Anda di halaman 1dari 7

BAB VI - KEWAJIBAN MAJIKAN

Kewajiban utama majikan, berdasarkan perjanjian kerja yang sah, adalah membayar
upah kepada buruh (pasal 1602 KUHPa). Selain itu, majikan juga memiliki kewajiban lain
seperti mengatur pekerjaan, tempat kerja, memberikan surat keterangan, dan menyediakan
buku upah serta pembayaran upah. Kewajiban ini bertujuan untuk menjaga kesehatan,
keselamatan, dan kesusilaan buruh, yang juga merupakan bagian dari kewajiban majikan
dalam hal kesehatan dan keselamatan kerja. Umumnya, besaran dan bentuk upah
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian perburuhan,
kadang-kadang juga diatur oleh undang-undang. Bagi buruh, upah seringkali menjadi
sumber utama kehidupan bagi dirinya dan keluarganya, sehingga peraturan yang menjamin
pembayaran upah oleh majikan sangat penting untuk memastikan keberlangsungan hidup
mereka.

Penetapan upah dalam hubungan kerja biasanya terjadi melalui perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau peraturan upah yang ditetapkan oleh majikan atau melalui
perjanjian perburuhan. Jika tidak ada ketentuan yang jelas mengenai upah dalam perjanjian
atau peraturan, buruh berhak atas upah yang sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan,
dengan mempertimbangkan keadilan. Namun, penetapan upah berupa uang harus
ditetapkan dalam perjanjian kerja, dan tidak boleh diserahkan kepada salah satu pihak.
Pembukuan majikan penting untuk menentukan bagian keuntungan dan provisi, di mana
buruh berhak atas informasi yang relevan. Upah sehari biasanya dihitung berdasarkan
waktu kerja, dengan satu hari setara dengan sepuluh jam, satu minggu dengan enam hari,
satu bulan dengan dua puluh lima hari, dan setahun dengan tiga ratus hari. Jika tidak ada
ukuran yang jelas, upah rata-rata selama tiga puluh hari kerja sebelumnya dapat digunakan.

Upah dalam hubungan kerja dapat berupa uang, barang, atau jasa. Namun, jika
upah berupa uang, KUHPa Pasal 1602h menetapkan bahwa pembayarannya harus
dilakukan dalam mata uang yang sah di Indonesia, yaitu mata uang Indonesia. Selain itu,
jika upah ditetapkan dengan mata uang asing, perhitungannya harus mengikuti kurs pada
saat dan tempat pembayaran dilakukan. Upah dalam bentuk barang sehari-hari dikenal
sebagai upah-in-natura atau catu.

Sejumlah peraturan mengatur pembayaran upah dalam bentuk barang atau jasa,
termasuk penyediaan perumahan yang layak, perawatan kesehatan, dan pemberian
barang-barang seperti pakaian, makanan, atau kebutuhan sehari-hari lainnya kepada buruh.
Larangan juga diberlakukan terhadap praktik-praktik yang dapat merugikan buruh, seperti
penjualan barang dengan harga yang tidak wajar atau pengikatan buruh untuk
menggunakan upahnya dalam cara-cara tertentu, kecuali jika hal tersebut dilakukan secara
sukarela oleh buruh atau disetujui oleh Menteri Tenaga Kerja.

Tindakan atau keputusan yang melanggar ketentuan ini dapat dikenai sanksi berupa
denda atau kurungan. Selain itu, larangan juga diberlakukan terhadap praktik-praktik yang
dapat mengurangi upah buruh, seperti meminta bunga atas pinjaman atau pembayaran atas
pemakaian bahan atau alat perusahaan, serta meminta tanggung jawab buruh atas
kewajiban buruh lainnya terhadap majikan. Hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan
dan kesejahteraan buruh dalam hubungan kerja.
KUHPa menetapkan bahwa upah yang ditetapkan menurut jangka waktu harus
dibayar mulai dari saat buruh mulai bekerja hingga berakhirnya hubungan kerja. Jika
hubungan kerja berakhir sebelum waktunya atau dalam jangka waktu pembayaran, majikan
wajib membayar upah untuk semua hari kerja yang telah dilakukan. Namun, jika upah
bergantung pada hasil tertentu (upah-potongan), upah hanya dibayar jika hasil tersebut
sudah ada pada saat pengakhiran hubungan kerja. Namun, jika pekerjaan buruh memiliki
nilai tertentu meskipun belum selesai, buruh berhak atas sebagian upahnya.

Dalam hal upah ditetapkan berdasarkan perjalanan, KUHD memberikan aturan yang
menyatakan bahwa jika perjalanan diperpanjang karena alasan yang melebihi waktu
perjalanan biasa, buruh berhak atas tambahan upah yang seimbang. Jika perjalanan
terhenti karena tindakan dari pengusaha kapal, hubungan kerja dianggap berakhir dan
buruh tetap berhak atas ganti rugi sesuai dengan KUHPa.

Bab 7A KUHPa menetapkan bahwa tidak ada upah yang dibayarkan untuk waktu
yang tidak melakukan pekerjaan yang diperjanjikan, kecuali dalam beberapa pengecualian
seperti sakit atau kecelakaan yang menghalangi buruh untuk bekerja. Selain itu, ada
pengecualian untuk hari-hari tertentu seperti hari istirahat mingguan atau hari libur. Jika
buruh memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang atau pemerintah tanpa
bayaran, atau jika buruh bersedia melakukan pekerjaan tetapi majikan tidak menggunakan
tenaga kerja buruh, maka buruh masih berhak atas upahnya.

Upah dalam hukum perdata, dagang, dan peraturan kepailitan memiliki kedudukan
yang aktif. Hutang atau piutang yang timbul dari perjanjian kerja, termasuk pembayaran
upah yang belum dibayarkan, diberikan perlindungan khusus untuk melindungi kepentingan
buruh. Pasal-pasal seperti 1139 KUHPa dan 316 Kitab Undang-undang Hukum Dagang
mengatur preferensi pembayaran upah, bahkan di atas hutang-hutang lainnya, seperti biaya
pelelangan, tagihan nakhoda dan pelaut, serta biaya-biaya perkapalan. Ini menunjukkan
perlindungan istimewa yang diberikan kepada upah dalam rangka memastikan pembayaran
yang adil kepada buruh.

Pasal 1149 KUHPa, misalnya, memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada
upah buruh terhadap pelbagai piutang lainnya, termasuk biaya perkara, biaya penguburan,
tagihan karena penyakit, serta upah yang belum dibayarkan beserta tambahan lainnya.
Selain itu, peraturan-peraturan seperti Pasal 1616 KUHPa memberi hak kepada buruh untuk
menahan barang milik majikan sampai semua biaya dan upah dibayar lunas, kecuali jika
telah ada tanggungan yang cukup atas pembayaran tersebut. Semua ini menunjukkan
bahwa upah memang diberikan kedudukan istimewa untuk melindungi hak-hak buruh dalam
hukum.

Pembayaran upah diatur dalam berbagai perundang-undangan, seperti Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPa), Peraturan tentang Mempekerjakan Buruh, dan
Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perindustrian. Majikan diwajibkan untuk membayar
upah pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan ketentuan yang ada. Meskipun
kasir atau pemimpin perusahaan seringkali melakukan pembayaran upah atas nama
majikan, jika terjadi ketidak pelunasan pembayaran, mereka tidak dapat dituntut sebagai
pihak yang bersalah. Pihak yang bertanggung jawab atas ketidaklunasan tersebut adalah
majikan atau pemilik usaha itu sendiri. Dalam situasi di mana kasir atau pemimpin
perusahaan melakukan penyelewengan terhadap uang upah yang telah diberikan oleh
majikan untuk dibayarkan kepada buruh, buruh masih berhak untuk menuntut upah tersebut
dari majikan, dan majikan harus memenuhinya. Hal ini karena kecurangan yang dilakukan
oleh kasir atau pemimpin perusahaan hanya berkaitan dengan hubungan mereka dengan
majikan, dan tidak mempengaruhi hak-hak buruh.

Adapun pemotongan upah untuk keperluan tertentu dapat dilakukan, seperti


pembayaran ganti rugi atau denda kepada majikan, iuran untuk dana yang telah dibayarkan
oleh majikan untuk kepentingan buruh, atau biaya perawatan dan pengobatan yang menjadi
tanggungan buruh. Namun, pemotongan tersebut harus sesuai dengan batasan yang telah
ditetapkan dalam perundang-undangan. Upah harus dibayarkan sepenuhnya, dan tiap
pembayaran harus melunasi seluruh jumlah upah yang ditetapkan. Meskipun pemotongan
dapat dilakukan untuk keperluan tertentu, hal ini tidak boleh melebihi jumlah yang telah
ditentukan, dan buruh memiliki hak untuk menolak pemotongan tersebut jika tidak ada
kesepakatan sebelumnya.

Selain itu, dalam hal pemotongan terjadi pada akhir hubungan kerja, majikan
diperbolehkan untuk memotong upah untuk hutang lainnya juga. Namun, batasan-batasan
tertentu harus diperhatikan, seperti jumlah maksimum yang dapat dipotong dan ketentuan
mengenai jenis-jenis pemotongan yang diizinkan. Ketentuan mengenai pembayaran upah
juga berlaku untuk berbagai jenis pekerjaan, termasuk pekerjaan di kapal laut, di mana
pembayaran harus dilakukan sesuai dengan mata uang yang berlaku dan kurs yang berlaku
pada saat itu. Terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur pembayaran upah
dalam mata uang asing, namun pembayaran tersebut harus dilakukan dalam mata uang
yang sah di Indonesia, yaitu rupiah. Semua aturan tersebut harus dipatuhi secara ketat, dan
pelanggaran terhadap ketentuan pembayaran upah dapat dikenai sanksi pidana, baik dalam
bentuk kurungan maupun denda.

Di samping kewajiban pokok seperti membayar upah dan memberikan surat


keterangan, majikan juga harus mengatur pekerjaan dan tempat kerja sesuai dengan
Undang-undang Kerja nr. 12 tahun 1948 serta peraturan kesehatan dan keamanan kerja.
Syarat-syarat ini termasuk memberikan kesempatan bagi buruh untuk melaksanakan
kewajiban agama dan istirahat, serta mengatur pekerjaan bagi buruh yang belum dewasa.
Majikan juga harus mengatur dan memelihara tempat kerja agar buruh terlindung dari
bahaya yang mengancam. Jika majikan tidak memenuhi kewajiban ini, mereka dapat
diwajibkan membayar ganti-rugi kepada buruh yang mengalami kerugian akibat kecelakaan,
kecuali jika bisa dibuktikan bahwa tidak memenuhi kewajiban itu disebabkan oleh keadaan
memaksa atau kesalahan buruh.

Majikan juga bertanggung jawab atas perawatan dan pengobatan bagi buruh yang
sakit atau kecelakaan selama hubungan kerja berlangsung, dengan jangka waktu tertentu.
Selain itu, majikan diharuskan membuat daftar buruh, mengadakan buku pembayaran, dan
melaporkan hal ketenagakerjaan di perusahaan kepada pemerintah. Majikan tertentu juga
wajib mengikuti program asuransi sosial tenaga kerja.

Perlu diperhatikan bahwa ganti-rugi untuk kerugian yang tidak berwujud, seperti rasa
sakit, juga harus diberikan kepada buruh. Dalam kasus tertentu, buruh berhak atas upah
selama berhalangan melakukan pekerjaan akibat sakit atau kecelakaan. Majikan juga harus
memberikan pensiun kepada buruh yang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan, sesuai
dengan tuntutan tata-susila masyarakat. Jika majikan tidak memenuhi kewajiban mereka,
mereka dapat diwajibkan membayar ganti-rugi kepada buruh.

Majikan diwajibkan untuk memberikan surat keterangan kepada buruh saat


berakhirnya hubungan kerja atas permintaan buruh. Surat keterangan harus mencakup
informasi yang jelas mengenai pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh dan lamanya
hubungan kerja, termasuk tanggal mulai dan berakhirnya hubungan kerja. Selain itu, atas
permintaan khusus dari buruh, surat keterangan juga harus memuat cara buruh telah
menunaikan kewajibannya dan alasan mengapa hubungan kerja diakhiri. Majikan harus
menyebutkan alasan untuk mengakhiri hubungan kerja, dan jika tidak ada alasan yang
diajukan, hal tersebut harus disebutkan dalam surat keterangan tanpa wajib menyebutkan
alasannya. Jika buruh tidak puas dengan isi surat keterangan atau jika surat keterangan
tidak diberikan, buruh berhak untuk menuntut di pengadilan agar surat keterangan diberikan
atau diperbaiki, bahkan dengan denda atas setiap hari keterlambatan majikan memenuhi
kewajibannya. Majikan juga bertanggung jawab atas kerugian yang diderita buruh jika
menolak memberikan surat keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Pemberitaan mengenai hubungan kerja dan alasan pengakhirannya hanya


dibolehkan atas permintaan khusus dari buruh. Namun, jika buruh mengakhiri hubungan
kerja secara tidak sah, majikan berhak untuk mencantumkan hal tersebut dalam surat
keterangan. Selain itu, majikan juga bertanggung jawab atas kerugian yang diderita buruh
jika memberikan keterangan yang tidak benar atau merugikan buruh dengan memberikan
keterangan kepada pihak ketiga yang bertentangan dengan isi surat keterangan.

TUGAS TAMBAHAN 1 - (pekerja, pengusaha, Serikat pekerja/organisasi pekerja,


organisasi pengusaha, dan pemerintah dalam hal Ketenagakerjaan)

1. Pekerja: Dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia, "pekerja" merujuk kepada


mereka yang memiliki kontrak kerja dengan majikan. Mereka bertanggung jawab
untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja saat
ini. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terutama
mengatur dasar hukum untuk status dan hak-hak pekerja. Pekerja diwajibkan untuk
mematuhi semua undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku dan memberikan
kontribusi untuk mencapai target layanan atau produksi yang ditetapkan oleh
majikan. Untuk menjamin kesejahteraan dan keselamatan mereka di tempat kerja,
mereka juga dilindungi oleh hukum.

2. Pengusaha: Para pengusaha memainkan peran penting dalam angkatan kerja


karena mereka mengawasi dan mengelola perusahaan atau inisiatif yang
menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Selain memastikan kepatuhan terhadap undang-undang ketenagakerjaan, mereka
bertanggung jawab atas menyediakan kesempatan kerja dan membentuk lingkungan
kerja yang sehat dan aman bagi para karyawan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur dasar hukum bagi para pengusaha.
Para pengusaha harus mempertimbangkan hak-hak karyawan mereka dan
memastikan perlindungan dan kesejahteraan mereka sesuai dengan hukum yang
berlaku ketika mengelola bisnis mereka.

3. Serikat Pekerja/Organisasi Pekerja: Pekerja mengorganisir diri ke dalam serikat


pekerja atau organisasi pekerja sebagai sarana untuk mempertahankan dan
membela hak-hak mereka dalam hubungan ketenagakerjaan. Serikat pekerja
diwajibkan oleh hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja, untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
anggotanya dalam pembicaraan dengan pemerintah dan dalam negosiasi dengan
majikan. Mereka mewakili kepentingan pekerja dalam negosiasi gaji dan kondisi
kerja yang lebih baik serta mempertahankan hak-hak dan kepentingan mereka
sesuai dengan hukum yang berlaku.

4. Organisasi Pengusaha: Organisasi pengusaha turut berperan dalam mengawasi


praktik ketenagakerjaan dan melindungi kepentingan komersial mereka sebagai
organisasi atau forum yang mewakili pengusaha. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan juga mencantumkan dasar hukum bagi kelompok
pengusaha. Mereka bertindak sebagai suara bagi tuntutan bisnis, menciptakan
lingkungan yang mendukung investasi, dan memperjuangkan peraturan yang
mendorong penciptaan lapangan kerja dan ekspansi perusahaan.

5. Pemerintah: Sebagai pemegang kebijakan dan regulator dalam hal


ketenagakerjaan, pemerintah bertanggung jawab atas pembuatan kebijakan,
pengawasan penerapan hukum, dan mediasi konflik antara pengusaha dan pekerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga memuat
dasar hukum untuk keterlibatan pemerintah dalam ketenagakerjaan. Untuk menjaga
perlindungan hak dan kesejahteraan pekerja sesuai dengan peraturan yang berlaku,
pemerintah mengambil posisi sebagai mediator dalam penyelesaian konflik.

TUGAS TAMBAHAN 2 - Kaidah Otonom, Heteronom, Perjanjian Kerja, Peraturan


Perusahaan, PKB

Kaidah otonom dan heteronom adalah konsep yang sering digunakan dalam konteks hukum
dan etika.

1. Kaidah Otonom: Kaidah otonom adalah standar atau prinsip yang ditetapkan oleh
orang atau organisasi yang bersangkutan. Dalam ranah hukum, norma-norma
otonom seringkali terkait dengan konsep seperti hukum alam atau natural law, yang
berpendapat bahwa panduan moral dan etika berasal dari prinsip-prinsip yang
melekat atau universal daripada dari otoritas luar seperti negara atau lembaga
keagamaan.

2. Kaidah Heteronom: Regulasi heteronom adalah pedoman atau standar yang


ditetapkan oleh pihak luar atau otoritas eksternal. Norma-norma heteronom dapat
terkait dengan regulasi yang diberlakukan oleh agama atau negara dalam kerangka
hukum. Hal ini menyiratkan bahwa individu atau kelompok harus patuh terhadap
hukum yang ditetapkan oleh pihak lain, seperti pemerintah atau tempat ibadah, tanpa
memperhitungkan preferensi atau keyakinan mereka sendiri.

Oleh karena itu, perbedaan utama antara aturan otonom dan heteronom adalah
sumber atau otoritas yang menetapkannya: aturan otonom adalah aturan yang ditetapkan
oleh orang atau kelompok yang bersangkutan, sedangkan aturan heteronom ditetapkan oleh
pihak ketiga.

Perjanjian kerja memiliki dasar hukum yang kuat dalam hukum ketenagakerjaan di
suatu negara. Dasar hukum ini biasanya terdiri dari undang-undang ketenagakerjaan,
peraturan pemerintah, dan kebijakan perusahaan. Di Indonesia, dasar hukum utama untuk
perjanjian kerja adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang ini mengatur hak dan kewajiban pekerja serta majikan, prosedur
penyelesaian perselisihan, dan berbagai aspek lain dari hubungan kerja. Selain itu,
peraturan pemerintah, seperti Peraturan Pemerintah tentang Upah Minimum, Jam Kerja,
dan Cuti, juga turut mengatur berbagai ketentuan terkait perjanjian kerja. Di tingkat
perusahaan, kebijakan internal perusahaan dan kontrak kerja individual juga merupakan
dasar hukum untuk perjanjian kerja antara pekerja dan majikan. Dengan dasar hukum yang
jelas dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, perjanjian kerja memberikan dasar yang
kuat bagi hubungan kerja yang adil dan berkeadilan antara kedua belah pihak.

Peraturan perusahaan dalam hukum ketenagakerjaan merujuk pada kebijakan atau


aturan internal yang ditetapkan oleh suatu perusahaan untuk mengatur hubungan kerja
antara manajemen perusahaan dan para karyawannya. Peraturan perusahaan ini biasanya
mencakup berbagai aspek, termasuk tetapi tidak terbatas pada jam kerja, disiplin kerja, cuti,
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, hak dan kewajiban karyawan, prosedur
penyelesaian sengketa, dan berbagai ketentuan lain yang relevan dengan lingkup pekerjaan
dan operasi perusahaan.

Peraturan perusahaan merupakan alat yang penting bagi perusahaan untuk


menjalankan operasinya dengan tertib dan efisien, serta menjaga kedisiplinan dan
keamanan di tempat kerja. Namun, peraturan perusahaan ini juga harus sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku, termasuk undang-undang ketenagakerjaan dan peraturan
pemerintah yang mengatur hak-hak dasar karyawan.

Dengan adanya peraturan perusahaan yang jelas dan diterapkan secara konsisten,
perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, meningkatkan produktivitas,
dan menjaga keamanan serta kesejahteraan para karyawan. Selain itu, peraturan
perusahaan juga dapat menjadi landasan untuk penyelesaian sengketa internal yang
mungkin timbul antara manajemen dan karyawan.

Perjanjian kerja bersama (PKB) adalah kesepakatan tertulis antara serikat pekerja
atau serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha yang diatur berdasarkan
undang-undang ketenagakerjaan. Dasar hukumnya tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur PKB dalam Pasal 44 dan
Pasal 155-160. PKB mengatur berbagai hal terkait hubungan kerja, seperti upah, jam kerja,
cuti, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak dan kewajiban lainnya, dan bertujuan
untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan pekerja serta meningkatkan hubungan kerja
yang harmonis antara kedua belah pihak.

Anda mungkin juga menyukai