LATAR BELAKANG
Dibandingkan negara-negara lain di dunia, sepertinya hanya Indonesia yang mempunyai kebiasaan
Tunjangan Hari Raya (THR), maka bagi pekerja, THR merupakan rezeki yang dinanti-nanti
karena THR dinilai sangat membantu untuk merayakan hari keagamaan. Memang, THR diberikan dan
diperuntukkan dalam membantu keuangan keluarga dalam memenuhi pengeluaran hari raya
keagamaan yang biasanya meningkat dan dapat dipakai untuk mudik serta membeli keperluan hari
raya keagamaan. Hal ini seperti yang dikemukakan dari hasil suatu penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui penggunaan THR oleh para pekerja digambarkan dalam bagan berikut ini.
Hampir tiap tahun menjelang hari raya umat beragama di Indonesia, masalah Tunjangan Hari Raya
(THR) sering kali muncul dan masih menimbulkan berbagai macam persoalan khususnya dikalangan
pekerja karena memang masih banyak kaum pekerja yang tidak mendapatkan THR atau apabila
mendapatkannya tidak sesuai dengan apa yang semestinya menjadi haknya.
Pemerintah menganggap THR merupakan salah satu hak dasar/normatif pekerja yang wajib diberikan
oleh pengusaha untuk menambah penghasilan pekerja dalam menunjang perayaan Hari Raya
Keagamaannya. Untuk itu dikeluarkan ketentuan perundang-undangan berupa Peraturan Menteri
(Permen) 04/1994 sebagai perwujudan amanat dari Pasal 15 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Menurut Peraturan Menteri (Permen)
04/1994, yang dimaksud THR adalah pendapatan buruh yang wajib dibayarkan oleh pengusaha
kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.
1
Pasal-Pasal yang terkandung di dalam Peraturan Menteri (Permen) 04/1994 adalah sebagai berikut :
Pasal 1 Permen 04/1994 mengatur siapa yang wajib membayar THR. Setiap orang yang
mempekerjakan orang lain disebut pengusaha dan wajib membayar THR. Peraturan perundangundangan tidak mempersoalkan apakah seorang pengusaha itu perseorangan, memiliki perseroan
terbatas, yayasan, atau perkumpulan. Pada intinya, setiap orang yang mempekerjakan orang lain
Pasal 3 Permen 04/1994 mengatur besaran THR yang harus didapat buruh. Pekerja yang bermasa
kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih mendapat THR minimal satu bulan gaji. Pekerja
yang bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, mendapat secara
proporsional, yaitu dengan menghitung masa kerja yang sedang berjalan dibagi dua belas bulan
dikali satu bulan upah. Besaran THR untuk buruh dengan sistem upah borongan dihitung
berdasarkan rata-rata tiga upah+tunjangan terakhir yang dibawa pulang. Dalam hal ini ketentuan
THR menurut Permen 04/1994 adalah ketentuan jumlah minimum. Apabila perusahaan memiliki
aturan perusahaan, atau kesepakatan kerja bersama, atau kesepakatan kerja yang memuat
ketentuan jumlah THR lebih dari ketentuan peraturan tersebut, maka jumlah yang lebih tinggi
yang berlaku. Sebaliknya, apabila ada ketentuan yang mengatur jumlah THR lebih kecil dari
ketentuan yang diatur oleh peraturan tersebut, maka yang berlaku adalah ketentuan Permen
04/1994.
Pasal 4 Permen 04/1994 mengatur kapan THR harus dibayarkan. THR harus dibayarkan paling
lambat 7 hari sebelum hari raya keagamanaan si pekerja. Namun apabila ada kesepakatan antara
pengusaha dan karyawan untuk menentukan hari lain pembayaran THR, hal itu dibolehkan.
Pasal 5 Permen 04/1994 mengatur bolehkah THR dalam bentuk barang. THR bisa diberikan
dalam bentuk selain uang dengan syarat harus ada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha
terlebih dahulu, serta nilai yang diberikan dalam bentuk non-tunai maksimal 25% dari seluruh
nilai THR yang berhak diterima karyawan (barang tersebut selain minuman keras, obat-obatan,
Pasal 7 Permen 04/1994 mengatur bagaimana jika perusahaan tidak mampu. Apabila pengusaha
tidak mampu membayar THR boleh membayar THR lebih kecil dari ketentuan yang berlaku
dengan mengajukan (paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya karyawannya) permohonan
penyimpangan jumlah pembayaran THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jumlah
THR yang wajib dibayarkan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial
maupun denda.
Pasal 9 Permen 04/1994 mengatur siapa yang berwenang sebagai pengawas dan penyidik.
Pengawasan dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Wewenang khusus sebagai
Penyidik adalah Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum acara Pidana (Lembaran Negara tahun 1981 Nomor 76, Tambahan lembaran Negara
Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana pelanggaran dalam peraturan ini.
Untuk memonitor pelaksanaan pembayaran THR sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 04/Men/1994, Menakertrans melakukan himbauan melalui Surat Edaran yang pada tahun 2011
dikeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.06/MEN/VIII/2011
tentang Pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan dan Himbuan Mudik Lebaran Bersama. Surat
Edaran ini ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota se-Indonesia. Dalam surat edaran itu
Kemenakertrans meminta pemerintah daerah (Pemda) tingkat provinsi, kabupaten/kota agar
membentuk Satuan Tugas (Satgas) Ketenagakerjaan Peduli Lebaran 2011 yang diharapkan dapat
membantu memantau pembayaran THR bagi pekerja/buruh dan pelaksanaan mudik lebaran di daerahdaerah. Selain memantau pelaksanaan pembayaran THR, tugas lainnya dari satgas Lebaran adalah
memberikan informasi dan membantu penyelesaian permasalahan hubungan industrial yang terkait
dengan
pelaksanaan
pemberian
THR.
Para
Gubernur,
Bupati
dan
Walikota
diminta
untuk mengingatkan pengusaha agar pembayaran THR dilaksanakan dengan tepat waktu, yaitu
selambat-lambatnya tujuh hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Dalam surat edaran ini, pembayaran
THR harus berbentuk uang tunai dan bukan menggunakan barang. Kecuali pemberian barang tersebut
sebagai tambahannya. Sedangkan untuk meringankan beban para pekerja/buruh dan keluarganya yang
akan mudik lebaran, Para Gubernur/Bupati/Walikota diminta untuk mondorong perusahaanperusahaan di wilayahnya untuk menyelenggarakan mudik Lebaran bersama. Tak hanya itu, Satgas
Ketenagakerjaan Peduli Lebaran tingkat Pusat dan Daerah ini bertugas memantau dan memberi
informasi arus mudik kepada pekerja/buruh serta memantau pelaksanaan mudik lebaran yang
dilakukan perusahaan. Di tingkat pusat, Satgas lebaran di Kemenakertrans pun melakukan koordinasi
dan monitoring pelaksanaan tugas dengan menghubungi petugas posko di daerah-daerah. Satgas akan
3
menindaklanjuti setiap pelaporan yang masuk baik dari perusahaan atau pun dari pihak pekerja/buruh.
Apabila timbul permasalahan soal THR, akan tetap mendorong dilakukannya perundingan bipartit
yang melibatkan manajemen perusahaan dan pekerja/buruh.
Selain pemerintah, ada pihak swasta yang turut menghimbau yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) yangm meminta anggotanya sekitar 100.000 perusahaan untuk tidak menunda pembayaran
tunjangan hari raya kepada para pekerjanya. Apindo mengingatkan kesadaran pengusaha untuk
menunaikan kewajiban membayar THR seharusnya makin meningkat, apalagi dalam tahun 2011 tidak
ada kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan bahan bakar minyak (BBM) yang menambah beban
perusahaan.
Pada tahun 2011 ini, Kemenakertrans juga mensosialisasikan keberadaan Posko THR 2011 dalam
rangka menampung pengaduan masalah pelanggaran THR. Langkah yang sama juga dilakukan oleh
berbagai komponen masyarakat yang peduli terhadap nasib pekerja seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan Serikat Pekerja/Buruh.
Untuk menjalankan Surat Edaran Menakertrans, Tim Pengawas Disnaker di daerah melakukan control
pengawasan melalui pemantauan dengan turun ke perusahaan-perusahaan sejak awal hingga
pelaksanaan THR, khususnya, kepada perusahaan-perusahaan yang dicatat rawan terjadi konflik THR.
Dari hasil pemantauan jika ada perusahaan yang tidak membayar THR, biasanya perusahaan yang
bersangkutan di audit untuk memastikan penyebab terjadinya pelanggaran serta ada yang diumumkan
secara terbuka kepada masyarakat.
Meskipun THR diatur oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/Men/1994 dan Surat Edaran
Menakertrans serta dilakukan kontrol pengawasan guna memonitor keefektifan pelaksanaannya, akan
tetapi pada kenyataannya pekerja tidak secara otomatis mendapatkan apa yang semestinya menjadi
haknya, karena pada kenyataan banyak para majikan (pengusaha) yang tidak memberikan hak atas
THR kepada pekerjanya sesuai dengan ketentuan. Dari tahun ke tahun cara lazim dan umum yang
ditempuh oleh pihak pengusaha untuk mengindar dari kewajibannya membayar THR, adalah :
hanya memberikan THR atas dasar kemampuan dan kemauan dari pengusaha saja dengan alasan
THR dibayar terlambat (tidak tepat waktu) karena khawatir pekerja akan mengajukan cuti jauh
pekerjanya.
THR dibayar dicicil karena perusahaan merasa tidak mampu
Selain kasus di atas, ditemukan permasalahan yang bersifat khusus, seperti pengusaha tidak
memberikan THR kepada karyawan yang beragama minoritas yang akan merayakan hari raya
keagamaannya karena pengusaha menilai mayoritas para karyawannya beragama lain sehingga THR
diberikan pada hari perayaan keagamaan bagi mayoritas karyawannya.
Menurut laporan para Dinsnaker dimana perusahaan yang melanggar THR rata-rata dilakukan
perusahaan menengah ke bawah. Mereka termasuk perusahaan kecil yang tidak memiliki cukup
modal dengan jumlah karyawan yang tidak banyak. Meski tidak memiliki banyak modal, Disnaker
tetap mendorong perusahaan untuk memberikan THR kepada pekerjanya, karena itu sudah menjadi
kewajiban yang harus dilakukannya.
Pada tahun 2011 ini, Posko Lebaran Kemenakertrans juga telah menerima 57 pengaduan tunjangan
hari raya (THR). Permasalahan yang diadukan antara lain permohonan penundaan THR dari
perusahaan, tuntutan pembayaran THR, tidak dibayarnya THR, keterlambatan pembayaran THR, dan
pemotongan pajak pada THR.
Dengan masih terjadinya pelanggaran atas pelaksanaan THR yang dipaparkan di atas, pihak pekerja
dan pihak lain yang peduli terhadap para pekerja menilai bahwa peran pemerintah terutama Disnaker
yang tidak menjalankan fungsinya dalam melakukan kontrol pengawasan terhadap perusahaanperusahaan yang melakukan pelanggaran pemberian THR terhadap pekerjanya. Sampai saat ini belum
ada satupun perusahaan yang mendapatkan sanksi berupa pidana maupun denda dari pemerintah.
Sanksi yang diatur dalam UU 14/1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja
terhadap perusahaan yang tidak membayarkan THR pekerjanya hanya pidana kurungan selama tiga
bulan atau denda sebanyak Rp100 ribu. Kalaupun kasus-kasus THR dibawa ke Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI), biasanya untuk sampai pada putusan PHI yang memiliki kekuatan hukum tetap
dibutuhkan waktu yang panjang. Dari beberapa kasus yang ditangani PHI paling cepat dua tahun dan
biaya yang tidak sedikit, sehingga penyelesaian kasus THR tidak efektif, bahkan sesungguhnya tak
terselesaikan.
Disisi lain, Ada anggota DPR yang berpendapat bahwa Undang-Undang no 14 tahun 1969 sudah tidak
berlaku dengan hadirnya UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, sanksi
pidana dalam UU no 14 tahun 1969 tidak bisa digunakan akibat adanya kekosongan hukum. Dimasa
depan, THR seharusnya dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan disertai
sanksi yang tegas.
5
Apa yang di lakukan saat ini bila terjadi pelanggaran atas pelaksanaan THR, kaum pekerja harus
berjuang menuntut hak THR agar dipenuhi dan diberikan oleh pengusaha melalui konsolidasi seluruh
pekerja yang bekerja di pabrik/perusahaan dan membangun kekuatan dengan mendirikan serikat
pekerja apabila belum ada serikat. Apabila sudah berdiri serikat pekerja, pimpinan serikat
mengkonsolidasikan seluruh anggotanya dan mengajukan tuntutan bersama kepada pihak pengusaha.
Dan apabila pengusaha tidak bersedia memenuhi tuntutan sebagaimana diatur dalam ketentuan
berlaku maka serikat pekerja melakukan pengaduan pelanggaran hak normatif buruh kepada Disnaker
sekaligus merancang aksi masa dengan cara mogok kerja, karena hanya dengan jalan itulah pekerja
dapat memaksa pengusaha memberikan haknya kaum pekerja. Ada yang menempuh proses jalur
hukum yang merupakan perjuangan sekunder yang dianggap penting dilakukan dengan tujuan untuk
memperkuat aksi masa yang dilancarkan. Namun di propinsi atau kota/kabupaten yang susah mencari
pekerjaan, kebanyakan pekerja tidak melapor karena takut dipecat, sehingga jika tidak mendapat
THR, para pekerja tidak menuntut pengusaha harus memenuhi kewajibannya, atau mengadu kepada
pihak berwenang.
Namun di balik fakta yang mengungkap pelanggaran dalam pemberian THR, perusahaan yang
membayar THR memiliki persentasi yang tinggi dibanding dengan perusahaan yang tidak membayar
THR. Menurut informasi, perusahaan yang tidak membayar THR hanya sekitar 10 30 persen.
Namun jika dilihat dari perhitungan angka, sebagai contoh pada tahun 2011 di propinsi Jawa Timur,
menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigarasi dan Kependudukan Jatim yang dilansir media
cetak pada Senin (22/8/2011) menyatakan bahwa 10 persen dari 31.831 perusahaan (dengan total
pekerja sekitar 2.5 juta orang) yang ada di provinsi ini tidak membayar THR. Ini berarti sekitar 250
ribu orang tidak mendapatkan THR.
Diperoleh informasi lain bahwa sebagian dari perusahaan yang membayar THR ditujukan untuk
memenuhi Kesepakatan Kerja (KK), Peraturan Perusahaan (PP), atau Kesepakatan Kerja Bersama
(KKB) yang mengacu pada Ketentuan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/Men/1994.
KERANGKA PIKIR
Pada dasarnya setiap pengusaha seyogyanya wajib memberikan THR bagi pekerjanya. Seperti juga
tiap pekerja wajib mendukung dengan sepenuh kemampuan untuk pencapaian kinerja perusahaan.
Timbal balik semacam ini kiranya yang akan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pada faktanya,
sulit mempertemukan hubungan industrial yang harmonis antara perusahaan dengan pekerjanya.
Kedua belah pihak memiliki tuntutan yang berlawanan satu sama lain. Perusahaan selalu ingin
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran serendah rendahnya untuk
mendapatkan margin yang tinggi. Oleh karena itu dalam konsep penyusunan upah di dalam
perusahaan, selain hanya dihitung berdasarkan kebutuhan hidup minimum bagi buruh lajang juga
tidak ada komponen kebutuhan hidup buruh untuk mendapatkan tunjangan/biaya dalam menjalankan
6
ibadah dimana salah satunya adalah merayakan Hari Raya Keagamaan. Dari 45 item komponen dalam
konsep penyusunan upah misalnya, selain hanya dihitung berdasarkan kebutuhan hidup minimum
bagi buruh lajang juga tidak ada komponen kebutuhan hidup buruh untuk mendapatkan
tunjangan/biaya dalam menjalankan ibadah dimana salah satunya adalah merayakan Hari Raya
Keagamaan.
Mengapa selama ini pekerja mesti diberi Tunjangan ? Tunjangan dikenal karena upah rendah dan
bersifat tidak tetap mengikuti sifat kerja, dan secara tendensius oleh pengusaha diilusikan sebagai
insentif masa kerja. Sebenarnya tunjangan tidak dibutuhkan pekerja karena upah yang sangat rendah.
Sedangkan dipilih oleh pengusaha karena sifatnya yang temporal atau tidak tetap yang merupakan
cara pengusaha menghindar dari biaya tetap atas pekerja. Jadi tunjangan tidak dibutuhkan apabila
upah cukup dan bersifat tetap.
Dalam konteks ini, sebenarnya THR kedudukannya sama dengan insentif atas masa kerja atau waktu
kerja. Hak ini konkrit menjadi tuntutan kebutuhan hidup kaum pekerja beserta keluarganya ditengah
situasi ekonomi yang semakin sulit saat ini, sedangkan upah yang diterimanya sangat minim/rendah.
Sehingga sudah semestinya kaum pekerja mendapatkan hak atas Tunjangan Hari Raya (THR).
Kondisi pekerja dengan upah yang rendah masih terus berlangsung sampai saat ini, meskipun
pemerintah memberlakukan UU no 13 tahun 2003 untuk menciptakan hubungan industrial antara
perusahaan dan pekerjanya. Padahal sebuah pasal di dalam UU no 13 tahun 2003 ini menyatakan
bahwa sebuah perusahaan harus memiliki Peraturan Perusahaan dan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Idealnya kewajiban perusahaan untuk memberikan THR kepada pekerjanya di akomodir dalam
Peraturan Perusahaan dan atau Perjanjian Kerja Bersama yang merujuk pada (Permen) 04/1994.
Selama tunjangan berupa THR masih diwajibkan kepada perusahaan, suatu peraturan semestinya
memiliki kekuatan hukum agar mampu menjadi sebuah rujukan yang mengikat sebagaimana
Peraturan Menteri (Permen) 04/1994 yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1969. Namun mengingat UU 14/1969 itu telah dicabut dan diganti dengan UU no 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, maka selayaknya pemerintah melakukan evaluasi terhadap kedudukan
Peraturan Menteri (Permen) 04/1994 agar tidak menimbulkan keraguan bagi semua pihak.
Sudah menjadi hal yang lazim jika suatu peraturan dilanggar. Tidak terkecuali Permen 04/1994 yang
dilanggar oleh perusahaan dengan berbagai alasan. Usaha pemerintah dengan mengganti pasal yang
sering dilanggar di dalam Permen 04/1994 melalui Surat Edaran Menteri tentunya tidak dapat
memperbaiki efektifitas dalam pelaksanaannya. Peraturan yang baru perlu diberlakukan, selain
memiliki landasan yuridis juga landasan fisolofis yang menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan serta
mampu mengakomodir tuntutan kekinian dalam konstek hubungan industrialisasi antara perusahaan
dan pekerjanya.
Penerapan suatu peraturan harus didukung oleh sistem monitoring yang efektif dan pemberian sanksi
yang tegas kepada pelanggar. Sanksi yang tegas dan tidak memihak harus ditegakkan untuk
menunjukan bahwa siapun yang berada di wilayah Indonesia harus tunduk terhadap hukum yang
berlaku, tentunya selain akan membuat efek jera bagi si pelanggar juga untuk mencegah terjadinya
pelanggaran yang baru.
Acuan normatif yang digunakan para pengusahaa Pelaksanaan THR bagi Pengusaha
Pasal-Pasal dari Permen 04/1994 yang memberatkan Perusahaan
Alasan perusahaan tidak memberi THR kepada pekerjanya
Kesepakatan Kerja (KK), Peraturan Perusahaan (PP), atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) di
Pengusaha
Peranan Disnaker dalam penyelesaian pengaduan pelanggaran
Manfaat THR bagi Pekerja
Aspirasi THR yang diharapkan bagi Pekerja
KELUARAN PROYEK
Keluaran dari pelaksanaan pekerjaan telaahan implementasi Peraturan Menteri Tentang Tunjangan
Hari Raya Keagamaan adalah penyajian pokok-pokok pikiran dari hasil analisis sekumpulan data dan
informasi tentang pelaksanaan pemberian THR oleh Perusahaan kepada pekerjanya.
Penghayatan Pekerjaan
Melakukan kegiatan-kegiatan untuk mempelajari data sekunder dan review perundang-undangan
sebagai materi untuk menyusun Laporan Pendahuluan Sementara dan Kuesioner dan serta
koordinasi dengan instansi dan pihak lain yang terkait.
Melakukan diskusi dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan Pemilik Pekerjaan pada saat
persiapan pekerjaan dan untuk memaparkan hasil kaji ulang peraturan perundang-undangan, hasil
kajian lapangan tentang pemahaman dan aspirasi para pemangku kepentingan dan gagasan
konstruktif untuk penyempurnaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/Men/1994.
Menyelenggarakan Presentasi
Mengadakan presentasi untuk memaparkan Laporan Akhir kepada Pemilik Pekerjaan.
10