Anda di halaman 1dari 4

Perbedaan Isi UU Ketenagakerjaan dan Omnibus Law Cipta Kerja (Inkonstitusional

Bersyarat)

1. Waktu Istirahat dan Cuti


a. Istirahat Mingguan
Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa istirahat
mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk
lima hari kerja dalam satu minggu.

Sementara dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 79 ayat (2) huruf b tersebut mengalami
perubahan di mana aturan lima hari kerja itu dihapus, sehingga berbunyi: istirahat
mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

b. Istirahat Panjang
Dalam Pasal 79 Ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa pekerja
berhak atas istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada
tahun ketujuh dan kedelapan masing masing satu bulan jika telah bekerja selama 6
tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama. (Ketentuan:
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun
berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.

Namun dalam RUU Cipta Kerja regulasi terkait hak cuti panjang tersebut tak
diatur melainkan menyerahkan aturan itu kepada perusahaan atau diatur melalui
perjanjian kerja sama yang disepakati. (Di sini terdapat potensi eksploitasi buruh
oleh pebisnis.)

2. Upah
a. Upah Satuan Hasil dan Waktu
Undang-undang Ketenagakerjaan tidak mengatur upah satuan hasil dan waktu.
Sementara, dalam RUU Ciptaker, upah satuan hasil dan waktu diatur dalam Pasal
88 B. Dalam ayat (2) pasal 88 B (Bagaimana dgn buruh yg hamil, sakit, dan
mengambil cuti?) tersebut juga dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
upah satuan hasil dan waktu diatur dalam peraturan pemerintah.

b. Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota


Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan di tingkat provinsi,
kabupaten/kotamadya, dan sektoral diatur lewat Pasal 89 dan diarahkan pada
pencapaian kelayakan hidup.

Dalam pasal tersebut, upah minimum provinsi ditetapkan Gubernur dengan


memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota. Sedangkan penghitungan komponen serta pelaksanaan tahapan
pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan Keputusan Menteri.
Namun, Omnibus Law Ciptaker menghapus pasal tersebut dan menggantinya
menjadi Pasal 88 C. Dalam pasal pengganti tersebut upah sektoral dihapuskan
sedangkan penetapan upah minimum provinsi diatur dan ditetapkan gubernur
berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan syarat tertentu. Kondisi
ekonomi dan ketenagakerjaan ini ditentukan berdasarkan data statistik dari
lembaga yang berwenang. Sedangkan syarat tertentu tersebut meliputi
pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

Di samping itu, Omnibus Law Ciptaker juga mencantumkan pasal baru, yakni


Pasal 90 B yang mengecualikan ketentuan upah minimum untuk UMKM. Upah
pekerja UMKM diatur berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pemberian
kerja.

3. Pemutusan Hubungan Kerja


a. Dalam UU Ketenagakerjaan perusahaan boleh melakukan PHK dengan 9 alasan
yang meliputi: perusahaan bangkrut, perusahaan tutup karena merugi, perubahan
status perusahaan, pekerja melanggar perjanjian kerja, pekerja melakukan
kesalahan berat, pekerja memasuki usia pensiun, pekerja mengundurkan diri,
pekerja meninggal dunia, serta pekerja mangkir.

Dalam Omnibush Law Ciptaker, pemerintah menambah poin alasan perusahaan


boleh melakukan PHK dalam Pasal 154 A: perusahaan melakukan efisiensi;
perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan; dan perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran
utang (PKPU).

4. Jaminan Sosial
a. UU Ketenagakerjaan Pasal 167 ayat (5) menyatakan bahwa pengusaha yang tak
mengikutsertakan pekerja yang terkena PHK karena usia pensiun pada program
pensiun wajib memberikan uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa
kerja 1 kali dan uang penggantian hak. Jika hal tersebut tak dilakukan, maka
pengusaha dapat terkena sanksi pidana.

Namun, RUU Ciptaker menghapus ketentuan sanksi pidana bagi perusahaan


tersebut.

5. Jam Kerja
a. Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per
hari dan 14 jam per minggu. Sedangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja waktu
kerja lembur diperpanjang menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per
minggu.

6. Tenaga Kerja Asing


a. Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Ciptaker mengubah dan menghapus sejumlah
aturan tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Contohnya, dalam UU Ciptaker pemerintah menghapuskan kewajiban izin tertulis
bagi pengusaha yang ingin mempekerjakan TKA. Sebagai gantinya, pengusaha
hanya diwajibkan memiliki rencana penggunaan TKA. Hal ini tentunya semakin
mempermudah tenaga kerja asing yang masuk dan bekerja di Indonesia.

Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang JHT

1. Pasal 35 UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial


Nasional) disebutkan pihak-pihak penerima JHT (Jaminan Hari Tua): 1).
Pansiun 2). Cacat total, dan 3). Meninggal.

*JHT: Jaminan Hari Tua


JHT dapat dicairkan pada usia 56 tahun.
Mekanisme JHT: Gaji per bulan pekerja dipotong sebesar 5,7% untuk JHT.

2. Pada 2015, pekerja menuntut supaya pekerja yang di phk dimasukkan ke


dalam katergori penerima JHT. Lantas Pemerintah menerbitkan PP No. 60
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT. Ditegaskan dalam PP ini, manfaat
JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud Pasal 26
ayat (1) huruf a, diberikan kepada Peserta. Dengan demikian, Jokowi
menghapus ketentuan pencairan JHT pada usia 56 tahun. Ini mendapat
sambutan baik dari para pekerja.

3. Pada Permenaker No 2 Tahun 2022, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyyah


hendak menyesuaikan ketentuan penerima JHT dengan UU No 40 Tahun 2004
Pasal 35 tentang SJSN. Di mana peserta yg di phk, tidak termasuk pihak yang
menerima JHT. Ini menyebabkan kontroversi di kalangan pekerja dan akan
dijadikan salah satu tuntutan di Mayday tanggal 14 Mei nanti.

Redaksi UU dan PP:

a. UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN

Pasal 35 (1) Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan


prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib. (2) Jaminan hari tua
diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang
tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau
meninggal dunia.

b. PP No. 60 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT.


Pasal 26 (1) Manfaat JHT wajib dibayarkan kepada Peserta apabila: a. Peserta
mencapai usia pensiun; b. Peserta mengalami cacat total tetap; atau c. Peserta
meninggal dunia. (2) Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Peserta.

c. PP No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran JHT

Pasal 2 Manfaat JHT dibayarkan kepada Peserta jika: a. mencapai usia


pensiun; b. mengalami cacat total tetap; atau c. meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai