Anda di halaman 1dari 6

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : NOVI IRWANSYAH

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 041848265

Nama Mata Kuliah : Hukum Ketenagakerjaan

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
NOMOR 1

Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan problem
gaji dan upah. Berikan analisis anda, mengapa penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta
menghilangkan problem gaji/upah ini!

Jawaban :

Salah satu problem yang langsung menyentuh kaum buruh adalah rendahnya atau tidak sesuainya
pendapatan (gaji) yang diperoleh dengan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta
tanggungannya. Faktor ini, yakni kebutuhan hidup semakin meningkat, sementara gaji yang diterima
relatif tetap, menjadi salah satu pendorong gerak protes kaum buruh.

Adapun dalam sistem ekonomi Kapitalis, rendahnya gaji buruh justru menjadi penarik bagi para
investor asing. Termasuk pemerintah, untuk kepentingan peningkatan pendapatan pemerintah (bukan
rakyat), justru memelihara kondisi seperti ini. Kondisi ini menyebabkan pihak pemerintah lebih
sering memihak ‘sang investor’ , dibanding dengan buruh (yang merupakan rakyatnya sendiri) ketika
terjadi krisis perburuhan. Rendahnya gaji juga berhubungan dengan rendahnya kualitas SDM.
Persoalannya bagaimana, SDM bisa meningkat kalau biaya pendidikan mahal?

Untuk membantu mengatasi problem gaji, pemerintah biasanya membuat “batas minimal gaji” yang
harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang kemudian dikenal dengan istilah Upah
Minimum Regional (UMR) atau Upah Minimum Daerah (UMD) atau Upah Minimum Kota (UMK)
yang mengacu pada UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Intervensi pemerintah dalam hal ini
ditujukan menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena membayar di bawah
standar hidupnya. Nilai UMR, UMD, dan UMK ini biasanya dihitung bersama berbagai pihak yang
merujuk kepada Kebutuhan Fisik Minimum Keluarga (KFM), Kebutuhan Hidup Minimum (KHM),
atau kondisi lain di daerah yang bersangkutan.

Penetapan UMR sendiri sebenarnya ‘sangat bermasalah’ dilihat dari realitas terbentuknya
kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang
keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam
mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan UMR dan UMD di satu sisi
dimanfaatkan buruh-buruh ‘malas’ untuk memaksa pengusaha memberi gaji maksimal, meski
perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi) .

Di sisi lain UMR dan UMD kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak
terlalu tinggi, proses penetapan upah dilakukan oleh dewan pengupahan mulai dari tingkat daerah
sampai tingkat nasional, kita dapat melihat contoh diungkapkan oleh Harjono Ketua SPSI DKI
Jakarta ”ketika sertiap tahun dilakukan perundingan besarnya UMR oleh tri partit buruh diwakili oleh
pengurus serikat pekerja, pengusaha diwakili oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia dan Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, disini akan tercermin kepentingan para pengusaha, bahkan ada mantan
pejabat atau pensiunan Dinas Tenaga Kerja DKI memegang beberapa perusahaan out sorcing
nongkrong ketika Dewan Pengupahan tersebut sedang berunding”[3].

Buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu
perusahaan. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta
menghilangkan problem gaji/ upah ini. Hal ini terjadi setidaknya disebabkan oleh[4]:

1. Pihak pekerja, yang mayoritasnya berkualitas SDM rendah berada dalam kuantitas yang banyak
sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam menetapkan gaji yang diinginkan.
Walhasil, besaran gaji hanya ditentukan oleh pihak majikan, dan kaum buruh berada pada posisi ‘sulit
menolak’.
2. Pihak majikan sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMR. Hal ini mengingat, meskipun
pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap harus membayar sesuai batas tersebut.

3. Posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan tidak adanya pembinaan
dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap kualitas keterampilan maupun
pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan.

4. Kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan semakin bertambah, tetap saja tidak mampu
dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah ini adalah karena gaji/upah hanya satu-
satunya sumber pemasukan dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar kehidupan masyarakat.

NOMOR 2
Angel bekerja pada perusahaan Distribusi Buku sekolah. Sebelum diterima bekerja di perusahaan
tersebut, Angel telah menandatangani Surat Pernyataan tidak akan hamil selama masa percobaan 2
tahun. Namun setelah 1 tahun bekerja Angel yang baru saja menikah hamil. Atas dasar permasalahan
tersebut Angel di PHK dari perusahaan tempat ia bekerja

Uraikan disertai analisis anda apakah tindakan PHK terhadap Angel dibenarkan secara Hukum

Jawaban :

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur sebagai berikut:

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara,
maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dengan demikian, maka ketentuan ketenagakerjaan, khususnya terkait pemutusan hubungan kerja
(“PHK”) sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang beberapa ketentuannya telah diubah,
dihapus, atau dimuat pengaturan baru oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (“UU Cipta Kerja”) berlaku bagi pemberi kerja dan pekerja sebagaimana disebutkan di atas.

Bolehkah Perusahaan Mewajibkan Karyawan Resign karena Hamil?


Menjawab pertanyaan Anda, pada prinsipnya, perusahaan tidak dapat mewajibkan Anda untuk
mengundurkan diri atau resign karena Anda hamil.

Hal ini didasarkan pada Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (1)
huruf e UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK
dengan alasan pekerja hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

PHK yang dilakukan atas alasan di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan
kembali pekerja yang bersangkutan.[1]

Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya
pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan pekerja. Hal ini sesuai dengan Pasal 81
angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf i yang menyatakan:
(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:

1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)


hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri:
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Lebih lanjut, meskipun pada prinsipnya perusahaan boleh mengatur alasan-alasan PHK lainnya
selain yang telah diatur dalam pasal yang kami sebutkan di atas di dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan (“PP”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”),[2] namun substansinya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.[3]

Dengan demikian, menurut hemat kami, perusahaan tidak boleh memberlakukan aturan yang
mewajibkan karyawan mengundurkan diri karena hamil dikarenakan hal tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Perlindungan dan Hak Pekerja yang Hamil


Menjawab pertanyaan kedua, dikarenakan PHK dengan alasan pekerja hamil batal demi hukum, maka
pekerja yang hamil tidak boleh di-PHK sehingga tidak berlaku ketentuan mengenai pesangon dan
hak-hak lainnya terkait PHK. Adapun secara hukum, pekerja yang hamil berhak atas perlindungan
dan hak-hak di antaranya sebagai berikut:

a. Pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya maupun dirinya dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00.[4] Apabila dilanggar, pengusaha dikenakan sanksi pidana
kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan dan/atau denda minimal Rp10 juta dan
maksimal Rp100 juta.[5]
b. Berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5
bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan,[6] dan bagi
yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai
dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.[7] Pekerja perempuan yang
menggunakan waktu hak istirahat tersebut tetap berhak mendapat upah penuh.[8]

NOMOR 3
Husni bekerja pada perusahaan PT. Mundur Selalu sebagai Design grafis dengan skema Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu selama 2 tahun. Setelah 2 tahun perjanjian kerja Husni berakhir, dan Husni
menuntut diangkat sebagai karyawan tetap. Atas permasalahan tersebut, Husni membuat pengaduan
ke Dinas Ketenagakerjaan daerah setempat.

Uraikan dan jelaskan apakah langkah-langkah yang dilakukan PT. Mundur Selalu sudah tepat, dan
berikan analisis hukumnya!

Jawaban :
Atas pertanyaan Saudara, apakah karyawan outsourcing (yang nota bene PKWT) bisa menjadi
karyawan tetap (PKWTT)? Hal ini dapat saya jelaskan, bahwa perubahan perjanjian kerja, dari
PKWT menjadi PKWTT, bisa saja dan ada kemungkinan terjadi sepanjang memenuhi syarat dan
ketentuan, khususnya di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh -yang melakukan pekerjaan jasa
penunjang yang bukan bagian dari proses produksi- memang dimungkinkan melakukan hubungan
kerja dengan karywannya melalui PKWT (vide penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan).

Ketentuannya, sesuai dengan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, bahwa PKWT yang tidak
memenuhi syarat/ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6)
mengenai:

- jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang dapat diperjanjikan melalui PKWT (ayat [1])

- larangan memperjanjikan pekerjaan yang bersifat tetap melalui PKWT (ayat [2])

- jangka waktu perpanjangan PKWT (ayat [4])

- space –jangka waktu- memperpanjang PKWT (ayat [5])

- adanya masa jeda untuk pembaruan PKWT (ayat [6])

maka demi hukum berubah menjadi PKWTT.


karyawan outsourcing adalah pekerja kontrak yang direkrut oleh perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja untuk dipekerjakan oleh perusahaan pengguna jasa (user). Pekerja diupah oleh perusahaan alih
daya, sementara perusahaan user membayar perusahaan outsourcing sesuai dengan kontrak kerja
yang disepakati.

euntungan dari sistem alih daya ini adalah perusahaan user tidak perlu repot memikirkan biaya
perekrutan karyawan serta menyediakan fasilitas, tunjangan, dan asuransi BPJS Kesehatan. Semuanya
merupakan tanggung jawab perusahaan outsourcing.

Secara hukum, pekerja outsourcing tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan user. Apabila
mereka melanggar aturan perusahaan tempat mereka dipekerjakan atau terjadi perselisihan dengan
karyawan internal perusahaan user, yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan adalah perusahaan
penyedia tenaga kerja.

Jenis pekerjaan yang disediakan perusahaan klien adalah pekerjaan yang tidak berkaitan dengan
kegiatan inti perusahaan dan tidak memiliki jenjang karir, antara lain petugas keamanan (satpam),
pembersih ruangan (cleaning service), operator telepon, call center, atau teknisi pemeliharaan
jaringan komputer kantor atau mesin pabrik. Sedangkan pekerjaan utama perusahaan, misalnya
kegiatan produksi, tidak boleh dialih-dayakan.

Lalu bagaimana menghitung masa kerja karyawan outsourcing? Masa kerja mereka bergantung pada
jenis kontrak yang disepakati bersama perusahaan alih daya yang merekrut mereka, yang menurut
Pasal 65 dan 66 jo Pasal 59 UU No 13/2003 dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Jika karyawan akan dipekerjakan untuk pekerjaan tetap dan terus-menerus, maka perusahaan
outsourcing mengikat mereka sebagai pekerja tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT).
2. Jika karyawan dipekerjakan untuk pekerjaan yang akan selesai pada waktu tertentu, misalnya
1 tahun atau 2 tahun, perusahaan outsourcing bisa mengontrak mereka dengan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Merujuk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kep.100/Men/VI/2004, masa kerja
pekerja alih daya dihitung sejak mereka menjadi karyawan tetap (PKWTT) untuk pekerjaan yang
berkelanjutan. Sedangkan, perjanjian kerja sebagai pekerja kontrak (PKWT) untuk pekerjaan yang
selesai masa tertentu tidak dihitung sebagai masa kerja.

Misalnya, Ali bekerja di perusahaan outsourcing dengan kontrak PKWT sebagai tenaga satpam di
sebuah perusahaan konstruksi yang sedang membangun 2 blok apartemen mewah di Jakarta. Ali
dipekerjakan selama masa pembangunan selesai yang diperkirakan memakan waktu 2 tahun.

Setelah 2 tahun, kontrak Ali putus. Beberapa bulan kemudian, perusahaan outsourcing kembali
merekrutnya sebagai karyawan tetap (PKWTT) untuk dipekerjakan di perusahaan jasa keuangan yang
membutuhkan tenaga keamanan di kantor pusatnya. Maka, masa kerja Ali sebagai satpam dihitung
sejak ia meneken kontrak PKWTT tersebut.

Secara prinsip, karyawan outsourcing memiliki kewajiban yang sama dengan karyawan internal di
perusahaan user. Karena, mereka terikat oleh peraturan perusahaan yang sama, antara lain hadir tepat
waktu sesuai dengan jam kerja yang ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai