PENDIDIKAN NASIONAL
(AM2P2)
A. PENGANTAR
Hal yang sama juga ditemukan dalam penjelasan Naskah Akademik (NA)
RUU SISDIKNAS yang menyatakan bahwa causa lahirnya rencana perubahan
peraturan yang menaungi dunia pendidikan di Indonesia tersebut dimaksudkan
untuk melakukan penataan dan pengorganisasian terhadap regulasi-regulasi
terkait pendidikan ke dalam satu sistem pendidikan nasional yang diatur oleh
Undang-Undang. Rancangan Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk
melakukan penyesuaian pengaturan pada regulasi terkait pendidikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kondisi sosial, dan budaya guna
meningkatkan kualitas ekosistem pendidikan di Indonesia sekaligus memberikan
kepastian hukum dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. 4
Saat ini, RUU SISDIKNAS telah masuk ke dalam program legislasi nasional
(prolegnas) tahun 2020-2024. Sedikitnya kurang dari dua tahun lagi intrumen
yang memuat sejumlah ketentuan arah pendidikan Indonesia akan berlaku. Dalam
rencana perubahan, RUU Sisdiknas juga akan menggantikan dua aspek hukum
yang mengatur perihal pendidikan, yaitu UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Atas dasar
itu, partisipasi masyarakat dalam seluruh rangkaian pembentukan produk hukum
di bidang pendidikan tersebut menjadi hal yang wajib. Karena masyarakat adalah
sabjek sekaligus objek yang akan menerima dampak dari keberlakuan RUU
SISDIKNAS yang akan datang. Pentinya partisipasi masyarakat telah jelas
dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang
kemudian di tuangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
3
Tempo.com, Apa Saja Sisi Positif RUU Sisdiknas?, Selasa, 15 Maret 2022, tersedia di
https://tekno.tempo.co/read/1571156/apa-saja-sisi-positif-ruu-sisdiknas, diakses Pada 22 Juli 2022.
4
Naskah Akademik Rancangan Perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan, hlm 229.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hak untuk didengarkan
pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right
to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas
pendapat yang diberikan (right to be explained).
Jika di tilik dari segi arah pengaturan, RUU ini mencakup: penajaman
filosofi; prinsip, dan tujuan pendidikan nasional; penyempurnaan pola
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan; penyempurnaan arah
pengembangan kurikulum yang sesuai dengan dinamika perubahan; penguatan
paradigma pendidikan yang berorientasi pada kompetensi lulusan; peningkatan
penjaminan akses, mutu, dan relevansi pendidikan bagi warga negara; reorientasi
standar nasional pendidikan; penguatan kompetensi dan peran pendidik dan
tenaga kependidikan; peningkatan efisiensi penyelenggaraan dan pengelolaan
pendidikan; dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pendidikan.
Bertitik tolak pada RUU SISDIKNAS saat ini, banyak catatan dari pakar yang
menyatakan bahwa rancangan kebijakan hukum di bidang pendidikan tersebut
kurang mengedepankan transparasi dan partisipasi publik. Menurut Cecep
Dermawan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI, 5 akses masyarakat
terhadap RUU seakan dipersulit oleh stakeholder terkait dan minim partisipasi
publik. Akibatnya, sebagian publik bertanya-tanya sejatinya RUU SISDIKNAS ini
milik siapa? Apakah milik publik atau milik elit?. Hal yang sama juga diungkapkan
oleh Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKTBS) Ki Darmaningtyas 6
dan Doni Koesuma7 peneliti pendidikan yang tergabung dalam Aliansi
5
Cecep Dermawan, RUU Sisdiknas Milik Siapa?, MediaIndonesia.com, Rabu 12 Mei 2022,
https://mediaindonesia.com/opini/493030/ruu-sisdiknas-milik-siapa, dikase pada hari Selasa, 19 Juli
2022.
6
Kukuh, Penyusunan RUU Sisdiknas Tak Transparan, Pengamat: Tunda Pembahasan di Prolegnas,
gatra.com, 1 Maret 2022, https://www.gatra.com/news-537001-Pendidikan-penyusunan-ruu-sisdiknas-
tak-transparan-pengamat-tunda-pembahasan-di-prolegnas.html, diakses pada hari Selasa, 19 Juli 2022
7
Tempo.com, Aliansi Penyelenggara Pendidikan Minta Pembahasan RUU Sisdiknas Ditunda, Rabu 16
Februari 2022, https://tekno.tempo.co/read/1561299/aliansi-penyelenggara-pendidikan-minta-
pembahasan-ruu-sisdiknas-ditunda, diakses pada hari Selasa, 19 Juli 2022.
Penyelenggara Pendidikan Berbasis Masyarakat yang menyatakan bahwa
penyusunan RUU SISDIKNAS terlihat terburu-buru dan tergesa-gesa, sehingga
meninggalkan urgensi partisipasi publik yang bermakna.
Selain pernyataan para pakar pendidikan di atas, indikasi ini juga diperkuat
jika ditilik dari perspektif uji publik. Fakta empiris menunjukkan bahwa uji publik
yang dilakukan oleh pemerintah terlihat terbatas, sehingga beredar draf RUU
Sisdiknas secara tidak resmi. Permasalahan ini menampilkan ketidakselarasan
dengan sifat pendidikan sebagai barang publik.
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Secara filosofis, negara hukum adalah konsep negara yang
bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara yang dijalankan oleh
pemerintah haruslah dibatasi dan diatur dalam hukum yang berlaku (tertulis). Hal
ini bertujuan agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam menjalankan
tugasnya sebagai “pelayan rakyat”.
8
UNICEF, School Readiness a Conceptual Framework, 2012
9
ASEAN Sustainable Development Goals Indicators Baseline Report, 2020.
1) Penempatan sanksi administratif untuk tindakan pungutan liar terkesan
kurang efektif.
2) Tidak ada ketentuan yang diatur dalam pasal mengenai jaminan
pengembalian ganti kerugian bagi korban yang dirugikan secara ekonomi.
4) Penghapusan Materi Materi terkait Lembaga Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah/Madrasah dalam RUU SISDIKNAS;
UU 20/2003 tentang SISDIKNAS merangkan bahwa masyarakat memiliki
peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan yang inklusif dan
berkeadilan di Indonesia. Dalam Pasal 56 Ayat (1) UU SISDIKNAS dikatakan
bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai
unsur masyarakat yang peduli pendidikan. Dewan pendidikan sebagai
lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu
pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai
hubungan hirarkis. Sedangkan Komite sekolah/madrasah adalah lembaga
mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas
sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat satuan pendidikan.
Dalam materi muatan RUU SISDIKNAS, ketentuan mengenai lembaga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah terlihat ditiadakan. Hal
ini tentunya akan berimplikasi pada hilangnya eksistensi atau redupnya
kepastian hukum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah
sebagai elemen penting dalam penyelenggaran pendidikan di Indonesia.
5) Pembiayaan Wajib Belajar
Pasal 34 UU 20/2003 tentang SISDIKNAS menyatakan bahwa: Ayat (1)
Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib
belajar; Ayat (2): Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya; Ayat (3): Wajib belajar merupakan tanggung jawab
negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
Sedangkan Pasal 78 RUU SISDIKNAS menyatakan bahwa: Ayat (1): Setiap
Warga Negara yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas)
tahun wajib mengikuti Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah.; Ayat
(2): Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan
daya tampung Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah dan membiayai
Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah.
Dalam hal pembiayaan pendidikan, Pada Pasal 80 RUU SISDIKNAS
dikatakan bahwa: Ayat (1): Pembiayaan Pendidikan dasar dan Pendidikan
menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) huruf b
merupakan kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk
menyediakan pembiayaan dasar; Ayat (2): Pembiayaan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan pembiayaan sesuai standar minimum
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; Ayat (3): Pembiayaan dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Satuan Pendidikan
yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Selanjutnya pada Pasal 81 dikatakan bahwa: Ayat (1): Masyarakat dapat
berpartisipasi dalam pembiayaan Pendidikan dasar dan Pendidikan
menengah di atas pembiayaan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80;
Ayat (2): Partisipasi Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dilakukan secara sukarela berdasarkan prinsip
demokratis, berkeadilan, dan akuntabel.
Berdasarkan perbandingan rumusan UU 20/2003 tentang SISDIKNAS dan
RUU, maka dapat disimpulkan bahwa Pasal 78 Ayat (2) RUU SISDIKNAS
memang mengakui tentang pentingnya pendidikan bagi seluruh rakyat di
Indonesia dengan memberikan jaminan ketersediaan daya tampung
Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah dan membiayai Pendidikan
dasar dan Pendidikan menengah. Namun dalam hal jaminan biaya
pendidikan, pada Pasal 80 Ayat (1) dikatakan bahwa pembiayaan yang
dimaksud hanyalah pembiayaan dasar saja. Artinya, tetap saja terdapat
pembiayaan yang akan dibebankan kepada peserta didik. Ketentuan ini
berbeda dengan ketentuan Pasal 34 Ayat (2) UU 20/2003 tentang
SISDIKNAS yang meberikan jaminan tidak adanya pungutan biaya pada
program wajib belajar. Secara yuridis, ketentuan adanya pembatasan
pembiayaan pada penyelenggaraan pendidikan dasar dalam RUU
SISDIKNAS jelas bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya”.
E. CATATAN MATERIIL RUU SISDIKNAS (Versi Agustus 2022)
1) Pengertian wajib belajar
Pasal 1 Angka 13 RUU SISDIKNAS menyatajan bahwa: “Wajib Belajar
adalah program Pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga
negara Indonesia”.
Sedangkan Pasal 1 Angka 18 UU 20/2003 Sisdiknas: “Wajib belajar adalah
program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah”;
Berdasarkan penjelasan pasal a quo, dapat dipahami bahwa kalimat “atas
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah” dalam RUU
Sisdiknas dihapus;
Kondisi tersebut, terkesan hendak mereduksi tanggung jawab negara
terhadap program wajib belajar.
2) Jalur Pendidikan
Pasal 17 RUU Sisdiknas: “Jalur Pendidikan terdiri atas Pendidikan formal,
Pendidikan nonformal, dan Pembelajaran informal”;
Sedangkan Pasal 13 Ayat 1 UU 20/2003 Sisdiknas: Jalur pendidikan terdiri
atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya;
Berdasarkan kedua rumusan pasal diatas, dapat dipahami bahwa RUU
Sisdiknas merubah nama jalur pendidikan. Dimana sebelumnya pada UU
No. 20 Tahun 2003 disebutkan “pendidikan informal” dirubah menjadi
“pembelajaran informal”;
Perubahan nomenklatur tersebut menunjukan perbedaan kedudukan
terhadap jalur pendidikan lainnya yakni, pendidikan formal & pendidikan
nonformal.
3) Ketentuan Wajib Belajar
Pasal 7 RUU Sisdiknas: wajib belajar terdiri atas wajib belajar pada Jenjang
Pendidikan dasar bagi Warga Negara yang berusia 6 sampai dengan 15
tahun dan wajib belajar pada Jenjang Pendidikan menengah bagi Warga
Negara yang berusia 16 sampai dengan 18 tahun. Wajib belajar pada
Jenjang Pendidikan dasar diterapkan secara nasional. Sedangkan wajib
belajar pada jenjang pendidikan menengah diterapkan secara bertahap
pada daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
Ketentuan wajib belajar dalam RUU Sidiknas yang tidak menerapkan
program wajib belajar hingga umur 18 Tahun atau SMA diseluruh daerah
di Indonesia terlihat diskrimintaif dan mengesampingkan prinsip
persamaan dihadapan pendidikan;
Kondisi demikan juga menyebabkan sebagian wilayah yang tidak
ditetapkan sebagai daerah yang menerapkan wajib belajar hingga SMA
harus menanggung biaya pendidikan di jenjang SMA, sedangkan daerah
lainnya tidak. Pasal 61 Ayat (1) RUU Sisdiknas menyatakan bahwa Pelajar
berpartisipasi dalam pendanaan Pendidikan di luar Wajib Belajar.
4) Ketentuan Pembiayaan Wajib Belajar
Pasal 57 Ayat (1) RUU Sisdiknas: Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menyediakan pendanaan untuk penyelenggaraan Wajib Belajar. Ayat (2):
Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan bagi Satuan
Pendidikan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat. Ayat (3): Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan untuk menyelenggarakan Pendidikan sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan.
Bahwa Pasal 34 Ayat (2) UU 20/2003 Sisdiknas: Pemerintah dan
Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal
pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ayat (3): Wajib
belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Berdasarkan uraian terkait rumusan pasal mengenai ketentuan
pembiayaan wajib belajar dalam RUU Sisdiknas diatas, terlihat sebuah
penurunan semangat pemerintah untuk menjamin terselenggaranya
program wajib belajar tanpa pungutan biaya;
Kalimat “menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 Ayat (2) UU
20/2003 Sisdiknas yang diubah menjadi “menyediakan menyediakan
pendanaan untuk penyelenggaraan Wajib Belajar” dalam RUU Sisdiknas
terkesan menunjukkan pemerintah beranjak lari dari tanggung jawabnya.
frasa “menyediakan” rentan untuk ditafsirkan secara sewenang-wenang.
5) Ketentuan Komite Sekolah
Pasal 1 Angka 25 UU SISDIKNAS menyatakan bahwa Komite
sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan
orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh
masyarakat yang peduli pendidikan. Kemudian dalam Pasal 56 Ayat
(3) dikatakan bahwa Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga
mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan.
Kedudukan Komite Sekolah di dalam satuan pendidikan sangat
penting. Selain untuk membantu suksesnya proses belajar-mengajar,
kehadiran Komite Sekolah dapat mengimbangi dan mengawasi
jalannya sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan.
Di dalam RUU SISDKINAS, eksistensi Komite Sekolah terkesan
direduksi, dengan tidak memasukkan ketentuan mengenai Komite
Sekolah dalam materi muatan pasal.
6) Ketentuan Subsidi Tunjangan Fungsional Guru dan Dosen Swasta
Pasal 17 Ayat (2) jo Pasal Ayat (2) 54 UU Guru dan Dosen
menyatakan bahwa Pemerintah memberikan subsidi tunjangan
fungsional kepada guru dan dosen yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Dalam RUU Sidiknas, ketentuan mengenai subsidi tunjangan profesi
guru bagi guru dan dosen pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat (swasta) dihapus.
Kondisi demikian seakan mereduksi tentang pentingnya jaminan
kepastian hukum atas penghargaan kepada guru dan dosen swasta
yang telah melaksanakan sistem pendidikan nasional dalam
mencapai tujuan negara.
7) Ketentuan Tunjangan Fungsional Guru dan Dosen Honorer (Non
PNS)
Pasal 17 Ayat (1) jo 54 Ayat (1) UU Guru dan Dosen menyatakan
bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan
tunjangan fungsional kepada guru dan dosen yang diangkat oleh
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah.
Tunjangan fungsional merupakan program pemberian subsidi kepada
guru dan dosen non PNS yang bertugas di satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah.
Dalam RUU Sisdiknas, ketentuan mengenai tunjangan fungsional
dihapus.
F. REKOMENDASI