah ditetapkan,
dalam hal ini apakah keharusan untuk perusahaan untuk tetap membayarkan uang lembur sesuai
ketentuan yang berlaku? mohon petunjuknya.

Jawaban:

Pada dasarnya, ketentuan mengenai lembur secara umum telah diatur dalam Pasal 77 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Dalam
pasal ini disebutkan:
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a.    7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.    8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
 
Adapun aturan khusus yang mengatur mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur
adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-
102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur
(“Kepmenakertrans 102/VI/2004”).
 

Menurut Pasal 1 Kepmenakertrans 102/VI/2004, waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang
melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1(satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam 1 (satu) minggu; atau 8 (delapan) jam sehari dan 40(empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau waktu kerja padahari istirahat mingguan
dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah.

Sebelumnya, Anda kurang memberikan informasi kepada kami mengenai waktu kerja karyawan
di perusahaan yang Anda tanyakan, apakah untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau untuk 5 hari
kerja dalam 1 minggu. Namun demikian, pada dasarnya pengusaha wajib mematuhi ketentuan
waktu kerja yang disebut dalam Pasal 77 UU Ketenagakerjaan dan apabila melebihi waktu-
waktu yang disebut dalam Pasal 1 Kepmenakertrans 102/VI/2004, maka dinamakan waktu kerja
lembur.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud di


atas berdasarkan Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus memenuhi syarat:

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan


b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Dalam konteks pertanyaan Anda, maka waktu kerja lembur yang dilakukan oleh karyawan
hampir setiap 2 sampai 3 hari di setiap minggunya itu pada dasarnya hanya dapat dilakukan
paling banyak 3 jam dalam satu harinya dan 14 jam dalam satu minggunya. Oleh karena itu,
perlu dilihat kembali berapa lama waktu lembur yang dilakukan oleh karyawan.

Hal penting lainnya adalah lembur itu harus didasari oleh persetujuan karyawan yang
bersangkutan dan pengusaha yang mempekerjakan karyawan melebihi waktu kerja wajib
membayar upah kerja lembur. Penjelasan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah
lembur dapat Anda simak dalam artikel Keputusan Menteri Atas Waktu Dan Upah Kerja
Lembur.

Ini artinya, pemberian uang lembur dalam konteks pertanyaannya sifatnya bagi perusahaan
tersebut adalah wajib. Pemberian upah lembur didasarkan pada lebihnya ketentuan waktu kerja
yang seharusnya dan tidak dikaitkan dengan sudahnya upah karyawan di atas UMP.

Menurut Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,  pengusaha dilarang membayar upah lebih


rendah dari upah minimum, baik upah minimum (UM) berdasarkan wilayah
propinsi atau kabupaten kota(yang sering disebut Upah Minimum Regional, UMR) maupun upah
minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum
Sektoral, UMS). Penjelasan lebih lanjut mengenai UMP dapat Anda simak dalam artikel
Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Lebih dari 3 Kali, Bolehkah? dan Bolehkah
Menyepakati Upah di Bawah Upah Minimum?.
 

Dengan kata lain, dibayarnya upah karyawan yang sudah melebihi UMP tidak serta merta
menghapuskan kewajiban perusahaan untuk memberi upah kerja lembur bagi karyawannya yang
bekerja lembur.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.    Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.
KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur

-0-
Mengundurkan Diri Setelah Bekerja 14 Tahun, Apa Saja Hak yang Didapat?

Dengan hormat, mohon bantuannya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya ini.
Saya sudah bekerja selama 14 tahun dan saat ini akan mengajukan pengunduran diri.
Sesuai perundang-undangan, apakah dengan masa kerja selama itu saya tidak
mendapatkan apa-apa atau uang penghargaan atas loyalitas saya selama 14 tahun
(pekerjaan sekretaris)? Terima kasih.

Jawaban:
Sebelum Anda mengundurkan diri, Anda perlu memperhatikan syarat-syarat pengunduran diri
yang harus dipenuhi dalam Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan (“UUK”), yaitu:
a.    mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.    tidak terikat dalam ikatan dinas;
c.    tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
 
Kami berasumsi bahwa Anda mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Pada dasarnya, mengenai
hak-hak pekerja yang mengundurkan diri karena kemauan sendiri berdasarkan Pasal 162 ayat
(1) UUK hanya berhak atas Uang Penggantian Hak (“UPH”) sebagaimana terinci dalam Pasal
156 ayat (4) UUK. Di samping itu, khusus bagi karyawan yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) UUK pekerja
tersebut juga berhak diberikan Uang Pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjiankerja bersama.
 
Dari ketentuan di atas jelas kiranya bahwa jika Anda ingin mengundurkan diri, Anda hanya
berhak atas UPH dan Uang Pisah. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Apakah
Pekerja yang Mengundurkan Diri Akan Dapat Pesangon?, berdasarkan ketentuan Pasal 156
ayat (4) UUK, UPH meliputi:
a.    Hak cuti tahunan yang belum diambil (belum gugur) saat timbulnya di masa tahun berjalan,
perhitungannya: 1/25 x (upah pokok+tunjangan tetap) x sisa masa cuti yang belum diambil.
b.    Biaya ongkos pulang ke tempat (kota) di mana diterima pada awal kerja (beserta keluarga).
c.    Uang penggantian perumahan/pengobatan 15%* dari uang pesangon (“UP”) dan uang
penghargaan masa kerja (“UPMK”) (berdasarkan Surat Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi kepada para Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang
Ketenagakerjaan No. 600/MEN/SJ-HK/VIII/2005 tanggal 31 Agustus 2005).
*Catatan: Uang ini tidak didapat pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela, karena
faktor perkaliannya (yakni UP dan UPMK) nihil. Sehingga: 15% x nihil = nol.
d.    Hal-hal lain yang timbul dari perjanjian (baik dalam perjanjian kerja, dan/atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama), seperti bonus, insentif dan lain-lain yang
memenuhi syarat.
 
Jadi, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Anda yang telah bekerja selama 14 (empat
belas) tahun dan ingin mengundurkan diri atas kemauan sendiri hanya memperoleh UPH dan
uang pisah. Penjelasan lebih lanjut mengenai keduanya dapat Anda simak dalam artikel Apakah
Pekerja yang Mengundurkan Diri Akan Dapat Pesangon?.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
1.    Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

 2.    Surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi kepada para Kepala Dinas yang bertanggung
jawab di bidang Ketenagakerjaan No. 600/MEN/SJ-HK/VIII/2005 tanggal 31 Agustus 2005.
-0-
Apakah Pekerja yang Mengundurkan Diri Akan Dapat Pesangon?

Teman Saya adalah karyawan dengan masa kerja 2 tahun 3 bulan. Dia baru-baru ini
mengajukan pengunduran diri. Gaji teman saya Rp2.500.000/bulan. Saya ingin bertanya,
apakah dia masih berhak mendapatkan uang pesangon dan/atau uang penghargaan
walaupun dia mengundurkan diri? Apabila memang dia masih berhak, apakah dasar
hukumnya dan bagaimana perhitungannya? Terima kasih.

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUK) tidak
diatur mengenai “hak pesangon” bagi pekerja/buruh(istilah Saudara karyawan) yang
mengundurkan diri secara sukarela. Yang saya maksud dengan “hak pesangon” dan yang lazim
dipahami oleh masyarakat -awam- “buruh”, adalah Uang Pesangon (“UP”) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) UUK, demikian juga Uang Penghargaan Masa Kerja
(“UPMK”) sebagaimana tersebut dalam Pasal 156 ayat (3) UUK.
 
Namun, bagi karyawan yang mengundurkan diri -atas kemauan sendiri- (resign), sebagaimana
diatur dalam Pasal 162 ayat (1) UUK, hanyalah berhak atas Uang Penggantian Hak (“UPH”)
sebagaimana terinci dalam Pasal 156 ayat (4) UUK. Disamping itu -khusus- bagi karyawan
yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, -maksudnya-
non-management committee, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) UUK juga berhak -diberikan-
Uang Pisah yang nilainya dan pelaksanaan pemberiannya, merupakan kewenangan (domain)
para pihak untuk memperjanjikannya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan/perjanjian
kerja bersama.
 

Berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (4) UUK, UPH meliputi:

a.     Hak cuti tahunan yang belum diambil (belum gugur) saat timbulnya di masa tahun berjalan,
perhitungannya: 1/25 x (upah pokok + tunjangan tetap) x sisa masa cuti yang belum
diambil.

b.     Biaya ongkos pulang ke tempat (kota) di mana diterima pada awal kerja (beserta keluarga).

c.      Uang penggantian perumahan/pengobatan 15%* dari UP dan UPMK (berdasarkan Surat
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi kepada para Kepala Dinas yang bertanggung
jawab di bidang Ketenagakerjaan No. 600/MEN/SJ-HK/VIII/2005 tanggal 31 Agustus
2005).

*Catatan: Uang ini tidak didapatkan bagi yang resign (mengundurkan diri secara sukarela),
karena faktor perkaliannya (yakni UP dan UPMK) nihil. Sehingga: 15% x nihil = nol.

d.     Hal-hal lain yang timbul dari perjanjian (baik dalam perjanjian kerja, dan/atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama), seperti bonus, insentif dan lain-lain yang
memenuhi syarat.

Berapa besaran dan nilai Uang Pisah dimaksud, sangat bergantung dari nilai yang ditentukan
dalam perjanjian kerja dan/atau peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama. Walaupun
dalam praktik ada yang mengatur sesuai dengan nilai yang tertera dalam tabel UPMK, bahkan
ada yang lebih besar dari nilai tersebut. Akan tetapi, ada juga yang nilainya lebih rendah. Semua
itu diserahkan kepada (domain) para pihak untuk menyepakati dan memperjanjikan atau
mengaturnya.

 Pada dasarnya, hak-hak tersebut di atas hanya dapat diperoleh jika syarat dan ketentuan
mengenai pengunduran diri (resign) dalam undang-undang (Pasal 162 ayat [3] UUK), dipatuhi
dan/atau dipenuhi, yakni:

a. Permohonan disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum off(tidak lagi aktif
bekerja). Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pengusaha untuk mencari
pengganti yang baru dan/atau melakukan transfer of knowledge bagi karyawan baru
(pengganti);

b. Tidak ada sangkutan “ikatan dinas”;

c.   Harus tetap bekerja sampai hari yang ditentukan (maksimal 30 hari).

 Maksudnya hak atas UPH dan Uang Pisah hanya dapat diberikan jika syarat dan ketentuan
mengenai resign sudah dijalankan sesuai ketentuan. Walaupun pengusaha dapat melepaskan
haknya jika pekerja menyimpang dari ketentuan dimaksud, khususnya mengenai jangka waktu
30 (tigapuluh) hari sebelum benar-benar off (tidak lagi aktif bekerja) atau melepaskan haknya
atas ikatan dinas.
 Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, sekali lagi saya tegaskan, bahwa berdasarkan
Pasal 162 UUK, tidak ada ketentuan yang menyebutkan adanya hak “pesangon” berupa UP dan
UPMK bagi karyawan yang mengundurkan diri (resign) sebagaimana diatur dalam Pasal 156
ayat (2) dan ayat (3) UUK. Maksudnya, undang-undang menyebut dan memberikan hak bagi
karyawan yang resign, hanyalah UPH dan Uang Pisah -khususnya bagi karyawan yang tugas
dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, non-management
commitee
 Walaupun demikian, jika di antara para pihak menyepakati dan mengatur lain yang -nilainya-
lebih baik atau lebih besar jumlahnya bagi -sisi- karyawan, maka tentu undang-undang tidak
melarangnya. Demikian juga, apabila tidak diatur (ketentuan “pesangon” dimaksud), akan tetapi
pihak pengusaha berkenan -ikhlas- untuk memberikannya, atau yang nilanya lebih besar, tentu
sah-sah saja.
 Demikian jawaban saya, semoga dapat dimaklumi.

--0---

Bolehkah Pengusaha Merotasi Karyawan Secara Sepihak?

Apakah boleh seorang karyawan dirotasi dari reception ke bagian restoran? Sedangkan
hal ini tidak dimuat dalam PP, sehingga pekeja yang bersangkutan menolak. Apa
konsekuensi bagi pekerja tersebut?  

Jawaban:

Penempatan seseorang pekerja/buruh (karyawan) pada suatu jabatan tertentu atau pada suatu
jenis pekerjaan tertentu, demikian juga di suatu tempat (lokasi) pekerjaan tertentu, adalah
merupakan salah satu isi dalam perjanjian kerja yang seharusnya telah diperjanjikan sejak awal
dimulainya hubungan kerja.

Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c dan d Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No.13/2003”), bahwa perjanjian kerja antara
pengusaha dengan karyawan yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat (antara
lain) jabatan atau jenis pekerjaan dan tempat pekerjaan.
Artinya sejak semula dibuatnya perjanjian kerja, telah sepakati bahwa karyawan akan
dipekerjakan di suatu jabatan yang ditentukan atau pada suatu jenis pekerjaan tertentu, bahkan
telah ditentukan tempat kerjanya dan lokasi/area pekerjaannya.

Dengan demikian, apabila salah satu pihak (khususnya pengusaha) mengubah salah
satu/beberapa isi perjanjian kerja (termasuk mengubah jabatan karyawan atau jenis
pekerjaannya, atau memindahkannya pada lokasi tempat kerja yang berbeda), maka tentu dapat
dikategorikan telah menyalahi substansi perjanjian kerja secara sepihak yang lazim disebut
wanprestasi.

Walaupun demikian, bukan berarti pengusaha dan karyawan tidak dapat melakukan perubahan
isi perjanjian kerja yang telah disepakati. Berdasarkan Pasal 55 UU No.13/2003 jo. Pasal 1338
supra 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/ Burgerlijke Wetboek, perubahan substansi
perjanjian kerja bisa saja diubah (diamandemen atau addendum) dengan ketentuan harus atas
dasar persetujuan dan kesepakatan di antara para pihak.

Maksudnya, tidak boleh ada perubahan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak
lainnya. Kecuali sebelumnya telah dicantumkan (diatur/diperjanjikan) adanya klausul dimaksud
(termasuk dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama), bahwa salah satu pihak
(khususnya perngusaha) dapat melakukan rotasi (mutasi) sesuai dengan kebutuhan organisasi
perusahaan dan oleh karenanya secara-otomatis telah disepakati oleh karyawan (atas dasar
klausul dimaksud).

Dari ketentuan tersebut, maka pelaksanaan rotasi (termasuk mutasi) dari suatu jabatan ke jabatan
lainnya, atau pindah dari suatu tempat kerja ke lokasi pekerjaan lainnya, termasuk dari suatu unit
kerja ke unit kerja/unit usaha lain, dari suatu kota ke kota lainnya, dari suatu daerah/wilayah ke
daerah/wilayah kerja lainnya dan sebagainya, dapat dianggap sebagai telah mengubah substansi
perjanjian kerja sebagaimana telah diperjanjikan sejak awal, jika tanpa klausul penyimpangan
atau kesepakatan untuk itu.

Sehubungan dengan permasalahan Saudara, yang dimutasi dari resepsionis ke bagian restoran,
sepanjang secara tegas sejak semula tercantum pekerjaan sebagai resepsionis dalam perjanjian
kerja dan kemudian pengusaha mengubah (mutasi) ke bagian restoran, hemat saya dapat
dikategorikan telah mengubah isi perjanjian kerja secara sepihak (wanprestasi).

Oleh karenanya, apabila Saudara (karyawan) menolak rotasi (dimutasi), hemat saya sah-sah saja
penolakan itu asalkan memang sebelumnya tidak ada klausul penyimpangan dalam perjanjian
kerja berkenaan rotasi/mutasi itu sebagaimana yang Saudara sampaikan.

Bilamana pengusaha memaksa melakukan rotasi/mutasi tanpa adanya persetujuan pihak lainnya
(karyawan), maka menurut hemat saya, kemungkinan yang bisa terjadi, antara lain adalah bahwa
pelaksanaan rotasi (tanpa kesepakatan) dapat diartikan sebagai pengusaha telah memerintahkan
karyawan untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, sementara karyawan hanya
bersedia bekerja sesuai dengan isi perjanjian kerja [Pasal 169 ayat (1) huruf e jo. Pasal 93 ayat
(2) huruf f jo. Pasal 54 ayat (1) huruf c dan d UU No.13/2003].
Konsekuensinya bila karyawan menolak, bisa menjadi perselisihan hak (norma) bilamana
karyawan tetap bertahan pada pendiriannya bekerja di jabatan yang lama (resepsionis). Demikian
juga konsekuensi lainnya, karyawan mempunyai hak (dapat) memohon pengakhiran hubungan
kerja (PHK) sesuai dengan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf e UU No.13/2003 dengan alasan
karyawan telah diperintahkan untuk bekerja di luar dari pekerjaan yang diperjanjikan dalam
perjanjian kerja.

Berkenaan dengan permohonan itu, jika (rotasi tanpa dasar) itu terbukti dan permohonan PHK-
nya dikabulkan, maka karyawan berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2) UU No.13/2003. Demikian juga berhak atas uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak sesuai perhitungan dan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 156 ayat (3) dan
(4) UU No.13/2003. Namun sebaliknya, apabila permohonannya tidak terbukti (adanya rotasi),
maka karyawan dapat di-PHK secara sewenang-wenang tanpa “izin” penetapan dan tanpa hak
“pesangon” kecuali uang penggantian hak [Pasal 169 ayat (3) UU No.13/2003].

Jadi konsekuensinya juga agak berat, dan itu perlu proses yang panjang serta membutuhkan
tenaga, waktu dan biaya. Oleh karenanya, pelaksanaan rotasi sepihak oleh pengusaha
seyogyanya disikapi dengan baik (positive thinking). Sebaiknya dibicarakan dan lakukanlah
komunikasi secara intensif tanpa ada kecurigaan dan tanpa berpikir menyimpang (negative
thinking). Ada kemungkinan perusahaan mempunyai tujuan, maksud dan misi yang lebih baik
dalam pengembangan karier seorang karyawan untuk diberikan (dipercaya pada) suatu posisi
yang cakupannya lebih luas (promosi).

Demikian juga sebaliknya, pihak manajemen hendaknya melakukan dialog secara bipartit
(melalui pendekatan personal approach) dan menyampaikan maksud perubahan substansi
perjanjian kerja melalui rotasi atau mutasi, termasuk jika melakukan promosi, bahkan mungkin
juga demosi.

Demikian penjelasan saya, semoga dapat dipahami.

 
Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijke Wetboek;

2.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

---0---

Hak Pekerja yang Dimutasi ke Perusahaan dalam Satu Grup

Saya berumur 32 tahun. Saat ini sudah bekerja di perusahaan A selama 1 tahunan.
Perusahaan ingin memutasi saya ke perusahaan B walaupun berada dalam satu grup.
Kedua perusahaan adalah masih berstatus hukum rep. office (nama perusahaan berbeda).
Apabila saya dipindahkan dari perusahaan A ke B (beda legal), apakah saya berhak
mendapatkan uang jasa bila hanya bekerja satu tahun 3 bulan?
Jawaban:

Atas pertanyaan Saudara, dapat saya jelaskan, bahwa prinsip hubungan kerja adalah -adanya-
hubungan hukum antara perusahaan dengan pekerja/buruh atas dasar perjanjian kerja untuk
melakukan suatu pekerjaan di bawah perintah. Dengan perkataan lain, hubungan kerja adalah
hubungan hukum untuk melakukan pekerjaan antara suatu perusahaan yang -diwakili oleh
pengurusnya (cq. pengusaha)- dengan seseorang pekerja/buruh -secara personal- yang ditandai
dengan adanya perjanjian kerja (vide Pasal 1 angka 1 jo Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya akan disingkat “UU No. 13 Tahun 2003”).
 
Substansi yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja sesuai Pasal 54 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d dan huruf f UU No. 13 Tahun 2003, -antara lain- adalah, nama dan alamat
perusahaan (sebagai pemberi kerja), nama dan alamat pekerja/buruh (sebagai pemberi
kerja), jabatan atau jenis pekerjaan pekerja/buruh, tempat dilakukannya pekerjaan, serta syarat-
syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban para pihak (termasuk besarnya upah).
 
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, apabila Saudara dimutasi dari suatu perusahaan ke
perusahaan lainnya, walau dalam satu grup (holding company), hal itu berarti telah terjadi
pengakhiran/pemutusan hubungan kerja (“PHK”) dari perusahaan sebelumnya (perusahaan A)
dan kemudian direkrut oleh perusahaan lainnya (istilah Saudara, perusahaan B). Dalam hal
seperti ini, dari sisi perusahaan A, sebenarnya Saudara bukannya mutasi, akan tetapi diakhiri
hubungan kerjanya atau di-PHK. Bahwa Saudara dipekerjakan kembali oleh perusahaan B, itu
adalah persoalan lain dan dalam konteks yang berbeda.
 
Berkenaan dengan PHK tersebut, apakah Saudara berhak atas uang jasa? Hal ini dapat saya
jelaskan, bahwa saat ini undang-undang tidak menyebut lagi “uang jasa” sebagai salah satu hak
bagi seseorang pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya. Istilah tersebut hanya dikenal
dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor Per-03/Men/1996 tentang Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di
Perusahaan Swasta (Pasal 22).
 
Hak-hak pekerja/buruh yang di-PHK saat ini, adalah sebagaimana tersebut dalam Pasal 156 ayat
(1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menyebutkan, bahwa dalam hal terjadi PHK, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon (“UP”), uang penghargaan masa kerja (“UPMK”) dan
uang penggantian hak (“UPH”) yang seharusnya diterima dengan persyaratan dan besaran
jumlahnya diatur dalam (tabel) Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13 Tahun
2003.
 
Terkait dengan permasalahan Saudara, dan sesuai informasi yang Saudara sampaikan, apabila
masa kerja Saudara adalah 1 (satu) dan 3 (tiga) bulan, maka berdasarkan Pasal 156 ayat (2) huruf
b UU No. 13 Tahun 2003, Saudara berhak atas UP sebesar 2 (dua) bulan upah. Namun, karena
masa kerja Saudara belum genap 3 (tiga) tahun, maka berdasarkan Pasal 156 ayat (3) huruf a UU
No. 13 Tahun 2003, Saudara belum berhak UPMK. Akan tetapi, jika memenuhi syarat dan
ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003, Saudara sudah berhak atas UPH,
khususnya penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15% dari hak
Saudara atas UP sebagaimana tersebut di atas.
 
Dengan demikian hak Sauadara, adalah selain UP sebesar 2 (dua) bulan upah, juga berhak atas
UPH sebesar 15% x 2 (dua) bulan upah yang Saudara dapatkan.
 
Demikian juga Saudara memungkinkan atas penggantian hak cuti tahunan yang belum diambil
dan belum gugur, dan ongkos pulang ke daerah asal di mana Saudara direkrut, serta hal-hal
lainnya yang telah -pernah- diperjanjikan jika memenuhi ketentuan. Berapa besaran masing-
masing? Sangat bergantung dari berapa, di mana, dan apa yang sudah pernah diperjanjikan.
Mungkin hanya Saudara -dan manajemen- yang mengetahui dan dapat menghitung rincian
akumulasinya.
 
Demikian jawaban saya, semoga dapat dipahami.
 
Dasar hukum:

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

--0--

Bolehkah Karyawan Menolak Penempatan Kerja/Mutasi?

Dengan Hormat, saya adalah seorang karyawan di BUMN konstruksi di Jakarta. Pada
saat ini saya menghadapi sebuah pilihan yang sulit, antara karir dan keluarga, di mana
saya baru mendengar selentingan berita bahwa saya akan dimutasi ke luar Jakarta, dalam
hal ini ke Makasar. Akan tetapi dari pihak manajemen perusahaan belum menyampaikan
hal tersebut secara langsung kepada saya. Kalau hal ini memang benar terjadi kepada
saya nantinya, terus terang saya akan menolak mutasi ini, dengan alasan tidak bisa jauh
dari keluarga karena memang keluarga saya di Jakarta, dan anak-anak saya masih kecil-
kecil. Pertanyaannya adalah apakah saya boleh menolak mutasi tersebut dengan alasan
keluarga, dan saya merasa bahwa dengan mutasi ini secara tidak langsung
memberhentikan karyawannya secara halus. Sebab hal ini sudah sangat sering terjadi
kepada teman-teman saya sebelumnya dengan alasan mutasi ke luar Jakarta, akhirnya
berakhir kepada pengunduran diri dari yang bersangkutan karena berbagai macam
alasan. Terus terang saya pun menjadi tidak nyaman lagi bekerja pada saat ini, ditambah
dengan sikap atasan langsung saya yaitu Project Manager yang memberikan laporan ke
manajemen perusahaan bahwa saya sering tidak ada di project, meskipun kenyataannya
tidak seperti itu. Dari segi hukum buruh dan ketenagakerjaan, apakah saya boleh menolak
mutasi tersebut, dan kalau saya menolak mutasi tersebut apakah konsekuensi hukumnya?
Mohon penjelasannya. terima kasih.  

Mutasi atau penempatan pekerja ke tempat lain harus memperhatikan berlakunya Pasal 32 UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:
 
(1).    Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2).    Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan
yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan
dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3).    Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
 

Berkaitan dengan apa yang Anda sampaikan, di Hukumonline pernah ada berita berjudul
Menolak Mutasi Berarti Menolak Perintah Kerja. Di dalam berita tersebut diceritakan soal
seorang pekerja (Bambang Prakoso) yang diputus hubungan kerjanya (di-PHK) oleh Bank Mega
karena menolak mutasi. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Majelis hakim Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pimpinan Supraja mengabulkan gugatan PHK yang
dilayangkan Bank Mega terhadap Bambang Prakoso gara-gara menolak mutasi. Hakim
menganggap, menolak mutasi sama dengan menolak perintah kerja. Sehingga tindakan Bambang
dapat dikualifisir mengundurkan diri sesuai Pasal 168 UUK.
 

Dalam perkara Bambang melawan Bank Mega, memang disebutkan dalam Pasal 5 Peraturan
Perusahaan Bank Mega bahwa perusahaan berwenang untuk mengangkat, menetapkan, atau
mengalihtugaskan satu jabatan ke jabatan lainnya atau satu tempat ke tempat lainnya di
lingkungan perusahaan.
 

Hal serupa pernah pula dialami oleh Bambang Wisudo yang digugat PHK oleh Kompas.
Gugatan Kompas dikabulkan oleh Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta
dengan dalil Bambang menolak mutasi. Lebih jauh simak artikel Mutasi Adalah Hak Mutlak
Perusahaan, PHK Wartawan ‘Kompas’ Sah.
 

Kesamaan dari dua kasus tersebut di atas yaitu kedua karyawan tersebut sudah pernah
menandatangani pernyataan bersedia ditempatkan di mana saja. Menolak mutasi berarti sama
saja melanggar syarat perjanjian kerja.
 

Kembali ke pertanyaan Anda, seandainya benar perusahaan akan melakukan mutasi terhadap
Anda dan Anda ingin menolak mutasi tersebut, Anda harus melihat kembali ketentuan dalam
Peraturan Perusahaan ("PP") tempat Anda bekerja atau perjanjian kerja Anda dengan
perusahaan. Jika memang menolak mutasi dikualifikasikan sebagai “menolak perintah kerja”,
atau melanggar perjanjian kerja, konsekuensinya adalah Anda dianggap melanggar PP atau
perjanjian kerja dan dapat digugat ke PHI.

 Namun, sebelumnya Anda dapat mengupayakan cara kekeluargaan dengan menyampaikan latar
belakang dari keberatan Anda untuk dimutasikan ke tempat lain karena alasan keluarga. Upaya
awal yang dapat Anda lakukan adalah melalui perundingan bipartit. Lebih jauh simak artikel
Hubungan Industrial.

 Merujuk pada Pasal 32 UUK di atas, penempatan tenaga kerja memang harus memperhatikan
harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum pekerja. Dengan demikian, memang
sebaiknya pihak perusahaan memperhatikan kondisi pekerja yang akan dimutasi, termasuk
kondisi keluarganya.

Jadi, menurut hemat kami, seandainya Anda terkena mutasi, Anda bisa saja menyampaikan
keberatan Anda atas mutasi tersebut secara baik-baik atau “menawar” kebijakan mutasi tersebut
agar perusahaan mempertimbangkan alasan Anda untuk tidak jauh dari keluarga. Dengan
harapan, perusahaan akan mempertimbangkan kembali rencana mutasi tersebut.

 Akan tetapi, jika kewenangan perusahaan untuk melakukan mutasi ini diatur dalam PP atau
perjanjian kerja, maka perusahaan sangat mempunyai dasar untuk memutus hubungan kerja
Anda jika Anda menolak mutasi.
 
Dasar hukum:

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

----0000----

THR Bagi Pekerja Dalam Masa Skorsing ?

Selamat siang, saya mohon penjelasan dan pencerahan dari Hukumonline. Jika status
karyawan tetap namun masih dalam status skorsing, apakah masih dapat menerima THR
(Tunjangan Hari Raya)? Terima kasih.

Jawaban:
Tindakan skorsing dikenal UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) dalam hal
pekerja/buruh (karyawan) sedang dalam proses PHK (pemutusan hubungan kerja) (lihat Pasal
155 ayat [3] UUK).

Sesuai ketentuan dalam Pasal 155 ayat (2) jo ayat (3) UUK, selama belum ada putusan mengenai
pemutusan hubungan kerja bagi pekerja atau pekerja masih dalam masa skorsing, pengusaha
wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja.

Namun, jika ternyata THR tidak dibayarkan kepada pekerja dalam masa skorsing, hal ini akan
menjadi dasar perselisihan hak sebagai bagian dari sengketa hubungan industrial. Berdasarkan
Pasal 1 angka 2UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(“UUPHI”), perselisihan tersebut diselesaikan berdasarkan ketentuan UUPHI.
Menurut UUPHI, cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus dimusyawarahkan
terlebih dahulu antara pengusaha dan pekerja paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan (Pasal 3 UUPHI).
 

Bila musyawarah gagal, perselisihan tersebut kemudian dicatatkan ke instansi ketenagakerjaan


setempat untuk ditawarkan upaya penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dalam hal para
pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator (Pasal 4 UUPHI). Bila konsiliasi
ataumediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UUPHI).

Jadi, menjawab pertanyaan Anda, selama hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja belum
putus, meskipun dalam masa skorsing, pekerja tetap berhak atas upah dan hak-hak lainnya,
termasuk hak atas THR.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.    Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.    Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

---000----

Dapatkah Pembayaran Pesangon dengan Dicicil?


Selamat pagi. Mohon informasinya apakah ada peraturan yang menyatakan bahwa
pembayaran uang pesangon dapat dicicil? Terima kasih.

Jawaban:

Sesuai Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) dalam
hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Perhitungan
pesangon lebih lanjut diatur dalam Pasal 156 ayat (2) UUK.
 
Lebih jauh mengenai pesangon Anda bisa menyimak beberapa artikel berikut:
-         Perhitungan Pesangon Pekerja Jasa Pemakaman;
-         Hak Pesangon Jika Di-PHK Karena Kesalahan Berat;
-         Aturan Uang Pesangon dalam Hal PHK Karena Usia Pensiun.

Dalam ranah praktik memang kerap ditemui pembayaran pesangon dengan cara dicicil. Karena
memang dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak diatur secara spesifik dan rinci
mengenai bagaimana cara pembayaran pesangon atau kapan persisnya pesangon harus
dibayarkan.
 
Menyikapi hal tersebut, dalam hal pekerja diputus hubungan kerjanya, hal-hal mengenai
pembayaran pesangon yang merupakan kewajiban pengusaha dapat dirundingkan di antara kedua
belah pihak, yakni pengusaha dan pekerja. Pengusaha dan pekerja dapat membuat kesepakatan
mengenai bagaimana dan kapan pesangon harus dibayarkan. Dalam hal ini, termasuk disepakati
apakah pembayarannya akan dicicil atau langsung dibayar tunai.

Apabila pihak pekerja tidak menyetujui pembayaran pesangon dengan cara dicicil, hal ini bisa
menjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja. Dan untuk proses
penyelesaian perselisihan hubungan industrial diselesaikan dengan cara-cara sebagaimana diatur
dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yakni:
1.    Mengadakan perundingan bipartit (antara pekerja dan pengusaha) secara musyawarah untuk
mencapai mufakat.
2.    Apabila dalam waktu 30 hari setelah perundingan dimulai tidak tercapai kesepakatan, upaya
selanjutnya adalah perundingan tripartit, yaitu dengan melibatkan Dinas Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi setempat. Pada tahap ini, Anda perlu mengajukan bukti-bukti bahwa
perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan.
3.    Apabila perundingan tripartit tetap tidak menghasilkan kesepakatan, maka salah satu pihak
dapat mengajukan perselisihan ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
 
Salah satu contoh kasus terkait hal ini adalah PT Hikmat Makna Aksara (HMA) -- perusahaan
penerbit Majalah Bisnis dan Ekonomi Trust -- ketika memutus hubungan kerja Bambang Bujono
dkk. Jumlah kewajiban yang harus dibayarkan oleh Trust dirasa cukup berat, tapi dari sisi
karyawan sendiri ingin Trust membayar secara tunai tanpa cicilan. Dalam kasus tersebut
kemudian Mahkamah Agung memutuskan bahwa perusahaan harus membayarkan kewajibannya
secara tunai, tanpa dicicil. Lebih jauh, simak artikel Harus Bayar Pesangon Rp300 Juta,
Perusahaan Merasa Berat.
 
Jadi, hingga saat ini tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara tegas
membolehkan atau melarang pembayaran pesangon dengan dicicil. Pada dasarnya, pembayaran
pesangon disesuaikan dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, apakah disepakati
untuk dicicil atau tidak.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
1.    Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.    Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

--000--

Adakah batas waktu pembayaran Uang Penggantian Hak?

Dengan masa Kerja lima tahun lebih, saya mengundurkan diri dengan baik-baik dari
perusahaan per 2 Januari 2009 dan telah memenuhi segala yang tercantum dalam UU
13/2003 Pasal 162 ayat 3. Saya juga telah mendapatkan surat penetapan PHK maupun
surat referensi kerja dari perusahaan. Hingga Mei 2009, perusahaan belum membayar
apapun terkait pengunduran diri saya sesuai UU 13/2003 Pasal 156 ayat 4 butir a,b dan d
dan juga Uang Pisah sesuai SK Direksi. Saya direkrut di Malang untuk bertugas di luar
pulau (dibuktikan dengan surat pemanggilan kerja), di mana saat pulang ke daerah asal
saya menggunakan uang pribadi karena hingga kini belum diganti oleh perusahaan. Saya
telah beberapa kali mengingatkan via telepon maupun email sejak pertengahan Januari
hingga akhir Maret, namun tidak mendapatkan tanggapan. Hal ini membuat saya dan
keluarga menderita karenanya, dimana saya memiliki tanggungan dua orang anak dan
seorang istri. Adakah sanksi atas perlakukan perusahaan terhadap saya? Dapatkah
perusahaan dituntut berdasarkan UU 13/2003 Pasal 169 ayat 1 butir c dan d, yang
memiliki konsekuensi Pasal 169 ayat 2?

Jawaban :

Bagi Anda yang melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri maka, Anda akan
memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UU yang meliputi:
a.      Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.      Biaya pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja;
c.      Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan
d.      Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
Di dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur batas waktu pembayaran Uang Penggantian Hak.
Menurut hemat kami, hal tersebut seharusnya merupakan sudah menjadi kesepakatan antara
Anda dan perusahaan.
Bila Anda sudah melakukan usaha untuk menyelesaikan masalah ini dan tidak ada tanggapan
dari perusahaan, Anda dapat saja mengajukan persoalan ini kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja
setempat untuk diperantarai atau memilih penyelesaian melalui konsiliator atau arbiter yang
terdaftar. Bila tidak dicapai kesepakatan penyelesaian, salah satu pihak (Anda atau perusahaan)
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam pasal 162 ayat (1) c dan d UU Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial jika pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama tiga bulan berturut-turut atau lebih dan tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan
kepada buruh.
Dari uraian yang Anda sampaikan, kami simpulkan bahwa Anda telah mengundurkan diri dari
perusahaan tersebut dengan baik sehingga, menurut pemahaman kami, Anda telah
menyelesaikan masalah Pemutusan Hubungan Kerja Anda dengan Perusahaan dan Anda tidak
dapat menuntut permasalahan keterlambatan pembayaran Uang Penggantian Hak berdasarkan
pasal tersebut.
Kami menyarankan agar Anda menghubungi konsultan hukum anda untuk membahas hal ini
lebih lanjut. Demikian, semoga bermanfaat.
Baca juga: Uang Jasa atas pengunduran diri.
Peraturan perundang-undangan terkait:
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai