Upah Minimum
Pengupahan diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) Pasal 88-90, yang direvisi melalui Omnibus Law
atau UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Setiap pekerja/buruh berhak atas
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu, pemerintah pusat menetapkan kebijakan
pengupahan yang meliputi:
a. upah minimum;
b. struktur dan skala upah;
c. upah kerja lembur;
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
e. bentuk dan cara pembayaran upah;
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Ketentuan rinci mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja, yang sekaligus
mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015.
Hari Raya Keagamaan di Indonesia yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri untuk Pekerja beragama Islam, Hari Raya Natal untuk
Pekerja beragama Katolik dan Protestan, Hari Raya Nyepi untuk Pekerja beragama Hindu, Hari
Raya Waisak untuk Pekerja beragama Buddha, dan Hari Raya Imlek untuk Pekerja beragama
Konghucu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016, ada 6 poin penting yang
perlu diketahui tentang THR:
1. Masa Kerja Pekerja
THR wajib diberikan kepada pekerja yang telah bekerja minimal 1 bulan di perusahaan.
Perhitungan untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari 12 bulan dan lebih dari 12 bulan
berbeda. Jika pekerja dengan masa kerja lebih dari 12 bulan mendapatkan THR sebesar upah 1
bulan, pekerja dengan masa kerja 1 bulan dan kurang dari 12 bulan mendapatkan THR dengan
perhitungan ((masa kerja)/12) x upah 1 bulan.
Definisi “upah” yang digunakan sebagai basis perhitungan THR dapat berbeda-beda sesuai
dengan kebijakan perusahaan. Namun pada dasarnya, perusahaan menggunakan salah satu
besaran berikut sebagai basis perhitungan THR:
1. Hanya gaji pokok
2. Gaji pokok dan tunjangan tetap
Berikut ini beberapa contoh perhitungan THR sebagai ilustrasi.
2. Bentuk THR
THR hanya dapat diberikan dalam bentuk uang rupiah. Dengan kata lain, pemberian THR berupa
voucher, paket sembako, parsel dan hadiah lainnya tidak dihitung sebagai THR.
3. Waktu Pemberian THR
Pemberian THR oleh perusahaan kepada pekerja wajib dilakukan selambat-lambatnya 7 hari atau
seminggu sebelum Hari Raya Keagamaan berlangsung. Sebagai contoh, apabila Hari Raya Idul
Fitri jatuh pada tanggal 17 Juni 2017, maka perusahaan harus memberikan THR kepada pekerja
maksimal tanggal 10 Juni 2017.
4. THR bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri
Pekerja Kontrak Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/Tetap) berhak mendapatkan THR jika
pemutusan hubungan kerja terjadi 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Sedangkan bagi
Pekerja Kontrak Waktu Tidak Tertentu (PKWT/Kontrak) tidak berhak atas aturan tersebut.
Perdebatan seringkali muncul jika terjadi kasus pemutusan hubungan kerja dalam waktu yang
cukup dekat dengan Hari Raya Keagamaan. Ada baiknya hal-hal tersebut dibahas dengan pihak
manajemen serta karyawan yang bersangkutan secara terbuka dan kekeluargaan untuk
menghindari sengketa lebih lanjut.
5. Pajak THR
PPh 21 atas THR hanya dikenakan bagi pekerja yang mendapatkan THR di atas Pendapatan
Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun.
Jika pekerja mendapatkan THR kurang dari Rp 4,5 juta, maka pekerja tersebut tidak dikenakan
PPh 21 THR. Lihat di sini untuk mempelajari contoh kasusperhitungan PPh 21 THR secara
lebih mendetail.
6. Sanksi Perusahaan
Sebelum adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 yang mengatur tentang
THR, perusahaan tidak dikenakan sanksi apapun jika tidak memberikan THR kepada pekerja.
Namun, setelah adanya peraturan tersebut, perusahaan akan dikenakan sanksi berupa denda
sebesar 5% dari total THR yang harus dibayarkan jika tidak memberikan THR kepada pekerja.
Denda yang dimaksud adalah THR yang harus dibayarkan oleh perusahaan ke pekerja ditambah
dengan 5% dari total THR yang didapatkan oleh pekerja. Sehingga, perusahaan akan lebih
dirugikan secara finansial sebagai sanksi akibat tidak memberikan THR sebagaimana peraturan
pemerintah.
Jam Kerja
Jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari
dan/atau malam hari. Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur jam
kerja bagi pekerja di sektor swasta. Sedangkan, untuk pengaturan mulai dan berakhirnya waktu
jam kerja diatur sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 77 ayat 1 mewajibkan setiap perusahaan untuk
mengikuti ketentuan jam kerja yang telah diatur dalam 2 sistem yaitu:
Kedua sistem jam kerja yang berlaku memberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam
dalam 1 (satu) minggu. Apabila jam kerja dalam perusahaan melebihi ketentuan tersebut, maka
waktu kerja yang melebihi ketentuan dianggap sebagai lembur, sehingga pekerja berhak atas
upah lembur.
Status Karyawan
Kontrak kerja atau perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha
secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun waktu tidak tertentu, yang
memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan. Dalam kontrak
kerja, pekerja dapat mengetahui status kerja. Status kerja diatur dalam UU Cipta Kerja Bab IV
Ketenagakerjaan poin 12 hingga 16 yang merevisi Pasal 56 hingga 61 UU Ketenagakerjaan.
Status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya:
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk karyawan kontrak adalah perjanjian kerja antara
pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerjaan tertentu. Pekerja dianggap sebagai karyawan PKWT apabila kontrak kerja tidak lebih
dari 5 tahun dan tidak ada masa percobaan kerja (probation). Hubungan kerja berakhir pada saat
selesainya jangka waktu kontrak atau selesainya pekerjaan yang diperjanjikan.
b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap atau biasa disebut
karyawan tetap. Pada PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation)
dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka
berdasarkan aturan hukum, sejak bulan keempat, pekerja dinyatakan sebagai pekerja tetap
(PKWTT).
Selain status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya hubungan kerja, ada juga pekerja harian
lepas (freelancer) dan pekerja alih-daya (outsourcing). Pada dasarnya, mereka termasuk pekerja
PKWT, namun agak berbeda dengan PKWT secara umum.
a. Pekerja Harian Lepas (Freelancer)
Pekerja harian lepas diatur dalam Pasal 10 PP No 35 Tahun 2021. Perjanjian kerja harian lepas
merupakan PKWT yang dilaksanakan untuk pekerjaan tertentu yang jenis dan sifat atau
kegiatannya tidak tetap, berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan, serta pembayaran
upah pekerja didasarkan pada kehadiran.
Perjanjian ini harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1
bulan. Apabila pekerja bekerja 21 hari atau lebih dalam 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut,
maka hubungan kerja demi hukum berubah menjadi PKWTT dan status pekerja harian lepas
berubah menjadi karyawan tetap.
b. Pekerja Alih Daya (Outsourcing)
Pekerja outsourcing adalah pekerja yang tidak direkrut secara langsung, melainkan disediakan
oleh pihak ketiga atau perusahaan penyedia tenaga kerja (alih daya). Perjanjian kerja dilakukan
oleh pengusaha dengan perusahaan alih daya berdasarkan kebutuhan penggunaan tenaga kerja
untuk waktu tertentu.
Sedangkan, pekerja outsourcing merupakan karyawan dari perusahaan alih daya yang merekrut
mereka. Ketentuan outsourcing terdapat pada UU Cipta Kerja poin 20 tentang perubahan Pasal
66 UU Ketenagakerjaan serta PP No 35 Tahun 2021.
Cuti
Berdasarkan Undang-undang no. 13 tahun 2003 Pasal 79 ayat (2), pekerja yang telah
bekerja minimal selama 12 bulan atau 1 (satu) tahun berturut-turut berhak untuk mendapatkan
cuti sekurang-kurangnya 12 hari. Namun, perusahaan dapat menyesuaikan ketentuan cuti pekerja
berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
yang telah disepakati oleh perusahaan dan pekerja.
Sakit
Peraturan Lembur
Pengusaha wajib membayar upah kerja lembur jika mempekerjakan pekerja melebihi
waktu kerja yang telah ditentukan Undang-Undang. Kerja lembur harus memenuhi syarat
berikut:
a. ada perintah dari pengusaha dan persetujuan dari pekerja bersangkutan secara tertulis dan/atau
melalui media digital;
b. maksimal waktu lembur 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu, tidak termasuk
lembur pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi.
Upah kerja lembur dihitung menggunakan upah sejam yang didasarkan pada upah bulanan. Upah
sejam yaitu 1/173 kali upah sebulan (gaji pokok dan tunjangan tetap). Berikut ini ketentuannya:
1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja maka:
a) upah 1 jam pertama dibayar 1.5 kali upah sejam;
b) untuk setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar 2 kali upah sejam.
2. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk
waktu 5 hari kerja dan 40 jam seminggu, maka:
a) untuk 8 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-9 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-10, ke-11, dan ke-12, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.
3. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk
waktu 6 hari kerja dan 40 jam seminggu, maka:
a) untuk 7 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-8 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-9, ke-10, dan ke-11, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.
Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, maka:
a) untuk 5 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-6 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-7, ke-8, dan ke-9, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.
Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja sebagaimana yang tertera
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 serta dalam kesepakatan
yang ada pada Perjanjian Kerja Bersama atau Peraturan Perusahaan. Dalam hal
pekerja/buruh melakukan pelanggaran yang tertera dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja sama, pengusaha dapat melakukan PHK setelah pekerja
yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-
turut
Kebijakan Ketenagakerjaan Di Amerika
Di Amerika, hukum perburuhan secara jelas dapat diakses langsung di
web United States Departement of Labor. Di web tersebut salah satunya
berisi tentang hak-hak & kewajiban buruh di Amerika. Mengacu dari web
tersebut, list hak-hak buruh di Amerika disusun dari prinsip-prinsip dasar
mengenai hak buruh yang disepakati oleh International Labor
Organization (ILO).
Masing-masing poin ini akan dibahas secara ringkas tetapi jelas, mulai
dari definisi, strategi yang akan digunakan, dan objectives yang ingin
dituju dari strategi tersebut. Berikut adalah lima poin besar tersebut.
5. Working Condition.
Working condition di sini meliputi standar tempat kerja, kemudian upah
minimum yang bisa membuat hidup wajar, jam kerja, hak cuti, dan
jaminan kesehatan. Peran dari DOL adalah memonitor hukum
perburuhan yang berlaku dan juga bekerja dengan kementerian-
kementerian lain yang terkait.
Bagian utama dari Undang-Undang yang mengatur kondisi kerja di Jepang adalah Undang-Undang Standar
Tenaga Kerja/ Labour Standard Acts (1945). Prinsip-prinsip dasar didasarkan pada konstitusi Jepang,
khususnya pasal 14 dan 27.
Pasal 14. Semua orang sama di bawah hukum dan tidak boleh ada diskriminasi dalam hubungan politik,
ekonomi atau sosial karena ras, keyakinan, jenis kelamin, status sosial atau asal keluarga.
Pasal 27. Semua orang memiliki hak dan kewajiban untuk bekerja. Standar untuk upah, jam bekerja, istirahat
dan kondisi kerja lainnya harus ditetapkan oleh hukum. Anak-anak tidak boleh dieksploitasi.
Setiap diskriminasi berdasarkan ras, kepercayaan, jenis kelamin, status sosial, atau asal keluarga dilarang oleh
Konstitusi Pasal 14.
Pasal 4 menjamin hak upah yang setara baik untuk pria dan wanita.
Kontrak Kerja
1. Isi Kontrak
Kontrak kerja harus secara jelas menyatakan kondisi kerja. Termasuk upah, jam kerja dan cuti berbayar.
Peraturan mengenai lembur dan uang transportasi juga biasanya dimasukkan.
Kontrak yang mendefinisikan segala jenis pembayaran penalti arena tidak terpenuhinya kontrak itu tidak sah
(UU Standar Tenaga Kerja pasal 16).
Masa percobaan umumnya selama 3 bulan, tidak ada UU yang mengatur durasi masa percobaan ini dan
pembaruan diizinkan.
Meskipun demikian, ada hukum yang melindungi Anda agar tidak dipecat sembarangan. Jika seseorang telah
bekerja untuk perusahaan selama setidaknya 14 hari, pemberi kerja harus memberitahu kepada Anda sekurang-
kurangnya 30 hari sebelum memecat dalam masa percobaan (UU Standar Tenaga Kerja, pasal 21).
Pembayaran Upah
Upah di Jepang harus dibayar dalam mata uang (bukan dalam saham) seluruh jumlah harus dibayar penuh dan
secara langsung setidaknya sebulan sekali pada tanggal yang telah ditentukan (UU Standar Tenaga Kerja, pasal
24).
Ini tidak termasuk pengurangan seperti pajak dan premi asuransi, yang akan dipotong oleh pemberi kerja dari
gaji Anda menurut UU.
1. Upah Minimum
Tidak diperbolehkan membayar pekerja di bawah upah minimum di Jepang. Upah minimum tidak tetap, terus
disesuaikan oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan dan oleh Komisi Musyawarah
Upah Minimum di tingkat nasional dan lokal.
Upah minimum bervariasi berdasarkan industri dan wilayah. Jadi, jangan kaget ketika Anda menemukan upah
minimum di Fukuoka atau Sapporo lebih rendah dari upah di Tokyo (karena upah minimum mencerminkan
biaya hidup).
Menurut UU, jam kerja resmi di Jepang adalah 8 jam sehari, 40 jam seminggu, hingga 44 jam di industri
tertentu (UU Standar Tenaga Kerja; Pasal 32,40,131).
Selain itu, lembur dimungkinkan hingga batas tertentu, jika perusahaan mengajukan "Pemberitahuan
Perjanjian tentang lembur dan bekerja pada hari libur" ke Kantor Inspeksi Standar Tenaga Kerja. Jika
perusahaan tidak melakukannya, perusahaan dapat dijatuhi hukuman.
Batas Lembur:
45 jam per bulan, 81 jam selama 2 bulan, 120 jam selama 3 bulan, dan 360 jam per tahun.
1. Pembayaran Lembur
UU Tenaga Kerja mengatur pembayaran lembur dengan tambahan sebesar 25% untuk lembur setelah jam kerja
reguler, bekerja saat hari libur, dan bekerja sampai tengah malam. Sementara lembur pada hari libur resmi,
memperoleh tambahan 35%. Dalam praktek, beberapa perusahaan memberikan pembayaran lembur dengan
nilai tetap untuk menyederhanakan proses perhitungan lembur.
Hari Libur resmi adalah 1 hari seminggu atau setidaknya 4 hari dalam 1 bulan (UU Tenaga Kerja pasal 35).
Pekerja yang bekerja lebih dari 6 bulan dengan kehadiran minimal 80% berhak memperoleh cuti tahunan
berbayar (UU Tenaga Kerja pasal 39). Bagi pegawai tetap, dimulai dengan 10 hari per tahun, dan bertambah
tiap tahun sampai dengan maksimum 20 tahun.
1. Pemberhentian Kerja
Pemberi kerja harus memberi notifikasi minimal 30 hari sebelum memberhentikan pekerja. Jika pemberitahuan
disampaikan kurang dari periode tersebut, pemberi kerja harus membayarkan semua upah secara penuh untuk
30 hari.
Pengecualian diberikan untuk keadaan bangkrut, bencana alam, atau jika pekerja bertanggungjawab atas
pemberhentian. Dalam kasus ini, perusahaan wajib mempersiapkan Surat Keterangan terkait alasan
pemberhentian, atas permohonan pekerja.
UU Tenaga Kerja pasal 27 mengatur terkait keamanan kerja sebagai masalah publik. Berbagai UU juga secara
khusus melarang pemecatan pegawai dengan alasan tertentu, namun tidak terbatas pada: kecelakaan kerja,
pernikahan, cuti hamil dan gender.
Pada prinsipnya, Tenaga Kerja Asing akan memperoleh hak atas jaminan sosial ketenagakerjaan yang sama
dengan pekerja Jepang lainnya, sesuai Peraturan Hukum berikut:
Seorang pegawai berhak memperoleh hak dan tunjangan berikut dari perusahaan:
1. Perawatan kesehatan
2. Pensiun
3. Kompensasi jika terjadi kecelakaan saat bekerja
4. Employment benefit insurance (meliputi pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas SDM)
Selain hal di atas, pegawai perusahaan juga memiliki hak jaminan kesehatan (national health care) dan
jaminan pensiun (national pension) yang didistribusikan melalui Kementerian Kesehatan dan Tenaga Kerja
(MHLW) melalui Pemerintah Daerah.
KETENAGAKERJAAN DI SINGAPURA
negara yang menganut tradisi Common Law adalah Singapura. Singapura juga memiliki undang-undang
yang mengatur ketenagakerjaan yaitu The Employment Act 1968. The Employment Act 1968 ini
merupakan salah satu undang-undang yang dirancang untuk menciptakan iklim yang menarik bagi para
investor untuk menanamkan modalnya di perusahaanperusahaan Singapura. Undang- undang ini
merupakan penyempurnaan sekaligus konsolidasi atas berbagai ordonansi yang dibuat oleh penguasa
colonial (Inggris), diantaranya adalah The Labor Ordonance 1957, The Shop Assistants Employment
Ordinance 1957 dan The Clerck’s Employment Ordinance 1957. Melalui undang-undang ini pemerintah
Singapura berupaya menciptakan standarisasi kondisi kerja.Diantaranya, diatur tentang standar hari
kerja dalam satu minggu (yaitu maksimal 44 jam dalam seminggu), besaran upah lembur dan batas
waktu lembur yang diijinkan untuk dilaksanakan oleh para pekerja/buruh.Selain itu, diatur pula tentang
besaran tunjangan yang diterima oleh pekerja/buruh yang sakit serta ketentuan tentang masa cuti bagi
mereka dalam satu tahun.Melalui berbagai peraturan tersebut diharapkan dapat dicegah timbulnya
biayabiaya tersembunyi yang tinggi atas lembur yang dilakukan oleh para pekerja/buruh sehingga
melalui penghambatan biaya tinggi ini investor-investor asing diharapkan tertarik untuk menanamkan
modal mereka di Singapura.Melalui undang-undang ini pemerintah Singapura juga mengharapkan dapat
mengakselerasi pertumbuhan industri di negaranya (Walter Woon, 2000).
Pada tahun 1975 undang-undang ini diamandemen, yaitu dengan membekukan kewajiban pemberian
bonus atau pembayaran-pembayaran lainnya kepada para pekerja/buruh hingga pada tingkatan atau
jumlah tertentu. Dengan amandemen ini berarti pemerintah memberikan jaminan bagi para investor
untuk mendapatkan biaya tenaga kerja yang lebih murah. Di sisi lain, pemerintah membatasi atau
mengurangi hak berupa bonus atau pembayaran-pembayaran lainnya bagi para pekerja/buruh hingga
pada tingkatan atau jumlah tertentu.
Pada tahun 1984 undang-undang ini kembali diamandemen dengan tujuan untuk meningkatkan
produktivitas. Amandemen kedua ini memberikan ijin bagi perusahaan/pengusaha untuk mengatur jam
kerja secara lebih fleksibel, yaitu dengan mengijinkan pekerja-pekerja non-shift untuk selama dua belas
jam sehari apabila pekerja bersangkutan memberikan persetujuan tertulis kepada perusahaan. Selain
itu, amandemen kedua ini juga memberikan larangan bagi perusahaan- perusahaan untuk
mempekerjakan anak-anak di bawah usia dua belas tahun. Sekalipun demikian, perusahaan-perusahaan
boleh mengajukan ijin untuk mempekerjakan anak-anak di bawah usia dua belas tahun untuk bidang-
bidang pekerjaan non industri dan sesudah mendapatkan sertifikasi dari petugas kesehatan.
Seorang majikan atau karyawan yang ingin mengakhiri Hubungan Kerja dapat melakukannya dengan
mengakhiri kontrak kerja. Pemutusan Hubungan Kerja mencakup kewajiban hukum tertentu bagi kedua
pihak yaitu majikan dan karyawan. PHK apapun harus mengikuti persyaratan dan kondisi yang
tercantum dalam kontrak kerja. Sebelum salah satu pihak mengambil keputusan mengakhiri Hubungan
Kerja, penting untuk diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Janus Corporate Solution Pte. Ltd. 2011.
“Ketentuan Umum PHK di Singapura.” (On line). Html);
1. kondisi di mana kerja dapat diberhentikan termasuk siapa yang dapat mengakhiri pekerjaan, kapan
Pemutusan Hubungan Kerja akan dimulai, apa jenis PHK yang membutuhkan kompensasi dan
pemberitahuan PHK, dll.
2. hak, tugas dan tanggung jawab majikan dan karyawan yang mengakhiri pekerjaan tersebut
3. Hal-hal yang dibolehkan dan larangan PHK di Singapura
Berikut ini aturan-aturan dasar dan peraturan yang mengatur PHK karyawan dan perampingan
(rasionalisasi) karyawan di Singapura.
The Industrial Relation Act adalah, undang-undang pokok yang mengatur Pemutusan Hubungan Kerja di
Singapura. Setiap kontrak kerja harus berisi klausul tentang Pemutusan Hubungan Kerja, menjelaskan
hak dan kewajiban, tugas dan tanggung jawab baik pengusaha maupun karyawan, jika terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja. Undang-undang ini dirancang untuk merestrukturisasi hubungan
ketenagakerjaan di Singapura sekaligus untuk menciptakan sistem kerjasama tripartite yang melibatkan
pemerintah/negara dalam masalah- masalah perburuhan. Melalui undang-undang ini, maupun
amandemennya tahun 1968, penyelesaian sengketa perburuhan diarahkan untuk dicegah dan
diselesaikan di luar pengadilan, yaitu melalui proses tawar-menawar kolektif (collective bargaining),
Konsiliasi dan arbitrase.
Proses tawar-menawar kolektif menggariskan bahwa apabila negosiasi gagal menyelesaikan sengketa
antara perusahaan dan pekerja/buruh, maka langkah berikutnya yang harus ditempuh adalah proses
Konsiliasi. Konsiliasi ini dilaksanakan oleh The Office of Commissioner of Labor yang berada di bawah
naungan departemen tenaga kerja. Jika upaya Konsiliasi masih mengalami kegagalan, maka langkah
berikutnya adalah penyelesaian sengketa melalui mahkamah arbitrase, yaitu The Industrial Arbitration
Court (IAC). Ketua dan Wakil Ketua lembaga arbitrase ini ditunjuk langsung oleh presiden atas saran dari
Perdana Menteri. Dengan posisi seperti ini, nampak bahwa IAC memiliki kekuasaan yang sangat besar
serta posisi yang sangat kuat untuk menyelesaikan sengketa antara perusahaan dan pekerja/buruh
(Janus Corporate Solution Pte. Ltd. 2011. “Ketentuan Umum PHK di Singapura” (On line). Html)
Lingkup Undang-Undang
Fajar, M. N. (2015). Implementasi program pemagangan ke Jepang oleh Direktorat Jenderal Pembinaan
Pelatihan dan produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia= Implementation of the
apprenticeship program to japan by the directorate general training and Productivity Ministry of Labour of
the Republic of Indonesia.
Amboro, Y. P., & Fendy, F. (2017). Perlindungan Hukum Hak Pekerja Harian Lepas (Studi Perbandingan
Hukum Indonesia dan Hukum Singapura). Journal of Judicial Review, 18(1), 1-13.