Anda di halaman 1dari 15

MODUL

UNDANG UNDANG KETENAGA KERJAAN

MASALAH KETENAGA KERJAAN

DI SUSUSN OLEH:
IR. SAMORA PARLAGUTAN SIREGAR

LEMBAGA KURSUS DAN PELATIHAN


HILINAA MAKE UP TRAINING
JL. FONDRAKO DUSUN III DESA HILINAA
GUNUNGSITOLI SUMATERA UTARA
HAK-HAK PERUSAHAAN DAN KARYAWAN DALAM UNDANG-
UNDANG KETENAGAKERJAAN

Pada dasarnya, Undang-Undang Ketenagakerjaan sendiri merupakan aturan baku


untuk kedua belah pihak, baik pengusaha maupun karyawan, yang diterbitkan agar
proses bisnis yang melibatkan keduanya berjalan seimbang. Tentu, dalam
prakteknya, regulasi baku ini wajib jadi panduan utama terkait hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Undang-Undang ketenagakerjaan sendiri juga mengalami
berbagai perubahan dan revisi sesuai dengan evaluasi yang terjadi di lapangan.

Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa regulasi ini mengatur hak dan
kewajiban masing-masing pihak, pada artikel ini akan sedikit dibahas mengenai hak
kedua belah pihak. Tentu, sebagai pemilik perusahaan atau bagian HR yang
berurusan langsung dengan karyawan Anda perlu memahami dan mencermati
regulasi ini. Selain sebagai pengetahuan dasar dalam berbisnis, regulasi ini juga
penting untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Hak Karyawan Perusahaan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan

Secara singkat, perusahaan memiliki hak yang tercantum dalam uraian Undang-
Undang Ketenagakerjaan, yakni dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Hak-hak tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
1. Perusahaan berhak atas hasil dari pekerjaan karyawan.
2. Perusahaan berhak untuk memerintah/mengatur karyawan atau tenaga kerja
dengan tujuan mencapai target.
3. Perusahaan berhak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh/karyawan jika melanggar ketentuan yang telah disepakati
sebelumnya.

Tiga hal di atas adalah sedikit kutipan mengenai hak yang dimiliki perusahaan atau
pengusaha. Jelas, setiap poinnya memiliki penjabaran yang rinci jika dilihat pada
regulasi baku yang tertulis.

Hak Karyawan Lainnya

Di sisi lain, karyawan atau pekerja juga memiliki hak yang dicantumkan dalam
regulasi tersebut. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, karyawan setidaknya
memiliki beberapa hak berikut ini.
1. Menjadi Anggota Serikat Tenaga Kerja

Dalam regulasi disebutkan bahwa setiap karyawan berhak menjadi anggota atau
membentuk serikat tenaga kerja. Setiap karyawan diperbolehkan untuk
mengembangkan potensi kerja sesuai dengan minat dan bakat. Karyawan juga
mendapatkan jaminan dari perusahaan dalam hal keselamatan, kesehatan, moral,
kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat berdasarkan
norma serta nilai keagamaan dan kemanusiaan.

Hak ini tercantum dalam UU Nomor 13 tahun 2003 Pasal 104, terkait serikat pekerja
dan UU Nomor 21 tahun 2000 mengenai serikat pekerja.

2. Jaminan sosial dan Keselamatan Kesehatan Kerja (K3)

Karyawan juga berhak mendapatkan jaminan sosial yang berisi tentang kecelakaan
kerja, kematian, hari tua hingga pemeliharaan kesehatan. Sekarang ini,
implementasi hak karyawan bidang jaminan sosial dan K3 adalah berupa BPJS.
Anda sebagai pemilik perusahaan atau pemberi kerja wajib mendaftarkan setiap
karyawan sebagai anggota BPJS dalam rangka pemenuhan hak ini.

Hak karyawan yang satu ini tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan


Nomor 13 tahun 2003, UU Nomor 03 tahun 1992, UU Nomor 01 tahun 1970,
Ketetapan Presiden Nomor 22 tahun 2993, Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun
1993 dan Peraturan Menteri Nomor 4 tahun 1993 dan Nomor 1 tahun 2998.

3. Menerima Upah yang Layak

Tercantum dalam Permen Nomor 1 tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1, UU Nomor 13 tahun
2003, PP tahun 1981, Peraturan Menteri Nomor 01 tahun 1999 dan paling baru
adalah Permenaker Nomor 1 tahun 2017.

4. Membuat Perjanjian Kerja atau PKB

Hak karyawan atau pekerja ini tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan


Nomor 13 tahun 2003 dan juga Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000. Karyawan
yang telah tergabung dalam serikat pekerja memiliki hak untuk membuat Perjanjian
Kerja yang dilaksanakan berdasarkan proses musyawarah.

5. Hak Atas Perlindungan Keputusan PHK Tidak Adil

Hak ini tercantum dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE
907/Men.PHI-PPHI/X/2004. Setiap karyawan berhak mendapat perlindungan dan
bantuan dari Pemerintah melalui DInas Tenaga Kerja bilamana mengalami PHK
secara tidak adil.

6. Hak Karyawan Perempuan seperti Libur PMS atau Cuti Hamil

Secara umum hak ini tercantum dalam UU Nomor 13 tahun 2003 Pasal 76 Ayat 2
yang menyatakan bahwa perusahaan atau pengusaha dilarang mempekerjakan
perempuan hamil yang bisa berbahaya bagi kandungannya dan dirinya sendiri.

Selain poin tersebut, pada Pasal 82 Ayat 2 UU Nomor 13 tahun 2003 juga
menyebutkan perihal hak cuti keguguran. Selanjutnya pada UU Nomor 3 tahun 1992
mengatur tentang hak biaya persalinan yang bisa didapat oleh karyawan. Pada
Pasal 83 UU Nomor 13 tahun 2003 juga masih membicarakan mengenai hak
karyawan perempuan yakni terkait hak menyusui. Terakhir adalah hak cuti
menstruasi yang diatur dalam Pasal 81 UU Nomor 13 tahun 2003.

7. Pembatasan Waktu Kerja, Istirahat, Cuti dan Libur

Dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 Pasal 79, hak ini dicantumkan
secara jelas. Perusahaan wajib memberi waktu istirahat dan cuti pada setiap
karyawan. Secara jelas misalnya, terkait waktu istirahat, disebutkan bahwa
karyawan memiliki hak untuk mendapatkan istirahat antara jam kerja minimal
setangah jam setelah bekerja selama empat jam.

Dengan mengetahui hak setiap pihak, tentu bisa menentukan langkah strategis dan
pengambilan keputusan yang melibatkan perusahaan dan karyawan di dalamnya.
Seperti misalnya dalam pengaturan pemberian hak cuti dan libur, bisa
merundingkan serta mendiskusikan hak karyawan berkenaan dengan cuti dan libur.

Mengenal UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja Seputar Cuti, Penggajian

(Payroll), Lembur, Pajak Penghasilan (PPh 21), THR & BPJS

 Pengupahan di Indonesia

 Pengupahan diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) Pasal 88-90, yang direvisi melalui Omnibus
Law atau UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Setiap pekerja/buruh berhak
atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu, pemerintah pusat menetapkan
kebijakan pengupahan yang meliputi:

a. upah minimum;
b. struktur dan skala upah;
c. upah kerja lembur;
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
e. bentuk dan cara pembayaran upah;
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Ketentuan rinci mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36
Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja, yang sekaligus
mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015.

Struktur dan Skala Upah


Dalam menyusun struktur dan skala upah yang digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan
upah, pengusaha perlu memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, begitu menurut
Pasal 92 UU Ketenagakerjaan yang telah direvisi Omnibus Law. Setelah itu, peninjauan upah
dilakukan oleh pengusaha secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan
produktivitas. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah dapat dilihat di PP Pengupahan.
Kewajiban Pembayaran Upah
Ketika pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, maka upah tidak perlu dibayar. Namun, upah
tetap harus dibayarkan jika:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami
atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu
rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban
terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak
mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat
dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha;
dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, diatur untuk
melaksanakan pembayaran upah sebagaimana disebutkan di atas.
Perhitungan Upah Pokok
Jika komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok
minimal sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
Sanksi
Pekerja/buruh dapat dikenai denda jika melakukan pelanggaran kesengajaan atau kelalaiannya.
Sebaliknya, jika pengusaha terlambat membayar upah, dapat pula dikenai denda sesuai dengan
persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Pengenaan denda dalam pembayaran upah tersebut
diatur oleh Pemerintah.
Sementara itu, jika perusahaan pailit atau dibekukan karena peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh dianggap sebagai utang yang
pelunasannya harus diprioritaskan.

 Tunjangan Hari Raya

 Pemberian THR diatur oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.6 Tahun 2016
tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Hari Raya Keagamaan di Indonesia yang dimaksud dalam Peraturan Menteri


Ketenagakerjaan tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri untuk Pekerja beragama Islam,
Hari Raya Natal untuk Pekerja beragama Katolik dan Protestan, Hari Raya Nyepi untuk
Pekerja beragama Hindu, Hari Raya Waisak untuk Pekerja beragama Buddha, dan Hari
Raya Imlek untuk Pekerja beragama Konghucu.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016, ada 6 poin penting
yang perlu diketahui tentang THR:

1. Masa Kerja Pekerja

 THR wajib diberikan kepada pekerja yang telah bekerja minimal 1 bulan di perusahaan.
Perhitungan untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari 12 bulan dan lebih dari 12
bulan berbeda. Jika pekerja dengan masa kerja lebih dari 12 bulan mendapatkan THR
sebesar upah 1 bulan, pekerja dengan masa kerja 1 bulan dan kurang dari 12 bulan
mendapatkan THR dengan perhitungan ((masa kerja)/12) x upah 1 bulan.

Definisi “upah” yang digunakan sebagai basis perhitungan THR dapat berbeda-beda
sesuai dengan kebijakan perusahaan. Namun pada dasarnya, perusahaan menggunakan
salah satu besaran berikut sebagai basis perhitungan THR:

1. Hanya gaji pokok


2. Gaji pokok dan tunjangan tetap
Berikut ini beberapa contoh perhitungan THR sebagai ilustrasi.

1. Bentuk THR

THR hanya dapat diberikan dalam bentuk uang rupiah. Dengan kata lain, pemberian THR
berupa voucher, paket sembako, parsel dan hadiah lainnya tidak dihitung sebagai THR.

2. Waktu Pemberian THR

Pemberian THR oleh perusahaan kepada pekerja wajib dilakukan selambat-lambatnya 7


hari atau seminggu sebelum Hari Raya Keagamaan berlangsung. Sebagai contoh, apabila
Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 17 Juni 2017, maka perusahaan harus memberikan
THR kepada pekerja maksimal tanggal 10 Juni 2017.

3. THR bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri

Kontrak Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/Tetap) berhak mendapatkan THR jika


pemutusan hubungan kerja terjadi 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Sedangkan
bagi Pekerja Kontrak Waktu Tidak Tertentu (PKWT/Kontrak) tidak berhak atas aturan
tersebut.

Perdebatan seringkali muncul jika terjadi kasus pemutusan hubungan kerja dalam waktu yang
cukup dekat dengan Hari Raya Keagamaan. Ada baiknya hal-hal tersebut dibahas dengan pihak
manajemen serta karyawan yang bersangkutan secara terbuka dan kekeluargaan untuk
menghindari sengketa lebih lanjut.
4. Pajak THR

PPh 21 atas THR hanya dikenakan bagi pekerja yang mendapatkan THR di atas
Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per
tahun.
Jika pekerja mendapatkan THR kurang dari Rp 4,5 juta, maka pekerja tersebut tidak
dikenakan PPh 21 THR. Lihat di sini untuk mempelajari contoh kasusperhitungan PPh
21 THR secara lebih mendetail.

5. Sanksi Perusahaan

Sebelum adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 yang mengatur
tentang THR, perusahaan tidak dikenakan sanksi apapun jika tidak memberikan THR
kepada pekerja. Namun, setelah adanya peraturan tersebut, perusahaan akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayarkan jika tidak
memberikan THR kepada pekerja.
Denda yang dimaksud adalah THR yang harus dibayarkan oleh perusahaan ke pekerja ditambah
dengan 5% dari total THR yang didapatkan oleh pekerja. Sehingga, perusahaan akan lebih
dirugikan secara finansial sebagai sanksi akibat tidak memberikan THR sebagaimana peraturan
pemerintah.

