Anda di halaman 1dari 15

POTREM BURAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM

PENDIDIKAN NASIONAL

Aliansi Masyarakat Malang Peduli Pendidikan

(AM2P2)

A. PENGANTAR

Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan kemerdekaan
Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara visi
Indonesia 2045, seratus tahun setelah kemerdekaan, mencanangkan agar
Indonesia menjadi “negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur”. Untuk
mencapai visi tersebut, Indonesia membutuhkan pembangunan sumber daya
manusia yang berkualitas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mandiri,
serta mampu meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Atas dasar itu,
pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) sebagai wujud dan pijakan pembangunan
sumber daya manusia melalui penyelenggaraan pendidikan.

Tepat 19 (sembilan belas) tahun usia UU SISDIKNAS, penyelenggaraan


pendidikan di Indonesia belum menampilkan hasil yang di cita-citakan dan menuai
sejumlah catatan krusial. Mulai dari tingginya angka usia wajib belajar yang belum
bisa mengakses pendidikan, rendahnya kualitas pendidik dan tenaga pendidik,
kurangnya fasilitas sarana prasarana pendidikan dan lain-lain. Hingga tahun 2021,
Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) pada seluruh
jenjang pendidikan masih jauh di bawah 100%. 1 Selain itu, skor asesmen siswa
Indonesia pada Programme for International Students Assessment (PISA) selama
10-15 tahun terakhir menampilkan hasil yang memprihatinkan. Pada tahun 2018,
70% siswa Indonesia masih berada di bawah kompetensi minimum untuk
membaca dan matematika. Karena itu, Hasil PISA tahun 2018 menempatkan
Indonesia di urutan ke 74 alias peringkat keenam dari bawah. 2 Singkatnya, mandat
wajib belajar dan pendidikan bermutu dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional masih belum tercapai.

Realitas permasalahan di atas menuntut adanya pembaharuan sistem


pendidikan nasional secara komprehensif. Oleh karena itu, Pemerintah
menginisiasi rencana pembentukan peraturan perubahan UU SISDIKNAS sebagai
langkah problem solving penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, agar visi, misi
serta arah pengembangan pendidikan menjadi terintegrasi, terencana, terarah,
1
https://apkapm.data.kemdikbud.go.id/index.php/cberanda/apkapmsekolah?
kode_wilayah=000000&tahun=2021, diakses pada 25 juli 2022.
2
OECD: Organisation for Economic Co-operation and Development, PISA 2018 Results - Indonesia, 2020.
berkesinambungan, serta bebas dari kepentingan politik praktis. Menurut
penjelasan Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen
Pendidikan Kementerian Pendidikan, Anindito Aditomo, sedikitnya terdapat tiga
alasan utama mengapa perubahan RUU SISDIKNAS yang mencakup tiga peraturan
perundang-undangan terkait pendidikan perlu dilakukan. Pertama, adanya
ketentuan dalam peraturan a quo yang sudah tidak relavan lagi untuk diterapkan
pada hari ini. Misalnya terkait kewajiban guru mengajar 24 jam tatap muka per
minggu, hal ini menurutnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan
teknologi pendidikan. Kedua, adanya tumpang tindih peraturan yang mengatur
tentang pendidikan. Misalnya UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi sama-sama
mengatur Standar Nasional Pendidikan (SNP). Ketiga, untuk melakukan unifikasi
ketentuan-ketentuan tentang pendidikan yang belum tertuang dalam peraturan
perundang-undangan. Misalnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyoal
tentang sistem pendidikan di Indonesia.3

Hal yang sama juga ditemukan dalam penjelasan Naskah Akademik (NA)
RUU SISDIKNAS yang menyatakan bahwa causa lahirnya rencana perubahan
peraturan yang menaungi dunia pendidikan di Indonesia tersebut dimaksudkan
untuk melakukan penataan dan pengorganisasian terhadap regulasi-regulasi
terkait pendidikan ke dalam satu sistem pendidikan nasional yang diatur oleh
Undang-Undang. Rancangan Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk
melakukan penyesuaian pengaturan pada regulasi terkait pendidikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kondisi sosial, dan budaya guna
meningkatkan kualitas ekosistem pendidikan di Indonesia sekaligus memberikan
kepastian hukum dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. 4

Saat ini, RUU SISDIKNAS telah masuk ke dalam program legislasi nasional
(prolegnas) tahun 2020-2024. Sedikitnya kurang dari dua tahun lagi intrumen
yang memuat sejumlah ketentuan arah pendidikan Indonesia akan berlaku. Dalam
rencana perubahan, RUU Sisdiknas juga akan menggantikan dua aspek hukum
yang mengatur perihal pendidikan, yaitu UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Atas dasar
itu, partisipasi masyarakat dalam seluruh rangkaian pembentukan produk hukum
di bidang pendidikan tersebut menjadi hal yang wajib. Karena masyarakat adalah
sabjek sekaligus objek yang akan menerima dampak dari keberlakuan RUU
SISDIKNAS yang akan datang. Pentinya partisipasi masyarakat telah jelas
dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang
kemudian di tuangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

3
Tempo.com, Apa Saja Sisi Positif RUU Sisdiknas?, Selasa, 15 Maret 2022, tersedia di
https://tekno.tempo.co/read/1571156/apa-saja-sisi-positif-ruu-sisdiknas, diakses Pada 22 Juli 2022.
4
Naskah Akademik Rancangan Perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan, hlm 229.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hak untuk didengarkan
pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right
to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas
pendapat yang diberikan (right to be explained).

Berdasarkan hal tersebut, Aliansi Masyarakat Malang Peduli Pendidikan


(AM2P2) menginisiasi adanya Riset Partisipatif (Participation Action Reserch) RUU
SISDIKNAS yang dilakukan bersama beberapa stakeholders pendidikan di Malang
Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu), seperti akademisi, praktisi
(guru), mahasiswa dan masyarakat sipil yang peduli dengan pendidikan. Hasil dari
penelitian tersebut nantinya akan diberikan kepada instansi pemerintahan yang
berwenang untuk dijadikan sebagai dasar atau bahan pertimbangan perihal
ketentuan yang perlu di evaluasi dan diatur dalam RUU SISDIKNAS.

B. SEKILAS TENTANG RUU SISDIKNAS

UU SISDIKNAS merupakan salah satu UU yang masuk ke dalam Program


Legislasi Nasional (prolegnas) tahun 2020-2024. Dalam rencana perubahan, RUU
SISDIKNAS juga akan menggantikan dua aspek hukum yang mengatur perihal
pendidikan yang berlaku saat ini, yaitu UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Jika di tilik dari segi arah pengaturan, RUU ini mencakup: penajaman
filosofi; prinsip, dan tujuan pendidikan nasional; penyempurnaan pola
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan; penyempurnaan arah
pengembangan kurikulum yang sesuai dengan dinamika perubahan; penguatan
paradigma pendidikan yang berorientasi pada kompetensi lulusan; peningkatan
penjaminan akses, mutu, dan relevansi pendidikan bagi warga negara; reorientasi
standar nasional pendidikan; penguatan kompetensi dan peran pendidik dan
tenaga kependidikan; peningkatan efisiensi penyelenggaraan dan pengelolaan
pendidikan; dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pendidikan.

Dari sisi jangkauan pengaturan, RUU ini menjangkau penyelenggaraan


pendidikan di semua kementerian/lembaga yang turut terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan, pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat,
dan semua pendidik dan tenaga kependidikan. RUU ini juga menjangkau
pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
pengelolaan urusan pendidikan.

Adapun kontruksi penyusunan RUU SISDIKNAS terlihat menggunakan


metode Omnibus Law. Adanya muatan materi baru, perubahan beberapa muatan
paraturan yang jenis dan hierarki sama, lalu mencabut peraturan perundang-
undangan tersebut dengan menggabungkannya ke dalam satu peraturan
peraturan-undangan, selaras dengan ketentuan Pasal 64 Ayat (1b) UU No. 13
Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur
tentang Omnibus Law Method.

C. CATATAN FORMIL RUU SISDIKNAS

Pelibatan publik dalam perancangan kebijakan hukum adalah faktor


penting kesuksesan pelaksanaan suatu kebijakan, karena masyarakat adalah pihak
yang sangat memahami kondisi nyata dan akan menghadapi dampak langsung dari
pelaksanaan suatu peraturan. Atas dasar itu, dalam pembentukan RUU SISDIKNAS,
pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan ruang yang cukup kepada
seluruh elemen masyarakat dalam menyuarakan aspirasi, saran dan kritiknya.
Pasal 96 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa “masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.

Dalam penjelesan yang lebih lanjut, pada halaman 393 Putusan MK


No.91/PUU-XVIII/2020 dikatakan bahwa penguatan keterlibatan dan partisipasi
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan
secara bermakna (meaningful participation), tertib dan bertanggung jawab dengan
memenuhi tiga prasyarat utama, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right
to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan
hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan
(right to be explained).

Bertitik tolak pada RUU SISDIKNAS saat ini, banyak catatan dari pakar yang
menyatakan bahwa rancangan kebijakan hukum di bidang pendidikan tersebut
kurang mengedepankan transparasi dan partisipasi publik. Menurut Cecep
Dermawan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI, 5 akses masyarakat
terhadap RUU seakan dipersulit oleh stakeholder terkait dan minim partisipasi
publik. Akibatnya, sebagian publik bertanya-tanya sejatinya RUU SISDIKNAS ini
milik siapa? Apakah milik publik atau milik elit?. Hal yang sama juga diungkapkan
oleh Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKTBS) Ki Darmaningtyas 6
dan Doni Koesuma7 peneliti pendidikan yang tergabung dalam Aliansi
5
Cecep Dermawan, RUU Sisdiknas Milik Siapa?, MediaIndonesia.com, Rabu 12 Mei 2022,
https://mediaindonesia.com/opini/493030/ruu-sisdiknas-milik-siapa, dikase pada hari Selasa, 19 Juli
2022.
6
Kukuh, Penyusunan RUU Sisdiknas Tak Transparan, Pengamat: Tunda Pembahasan di Prolegnas,
gatra.com, 1 Maret 2022, https://www.gatra.com/news-537001-Pendidikan-penyusunan-ruu-sisdiknas-
tak-transparan-pengamat-tunda-pembahasan-di-prolegnas.html, diakses pada hari Selasa, 19 Juli 2022
7
Tempo.com, Aliansi Penyelenggara Pendidikan Minta Pembahasan RUU Sisdiknas Ditunda, Rabu 16
Februari 2022, https://tekno.tempo.co/read/1561299/aliansi-penyelenggara-pendidikan-minta-
pembahasan-ruu-sisdiknas-ditunda, diakses pada hari Selasa, 19 Juli 2022.
Penyelenggara Pendidikan Berbasis Masyarakat yang menyatakan bahwa
penyusunan RUU SISDIKNAS terlihat terburu-buru dan tergesa-gesa, sehingga
meninggalkan urgensi partisipasi publik yang bermakna.

Selain pernyataan para pakar pendidikan di atas, indikasi ini juga diperkuat
jika ditilik dari perspektif uji publik. Fakta empiris menunjukkan bahwa uji publik
yang dilakukan oleh pemerintah terlihat terbatas, sehingga beredar draf RUU
Sisdiknas secara tidak resmi. Permasalahan ini menampilkan ketidakselarasan
dengan sifat pendidikan sebagai barang publik.

Oleh karena itu, meskipun masih dalam tahap perencanaan, RUU


SISDIKNAS sebagai dokumen publik yang akan menjadi kebijakan hukum (legal
policy) bagi pendidikan di Indonesia sudah seharusnya diperlakukan berdasarkan
asas transparansi dan partisipasi. Implementasi transparansi dan partisipasi yang
bermakna (meaningful participation) untuk publik dalam setiap siklus
pembentukan kebijakan hukum yang meliputi tahap perencanaan, penyusunan,
dan pembahasan sangat diperlukan agar legal policy yang dibentuk memperoleh
legitimasi dari pemegang kekuasaan dan kedaulatan tertinggi dalam bernegara
(rakyat).

D. CATATAN MATERIIL RUU SISDIKNAS (Versi Januari)

Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945  menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Secara filosofis, negara hukum adalah konsep negara yang
bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara yang dijalankan oleh
pemerintah haruslah dibatasi dan diatur dalam hukum yang berlaku (tertulis).  Hal
ini bertujuan agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam menjalankan
tugasnya sebagai “pelayan rakyat”.

Selaras dengan itu, dalam hal menjalankan tugasnya membentuk undang-


undang, pemerintah turut dibatasi dan diatur oleh hukum. Pasal 6 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan memandatkan bahwa “materi muatan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh pemerintah harus mencerminkan asas pengayoman,
kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, kebhinekaan tunggal ika,
keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan
kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”. Selain itu,
materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah
juga harus selaras dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, yang merupakan sumber
dari segala sumber hukum dan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia.
Ketentuan tersebut bersifat kumulatif, dalam artian jika muatan materi
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah bertentangan
dengan salah satu asas dan instrumen diatas, maka peraturan perundang-
undangan tersebut harus batal demi hukum.

Dalam materi muatan RUU SISDIKNAS (versi januari), terdapat beberapa


ketentuan yang krusial dan cenderung bertentangan dengan landasan hukum
pembentukan peraturan perundang-undangan. Beberapa di antaranya yaitu:

1) Perguruan tinggi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat;


 Pasal 74 Ayat (1) UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan
bahwa: “PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki
potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon
Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang
diterima dan tersebar pada semua Program Studi”.
 Sedangkan Pasal 67 RUU Sisdiknas menyatakan bahwa: Ayat (1):
Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat wajib
mencari dan menjaring mahasiswa baru berdasarkan potensi akademik
tinggi dan dapat mempertimbangkan prestasi nonakademik; Ayat (2):
Dalam pencarian dan penjaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat
mengupayakan terwujudnya keberagaman latar belakang mahasiswa baru;
Ayat (3): Paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh mahasiswa
baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari keluarga kurang
mampu atau berasal dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal.
 Berdasarkan penjelasan pasal a quo, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: Pertama, Pasal 67 Ayat (1) RUU SISDIKNAS yang
menyatakan bahwa “Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat wajib mencari dan menjaring mahasiswa baru
berdasarkan potensi akademik tinggi dan dapat mempertimbangkan
prestasi nonakademik”, cenderung diskriminatif terhadap warga negara
yang secara potensi akademik maupun non akademik memiliki potensi
yang tergolong rendah. Secara harfiah, ketentuan a quo menujukkan
bahwa hanyalah orang-orang yang memiliki potensi akademik maupun
nonakademik yang tinggi yang mampu mencicipi pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Ketentuan ini jelas bertentangan
dengan landasan filosfis bernegara sila ke-5 Pancasila yang menuntut
pemerintah untuk menciptakan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam
penyelenggaraan pendidikan. Selain itu, ketentuan tersebut juga tidak
selaras dengan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”, yang mengadung makna
kesamaan hak dihadapan pendidikan, termasuk pada aspek penerimaan
mahasiswa baru pada perguruan tinggi yang diselenggarankan oleh
pemerintah pusat.
 Kedua, mencermati ketentuan Pasal 74 Ayat (1) UU 12/2012 yang
kemudian di canangkan untuk di ubah ketentuannya sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 67 Ayat (3) RUU SISDIKNAS, maka dapat
dipahami bahwa dalam hal penerimaan mahasiswa baru pada perguruan
tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pengubahan kata
“dan” pada Pasal 74 Ayat (1) UU 12/2012 menjadi kata “atau” dalam
Pasal 67 ayat (3) RUU Sisdiknas menyebabkan ketentuan 20%  kapasitas
penerimaan mahasiswa harus berasal dari keluarga kurang mampu dan
berasal dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) berdiri pada
posisi alternative policy; tergantung pihak perguran tinggi mau
mengedepankan yang mana. Kondisi ini berimplikasi pada tidak adanya
jaminan kapastian hukum bagi warga negara yang kurang mampu
maupun mereka yang berasal dari daerah 3T untuk diterima pada
perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Dalam
artian bisa saja perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah
pusat hanya menerima warga negara yang kurang mampu maupun hanya
menerima calon peserta didik yang datang dari daerah 3T.
 Ketiga, frasa “kurang mampu” yang termaktub pada Pasal 67 Ayat (3)
RUU SISDIKNAS terlihat absurd, dalam artian tidak ada penjelasan dalam
konteks apa kurang mampu yang di maksud. Berbeda dengan unsur
kurang mampu pada pasal 74 Ayat (1) UU 12/2012 yang menyatakan
konteks kurang mampu yang dimaksud adalah secara ekonomi. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya kesewenang-wenangan stakeholders
penyelenggara pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah
pusat dalam menafsirkan frasa“kurang mampu”, yang kemudian nantinya
berimplikasi pada tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat yang kurang
mampu secara ekonomi untuk dapat mengakses dalamnya sumur ilmu
pengetahuan di perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah
pusat.
 Keempat, penegasan persentase paling sedikit 20% penerimaan
mahasiswa baru pada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
pemerintah pusat harus berasal dari keluarga “kurang mampu atau
berasal dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal” masih terlihat
kurang. Selain itu, ketentuan tersebut juga dapat memberi ruang
terjadinya komersialisasi pendidikan oleh penyelenggara pendidikan
dengan menempatkan 80% kuota mahasiswa untuk masyarakat dari
kalangan keluarga berada.
2) Kewajiban Warga Negara
 Pasal 6 Ayat (1) UU 20/2003 tentang SISDIKNAS menyatakan bahwa:
“Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun
wajib mengikuti pendidikan dasa”r.
 Pasal 8 huruf a RUU SISDIKNAS menyatakan bahwa setiap warga negara
wajib: "mengikuti pendidikan dasar dan pendidikan menengah bagi yang
berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun”.
 Berdasarkan penjelasan pasal a quo, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: Pertama, pengaturan kewajiban warga negara dalam
Pasal 8 huruf a RUU SISDIKNAS memberikan penambahan rentang usia
wajib belajar kepada warga negara. Jika dalam Pasal 6 Ayat (1) UU
SISDIKNAS kewajiban warga negara untuk memperoleh pendidikan hanya
sampai pada tataran sekolah dasar (SD/MI-SMP/MTS), dalam RUU
sisdiknas kewajiban warga negara untuk memperoleh pendidikan
berdasarkan usia, bertambah sampai pada tataran sekolah menengah
(SMA/SMK/MA). Perubahan ketentuan wajib belajar dalam RUU
SISDIKNAS menjadi payung hukum dari program wajib belajar 12 Tahun.
 Bertitik tolak pada rentang usia kewajiban warga negara untuk
memperoleh pendidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 huruf a
RUU SISDIKNAS, salah satu rentang usia berdasarkan jenjang pendidikan
yang perlu diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah adalah Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) khususnya mereka yang berusia enam (6) tahun
atau usia satu tahun sebelum Sekolah Dasar (SD). Fakta empiris
menunjukkan bahwa tidak terakomodirnya PAUD sebagai program wajib
belajar menyebabkan satuan pendidikan ini terkesan kurang mendapat
perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal itu dapat dibuktikan dengan
tingginya angka anak usia dini yang tidak dapat mengenyam pendidikan
pada satuan penyelenggara PAUD karena biaya pendidikan yang tergolong
mahal. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2019
menunjukkan bahwa dari 40% keluarga termiskin di Indonesia, hanya
sekitar 19% yang mengikuti layanan PAUD. Dari 121 kabupaten yang
masuk kategori terdepan, terpencil, dan tertinggal, hanya sekitar 17% yang
mengikuti layanan PAUD. Selain itu, kondisi ini juga menyebabkan
distribusi layanan PAUD belum merata 164 antar daerah. walaupun
cakupan desa dengan PAUD sudah mencapai 89%, namun sebaran PAUD
lebih banyak berada di wilayah Jawa, Bali, dan Sumatera, sementara
ketersediaan PAUD di wilayah Indonesia timur masih terbatas.
 Padahal, partisipasi anak di dalam pembelajaran yang terorganisir satu
tahun sebelum mengikuti pendidikan dasar dapat meningkatkan
kemungkinan anak masuk ke jenjang sekolah dasar dengan kesiapan yang
memadai untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran di
kelas.8 Secara kumulatif, menurut ASEAN Sustainable Development Goals
Indicators Baseline Report 2020, tingkat partisipasi anak di Indonesia yang
mengikuti pembelajaran satu tahun sebelum sekolah dasar pada tahun
2018 hanya sebesar 37,9% dan menjadikan Indonesia sebagai negara
terendah di negara-negara ASEAN.9
3) Ketentuan Sanksi;
 Pasal 143 Ayat (2) RUU SISDINAS menyatakan bahwa: “Satuan
Pendidikan pada Jenjang Pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang memungut biaya atau
meminta sumbangan dari Masyarakat tidak secara sukarela dikenakan
sanksi administratif”. Selanjutnya pada Ayat (3) disebutkan bahwa:
“satuan Pendidikan pada Jenjang Pendidikan anak usia dini, Pendidikan
menengah, dan Pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah yang memungut biaya dari Pelajar yang
besarannya tidak berdasarkan kemampuan ekonomi dikenakan sanksi
administrative”.
 Berdasarkan penjelasan pasal a quo, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: Pertama, Pasal 143 Ayat 2 menyatakan bahwa “satuan
Pendidikan pada Jenjang Pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang memungut biaya atau
meminta sumbangan dari Masyarakat tidak secara sukarela dikenakan
sanksi administratif”.
 Adapun ketentuan Sanksi Administratif dalam Pasal 143 Ayat (7)
dikatakan bahwa Sanksi administratif sebagaimana dimaksud terdiri
dari:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan dari
Pemerintah Pusat;
c. penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan pendidikan;
d. penghentian pembinaan; dan/atau
e. pencabutan izin.
 Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 143 Ayat (2) dalam RUU SISDIKNAS
diatas, maka dapat dipahami bahwa pasal tersebut merupakan instrumen
yuridis yang mengatur tentang pungutan liar (pungli) di bidang pendidikan.
Ketentuan tersebut sebenarnya merupakan instrumen yang merespon
maraknya pungutan liar yang dilancarkan oleh penyelenggara pendidikan
di Indonesia saat ini. namun, harus diakui bahwa terdapat beberapa catatan
kelemahan instrumen tersebut, antara lain yaitu:

8
UNICEF, School Readiness a Conceptual Framework, 2012
9
ASEAN Sustainable Development Goals Indicators Baseline Report, 2020.
1) Penempatan sanksi administratif untuk tindakan pungutan liar terkesan
kurang efektif.
2) Tidak ada ketentuan yang diatur dalam pasal mengenai jaminan
pengembalian ganti kerugian bagi korban yang dirugikan secara ekonomi.
4) Penghapusan Materi Materi terkait Lembaga Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah/Madrasah dalam RUU SISDIKNAS;
 UU 20/2003 tentang SISDIKNAS merangkan bahwa masyarakat memiliki
peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan yang inklusif dan
berkeadilan di Indonesia. Dalam Pasal 56 Ayat (1) UU SISDIKNAS dikatakan
bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai
unsur masyarakat yang peduli pendidikan. Dewan pendidikan sebagai
lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu
pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai
hubungan hirarkis. Sedangkan Komite sekolah/madrasah adalah lembaga
mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas
sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Komite
sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat satuan pendidikan.
 Dalam materi muatan RUU SISDIKNAS, ketentuan mengenai lembaga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah terlihat ditiadakan. Hal
ini tentunya akan berimplikasi pada hilangnya eksistensi atau redupnya
kepastian hukum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah
sebagai elemen penting dalam penyelenggaran pendidikan di Indonesia.
5) Pembiayaan Wajib Belajar
 Pasal 34 UU 20/2003 tentang SISDIKNAS menyatakan bahwa: Ayat (1)
Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib
belajar; Ayat (2): Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya; Ayat (3): Wajib belajar merupakan tanggung jawab
negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
 Sedangkan Pasal 78 RUU SISDIKNAS menyatakan bahwa: Ayat (1): Setiap
Warga Negara yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas)
tahun wajib mengikuti Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah.; Ayat
(2): Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan
daya tampung Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah dan membiayai
Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah.
 Dalam hal pembiayaan pendidikan, Pada Pasal 80 RUU SISDIKNAS
dikatakan bahwa: Ayat (1): Pembiayaan Pendidikan dasar dan Pendidikan
menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) huruf b
merupakan kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk
menyediakan pembiayaan dasar; Ayat (2): Pembiayaan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan pembiayaan sesuai standar minimum
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; Ayat (3): Pembiayaan dasar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Satuan Pendidikan
yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
 Selanjutnya pada Pasal 81 dikatakan bahwa: Ayat (1): Masyarakat dapat
berpartisipasi dalam pembiayaan Pendidikan dasar dan Pendidikan
menengah di atas pembiayaan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80;
Ayat (2): Partisipasi Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dilakukan secara sukarela berdasarkan prinsip
demokratis, berkeadilan, dan akuntabel.
 Berdasarkan perbandingan rumusan UU 20/2003 tentang SISDIKNAS dan
RUU, maka dapat disimpulkan bahwa Pasal 78 Ayat (2) RUU SISDIKNAS
memang mengakui tentang pentingnya pendidikan bagi seluruh rakyat di
Indonesia dengan memberikan jaminan ketersediaan daya tampung
Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah dan membiayai Pendidikan
dasar dan Pendidikan menengah. Namun dalam hal jaminan biaya
pendidikan, pada Pasal 80 Ayat (1) dikatakan bahwa pembiayaan yang
dimaksud hanyalah pembiayaan dasar saja. Artinya, tetap saja terdapat
pembiayaan yang akan dibebankan kepada peserta didik. Ketentuan ini
berbeda dengan ketentuan Pasal 34 Ayat (2) UU 20/2003 tentang
SISDIKNAS yang meberikan jaminan tidak adanya pungutan biaya pada
program wajib belajar. Secara yuridis, ketentuan adanya pembatasan
pembiayaan pada penyelenggaraan pendidikan dasar dalam RUU
SISDIKNAS jelas bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya”.
E. CATATAN MATERIIL RUU SISDIKNAS (Versi Agustus 2022)
1) Pengertian wajib belajar
 Pasal 1 Angka 13 RUU SISDIKNAS menyatajan bahwa: “Wajib Belajar
adalah program Pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga
negara Indonesia”.
 Sedangkan Pasal 1 Angka 18 UU 20/2003 Sisdiknas: “Wajib belajar adalah
program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah”;
 Berdasarkan penjelasan pasal a quo, dapat dipahami bahwa kalimat “atas
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah” dalam RUU
Sisdiknas dihapus;
 Kondisi tersebut, terkesan hendak mereduksi tanggung jawab negara
terhadap program wajib belajar.
2) Jalur Pendidikan
 Pasal 17 RUU Sisdiknas: “Jalur Pendidikan terdiri atas Pendidikan formal,
Pendidikan nonformal, dan Pembelajaran informal”;
 Sedangkan Pasal 13 Ayat 1 UU 20/2003 Sisdiknas: Jalur pendidikan terdiri
atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya;
 Berdasarkan kedua rumusan pasal diatas, dapat dipahami bahwa RUU
Sisdiknas merubah nama jalur pendidikan. Dimana sebelumnya pada UU
No. 20 Tahun 2003 disebutkan “pendidikan informal” dirubah menjadi
“pembelajaran informal”;
 Perubahan nomenklatur tersebut menunjukan perbedaan kedudukan
terhadap jalur pendidikan lainnya yakni, pendidikan formal & pendidikan
nonformal.
3) Ketentuan Wajib Belajar
 Pasal 7 RUU Sisdiknas: wajib belajar terdiri atas wajib belajar pada Jenjang
Pendidikan dasar bagi Warga Negara yang berusia 6 sampai dengan 15
tahun dan wajib belajar pada Jenjang Pendidikan menengah bagi Warga
Negara yang berusia 16 sampai dengan 18 tahun. Wajib belajar pada
Jenjang Pendidikan dasar diterapkan secara nasional. Sedangkan wajib
belajar pada jenjang pendidikan menengah diterapkan secara bertahap
pada daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
 Ketentuan wajib belajar dalam RUU Sidiknas yang tidak menerapkan
program wajib belajar hingga umur 18 Tahun atau SMA diseluruh daerah
di Indonesia terlihat diskrimintaif dan mengesampingkan prinsip
persamaan dihadapan pendidikan;
 Kondisi demikan juga menyebabkan sebagian wilayah yang tidak
ditetapkan sebagai daerah yang menerapkan wajib belajar hingga SMA
harus menanggung biaya pendidikan di jenjang SMA, sedangkan daerah
lainnya tidak. Pasal 61 Ayat (1) RUU Sisdiknas menyatakan bahwa Pelajar
berpartisipasi dalam pendanaan Pendidikan di luar Wajib Belajar.
4) Ketentuan Pembiayaan Wajib Belajar
 Pasal 57 Ayat (1) RUU Sisdiknas: Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
menyediakan pendanaan untuk penyelenggaraan Wajib Belajar. Ayat (2):
Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan bagi Satuan
Pendidikan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat. Ayat (3): Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan untuk menyelenggarakan Pendidikan sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan.
 Bahwa Pasal 34 Ayat (2) UU 20/2003 Sisdiknas: Pemerintah dan
Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal
pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ayat (3): Wajib
belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
 Berdasarkan uraian terkait rumusan pasal mengenai ketentuan
pembiayaan wajib belajar dalam RUU Sisdiknas diatas, terlihat sebuah
penurunan semangat pemerintah untuk menjamin terselenggaranya
program wajib belajar tanpa pungutan biaya;
 Kalimat “menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 Ayat (2) UU
20/2003 Sisdiknas yang diubah menjadi “menyediakan menyediakan
pendanaan untuk penyelenggaraan Wajib Belajar” dalam RUU Sisdiknas
terkesan menunjukkan pemerintah beranjak lari dari tanggung jawabnya.
 frasa “menyediakan” rentan untuk ditafsirkan secara sewenang-wenang.
5) Ketentuan Komite Sekolah
 Pasal 1 Angka 25 UU SISDIKNAS menyatakan bahwa Komite
sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan
orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh
masyarakat yang peduli pendidikan. Kemudian dalam Pasal 56 Ayat
(3) dikatakan bahwa Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga
mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan.
 Kedudukan Komite Sekolah di dalam satuan pendidikan sangat
penting. Selain untuk membantu suksesnya proses belajar-mengajar,
kehadiran Komite Sekolah dapat mengimbangi dan mengawasi
jalannya sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh satuan
pendidikan.
 Di dalam RUU SISDKINAS, eksistensi Komite Sekolah terkesan
direduksi, dengan tidak memasukkan ketentuan mengenai Komite
Sekolah dalam materi muatan pasal.
6) Ketentuan Subsidi Tunjangan Fungsional Guru dan Dosen Swasta
 Pasal 17 Ayat (2) jo Pasal Ayat (2) 54 UU Guru dan Dosen
menyatakan bahwa Pemerintah memberikan subsidi tunjangan
fungsional kepada guru dan dosen yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
 Dalam RUU Sidiknas, ketentuan mengenai subsidi tunjangan profesi
guru bagi guru dan dosen pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat (swasta) dihapus.
 Kondisi demikian seakan mereduksi tentang pentingnya jaminan
kepastian hukum atas penghargaan kepada guru dan dosen swasta
yang telah melaksanakan sistem pendidikan nasional dalam
mencapai tujuan negara.
7) Ketentuan Tunjangan Fungsional Guru dan Dosen Honorer (Non
PNS)
 Pasal 17 Ayat (1) jo 54 Ayat (1) UU Guru dan Dosen menyatakan
bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan
tunjangan fungsional kepada guru dan dosen yang diangkat oleh
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah.
 Tunjangan fungsional merupakan program pemberian subsidi kepada
guru dan dosen non PNS yang bertugas di satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah.
 Dalam RUU Sisdiknas, ketentuan mengenai tunjangan fungsional
dihapus.
F. REKOMENDASI

Anda mungkin juga menyukai