 Jam Kerja

 Jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari
dan/atau malam hari. Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatur jam kerja bagi pekerja di sektor swasta. Sedangkan, untuk pengaturan mulai
dan berakhirnya waktu jam kerja diatur sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 77 ayat 1 mewajibkan setiap perusahaan untuk
mengikuti ketentuan jam kerja yang telah diatur dalam 2 sistem yaitu:

 Kedua sistem jam kerja yang berlaku memberikan batasan jam kerja yaitu 40
(empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila jam kerja dalam
perusahaan melebihi ketentuan tersebut, maka waktu kerja yang melebihi
ketentuan dianggap sebagai lembur, sehingga pekerja berhak atas upah
lembur.
 Status Karyawan

 Kontrak kerja atau perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan
pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun
waktu tidak tertentu, yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan
kewajiban pekerja dan perusahaan. Dalam kontrak kerja, pekerja dapat
mengetahui status kerja. Status kerja diatur dalam UU Cipta Kerja Bab IV
Ketenagakerjaan poin 12 hingga 16 yang merevisi Pasal 56 hingga 61 UU
Ketenagakerjaan.
Status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya:

a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk karyawan kontrak adalah


perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Pekerja
dianggap sebagai karyawan PKWT apabila kontrak kerja tidak lebih dari 5
tahun dan tidak ada masa percobaan kerja (probation). Hubungan kerja
berakhir pada saat selesainya jangka waktu kontrak atau selesainya
pekerjaan yang diperjanjikan.

b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja


antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja
yang bersifat tetap atau biasa disebut karyawan tetap. Pada PKWTT dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) dengan waktu
paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka
berdasarkan aturan hukum, sejak bulan keempat, pekerja dinyatakan sebagai
pekerja tetap (PKWTT).

Selain status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya hubungan kerja, ada juga
pekerja harian lepas (freelancer) dan pekerja alih-daya (outsourcing). Pada
dasarnya, mereka termasuk pekerja PKWT, namun agak berbeda dengan PKWT
secara umum.
a. Pekerja Harian Lepas (Freelancer)

Pekerja harian lepas diatur dalam Pasal 10 PP No 35 Tahun 2021. Perjanjian


kerja harian lepas merupakan PKWT yang dilaksanakan untuk pekerjaan
tertentu yang jenis dan sifat atau kegiatannya tidak tetap, berubah-ubah
dalam hal waktu dan volume pekerjaan, serta pembayaran upah pekerja
didasarkan pada kehadiran.
Perjanjian ini harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja bekerja kurang dari
21 hari dalam 1 bulan. Apabila pekerja bekerja 21 hari atau lebih dalam 1
bulan selama 3 bulan berturut-turut, maka hubungan kerja demi hukum
berubah menjadi PKWTT dan status pekerja harian lepas berubah menjadi
karyawan tetap.

b. Pekerja Alih Daya (Outsourcing)

Pekerja outsourcing adalah pekerja yang tidak direkrut secara langsung,


melainkan disediakan oleh pihak ketiga atau perusahaan penyedia tenaga
kerja (alih daya). Perjanjian kerja dilakukan oleh pengusaha dengan
perusahaan alih daya berdasarkan kebutuhan penggunaan tenaga kerja
untuk waktu tertentu.
Sedangkan, pekerja outsourcing merupakan karyawan dari perusahaan alih daya
yang merekrut mereka. Ketentuan outsourcing terdapat pada UU Cipta Kerja poin
20 tentang perubahan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan serta PP No 35 Tahun 2021.

 Cuti

 Berdasarkan Undang-undang no. 13 tahun 2003 Pasal 79 ayat (2), pekerja


yang telah bekerja minimal selama 12 bulan atau 1 (satu) tahun berturut-turut
berhak untuk mendapatkan cuti sekurang-kurangnya 12 hari. Namun,
perusahaan dapat menyesuaikan ketentuan cuti pekerja berdasarkan
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) yang telah disepakati oleh perusahaan dan pekerja.

 Sakit

 Apabila karyawan tidak dapat melakukan pekerjaannya dikarenakan sakit,


pengusaha tetap wajib membayar upah/gajinya. Di Indonesia tidak terdapat
waktu maksimal karyawan diberikan izin sakit. Karyawan yang tidak masuk
kerja karena sakit selama 2 hari berturut-turut atau lebih harus menyertakan
surat keterangan sakit dari dokter. tanpa keterangan resmi tersebut karyawan
akan dianggap mangkir dan diperhitungkan sebagai cuti tahunan.

Apabila sakit yang diderita karyawan cukup parah sehingga memerlukan waktu yang
lama untuk kembali bekerja, akan dilakukan penyesuaian terhadap upah yang
diterimanya:
1. Untuk 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah,
2. Untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah,
3. Untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah,
4. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan
kerja dilakukan
oleh pengusaha.

 Peraturan Lembur

 Pengusaha wajib membayar upah kerja lembur jika mempekerjakan pekerja


melebihi waktu kerja yang telah ditentukan Undang-Undang. Kerja lembur
harus memenuhi syarat berikut:
a. ada perintah dari pengusaha dan persetujuan dari pekerja bersangkutan
secara tertulis dan/atau melalui media digital;
b. maksimal waktu lembur 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu,
tidak termasuk lembur pada waktu istirahat mingguan atau hari libur
resmi.

Upah kerja lembur dihitung menggunakan upah sejam yang didasarkan pada upah
bulanan. Upah sejam yaitu 1/173 kali upah sebulan (gaji pokok dan tunjangan
tetap). Berikut ini ketentuannya:

1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja maka:


a. upah 1 jam pertama dibayar 1.5 kali upah sejam;
b. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar 2 kali upah sejam.

2. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur
resmi untuk waktu 5 hari kerja dan 40 jam seminggu, maka:
a. untuk 8 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b. upah jam ke-9 dibayar 3 kali upah sejam;
c. untuk jam ke-10, ke-11, dan ke-12, upah setiap jam dibayar 4 kali upah
sejam.

3. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur
resmi untuk waktu 6 hari kerja dan 40 jam seminggu, maka:

a. untuk 7 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b. upah jam ke-8 dibayar 3 kali upah sejam;
c. untuk jam ke-9, ke-10, dan ke-11, upah setiap jam dibayar 4 kali upah
sejam.

Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, maka:

a) untuk 5 jam pertama, upah setiap jam dibayar 2 kali upah sejam;
b) upah jam ke-6 dibayar 3 kali upah sejam;
c) untuk jam ke-7, ke-8, dan ke-9, upah setiap jam dibayar 4 kali upah sejam.

 Pemutusan Hubungan Kerja

 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja


karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK dapat dilakukan
dikarenakan alasan-alasan tertentu dan dilarang apabila dilakukan secara
sepihak dan sewenang-wenang. Pengusaha wajib merundingkan perihal PHK
dengan serikat pekerja atau dengan pekerja, apabila perundingan tersebut
tidak menghasilkan persetujuan maka PHK hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial atau pengadilan hubungan industrial.
Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja
sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun
2003 serta dalam kesepakatan yang ada pada Perjanjian Kerja Bersama atau
Peraturan Perusahaan. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran yang
tertera dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama,
pengusaha dapat melakukan PHK setelah pekerja yang bersangkutan diberikan
surat peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut.
Ketenagakerjaan: Pengertian, Peraturan & Masalahnya

PENGERTIAN KETENAGAKERJAAN
Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama dan setelah selesai masa hubungan kerja, baik pada
pekerjaan yang menghasilkan barang maupun pekerjaan berupa. Dari aspek hukum
ketenagakerjaan merupakan bidang hukum privat yang memiliki aspek publik,
karena meskipun hubungan kerja dibuat berdasarkan kebebasan para pihak, namun
terdapat sejumlah ketentuan yang WAJIB tunduk pada ketentuan pemerintah dalam
artian hukum publik.
Lalu, apa saja yang berpotensi menjadi permasalahan dalam ketenagakerjaan?
Simak ulasannya dalam artikel berikut ini!

PERATURAN & UU KETENAGAKERJAAN


Berdasarkan Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan
dijelaskan bahwa Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
tenaga kerja baik pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Peraturan
tersebut dilandasi dengan tujuan sebagai berikut:

1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi

2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja

yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah

3. Memberikan pelindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan

4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya

Pasal 5 UU 13/2013 menegaskan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan


yang sama untuk memperoleh pekerjaan tanpa adanya diskriminasi. Lebih lanjut,
tenaga kerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Tenaga Kerja Terdidik

Tenaga kerja yang mempunyai keahlian pada bidang tertentu atau khusus yang
diperoleh dari bidang pendidikan. Sebagai contoh: dosen, dokter, guru, pengacara,
akuntan dan sebagainya.

b.Tenaga Kerja Terlatih


Tenaga kerja yang memiliki keahlian pada bidang tertentu atau khusus yang
diperoleh dari pengalaman dan latihan. Sebagai contoh: supir, tukang jahit, montir
dan sebagainya.

c. Tenaga Kerja Tidak Terdidik dan Tidak Terlatih


Tenaga kerja yang mengandalkan tenaga, tidak memerlukan pendidikan maupun
pelatihan terlebih dahulu. Sebagai contoh: kuli, pembantu rumah tangga, buruh
kasar dan sebagainya.
Klasifikasi diatas mendorong pengaturan terkait pelatihan kerja sebagaimana diatur
dalam Bab V UU 13/2013, agar kualifikasi tenaga kerja Indonesia dapat semakin
baik.
Dalam pelaksanaan ketenagakerjaan, pelaku usaha dan tenaga kerja mengikatkan
diri dalam suatu hubunga hukkum melalui ikatan atau perjanjian kerja yang sudah
disepakati oleh kedua belah pihak, bersifat tertulis atau lisan dan dilandasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku. Hak dan
kewajiban antara pengusaha dan tenaga kerja juga menjadi perhatian demi
menciptakan keamanan dan kenyamanan saat melakukan aktivitas pekerjaan.
Apabila timbul perselisihan antara pengusaha dan tenaga kerja, maka hukum yang
mengatur adalah Undang Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Setiap bentuk perselisihan memiliki cara atau
prosedur yang berlaku dan harus diikuti oleh kedua belah pihak baik itu melalui cara
berunding, mediasi, konsiliasi, arbitrase maupun diselesaikan di Pengadilan
Hubungan Industrial.
MASALAH KETENAGAKERJAAN
Masalah ketenagakerjaan dapat timbul karena beberapa faktor seperti pendidikan,
kesempatan kerja maupun pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah. Hal ini dialami
oleh banyak negara yang termasuk Indonesia, karena hingga saat ini masih banyak
pengangguran atau lebih tepatnya lagi orang yang tidak dapat bekerja karena
minimnya lapangan pekerjaan.

Baca Juga : Luapan Banjir Akibatkan Gugatan Hukum

Tiga masalah ketenagakerjaan yang sering terjadi di Indonesia:

1. Banyaknya Pengangguran
Disebabkan karena tingginya jumlah penduduk dan tidak diikuti dengan lapangan
kerja yang cukup, permasalah ini merupakan yang paling utama di Indonesia. Begitu
juga dengan rendahnya kualitas tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi yang
menjadi faktor utama dalam timbulnya masalah ini.

2. Lapangan Kerja yang Rendah


Timbul akibat jumlah angkatan kerja yang produktif tidak sebanding dengan jumlah
lapangan kerja yang disediakan. Hal ini menjadi salah satu pemicu masalah
pengangguran.

3. Kualitas Tenaga Kerja yang Rendah


Tingkat pendidikan yang rendah baik formal maupun non formal. Kemampuan
ekonomi masyarakat Indonesia tergolong rendah menyebabkan ketidakmampuan
untuk meraih pendidikan yang tinggi.
Bicara tentang ketenagakerjaan tentunya masih banyak lagi yang dapat dijadikan
pembahasan. Sekilas pemaparan secara umum mengenai pengertian, peraturan
dan masalah ketenagakerjaan yang ada di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai