Anda di halaman 1dari 172

Editor: Doni Koesoema

PETA JALAN
PENDIDIKAN
12 TAHUN
DI INDONESIA
Penulis:
Achmad Ikrom
Achmad Taufik
A. Febri Hendri AA
Hadi Prayitno
Ridwan Darmawan,
Rohidin Sudarno,
Supangat Rohani,

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)


Network for Education Watch Indonesia
2015
Policy Brief &
Recommendations
Kebijakan Pendidikan Wajib Belajar 12 Tahun

M
embentuk manusia Indonesia yang cerdas dan mampu
berpartisipasi secara aktif dalam tataran dunia global
merupakan amanat dari Konstitusi. Amanat ini
diejawantahkan dalam pasal Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31
ayat (2) dan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional beserta peraturan di bawahnya yang menjamin
hak dasar memperoleh pendidikan bermutu bagi setiap warga
Indonesia dan Pemerintah membiayainya. UU Sisdiknas hanya
memberikan batasan kewenangan pemerintah dalam membiayai
pendidikan dasar sampai tingkat SMP. Padahal, untuk meningkatkan
kualitas manusia Indonesia yang cerdas, dan selaras dengan janji
Nawacita Presiden Jokowidodo, kita membutuhkan peningkatan
kualitas pendidikan, terutama meningkatkan akses pendidikan
warga negara pada jenjang SMA. Sayangnya, dasar hukum untuk
pendidikan dasar yang wajib dan dibiayai Negara ini belum ada.

Usaha masyarakat sipil untuk mengadakan Judicial Review ke


Mahkamah Konstitusi agar membatalkan pembatasan usia
pendidikan dasar yang dibiayai pemerintah hanya sampai jenjang
SMP sudah kandas dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah
Konstitusi Perkara No.92/PUU-XII/2014. Keputusan MK ini
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

menyatakan bahwa tentang kriteria usia pendidikan dasar yang


dibiayai Pemerintah merupakan sebuah persoalan hukum yang
sifatnya terbuka dan tergantung dari para pembuat hukum, yaitu
terutama Legislatif dan Pemerintah. Karena itu, pelaku utama yang
mampu mewujudkan kebijakan pendidikan dasar 12 tahun sekarang
berada di tangan anggota Parlemen dan Pemerintah.

Pemerintah dan Parlemen perlu segera membangun kesepakatan


bersama agar pendidikan dasar sampai tingkat SMU yang menjadi
hak setiap warga dapat terwujud dan Negara membiayainya dengan
mengesahkan sebuah Undang-Undang untuk melaksanakan amanat
mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Program seperti Pendidikan
Menengah Universal, Kartu Indonesia Pintar dan alokasi dana BOS
untuk membantu meningkatkan akses siswa Indonesia pada jenjang
pendidikan menengah, meskipun baik, bukanlah sebuah kebijakan
yang dapat berlangsung terus menerus. Karena itu, pemerintah perlu
bekerjasama dengan Parlemen dan anggota legislatif yang lainnya
untuk merevisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sehingga
kriteria pendidikan dasar bisa diubah dari jenjang SMP ke SMA. Dalam
jangka pendek, untuk mendesak pemerintah daerah (Gubernur,
walikota, bupati) mendukung program Wajib Belajar 12 Tahun,
pemerintah bisa bekerjasama dengan Pemda untuk merealisasikan
pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang
Wajib Belajar sehingga masing-masing daerah dapat melaksanakan
program Wajib Belajar 12 tahun dengan menggunakan dana dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam waktu yang sama,
Pemerintah memfasilitasi inisiatif publik dari masyarakat sipil yang
ingin terlibat dalam memberikan kesempatan pendidikan bermutu
bagi setiap warga negara sesuai dengan cakupan bidang dan tugasnya
sehingga pendidikan menengah universal bisa dinikmati oleh semua
warga negara tanpa kecuali.

iv
Ringkasan dan
Rekomendasi

P
rogram wajib belajar memiliki dasar legal dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Mukadimah UUD 1945
mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa


setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. Untuk merealisasikan ini,
pemerintah mengesahkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas
menyatakan bahwa, Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya. Agar efektif dapat dilaksanakan
sampai tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, Pemerintah juga
telah memperkuat dasar hukum pelaksaan Wajib Belajar 12 tahun
melalui PP No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar. Dalam PP ini
ditegaskan bahwa Wajib Belajar adalah program pendidikan minimal
yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab
Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 7 Ayat 4 dalam PP Wajar
menyatakan Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai


pendidikan menengah. Kata dapat dalam pasal tersebut, di satu
sisi dapat memberi ruang bagi Pemerintah Daerah untuk memilih
melaksanakan penetapan kebijakan untuk meningkatkan jenjang
pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah. Namun
di lain pihak, tidak ada kewajiban dari Pemerintah Daerah untuk
mengusahakan akses dan pembiayaan pendidikan dasar sampai
jenjang menengah.

Tidak kuatnya jaminan hukum bagi pelaksanaan Wajar 12 sebagai


hak pendidikan warganegara membuat beberapa warga negara
berusaha mengajukan Judicial Review atas UU Sisdiknas yang
membatasi jenjang usia pendidikan dasar hanya sampai 12 tahun
atau wajib belajar 9 tahun.

Pada 05 September 2014 warga mengajukan Permohonan Judicial


Review UU Sidiknas ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini pada
intinya mempersoalkan dasar konstitusional pemberlakuan
Program Wajib Belajar 12 Tahun. Para pemohon memandang bahwa
program Wajib Belajar 9 Tahun yang kini dijalankan pemerintah
telah usang dan ketinggalan zaman. Para Pemohon mempersoalkan
konstitusionalitas Pasal 6 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional sepanjang tidak diubah ketentuan
batas usia wajib belajar dari tujuh tahun sampai dengan 15 tahun
menjadi tujuh tahun sampai dengan 18 Tahun.

Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan


menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah
Konstitusi berpandangan bahwa terhadap permohonan para
Pemohonan yang mendalilkan dan memohon di dalam petitumnya
untuk memaknai yang berusia tujuh sampai dengan delapan belas
tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah berarti
meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan
menengah, Mahkamah berpendirian bahwa program pendidikan
minimal yang harus diikuti warga Negara Indonesia merupakan

vi
Ringkasan dan Rekomendasi

tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah merupakan


kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy) bagi pemerintah
dan pemerintah daerah. (Paragraf (3.10.9), hal.52 Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara No.92/PUU-XII/2014).

Pendirian Mahkamah tersebut didasarkan pada pendapat


Mahkamah yang menyatakan bahwa Pasal 34 UU No.20/2003 yang
menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya sebagai bagian dari kebijakan
pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk
semua (education for all). Frase menjamin artinya pemerintah
dan pemerintah daerah harus merencanakan, menyiapkan untuk
membiayai dan memfasilitasi terselenggaranya wajib belajar pada
jenjang pendidikan dasar. Untuk terlaksananya jaminan tersebut,
pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program
wajib belajar yang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis
Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang.

Menurut Mahkamah Konsitusi, bahwa Ketentuan Pasal 7 ayat


(4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib
Belajar menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat menetapkan
kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar
sampai pendidikan menengah. Pengaturan lebih lanjut pelaksanaan
program wajib belajar sampai pendidikan menengah tersebut
diatur melalui peraturan daerah sesuai dengan kondisi daerah
masing-masing.

Keputusan MK sesungguhnya menegaskan siapa pelaku utama


yang dapat merealisasikan Kebijakan Pendidikan Dasar 12, yaitu
Pemerintah Pusat (Presiden, Menteri) dan Pemerintah Daerah
(Gubernur, Walikota dan Bupati). Sinergi antara pelaku utama ini
diperlukan agar pendidikan dasar 12 tahun dapat memperoleh

vii
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

dasar hukum yang kuat dan kepastian bahwa anak-anak Indonesia


sampai usia 21 tahun memperoleh pendidikan dasar yang baik dan
berkualitas.

Beberapa program untuk mengawali pendidikan dasar 12 tahun


sudah dilakukan oleh Pemerintah, misalnya melalui program
Pendidikan Menengah Universal (PMU) melalui Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2013. PMU disebut
sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun. Program rintisan
ini muncul untuk meningkatkan kemampuan daya saing bangsa
dan menyambut bonus demografi. Selain PMU pemerintah juga
memberikan skema pembiayaan lain agar akses siswa dari keluarga
miskin tetap dapat mengakses pendidikan melalui Program Indonesia
Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (PIP) dan Bantuan Operasional
Siswa (BOS), dan Bantuan Operasional Siswa Daerah (Bosda).

Pendekatan ini tentu saja sudah dapat membantu percepatan


akses pendidikan dasar 12 tahun bagi keluarga miskin. Namun
program ini kurang dapat bersifat masif karena tidak didukung
secara langsung dengan penganggaran dari Pemerintah Pusat
dan Daerah agar ada jaminan tentang akses setiap warga negara
dalam mengenyap pendidikan yang bermutu. Penganggaran akan
bersifat masif dan dengan demikian siswa miskin yang tidak dapat
memperoleh akses pendidikan 12 tahun dapat dibiayai sehingga
mereka dapat memperoleh hak-hak pendidikan yang dijamin oleh
Konstitusi. Dengan pendekatan ini, kita tidak dapat melihat secara
kuat dampak-dampak nyata dari kinerja pemerintah pusat dan
daerah dalam mencerdaskan putra-putri bangsa. Selain itu, adanya
inisiatif masyarakat sipil, melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) dan inisiatif lain belum mampu merengkuh seluruh siswa
Indonesia berusia sampai dengan 21 tahun untuk mengenyam
pendidikan dasar yang berkualitas.

Terlepas dari apakah belum adanya dasar hukum yang menyertai,


Pemerintah Pusat tetap memiliki kewajiban untuk bekerjasama

viii
Ringkasan dan Rekomendasi

dengan Parlemen dalam rangka memberikan dasar hukum yang


kokoh tentang pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun melalui revisi
Undang-Undang terkait. Adanya dasar hukum yang kokoh akan
semakin mempercepat proses pencerdasan bangsa, sehingga
jalan-jalan ini harusnya menjadi perhatian dan konsentrasi utama
Pemerintah Pusat. Sementara itu, agar tidak semakin banyak anak-
anak Indonesia menjadi korban karena tiadanya perlindungan
hukum yang menjaga hak asasi warga negara untuk memperoleh
pendidikan yang layak dan berkualitas, Pemerintah perlu
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan
Kebijakan Wajib Belajar 12 tahun melalui payung hukum Peraturan
Pemerintah No. 47 Tahun 2008. Agar PP ini efektif, Pemerintah perlu
merevisi PP ini pada klausul yang menyatakan bahwa Pemerintah
Daerah dapat melaksanakan pembiayaan pendidikan dasar sampai
pada jenjang pendidikan menengah dengan merevisinya menjadi
Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pembiayaan pendidikan
dasar sampai jenjang menengah untuk melindungi hak-hak warga
negara dalam memperoleh pendidikan yang setara dan berkualitas.

Butir-Butir Rekomendasi

Kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun memiliki implikasi dari berbagai


macam sisi, seperti tatanan regulasi, tata kelola sekolah, kebutuhan
tenaga pengajar, penganggaran, revitalisasi peranan pendidikan
non formal, dan pendekatan pendidikan inklusif. Untuk itu NEW
Indonesia memberikan beberapa rekomendasi terkait dengan
bidang-bidang tersebut:

1. Penataan Regulasi

a. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat segera melakukan


revisi terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

ix
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Pendidikan Nasional karena sudah tidak sesuai lagi dengan


situasi dan kondisi tuntutan kehidupan lokal, nasional dan
global, khususnya terkait dengan aspirasi yang berkembang
di masyarakat perihal pentingnya Negara utamanya
Pemerintah meningkatkan program wajib belajar dari 9
tahun menjadi 12 tahun.
b. Bagi Pemerintah (Pusat), sebagai bentuk respon cepat atas
putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2004, yang memandatkan
bahwa kebijakan program wajib belajar 12 tahun adalah
kebijakan hukum terbuka bagi Pemerintah, perlu segera
melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Beberapa di antaranya
atau utamanya revisi tersebut dilakukan terhadap:
Pasal 1 Ayat (2). Pendidikan dasar adalah jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat, diubah menjadi Pendidikan dasar adalah
jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat serta sekolah menengah atas (SMA), sekolah
menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah (MA)
atau bentuk lain yang sederajat.
Pemerintah juga perlu menambahkan satu ayat lagi di
dalam Pasal 1 tersebut, yakni di antara ayat 6 dan 7
dengan menambahkan, Sekolah Menengah Atas yang
selanjutnya disebut SMA adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan

x
Ringkasan dan Rekomendasi

pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar


sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI, SMP, MTS
atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari
hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP, MTS.
Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disebut
SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal
yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada
jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan
dari SD,MI,SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat
atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau
setara SMP,MTS. Madrasah Aliyah selanjutnya disebut
MA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal
dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan
pendidikan umum dengan kekhasan Agama Islam pada
jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan
dari SMP,MTS atau bentuk lain yang sederajat atau
lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara
SMP,MTS.
Pasal 3 ayat (2). Penyelenggaraan wajib belajar
pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang
pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs,
dan bentuk lain yang sederajat. Diubah menjadi,
Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal
dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar
yang meliputi SD, MI, SMP, MTs,SMA,SMK,MA dan
bentuk lain yang sederajat.
Pasal 7 ayat 4 Pemerintah daerah dapat menetapkan
kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib
belajar sampai pendidikan menengah. Diubah menjadi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan
kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan wajib
belajar yang mencakup pendidikan menengah

xi
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

2. Tata Kelola Sekolah

a. Mencabut atau memperbaiki Permendikbud Nomor 44


Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya
Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Hal ini sangat
krusial karena akan membawa efek perhatian bagi seluruh
pemangku kepentingan pendidikan khususnya sekolah.
Pemerintah daerah bisa membantu dalam rangka proses
pengawasan dan mendorong tata kelola sekolah yang lebih
baik.
b. Perlunya kebijakan lokal sebagai pendukung pelaksanaan
akuntabilitas sekolah. Meskipun ditingkat nasional sudah
ada aturan yang mendukung, namun di daerah perlu
ada payung hukum tambahan untuk memastikan bahwa
pungutan yang terjadi di sekolah merupakan kejahatan
dan ada sangsi hukumnya. Di level tertentu bahkan bisa
masuk ke ranah hukum. Kebijakan lokal dimaksud bisa
berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Kepala Daerah
(Perkada), Keputusan Kepala SKPD (SK Kepala Dinas),
sampai keputusan kesepakatan di tingkat Sekolah (Berita
acara kesepakatan atau Surat Kepala Sekolah).
c. Mendorong partisipasi dan praktek transparansi
pengelolaan keuangan sekolah. Sebagai upaya mengurangi
praktek pungutan di sekolah, pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan masyarakat perlu mendorong kembali upaya
transparansi pengelolaan keuangan sekolah dengn
membuat pedolan tentang transparansi dan larangan
praktek pungutan di sekolah. Bentuknya adalah adanya
pedoman tentang transparansi dan larangan praktek-
praktek pungutan sekolah. Pedoman ini berisi sangsi hukum
bagi yang melanggar.
d. Penguatan kapasitas sekolah SD dalam mengelola sekolah,
berupa penguatan kapasitas pengelola keuangan. Isu

xii
Ringkasan dan Rekomendasi

transparansi masih menjadi tantangan bagi pihak sekolah


terutama di SD. Salah satu penyebabnya adalah kapasitas
pengelola keuangan. Berbeda dengan tingkat SMP dan
SMA yang telah mempunyai tata usaha (TU) atau staf
administrasi yang bisa dipekerjakan, situasi di SD belum
mendukung. Salah satu alternatifnya adalah melakukan
penguatan kapasitas pengelolaan keuangan tingkat SD
khususnya untuk bendahara sekolah atau guru yang ditunjuk
menjadi pengelola keuangan. Bentuk penguatan dimaksud
di antaranya adalah pelatihan administrasi keuangan,
workshop khusus, kunjungan belajar, assistensi keuangan,
dst. Stakeholder yang ada di sekolah perlu menyadari bahwa
sekolah adalah badan publik, sehingga pengelolaan keuangan
sekolah juga perlu menganut prinsip-prinsip keterbukaan.
Sekolah tidak perlu merasa risih, jika pengelolaan keuangan
sudah dilakukan dengan baik. Penyadaran bersama tentang
pentingnya transparansi pengelolaan keuangan di sekolah
harus terus dilakukan. Transparansi dimaksud diantaranya
mendorong pembuatan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Sekolah (APBS) berbasis Partisipasi Masyarakat.
Melaporkan penggunaan dana yang bisa diakses orang tua
dan peserta didik (misalnya melalui papan pengumuman,
majalah dinding, atau surat kepada orang tua murid tentang
pertanggungjawaban penggunaan dana).
e. Guna menguatkan kualitas layanan pendidikan, pemerintah
perlu mengefektifkan kembali peran pengawas dan komite
Sekolah. Peran pengawas sekolah sangat relevan untuk
melakukan pengawasan sekaligus peningkatan kapasitas
bagi pengelola keuangan. Sehingga pengawas, setidaknya
memiliki jadwal rutin untuk melakukan kunjungan ke sekolah
(minimal per semester). Selain kunjungan rutin, pengawas
sekolah bisa menjadi mitra untuk peningkatan kapasitas bagi
pengelola keuangan. Agenda kunjungan pengawas sekolah
harus jelas dan diketahui bersama (jika perlu gunakan berita

xiii
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

acara pengawasan) sehingga sekolah juga mendapatkan


feedback dan langkah perbaikan, tidak sekedar informal
pertemuan di sekolah, rumah makan dan tempat ngopi).
Sekecil apapun pungutan akan sangat mempengaruhi
performance dari sekolah. Sehingga pengawas dapat
memberikan feedback yang mendorong akuntabilitas
sekolah karena akan berpengaruh pada performance
sekolah yang bersangkutan. Sedangkan komite sekolah,
dapat melakukan perannya sebagai perwakilan orang tua
murid untuk menampung keluhan dan aspirasi perbaikan
(meskipun bisa juga langsung ke sekolah), menyalurkan
keluhan dan menjadi mitra sekaligus pengawas pelaksanaan
kegiatan sekolah. Komite sekolah bukan stempel kebijakan
kepala sekolah, tetapi menjadi perwakilan aktif orang tua
murid dan peserta didik yang mendorong peningkatan
kualitas pendidikan dan pengajaran di sekolah.

3. Pemenuhan Kebutuhan Guru

a. Pemerintah pusat dan daerah harus mengoptimalkan


pendataan guru di seluruh satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah
b. Optimalisasi penggunaan data guru ditujukan untuk menata
dan meredistribusi guru sehingga manajemen guru menjadi
lebih efisien.
c. Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran yang cukup
untuk menyediakan guru sesuai standar dimasing-masing
sekolah. Dan secara bertahap mengurangi keberadaan GTT
di sekolah dengan melakukan pemerataan dan rekrutmen
guru.
d. Dibutuhkan regulasi yang mengatur insentif dan insentif
terkait dengan kehadiran guru disekolah. Ketidakhadiran dan

xiv
Ringkasan dan Rekomendasi

kehadiran guru diyakini berpengaruh terhadap kehadiran


siswa kesekolah. Pada gilirannya akan mempengaruhi
partisipasi pendidikan dan pencapaian target wajib belajar
12 tahun.

4. Peran Pendidikan Non-Formal

a. Pemerintah mendukung keterlibatan masyarakat sebagai


bagian dari sebuah sistem pendidikan yang berperan dalam
menyelenggarakan jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).
b. Pemerintah perlu memberikan dorongan untuk
memaksimalkan keterlibatan masyarakat dengan
memberikan stimulus 50 juta setiap PKBM untuk
mengembangkan 17.035 unit PKBM sesuai prediksi
perkembangan.
c. Diperlukan pendekatan budaya dengan memanfaatkan
kearifan lokal dalam rangka mengantisipasi kemungkinan
adanya siswa putus sekolah. Pendidikan berbasis masyarakat
sangat dimungkinkan di daerah-daerah yang menjadikan
masyarakat secara adat atau budaya dapat berkontribusi
terhadap pelaksanaan pendidikan di daerahnya masing-
masing. Jadi Pemerintah perlu merencanakan pendidikan
yang berbasis kearifan lokal khususnya dalam hal pendidikan
bagi anak yang putus sekolah.
d. Pemberian dukungan beasiswa secara proporsional pada
siswa laki-laki dan perempuan yang sedang belajar di
jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).
e. Penciptaan suasana sekolah yang nyaman bagi siswa
sehingga siswa merasa betah berada di jenjang pendidikan
PKBM paket C (SLTA).
f. Peningkatan kompetensi profesional para guru/fasilitator
PKBM paket C yang dapat menciptakan suasana
xv
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan dan


non diskriminatif.
g. Penyadaran terhadap berbagai lapisan masyarakat terutama
para orang tua pentingnya melanjutkan pendidikan
khususnya jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).
h. Penyediaan sarana dan prasarana pada jenjang pendidikan
PKBM paket C (SLTA) hingga terwujudnya mimpi PKBM
sejumlah 17.035 pada tahun 2030.
i. Memfasilitasi anak putus sekolah dengan Mendirikan
sekolah alternatif. Misalnya seperti pengembangan sekolah
alam, Sekolah MATER di Depok, Sekolah SBM di Yogya serta
SMASH (Sekolah berbasisi Masjid) Dompet Dhuafa dan
Institut kemandiriran Dompet Dhuafa.
j. Perlunya pendampingan pemerintah untuk mutu tata
kelola dengan mempertimbangkan: Pertama, penataan
konsep yang tepat tentang program-program Pendidikan
Non Formal. Kedua, perencanaan program PNF berbasis
kebutuhan nyata warga sasaran. Ketiga, penyelenggaraan
dan pengelolaan PNF secara tekun dan berkelanjutan
dengan prinsip-prinsip manajemen yang tepat guna disertai
proses akreditasi yang baik.

5. Penganggaran

a. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia seyogyanya melakukan penyempurnaan
Rencana Strategis; Revisi tersebut harus dilakukan sebelum
berakhirnya tahun 2015 dengan memasukkan secara tegas
pendidikan dasar 12 tahun sebagai target prioritas, supaya
konsisten dengan amanat Perpres No.2 tentang RPJMN
2015-2019.
b. Kementerian Keuangan segera melakukan optimalisasi
xvi
Ringkasan dan Rekomendasi

penerimaan Negara yang bersumber dari pajak dan


penerimaan Negara bukan pajak agar kebutuhan anggaran
pendidikan dasar 12 tahun dapat dipenuhi seluruhnya;
Potret ketersediaan anggaran dalam APBN sampai tahun
2015 diprediksikan tidak akan mampu memenuhi estimasi
kebutuhan pembiayaan pendidikan setiap tahun. Oleh
karena itu Presiden melalui Kementerian Keuangan
Republik Indonesia harus meningkatkan penerimaan
Negara melalui penetapan rasio pajak minimal 14 persen
dari PDB, dan memastikan perusahaan pengelola industri
berbasis sumberdaya alam taat untuk membayar PNBP
yang sampai hari ini baru terealisasi 30 persen dari potensi
sesungguhnya.
c. Kementerian Keuangan Republik Indonesia melakukan
ear-marking penerimaan dari PNBP SDA dengan proporsi
yang lebih memadai untuk membiayai pemenuhan layanan
pendidikan
d. Isu penting lainnya adalah memperjelas sumber pembiayaan
pendidikan melalui penambahan ear-marking PNBP Migas
dan PNBP Pertambangan untuk diredistribusikan kepada
belanja pendidikan dasar 12 tahun. Ear-marking ini juga
berlaku bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota
sebagai penerima dua skema DBH tersebut sebagai upaya
untuk akselerasi pencapaian target nasional.
e. Kelompok Masyarakat Sipil secara pro-aktif mengawal
proses revisi Renstra Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan 2015-2019, serta melakukan pengawasan
secara berjenjang terhadap realisasi kebijakan anggaran
pendidikan, khususnya terkait pemenuhan pendidikan
dasar 12 tahun.

xvii
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

6. Pendidikan Inklusif

a. Pemerintah harus memiliki komitmen mewujudkan


semua sekolah Inklusif di Indonesia selambat-lambatnya
pada tahun 2030 untuk menyongsong masa satu abad
kemerdekaan. Ini dapat dilakukan dengan mempercepat
proses pengesahan RUU Penyandang Disabilitas untuk
menggantikan UU Penyandang Cacat 1997 yang sudah tidak
mampu mengakomodasi perkembangan zaman.
b. Pemerintah harus membentuk tim peneliti dan evaluasi
(monitoring) pengembangan pendidikan inklusif yang
berkualitas, mulai soal kurikulum, methodologi pengajaran,
dan menyiapkan payung hukum yang lebih akomodatif.
c. Pemerintah harus terus mensosialisasikan dan menambah
sekolah percontohan inklusif tiap tahunnya hingga tahun
2030 sehingga semua sekolah melaksanakan semangat
inklusif.
d. Penanganan sekolah inklusif bisa dilakukan dengan
membangun kerjasama dengan masyarakat di
sekitar sekolah sehingga tidak hanya guru kelas yang
bertanggungjawab, melainkan masyarakatpun bisa ikut
terlibat dalam mendorong pendidikan inklusif di ingkungan
di mana mereka tinggal.
e. LSM dan masyarakat harus terus ikut memantau dan turut
memberi usulan untuk menyempurnakan sistem pendidikan
inklusif.

xviii
daftar isi

Policy Brief & Recommendations iii


Ringkasan dan Rekomendasiv

Pengantar Menuju Wajib Belajar 12 Tahun


1

Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan


untuk Program Wajib Belajar 12 Tahun 7
A. Pemetaan Regulasi 8
B. Judicial Review dan Putusan Mahkamah Konstitusi 12
C. Kesimpulan 20
D. Rekomendasi 21

Mendorong Tata Kelola Sekolah Bebas Pungutan


dalam Rangka Pencapaian Wajar 12 Tahun 25
A. Latar Belakang Ekonomi 26
B. Pembenahan Tata Kelola Sekolah atas Pungutan 34
C. Dampak dan Modus Pungutan 40
D. Kesimpulan dan Rekomendasi 44

Pemenuhan Kebutuhan Guru dalam


Pencapaian Target Wajib Belajar 12 Tahun 49
A. Kebutuhan Guru 50
B. Perhitungan Dan Proyeksi Kebutuhan Guru 51
C. Faktor yang menentukan pemenuhan kebutuhan guru
Pendidikan Dasar 63
D. Kesimpulan dan Rekmendasi 69
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Peran Pendidikan Non Formal


dalam Pemenuhan Wajib Belajar 12 Tahun 71
A. Dasar Regulasi 72
B. Model Pendidikan Non Formal 75
C. Faktor Penyebab Pemenuhan Wajar 12 Tahun 81
D. Harapan pada Pendidikan Non Formal 83
E. Strategi Wajib Belajar 12 Tahun Hingga 2030 90
F. Contoh Sekolah Non Formal Alternatif 92
G. Rekomendasi 94

Pendidikan Inklusif untuk Indonesia


Tanpa Diskriminasi 97
A. Pengantar 97
B. Pengertian Inklusif dan Pendidikan Inklusif 101
C. Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif 102
D. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan Inklusif 104
E. Konsekuensi pendidikan inklusif 111
F. Penerapan pendidikan inklusif di lapangan 117
G. Penutup/ringkasan 119

Revitalisasi Kebijakan Anggaran


Pendidikan Dasar 12 Tahun 123
A. Pengantar 123
B. Realitas Anggaran Pendidikan 125
C. Kerangka Kebijakan Pembiayaan Pendidikan 134
D. Langkah-Langkah Strategis 141
E. Rekomendasi: 144

DAFTAR ISI 147

Tentang Penulis dan Editor 151

xx
Pengantar
Menuju Wajib Belajar 12 Tahun

K
ualitas pendidikan sebuah bangsa akan menentukan
ketahanan bangsa tersebut di masa depan dalam
menghadapi berbagai macam tantangan zaman. Karena itu,
para pendiri bangsa ini, melalui Undang-Undang Dasar 1945 telah
memastikan bahwa arah ke depan bangsa ini pasca kemerdekaan
adalah untuk mendidik manusia Indonesia agar cerdas, adil, cinta
damai, dan mampu terlibat dalam percaturan dunia.

Tantangan global, seperti pendidikan untuk semua, telah


mewajibkan bangsa Indonesia sebagai bagian dari keluarga bangsa-
bangsa untuk memastikan pendidikan yang terbuka dan dapat
diakes oleh semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali.

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pemerintah


untuk melaksanakan tugas luhur ini dalam sebuah Undang-Undang
yang mengelola sistem pendidikan nasional. Jaminan negara atas
akses dan hak pendidikan terwujud dalam UU Sisdiknas 2003 yang
menyatakan bahwa Pemerintah menjamin pendidikan dasar bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan dasar dimaknai sebagai wajib
belajar 9 tahun, atau sampai anak bersekolah di SMP.

Sampai saat ini, jaminan wajib belajar 12 tahun belum memiliki


dasar hukum yang kuat. Mandat UU Sisdiknas hanya menjamin
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

pendidikan dasar sampai usia 15 tahun. Padahal, tantangan dan


kemajuan zaman menuntut kita untuk meningkatkan kualitas
pendidikan minimal warga negara menjadi minimal Sekolah
Menengah Atas sudah merupakan kemendesakan. Hampir seluruh
komposisi tenaga kerja di Indonesia berisi para lulusan Sekolah
Dasar.

Menurut data BPS 2013, penduduk usia kerja di atas 15 tahun


memiliki latar belakang pendidikan dasar (SD/SMP) sebesar 65,70
persen, lulusan pendidikan menengah 24,51% d a n sebesar 9,79
persen lulusan pendidikan tinggi. Data tersebut tidak banyak
berubah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penyerapaan tenaga
kerja hingga Februari 2015 masih didominasi penduduk bekerja
berpendidikan rendah, yaitu sekolah dasar (SD) ke bawah yakni
54,6 juta orang atau 45,29 persen dan sekolah menengah pertama
(SMP) 21,5 juta jiwa atau 17,77 persen. Sedangkan penduduk yang
berpendidikan tinggi hanya 13,1 juta orang mencakup 3,1 juta
jiwa (2,60 persen) berpendidikan diploma, dan 10 juta orang (8,29
persen) berpendidikan universitas.

Tantangan global di bidang ekonomi juga perlu menjadi perhatian


kita. ASEAN akan menerapkan ASEAN economic community atau
komunitas ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Kawasan ASEAN akan
menjadi pasar terbuka yang berbasis produksi, sehingga aliran
barang, jasa, dan investasi akan bergerak bebas, sesuai dengan
kesepakatan ASEAN. Kualitas pendidikan warga negara akan
menentukan daya saing kita di tingkat ASEAN dan global.

Tantangan global mengharuskan bangsa Indonesia untuk


meningkatkan kualitas tingkat pendidikan warga negara, dari Wajib
Belajar 9 tahun menjadi Wajib belajar 12 tahun. Kebijakan ini
bertujuan untuk memberikan layanan, perluasan, dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan sampai dengan jenjang
pendidikan menengah yang bermutu bagi setiap warga Negara
Indonesia usia sampai dengan usia 18 tahun.

2
Pengantar

Kebijakan menuju Wajib Belajar (Wajar) 12 Tahun tidak berarti


menghilangkan atau mengabaikan tantangan yang masih tersisa
dari program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang belum
terselesaikan di mana masih ada anak-anak usia pendidikan dasar
dan menengah yang belum mendapat pelayanan pendidikan, masih
ada anak-anak yang mengalami putus sekolah.

UNESCO telah menetapkan bahwa pendidikan dasar yang gratis


(free) dan wajib (compulsory) menjadi pokok perhatian bangsa-
bangsa yang mengikatkan diri pada komunitas pendidikan global
tersebut. Indonesia merupakan salahs atu negara yang menjadi
anggota dari UNESCO. Karena itu, Indonesia memiliki tanggungjawab
untuk menyukseskan program wajib belajar untuk semua, terutama
memberikan perhatian pada pendidikan menengah yang inklusif,
setara dan mempromosikan semangat pembelajar sepanjang hayat.

Pemerintah telah mencoba menanggapi persoalan ini dengan


mengembangkan program Pendidikan Menengah Universal dan
membuat Peraturan Pemerintah yang memungkinkan Pemerintah
Daerah mengembangkan kebijakan pendidikan wajib belajar 12
tahun. Kebijakan ini patut diapresiasi karena Pemerintah telah
memberikan perhatian pada pengembangan pendidikan dasar 12
tahun dan mendorong pemerintah daerah untuk mendorong hal
serupa.

Namun, dorongan dan kebijakan Pendidikan Menengah Universal


(PMU) memiliki kekurangan daya dorong, karena kebijakan Wajib
Belajar 12 tahun belum menjadi sesuatu yang wajib, seperti
diharapkan oleh bangsa-bangsa yang tergabung dalam UNESCO.
Bila negara mewajibkan, negara memiliki tanggungjawab dalam
memberikan pembiayaan melalui anggaran pendidikan. Kewajiban
negara mengembangkan pendidikan nasional adalah mandat
dalam UUD 1945. Karena itu, beberapa masyarakat sipil menuntut
adanya perubahan dan revisi dari UU Sisdiknas 2003 yang hanya
memberikan batasan pendidikan dasar pada siswa dengan usia

3
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

sampai 15 tahun. Selain definisi usia ini bertentangan dengan definisi


tentang usia anak dalan UU Perlindungan Anak yang menyatakan
bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun,
kewajiban negara dalam memberikan layanan pendidikan bermutu
bagi warga negara hanya diberikan pada mereka yang berusia
sampai 15 tahun. Sedangkan mereka yang berada di pendidikan
menengah, meskipun sudah memperoleh perhatian, namun tetap
kurang mampu mendesakkan tanggungjawab pendidikan yang
menjadi kewajiban Pemerintah.

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak Judicial Review


warga negara untuk membatalkan pasal 6 ayat 1 UU Sisdiknas 2003
yang hanya memberikan jaminan pendidikan pada siswa Indonesia
sampai usia 15 tahun semakin membebaskan Negara dan peran
pemerintah dalam memberikan dan menyediakan pendidikan gratis
dan wajib pada warga Indonesia. Dampak dari keputusan MK adalah
bahwa pendidikan menengah hanya akan berfungsi efektif dengan
mengandalkan kebaikan dan kemurahan hati Pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Dengan cara ini, pemerataan akses dan
kualitas pendidikan juga berada dalam situasi yang tidak menentu.

Kebijakan Pendidikan Wajib Belajar 12 tahun merupakan sebuah


kemendesakan. Pasca keputusan MK, pemerintah, pemerintah
daerah dan parlemen perlu segera duduk bersama untuk
membahas masa depan pendidikan bangsa ini dengan lebih
baik. Dari sisi regulasi, UU Sisdiknas 2003 perlu direvisi sehingga
mandat Konstitusi tetap dapat relevan di tengah kemajuan dan
tantagan global. Selain itu, seluruh kebijakan yang sudah ada, yang
mendukung kebijakan pendidikan wajib belajar 12 tahun perlu
tetap dipertahankan dan dikembangkan dengan lebih baik sehingga
masing-masing Pemerintahan Daerah dapat semakin memiliki satu
visi sama yaitu memberikan perhatian dan prioritas pada program
Wajib Belajar 12 tahun yang tercermin dalam alokasi anggaran dan
program kebijakan pendidikan yang seluruhnya mengarah pada
pendidikan dasar 12 tahun bagi tiap warga negara.

4
Pengantar

Selain mempergunakan tatanan hukum yang sudah ada untuk


mengembangkan pendidikan dasar 12 tahun, pemerintah juga
perlu belajar dari Pemerintah Daerah yang sudah melaksanakan
pendidikan dasar 12 dan belajar dari mereka. Ada banyak praktik
baik yang bisa dicontoh dan dikembangkan, sehingga masing-masing
pemerintah daerah dapat semakin ikut serta dalam pengembangan
pendidikan dasar sampai 12 tahun.

Pengembangan pendidikan dasar 12 tahun juga memerlukan


berbagai macam kajian, seperti pengelolaan tenaga guru, akses
pendidikan seperti ketersediaan ruang-ruang kelas dan sekolah
yang dekat dengan siswa, serta postur penganggaran yang realistis
dengan postur anggaran pemerintah pusat dan daerah.

Partisipasi masyarakat dalam keberhasilan program pendidikan 12


tahun sangat besar. Karena itu, berbagai macam bentuk pertisipasi
dan keterlibatan masyarakat dalam pendidikan formal, non formal,
dan informal perlu dikelola sedemikian rupa sehingga partisipasi
masyarakat ini semakin mendukung capaian program pendidikan
12 tahun.

5
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

6
Peta Regulasi
Kebijakan Pendidikan
untuk Program Wajib Belajar 12 Tahun

P
rogram Wajib Belajar 12 Tahun belum memiliki dasar
hukum yang kuat dalam tatanan regulasi yang mengatur
kebijakan pendidikan. Pemetaan regulasi menuju Wajib
Belajar 12 Tahun diperlukan agar impian pendidikan dasar 12 tahun
segera terwujud.

Program wajib belajar memiliki dasar legal dalam Undang-Undang


Dasar 1945. Mukadimah UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah
Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.

Mencerdaskan kehidupan bangsa diwujudkan dengan memberikan


jaminan pada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C ayat 1 dan pasal 31 ayat
1 menegaskan bahwa Negara menjamin hak warga Negara
untuk memperoleh pendidikan di mana setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar,
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu


pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.

A. Pemetaan Regulasi

Implementasi tugas menyelenggarakan pendidikan dieksplisitkan


dalam pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 di mana ditegaskan bahwa
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdasakan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan mandat tersebut, para pembuat Undang-Undang,
yakni pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas).

Undang-Undang Sisdiknas mengatur dengan tegas ketentuan


tentang kewajiban pendidikan dasar bagi warga negara, yaitu
mereka yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 ayat 1). Ini berarti
anak-anak Indonesia wajib menjalani pendidikan dasar dari
jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Bentuk pendidikan dasar berupa Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI), sekolah lain yang sederajat serta
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madarasah Tsanawiyah
(MTs) atau bentuk lain yang sederajat.

Kriteria penentuan usia wajib belajar dan jenjang pendidikan


yang masuk kategori pendidikan dasar sebagaimana
dimandatkan oleh UUD 1945 merupakan kelanjutan dari
program wajib belajar 9 Tahun yang telah digariskan oleh
Pemerintahan Orde Baru sejak Tahun 1994. Orde Baru melalui
Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN) 1993 mengharuskan
8
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan

pemerintah untuk memperluas kesempatan pendidikan baik


pendidikan dasar, pendidikan menengah kejuruan, maupun
pendidikan professional, melalui jalur sekolah dan jalur luar
sekolah. Perluasan kesempatan pendidikan ini diwujudkan
dengan meningkatkan usia wajib belajar dari 6 tahun menjadi
9 tahun.

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menjamin


dan membiayai pendidikan dasar sejalan dan sebangun dengan
spirit Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Untuk
menjamin Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya hak atas
pendidikan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). UU HAM
hanya menegaskan pengakuan Negara atas pengakuan tentang
hak atas pendidikan untuk semua. UU HAM tidak menjelaskan
lebih detail tentang kriteria pendidikan dasar sebagaimana
diatur dalam DUHAM.

Pada 2005 Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang


Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagai turunan DUHAM
melalui UU No.11 Tahun 2005. UU ini mengadopsi langsung
sekaligus menjabarkan lebih detil tentang kewajiban dan
komitmen Negara pihak untuk merealisakan secara progresif
pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak
atas pendidikan. Jenjang pendidikan sebagaimana ditegaskan di
dalam DUHAM, dikutip kembali dalam ketentuan Pasal 13 Ayat
(2) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Ada perbedaan antara UUD 1945 dan Piagam DUHAM. Piagam


DUHAM menyebutkan tiga jenjang pendidikan yaitu pendidikan
dasar, pendidikan teknikal dan professional, serta pendidikan
tinggi. Pendidikan dasar dalam DUHAM dimaknai sebagai
usia wajib belajar yang dimulai dari usia tujuh tahun sampai
dengan delapan belas tahun. Deklarasi DUHAM menganut
faham pendidikan dasar 12 tahun. Sebaliknya, UUD 1945 hanya

9
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

menegaskan bahwa pemerintah perlu menyelenggarakan


pendidikan dasar dan Negara wajib membiayainya. Sampai
berapa usia wajib belajar tidak ditulis secara eksplisit dalam
UUD 1945.

Eksplisitasi kriteria usia wajib belajar diatur melalui UU No. 20


Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 6 Ayat (1)
menjelaskan usia wajib belajar untuk pendidikan dasar adalah
usia 7 (tujuh) tahun sampai dengan usia 15 (lima belas) tahun.
Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 yang membagi 3 jenjang
pendidikan formal, di mana usia 7 (tujuh) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun adalah usia masa sekolah di Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah Pertama atau sederajat.

Harapan terwujudnya wajib belajar 12 semakin kecil ketika


pasal 34 UU Sisdiknas menegaskan bahwa Pemerintah dan
Pemerintah Daerah hanya menjamin terselenggaranya
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya. Ini semakin meneguhkan bahwa UU Sisdiknas
secara paradigmatik memang hanya mengakomodasi program
wajib belajar 9 Tahun.

Pada 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah


Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Di sini ada titik
harapan tentang wajib belajar 12 tahun. Pemerintah, dalam
hal ini Pemerintah Pusat, memberikan kebebasan kepada
Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan program wajib
belajar 12 tahun atau perluasan dari program wajib belajar 12
tahun sebagaimana yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat
melalui kebijakan yang terkandung di dalam UU Sisdiknas. Pasal
7 Ayat 4 menyatakan Pemerintah daerah dapat menetapkan
kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar
sampai pendidikan menengah. Kata dapat dalam pasal
tersebut memberi ruang bagi Pemerintah Daerah untuk memilih
melaksanakan penetapan kebijakan untuk meningkatkan

10
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan

jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah


atau tidak melakukannya. Jadi tidak ada kewajiban bagi
pemerintah daerah untuk melaksanakan peningkatan program
wajib belajar ke jenjang pendidikan menengah.

PP Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar tersebut telah


mendorong beberapa daerah untuk meningkatkan program
wajib belajar 9 tahun menjadi program wajib belajar 12 tahun,
yakni ke jenjang pendidikan menengah. Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Barat, misalnya melalui Peraturan Daerah
Nomor 10 Tahun 2009 menetapkan Program Wajib Belajar 12
(dua Belas) Tahun.

Sepuluh tahun sesudah disahkannya UU Sisdiknas, pemerintah


meluncurkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU)
melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20
Tahun 2013. PMU disebut sebagai program rintisan wajib belajar
12 tahun. Program rintisan ini muncul untuk meningkatkan
kemampuan daya saing bangsa. Dalam konsideran butir a
Peraturan Menteri dinyatakan bahwa dalam rangka menjaga
kesinambungan pendidikan warga negara Republik Indonesia
dan memperkuat daya saing bangsa, Pemerintah perlu
mengambil langkah strategis untuk melaksanakan Pendidikan
Menengah Universal; program Pendidikan Menengah Universal
dimaksudkan sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun.

Alasan bonus demografis dan APK pendidikan menengah


juga menjadi alasan diluncurkannya PMU. Dasar pokok
pertimbangannya adalah rendahnya APK pendidikan menengah
yang hanya sebesar 78,7%, selain itu, kebijakan ini untuk
mengantisipasi booming anak muda produktif (bonus demografi)
pada tahun 2035. Meskipun menjadi program rintisan Wajar 12
Tahun, Program PMU tidak mencerminkan konsep pendidikan
gratis (free) dan wajib (compulsory). Program ini terbatas pada
konsep universalitas yang bertujuan memberikan akses seluas-

11
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

luasnya bagi warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang


lebih tinggi setingkat SMA/SMK/MA dan sederajat. Karena itu,
tidak ada kewajiban pemerintah dalam rangka pembiayaan
pendidikan menengah gratis atau cuma-cuma sebagaimana
program wajib belajar pendidikan dasar.

B. Judicial Review dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Tidak kuatnya jaminan hukum bagi pelaksanaan Wajar 12


sebagai hak pendidikan warganegara membuat beberapa
warga negara berusaha mengajukan Judicial Review atas UU
Sisdiknas yang membatasi jenjang usia pendidikan dasar hanya
sampai 12 tahun atau wajib belajar 9 tahun. Tuntutan warga
negara diwakili oleh Tim Advokasi Wajar 12 Tahun, terdiri dari
10 Lembaga Swadaya Masyarakat (NEW Indonesia atau Jaringan
Pemantau Pendidikan Indonesia/JPPI, Indonesian Human Rights
Committee for Social Justice/IHCS, Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat/P3M, Asosiasi Pendamping
Perempuan Usaha Kecil/ASPPUK, Yayasan Aulia, Yayasan Insan
Sembada, Yayasan Pembinaan Anak dan Remaja Indonesia/
YAPARI, Yayasan LAKPESDAM, Asosiasi Pusat Pengembangan
Sumberdaya Wanita, Perhimpuanan Peningkatan Keberdayaan
Masyarakat, dan Yayasan Cerdas Bangsa serta 5 orang Pemohon
Perseorangan Warga Negara Indonesia). Mereka semua, baik
pemohon lembaga maupun perseorangan adalah lembaga
dan orang-orang yang memiliki perhatian besar pada isu-isu
pendidikan dan hak atas pendidikan.

Pada 05 September 2014 warga mengajukan Permohonan


Judicial Review UU Sidiknas di Mahkamah Konstitusi.
Gugatan ini pada intinya mempersoalkan dasar konstitusional
pemberlakuan Program Wajib Belajar 12 Tahun. Para pemohon
memandang bahwa program Wajib Belajar 9 Tahun yang kini

12
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan

dijalankan pemerintah telah usang dan ketinggalan zaman.


Para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 6 ayat
(1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
sepanjang tidak diubah ketentuan batas usia wajib belajar dari
tujuh tahun sampai dengan 15 tahun menjadi tujuh tahun
sampai dengan 18 Tahun.

Mahkamah Konsitusi telah menanggapi permohonan JR ini


dan Majelis Hakim Panel telah menggelar sidang pendahuluan
sebanyak dua kali, yakni sidang pendahuluan pertama pada
tanggal 07 Oktober 2014 dan sidang perbaikan permohonan
pada tanggal 21 Oktober 2014.

Sejak saat itu, Mahkamah Konstitusi belum pernah lagi


memanggil para pihak atau pihak Pemohon dalam perkara Uji
Materi UU Sisdiknas tersebut. Namun, pada 05 Oktober 2015,
Pihak Kepaniteraan MK telah mengabarkan kepada Tim Advokasi
Wajar 12 Tahun bahwa Mahkamah Konstitusi akan segera
menyidangkan kembali Perkara Uji Materi UU Sisdiknas yakni
pada 07 Oktober 2015 dengan agenda mendengarkan Putusan.

Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan


menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
Pada pokoknya Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa
terhadap permohonan para Pemohonan yang mendalilkan dan
memohon di dalam petitumnya untuk memaknai yang berusia
tujuh sampai dengan delapan belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar dan menengah berarti meningkatkan
jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah,
Mahkamah berpendirian bahwa program pendidikan minimal
yang harus diikuti warga Negara Indonesia merupakan tanggung
jawab pemerintah dan pemerintah daerah merupakan kebijakan
hukum yang terbuka (open legal policy) bagi pemerintah
dan pemerintah daerah. (Paragraf (3.10.9), hal.52 Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara No.92/PUU-XII/2014).

13
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Pendirian Mahkamah tersebut didasarkan pada pendapat


Mahkamah yang menyatakan bahwa Pasal 34 UU No.20/2003
yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya sebagai bagian dari
kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan
untuk semua (education for all). Frasa menjamin artinya
pemerintah dan pemerintah daerah harus merencanakan,
menyiapkan untuk membiayai dan memfasilitasi
terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan
dasar. Untuk terlaksananya jaminan tersebut, pemerintah
menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib
belajar yang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis
Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Demikian pula
bagi pemerintah daerah, penyelenggaraan program wajib
belajar dimaksud ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah
Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rencana
Strategis Daerah Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah. Terkait dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang,
Pemerintah telah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional dalam Program Legislasi Nasional
2015-2019. (Paragraf (3.10.7) hal. 51 Putusan MK Perkara No.
92/PUU-XII/2014).

Menurut Mahkamah Konsitutis, bahwa Ketentuan Pasal 7


ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang
Wajib Belajar menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat
menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan
wajib belajar sampai pendidikan menengah. Pengaturan lebih
14
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan

lanjut pelaksanaan program wajib belajar sampai pendidikan


menengah tersebut diatur melalui peraturan daerah
sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Pembentuk
Peraturan Daerah di Provinsi Sumatera Selatan misalnya
telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009
yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Sekolah Gratis di Sumatera
Selatan. Dalam peraturan Daerah tersebut dimuat ketentuan
bahwa setiap SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTS, SMA/SMALB/
MA, SMK, baik negeri maupun swasta mendapatkan biaya
operasional sekolah dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Demikian pula misalnya di tingkat kabupaten,
pembentuk Peraturan Daerah di Kabupaten Muaro Jambi telah
menetapkan Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2013 tentang
SIstem Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam Peraturan Daerah
tersebut dimuat ketentuan yang menjamin tersedianya dana
guna terselengaranya pendidikan bagi masyarakat yang berusia
7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. (Paragraf
(3.10.8) Putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2014).

Atas dasar pertimbangan ini, MK menyatakan bahwa


permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Karena itu, di dalam amar putusannya MK menyatakan menolak
permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Tim Wajar 12 tahun menganggap bahwa putusan ML


mengandung kecerobohan, terburu-buru dan tidak cermat
dalam dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang
diajukan oleh Tim Wajar 12 Tahun. Alasan Tim Wajar 12 tahun
adalah sebagai berikut:

Pertama, meski Mahkamah di dalam putusannya telah


menegaskan alasan serta dasar hukum tentang tindakan
Mahkamah Konstitusi yang memutus perkara permohonan
pengujian UU Sisdiknas tanpa melalui persidangan pleno

15
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

(persidangan mendengarkan keterangan dan/atau risalah MPR,


DPR, DPD dan Presiden serta Ahli dan Saksi) sebagaimana
praktek hukum acara yang berlaku di MK, seperti terlihat
pada Point 3 (tiga) Pertimbangan Hukum, Paragraf (3.8) di
dalam pertimbangan atas pokok permohonan, mengutip Pasal
54 UU MK yang menyatakan Mahkamah Konstitusi dapat
meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan
dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden dalam melakukan
penguajian atas suatu undang-undang. Dengan kata lain,
Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan
dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan
yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan/atau Presiden, tergantung urgensi dan relevansinya. Oleh
karena permasalahan hukum dan permohonan a quo cukup
jelas, Mahkamah memutus perkara a quo tanpa mendengar
keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan/atau Presiden. Akan tetapi, tindakan ataupun pendirian
Mahkamah bahwa Mahkamah telah memandang cukup jelas
terhadap permasalahan hukum dan permohonan tersebut,
justru menimbulkan banyak pertanyaan, karena ternyata
Putusan yang telah dibacakan tersebut tidak konprehensif serta
menyeluruh, bahkan sangat dangkal memahami isu pendidikan
khususnya terkait wajib belajar.

Sejak awal seperti tertera di dalam permohonan para


pemohon, pemohon sudah menyadari bahwa memang
dalam perkembangannya pemerintah dan pemerintah
daerah di beberapa daerah pada prakteknya sudah berupaya
meningkatkan program wajib belajar ke jenjang pendidikan
menengah. Pemohon sudah mengelaborasi bahwa pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan telah meluncurkan program
16
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan

Pendidikan Menengah Universal sebagai program rintisan wajib


belajar 12 Tahun. Di beberapa daerah sudah ada Peraturan
Daerah yang memungkinkan diselenggarakannya program wajib
belajar 12 Tahun. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa
kondisi tersebut belum mencerminkan prinsip pendidikan
dasar wajib belajar yang berlandaskan kepada Konstitusi serta
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta pendirian
beberapa organisasi internasional di bawah afiliasi PBB tentang
pendidikan yang mengakui bahwa pendidikan dasar harus
bersifat wajib dan bebas biaya serta didasarkan pada sifat anti
diskriminasi, sehingga perlu adanya tafsir ulang atas konstitusi
bahwa Pasal 6 ayat 1 UU 20/2003 yang tidak sejalan dengan
prinsip wajib dan bebas biaya tersebut.

Kedua, keputusan tersebut ceroboh dan tidak cermat dalam


memutuskan hal penting yang bersifat final dan mengikat,
Mahkamah Konstitusi telah salah mengutip Peraturan
Perundangundangan terutama bahwa yang dikutip tersebut
adalah UU yang diujikan yakni UU 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam salah satu amar putusannya
dikatakan bahwa Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU 20/2003
menegaskan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang
pendidikan yang melandasi pendidikan menengah. Pada ayat
(2) dinyatakan bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah
dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain
yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTS) atau bentuk lain yang sederajat.
(Halaman, 51, paragraf 3.10.6). Padahal jika kita melihat kepada
UU 20/2003 dimaksud, Pasal yang dikutip oleh Mahkamah
tersebut jelas sekali adalah ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat
(2), sementara ketentuan Pasal 4 adalah ketentuan mengenai
Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, selengkapnya Pasal 4 Ayat
(1) dan (2) UU No. 20/2003 berbunyi :

17
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Pasal 4

1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan


berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan dengan satu kesatuan secara
sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.

Ketiga, konsistensi Mahkamah Konstitusi dipertanyakan.


Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan tersebut telah
mengutip tentang perlunya sistem pendidikan nasional yang
harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global
sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah dan berkesinambungan. Mahkamah juga
mengaskan bahwa UU 20/2003 telah menentukan prinsip-
prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan , yakni pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan
satu kesatuan secara sistemik dengan system terbuka dan multi
makna (Lihat, hal. 48 Putusan MK, paragraf 3.10.3). Namun dalam
Putusan MK No.92/PUU-XII/2014, MK membiarkan dan bahkan
melegitimasi penyelenggaraan pendidikan yang membiarkan
anak-anak berusia sampai 18 tahun tidak memperoleh jaminan
pendidikan yang bebas dari Negara. Perilaku diskriminatif dan
tidak adil ini melanggar HAM, terutama hak-hak anak dalam
memperoleh pendidikan berkualitas seperti dijamin dalam
Konstitusi kita.

18
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan

Ketentuan Pasal 6 ayat 1 UU 20/2003 diskriminatif bagi anak usia


16 tahun sampai 18 tahun karena mereka sebagai kategori anak
tidak mendapatkan hak untuk mengikuti pendidikan dasar dan
Negara membiayainya sebagaimana ketentuan bagi anak berusia
7 tahun sampai dengan 15 tahun. Ketentuan larangan perbuatan
diskriminatif terhadap anak termaktub dengan jelas di dalam
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Keempat, Putusan tersebut juga janggal. Mahkamah Konstitusi


setelah menyatakan bahwa program pendidikan minimal
yang harus diikuti oleh warga Negara Indonesia merupakan
tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah merupakan
kebijakan hukum terbuka (open legal policy) bagi pemerintah
dan pemerintah daerah, Mahkamah kemudian melanjutkan
dengan; Hal penting dalam kebijakan (legal policy) tersebut
sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yaitu asas dapat dilaksanakan (vide, Pasal 5 Huruf d
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan). MK menyatakan bahwa ssas
ini merupakan titik tolak dan tolok ukur untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan. Pemerintah, Pemerintah
daerah dan masyarakat mengharapakan jaminan tercapainya
hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh suatu peraturan
perundang-undangan, karena suatu peraturan perundang-
undangan yang tidak dapat dilaksanakan baik karena sarana,
prasarana, sumber daya, dan anggaran yang belum disiapkan
secara baik, selain akan menggerogoti marwah lembaga
pembentuk peraturan perundang-undangan juga akan
menimbulkan kekecewaan pada harapan masyarakat.

Pertimbangan terakhir tersebut tidak jelas mengacu pada


siapa, apakah MK bermaksud memberikan catatan atau pesan
bagi para pembuat UU atau PP serta Perda dalam membuat

19
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

kebijakan terkait wajib belajar 12 tahun sebagaimana digariskan


oleh MK sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pemerintah dan
pemerintah daerah, atau sebagai bentuk penegasan Mahkamah
Konsitusi terhadap penolakan permohonan para Pemohon
bahwa MK tidak bisa menentukan bahwa kebijakan wajib belajar
12 tahun yang diinginkan pemohon apakah konstitusional
atau tidak, karena MK takut jika putusannya mengabulkan
permohonan pemohon, Pemerintah akan terbebani dengan
sarana, prasarana, sumber daya dan anggaran yang harus
disiapkan untuk menyelenggarakan pendidikan wajib belajar
12 tahun. Padahal, jika saja MK menggelar persidangan yang
menghadirkan Presiden, DPR, DPD dan para stakeholder yang
bergerak di bidang pendidikan, seyogyanya persoalan tersebut
bisa digali dan dielaborasi lebih jauh, apakah pemerintah telah
memenuhi syarat untuk menyelenggarakan program wajib
belajar 12 tahun sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman,
serta kebutuhan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tututan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.

Terakhir, Mahkamah Konstitus juga telah melakukan setidaknya


membiarkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon,
karena memperlambat pembacaan putusan yang sejatinya
sebenarnya putusan tersebut telah dihasilkan rumusannya
sejak satu hari pasca persidangan pendahuluan kedua,
(perbaikan permohonan), yakni berdasarkan sidang Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH) tertanggal 22 Oktober 2014
yang lalu, dan masih dipimpin oleh Hakim Ketua Hamdan Zoelfa.
Ini sesuai dengan kalimat penutup dalam putusan tersebut.

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan


hal-hal sebagai berikut:

20
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan

1. Pendidikan pada hakikatnya merupakan hak asasi setiap


warga Negara yang telah dijamin oleh konstitusi dan sumber
hukum internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia 1948. Pada saat yang sama, setiap warga Negara
berkewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar dan Negara
wajib untuk membiayainya.
2. Pendidikan dasar merupakan pendidikan fundamental bagi
setiap warga Negara yang seharusnya bersifat gratis (free),
wajib (compulsory), dan universal.
3. Program wajib belajar 12 Tahun (Usia 7-18 tahun) merupakan
kebutuhan obyektif bangsa untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia dewasa ini dan masa mendatang
dalam mewujudkan tujuan bernegara yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa.
4. Peraturan perundang-undangan yang mendorong
program wajib belajar 12 tahun, belum memadai untuk
penyelenggaraan pendidikan yang universal dan bermutu
serta dalam kerangka menjawab tantangan kehidupan
sesuai perkembangan zaman.

D. Rekomendasi

1. Kepada para Pembuat Undang-undang, yakni Presiden


dan Dewan Perwakilan Rakyat, untuk segera melakukan
revisi terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, karena sudah tidak sesuai lagi dengan
situasi dan kondisi tuntutan kehidupan lokal, nasional dan
global, khususnya terkait dengan aspirasi yang berkembang
di masyarakat perihal pentingnya Negara utamanya
Pemerintah meningkatkan program wajib belajar dari 9 tahun
menjadi 12 tahun. Hal ini perlu segera dilakukan, mengingat
pentingnya persoalan pendidikan ini serta ketiadaan payung

21
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

hukum bagi pemerintah sebagai eksekutor atau pelaksana


Undang-undang dalam menjalankan program wajib belajar
12 tahun.
2. Bagi Pemerintah (Pusat), sebagai bentuk respon cepat atas
putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2004, yang memandatkan
bahwa kebijakan program wajib belajar 12 tahun adalah
kebijakan hukum terbuka bagi Pemerintah, perlu segera
melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Beberapa di antaranya
atau utamanya revisi tersebut dilakukan terhadap:
a. Pasal 1 Ayat (2). Pendidikan dasar adalah jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat, diubah menjadi Pendidikan dasar adalah
jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang
sederajat serta sekolah menengah atas (SMA), sekolah
menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah (MA)
atau bentuk lain yang sederajat.
b. Pemerintah juga perlu menambahkan satu ayat lagi di
dalam Pasal 1 tersebut, yakni di antara ayat 6 dan 7
dengan menambahkan, Sekolah Menengah Atas yang
selanjutnya disebut SMA adalah salah satu bentuk
satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar
sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI, SMP, MTS
atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari

22
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan

hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP, MTS.


Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disebut
SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal
yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada
jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan
dari SD,MI,SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat
atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau
setara SMP,MTS. Madrasah Aliyah selanjutnya disebut
MA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal
dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan
pendidikan umum dengan kekhasan Agama Islam pada
jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan
dari SMP,MTS atau bentuk lain yang sederajat atau
lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara
SMP,MTS.
c. Pasal 3 ayat (2). Penyelenggaraan wajib belajar
pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang
pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs,
dan bentuk lain yang sederajat. Diubah menjadi,
Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal
dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar
yang meliputi SD, MI, SMP, MTs,SMA,SMK,MA dan
bentuk lain yang sederajat.
d. Pasal 7 ayat 4 Pemerintah daerah dapat menetapkan
kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib
belajar sampai pendidikan menengah. Diubah menjadi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan
kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan wajib
belajar yang mencakup pendidikan menengah

23
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

24
Mendorong Tata Kelola
Sekolah Bebas Pungutan dalam Rangka
Pencapaian Wajar 12 Tahun

M
emperoleh pendidikan bermutu dan gratis adalah hak
setiap warga negara. Program Wajar 9 tahun merupakan
bentuk tanggungjawab pemerintah dalam memberikan
hak-hak dan jaminan pendidikan warga negara. Meski sudah hampir
berhasil melaksanakan Wajar 9 tahun, semangat untuk menuju
Wajar 12 tahun belum mendapat dukungan optimal dari pemerintah
sampai tahun 2013. Hambatan terpenuhinya hak pendidikan warga
negara melalui kebijakan Wajar 12 tahun terjadi karena persoalan
ekonomi, akuntabilitas sekolah, dan maraknya pungutan liar yang
semakin membebani masyarakat. Revitalisasi tata kelola sekolah
bisa menjadi kebijakan yang mendorong terwujudnya wajib belajar
12 tahun.

Data tentang pemerataan pembangunan pendidikan di daerah


menunjukkan bahwa sebanyak 146 kabupaten/kota (29,4%) masih
memiliki APM SD di bawah 95%, dan 169 kabupaten/kota (34%)
masih memiliki APK SMP dibawah 95%. Dari sisi ekonomi angka
partisipasi penduduk usia 13-15 tahun masih tinggi (untuk kuantil
1; 81,0%, kuantil 2;88,8%, kuantil 3;92,3%, kuantil 4;93,9% dan
kuantil 5;94,9%).
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

A. Latar Belakang Ekonomi

Faktor ekonomi menjadi persoalan serius dalam menyukseskan


Wajar baik 9 tahun maupun Wajar 12 tahun. Sekolah menjadi
barang mahal yang tidak bisa terjangkau oleh sebagian warga
negara. Mengatasi persoalan ekonomi dan pembiayaan tinggi
atas penyelenggaraan pendidikan merupakan faktor penting
bagi perbaikan pendidikan. Kebijakan pembiayaan pendidikan
seharusnya menjadi perhatian tersendiri dalam rangka
menghapus secara sistematis beban-beban pendidikan yang
sering diterima peserta didik. Beban-beban pendidikan untuk
kelompok masyarakat rentan akan menyebabkan kesenjangan
baru, bahkan menjadikan mereka terjerembab pada kemiskinan
baru, bila pemerintah tidak segera mengatasinya.

Beberapa faktor ekonomi penyebab terhentinya pendidikan


bagi warga negara di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Angka Putus Sekolah


Berdasarkan data kemiskinan terbaru per tanggal 15
September 2015 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 28,59
juta orang atau (11,22%) atau bertambah sebesar 0,86
juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014
sebesar 27,73 juta orang (10,96%). Kemiskinan menjadi
salah satu ancaman terbesar atas keberlanjutan pendidikan
dasar bagi anak-anak usia belajar terutama kelompok
sosial miskin dan marjinal. Tingkat pendapatan yang sangat
rendah akan membuat Rumah Tangga Miskin (RTM) akan
lebih mengalokasikan belanja out of pocket ke pemenuhan
pangan, daripada pendidikan anak-anak dari rumah tangga
tersebut.

26
Mendorong Tata Kelola

Berbagai upaya seperti program-program bantuan


sekolah, BOS, BOM, tunjangan profesi, sertifikasi, beasiswa
pendidikan, DAK dan DBH Pendidikan, DAU Pendidikan
serta Dana Otonomi Khusus Pendidikan sudah dilakukan.
Namun, permasalahan kemiskinan tetap menjadi salah satu
alasan klasik yang menyebabkan masih tingginya angka
putus sekolah.

Berdasarkan data BPS tahun 2011/ 2012 dengan proyeksi


jumlah penduduk tercatat angka putus sekolah adalah
sebagai berikut; 0.90 untuk anak SD, 1.57 untuk anak SMP
dan 2.20 untuk anak SMA. Nampak seiring dengan Angka
Partisikasi Kasar (APK) untuk 3 tahun sebelumnya yakni ;

SMP/Mts/ SM/SMK/MA/
Tahun SD/MI/ Paket A
Paket B Paket C
2011 102.57 89.83 64.90
2012 104.33 89.49 68.80
2013 107.71 85.96 66.61
2014* *(Belum keluar)
Sumber: BPS-RI, Susenas 2003-2013

Ada implikasi yang masih berlanjut dari angka putus


sekolah tersebut. Presentase tidak melanjutkan ke jenjang
berikutnya menjadi tinggi yakni sebagai berikut; SD ke
SMP (18,34%), SMP ke SMA (6,83%) dan SMA ke jenjang
Perguruan Tinggi (51.59%). Jika menghitung target Wajar
12 tahun dari jenjang SD ke SMP dan jenjang SMP ke SMA,
maka angka (18,34%) dan (6,83%) adalah angka yang sangat
besar untuk mengejar terpenuhinya Wajar 12 tahun. Jika
dihitung dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama
2012 untuk anak-anak yang tidak/belum bersekolah pada
semua usia dari 3-23 tahun, jumlah itu adalah 30.639.393
orang. Ini merupakan jumlah yang mengkhawatirkan bagi

27
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

keberlanjutan dan peningkatan kualitas pendidikan di


Indonesia.

Terlepas dari jumlah anak yang masih bisa melanjutkan


sekolah, permasalahan angka putus sekolah perlu dimaknai
sebagai permasalahan krusial yang setiap tahun perlu
dicarikan solusi kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan
tersebut. Ada sesuatu yang belum berjalan baik terkait
proses pembiayaan pendidikan di Indonesia.

2. Pembiayaan Pendidikan Mahal


Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 sudah
mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20 persen
dari APBN atau APBD di luar pendidikan kedinasan, namun
mandat ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Amanat 20
persen alokasi APBD untuk pendidikan di daerah belum
terwujud. Tidak semua daerah mampu secara konsisten
mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen
dari APBD, terutama dalam rangka menggratiskan biaya
pendidikan Wajar 9 tahun, apalagi Wajar 12 tahun.

Pemerintah telah mengeluarkan dana untuk Bantuan


Operasional Sekolah (BOS) yang angkanya selalu mengalami
kenaikan untuk pembiayaan per siswa (SD & SMP) per
tahun. Tahun 2015 dana yang dialokasikan untuk BOS Siswa
SD mencapai Rp 800.000,- Per siswa/tahun, sedangkan
untuk siswa SMP mencapai Rp 1.000.000,- Per siswa/tahun.
Meskipun tidak menutupi 100 persen biaya operasional
siswa, namun angka ini cukup signifikan membiayai
lebih dari 70 persen kebutuhan operasional sekolah. BOS
lebih banyak dipergunakan untuk membiayai kebutuhan
operasional non personalia.

28
Mendorong Tata Kelola

Perkembangan Dana BOS


Tahun 2005-2015
SD/M SMP/SMPLB/SMPT/Satap

1,000,000
710,000 710,000
575,000 800,000
575,000
324,000 354,000 570,000 580,000
400,000 400,000
235,000 254,500

2005 & 2007&2008 2009& 2011 2012 2013 & 2015


2006 2010 2014

Sumber:JuknisBOSKemendikbud(Diolah)
Sumber: Juknis BOS Kemendikbud (Diolah)
Sejak2013,PemerintahbahkanmulaimenggulirkanBOSuntukSMAdansederajat.Besaranya
adalah BOS sebesar Rp 1.000.000,. Adanya BOS setidaknya mengurangi beban pembiayaan
pendidikanyangharusditanggungolehpesertadidik.
Sejak 2013, Pemerintah bahkan mulai menggulirkan BOS
Permasalahan di hulu terkait dengan pembiayaan pendidikanadalah Standar Satuan Biaya
untuk SMA dan sederajat. Besaranya adalah BOS sebesar
pendidikan. Meskipun sudah ada aturan melalui Permendiknas No. 69 Tahun 2009 tentang
RpBiaya
Standar 1.000.000,-.
Operasi Non Adanya
Personalia BOS
Tahunsetidaknya mengurangi
2009 untuk Sekolah beban
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
(SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah
pembiayaan pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar
didik.
Biasa(SDLB),SekolahMenengahPertamaLuarBiasa(SMPLB),SekolahMenengahAtasLuar
Biasa(SMALB),namunperaturantersebutbelumsepenuhnyadilaksanakan.
Permasalahan
Pemerintah di hulu
telah mengeluarkan Peraturanterkait
Pemerintahdengan
(PP) No.19pembiayaan
Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dalam rangka menerapkan kebijakan pendidikan dasar Wajar
pendidikan
9.Dalam adalah
Pasal 62 disebutkan bahwaStandar Satuan
(1) Pembiayaan Biayaterdiri
Pendidikan pendidikan.
atas biaya investasi,
Meskipun sudah ada aturan melalui Permendiknas No. 69
biayaoperasidanbiayapersonal;(2)Biayainvestasisatuanpendidikansebagaimanadimaksud
pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya
Tahun
manusia, 2009kerja
dan modal tentang
tetap; Standar Biaya Operasi
(3) Biaya personal sebagaimanaNon Personalia
dimaksud pada ayat (1)
Tahun
meliputi 2009 untuk
biaya pendidikan yangSekolah Dasar/Madrasah
harus dikeluarkan Ibtidaiyah
oleh peserta didik (SD/ proses
untuk mengikuti
pembelajaransecarateraturdanberkelanjutan.Lebihrinciterkaitbiayabiaya;biayainvestasi
MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
adalah biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana prasarana,
(SMP/MTs),
pengembangan Sekolah
sumberdaya Menengah
sekolah, Atas/Madrasah
dan modal kerja tetap. Biaya operasiAliyah
adalah Biaya
operasisatuanpendidikanterbagiduabagian,biayaoperasipersonaliadanbiayaoperasinon
(SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah
personalia.Untukpersonaliameliputi;gajipendidikdantenagakependidikansertatunjangan
Dasar pada
yang melekat Luargaji.
Biasa (SDLB),
Sedangkan Sekolah
biaya operasi Menengah
non personaliaPertama Luaralat tulis
meliputi; biaya
sekolah (ATS), biaya bahan dan alat habis pakai (BAHP), biaya pemeliharaan dan perbaikan
Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB),
ringan, biaya daya dan jasa, biaya transportasi/ perjalanan dinas, biaya konsumsi, biaya
namun
asuransi, peraturan
biaya pembinaan tersebutkurikuler,
siswa/ekstra belum sepenuhnya dilaksanakan.
biaya uji kompetensi, biaya praktek kerja
industri,danbiayapelaporan.Sedangkanbiayapersonalmeliputibiayapendidikanyangharus
dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan
Pemerintah
berkelanjutan seperti telah mengeluarkan
biaya pakaian, Peraturan
transportasi, Pemerintah
buku pribadi, (PP) dan
konsumsi, akomodasi
No.19lainnya.Meskipun
biaya pribadi Tahun 2005untuk tentang Standar
biaya operasi Nasional
melalui ProgramPendidikan
Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Madrasah (BOM) telah signifikan mendorong
dalam rangka menerapkan kebijakan pendidikan dasar
pemenuhan kebutuhan jumlah biaya operasional, namun dalam pelaksanaan BOS dan BOM
kerapmasihditemuipraktekpenyimpangandanpenyalahgunaan.
29
3
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Wajar 9. Dalam Pasal 62 disebutkan bahwa (1) Pembiayaan


Pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi dan
biaya personal; (2) Biaya investasi satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya
penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan
sumber daya manusia, dan modal kerja tetap; (3) Biaya
personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta
didik untuk mengikuti proses pembelajaran secara teratur
dan berkelanjutan. Lebih rinci terkait biaya-biaya; biaya
investasi adalah biaya investasi satuan pendidikan meliputi
biaya penyediaan sarana prasarana, pengembangan
sumberdaya sekolah, dan modal kerja tetap. Biaya operasi
adalah Biaya operasi satuan pendidikan terbagi dua bagian,
biaya operasi personalia dan biaya operasi non personalia.
Untuk personalia meliputi; gaji pendidik dan tenaga
kependidikan serta tunjangan yang melekat pada gaji.
Sedangkan biaya operasi non personalia meliputi; biaya
alat tulis sekolah (ATS), biaya bahan dan alat habis pakai
(BAHP), biaya pemeliharaan dan perbaikan ringan, biaya
daya dan jasa, biaya transportasi/ perjalanan dinas, biaya
konsumsi, biaya asuransi, biaya pembinaan siswa/ekstra
kurikuler, biaya uji kompetensi, biaya praktek kerja industri,
dan biaya pelaporan. Sedangkan biaya personal meliputi
biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik
untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur
dan berkelanjutan seperti biaya pakaian, transportasi, buku
pribadi, konsumsi, akomodasi dan biaya pribadi lainnya.
Meskipun untuk biaya operasi melalui Program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Madrasah
(BOM) telah signifikan mendorong pemenuhan kebutuhan
jumlah biaya operasional, namun dalam pelaksanaan BOS
dan BOM kerap masih ditemui praktek penyimpangan dan
penyalahgunaan.

30
Mendorong Tata Kelola

Berdasarkan Penelitian lain yang diselenggarakan PATTIRO


tahun 2011 tentang BOS di 10 Kabupaten/Kota, masih
terdapat selisih signifikan antara kebutuhan Standar Biaya
Operasi Nonpersonalia dengan besaran Biaya BOS. Besaran
selisih biaya tersebut untuk SD/MI antara Rp 124.900,-
(Kota Semarang) dan tertinggi Rp 554.200,-(Kabupaten
Jayapura), sedangkan untuk SMP/MTS antara Rp 67.550,-
(Kota Semarang), dan tertinggi Rp 594.400,- (Kabupaten
Jayapura, Papua). Selisih biaya antara biaya operasional dan
yang ditanggung BOS, menjadi salah satu sebab munculnya
potensi pungutan untuk pemenuhan kebutuhan biaya
tersebut. Adapun gambaran selisih biaya operasional yang
dibayarkan peserta didik dan biaya yang ditanggung BOS
adalah sebagai berikut:

Sumber: Penelitian PATTIRO-2011

Adanya selisih biaya yang harus dibayarkan oleh peserta


didik dan yang ditanggung oleh BOS makin menunjukkan
bahwa beban biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat
juga cukup besar.

31
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Dari data Susenas tahun 2012-2014, rata-rata total biaya


pendidikan per kapita per tahun cenderung mengalami
kenaikan. Jumlah rata-rata tersebut menggabungkan
total biaya pendidikan untuk penduduk pedesaan (rural)
dan penduduk perkotaan (urban). Total tahun 2014
(per-september), biaya pendidikan per kapita per tahun
mencapai Rp 453.432,- Per kapita/tahun atau meningkat
(7,15%). Adapun komponen pengeluaran biaya pendidikan
tersebut mencakup biaya-biaya sebagai berikut;

Biaya Pendidikan Sept 2012 Sept 2013 Sept 2014


Sumbangan Pembangunan 6,685 6,716 7,227
Sekolah/ Uang Pangkal
Uang Sekolah 16,632 19,699 21,602
(SPP, BP3, POMG)
Iuran Sekolah Lainnya 2,080 2,621 2,740
Buku Pelajaran 3,021 3,365 3,334
Alat-alat Tulis 1,713 1,836 1,859
Uang Kursus 1,260 847 1,024
Total Biaya Pendidikan 376,692 421,008 453,432
Per Kapita Per Tahun
Sumber: BPS RI-Susenas 2012-2014 (Diolah)

Data menunjukkan bahwa komponen biaya pendidikan


terbesar adalah uang sekolah yang mencakup Sumbangan
Pembiayaan Pendidikan (SPP), Badan Pembantu
Penyelenggara Pendidikan (BP3), Persatuan Orangtua Murid
dan Guru (POMG). Uang sekolah yang biasa dibayarkan
oleh peserta didik dan dibayarkan secara rutin (bulanan)
nampak mencolok jika dibandingkan dengan komponen
biaya pendidikan yang lain. Bahkan pada Tahun 2014,
komponen biaya pendidikan berupa uang sekolah tercatat
mencapai Rp 21.602,-. Salah satu hal yang berkaitan adalah
bahwa komponen biaya yang lain, tidak selalu dibayarkan

32
TotaalBiayaPend
didikanPerK
KapitaPerTahun 376,692 421,008
8 453,4332
Sumbe
er:BPSRISuse
enas20122014
4(Diolah)
Mendorong Tata Kelola
Data menunjukkan
m n bahwa kom mponen biayya pendidikaan terbesar aadalah uang sekolah yan ng
mencaakup Sumbaangan Pemb biayaan Pendidikan (SPP), Badan Pembantu P Penyelenggar
P ra
Pendid dikan(BP3), Persatuan Orangtua
O Muurid dan Gurru (POMG). Uang sekolaah yang biassa
setiap
dibayaarkan oleh bulan atau
peserta didik tidak
dan dibayardibayarkan r secara
rkan secara rutin berkala,
(bulanaan) bisa jikka
nampak mencolok
diband satu kali
dingkan den selama
ngan proses
kompo belajar,
onen biaya p per tahun
pendidikan y
yang atau
lain. B per kegiatan
Bahkan padaa Tahun 2014,
kompo onen biaya pendidikan
p berupa
b uang sekolah terccatat mencap pai Rp 21.602,. Salah sattu
lainnya.
hal yang berkaitan nSedangkan hwa komponen
adalah bah kompon uang
nen biaya yang sekolah secara
lain, tidak selalu rutin setiaap
dibaayarkan
dibayarakan
bulanatautidakdi per caraberkala,
bayarkansec bulan. Dari total liselamapro
bisasatuka biaya pendidikan
osesbelajar,p per
pertahunata au
perkeegiatanlainnyya.Sedangkaankomponen nuangsekollahsecararu utindibayarakkanperbulan.
kapita per tahunper
Dari total biaya pendidikan
p
tersebut,
kapita pe
jika digambarkandigambarkan
er tahun tersebut, jika d
dalam grafik
n dalam graffik
adalah adalah sebagai
hsebagaiber rikut; berikut;

Total Biaya
B Pen
ndidikan
n Per Kapita
Per Tahun

50
00,000
Besaran Biaya

40
00,000
30
00,000
20
00,000
10
00,000
-
SSept' SSept' SSept'
2
2012 2
2013 2
2014
TTotal Biaya Pen
ndidikan
37
76,692 42
21,008 453,432
Per Kapita Perr Tahun

Sumbe
er:BPSRISuse
Sumber: BPS enas20122014
RI-Susenas4(Diolah)
2012-2014 (Diolah)
Grafik diatas mengggambarkan kenaikan to otal biaya peendidikan yan ng harus dikkeluarkan ole eh
pesertta didik setiiap tahun. Untuk
U kalangan miskin dan kurang g mampu, ke enaikan biayya
pendid Grafik
dikan bdi ataspad
akan berakibat menggambarkan
da prioritas pemenuhan
p kenaikan hhidup
kebutuhan total biaya
yang la
ain. Jika haru
us
memilih, antara ke ebutuhan paangan, keseh hatan dan te empat tinggaal. Biaya pen ndidikan tenttu
pendidikan
menempatip
akanm yangbukanutama
pilihanyangb harus dikeluarkan
a.Pemerintah oleh erandalamm
hperluberpe peserta menekanbiay
didik ya
pendid setiap
dikan yangtahun. Untuk
dikeluarkan olehkalangan
masyaarakatmiskin dan
agar bisa kurang
lebih mampu,
terjangkau, t
terutama bagi
kelompok miskin dan kurang mampu. Pe embenahan atasa tata kellola pendidikkan di tingkaat
kenaikannkemendesa
sekolaahmerupaka biaya pendidikan akan berakibat
akanagarwaajar12cepatt terwujud. pada prioritas
Seiring pemenuhan
gdenganhas kebutuhan
silSusenast hidup
ahun201220 yang lain.
014,studiPA Jika harus
TTIRO(2010) memilih,
)atasOutoffPocket(OOP P)
yangd antara kebutuhan
dikeluarkano pangan,ota/Kabupate
olehmasyaraakatdi10Ko kesehatan dan tempat
enmeliputi6 tinggal.
6jenispengeeluaranRumaah
Tangg ga untuk pe endidikan terdiri atas; (1) Sumbaangan pemb bangunan se
Biaya pendidikan
pangkkal/uanggedu ung),(2)Uan
tentu SPP)daniura
ngsekolah(S
akan menempati
anBP3/POMG
pilihan ekolah
G,(3)Iuranse
yang (uanng
ekolahlainnyya
bukan utama.
(ketrampilan,esku Pemerintah
ul,les,tes,ds sb),(4)Buku perlu berperan
upelajaran,ffotokopibadalam menekan
hanpelajara n,(5) alatalaat
pulpen,pens
tulis(p sil,penghapu
biaya pendidikan us,penggaris s,kalkulator,, jangka,raut
yang dikeluarkan tan,dsb),(6)Uangkursu
oleh masyarakat agar us
(bahassa, ketrampilan komputter, alat mu usik, pelajaraan, dan kettrampilan laiin). Penelitiaan
PATTIRO bisa lebih
(2010) m terjangkau,
mencatat besaran OOPterutama bagi
dii kota lebih b kelompok
besar miskin didan
jika dibandingkan kabupaten.
kurang
Sedangkan mampu.
besaraan ratarata Pembenahan
a
antara atas ten
Kota dan Kabupa tatasebesar
kelola Rppendidikan
252.148,/bulan (tahuun

di tingkat sekolah merupakan kemendesakan agar wajar 12


5
cepat terwujud.

33
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Seiring dengan hasil Susenas tahun 2012-2014, studi


PATTIRO (2010) atas Out of Pocket (OOP) yang dikeluarkan
oleh masyarakat di 10 Kota/Kabupaten meliputi 6 jenis
pengeluaran Rumah Tangga untuk pendidikan terdiri atas;
(1) Sumbangan pembangunan sekolah (uang pangkal/uang
gedung), (2) Uang sekolah (SPP) dan iuran BP3/POMG, (3)
Iuran sekolah lainnya (ketrampilan, eskul, les, tes, dsb), (4)
Buku pelajaran, foto kopi bahan pelajaran, (5) alat-alat tulis
(pulpen, pensil, penghapus, penggaris, kalkulator, jangka,
rautan, dsb), (6) Uang kursus (bahasa, ketrampilan komputer,
alat musik, pelajaran, dan ketrampilan lain). Penelitian
PATTIRO (2010) mencatat besaran OOP di kota lebih besar
jika dibandingkan di kabupaten. Sedangkan besaran rata-
rata antara Kota dan Kabupaten sebesar Rp 252.148,-/bulan
(tahun 2007), dan Rp 202.689,-/bulan (tahun 2009). Untuk
sekolah di Kota, biaya OOP bisa mencapai lebih dari Rp 4
Juta per tahun.

B. Pembenahan Tata Kelola Sekolah atas Pungutan

Pihak sekolah sebagai penerima manfaat sekaligus service


provider dari program-program pendidikan yang dijalankan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah memegang peranan penting
dalam pengembangan kualitas tata kelola sekolah. Sekolah
memiliki fungsi strategis dalam proses perencanaan, penetapan

34
Mendorong Tata Kelola

alokasi, penyaluran, penggunaan dan pertanggungjawaban


atas kebijakan berbagai program bantuan (BOS, BOM, Bantuan
Pendidikan, dst). Fungsi ini menjadikan sekolah sebagai pihak
yang rentan bila tidak disertai kemampuan kapasitas dan tata
kelola yang baik.

Kerentanan dimaksud adalah menyangkut kapasitas sekolah


dalam menjalankan aturan-aturan pelaksanaan program dan
kegiatan pendidikan. Pihak sekolah dituntut untuk melakukan
upaya-upaya yang sehat dalam merencanakan dan mengelola
pertanggungjawaban program dan kegiatan pendidikan yang
diamanatkan kepadanya. Sebagai pemangku kepentingan,
sekolah dituntut untuk melakukan pembenahan dan
menyelesaikan masalah. Ini menjadi tantangan tersendiri.

Salah satu tantangan, misalnya dalam pengelolaan dana BOS,


adalah larangan penggunaan dana BOS untuk transportasi
rutin dan pembayaran bonus untuk guru. Adanya larangan ini,
menyebabkan sekolah tidak bisa memberikan tugas tambahan
untuk guru, tambahan kegiatan ekstra kurikuler, dan tugas
kegiatan lain selain tugas utama guru. Hal ini dikarenakan dalam
alokasi dana BOS tidak memperbolehkan pemberian honor
kesejahteraan terkait tugas tambahan tersebut.

Dampak lain adanya larangan alokasi penggunaan dana BOS


untuk kesejahteraan guru di luar tugas tambahan adalah
timbulnya praktek pungutan. Meskipun tidak bisa digeneralisir
dan menjadi sebab adanya pungutan, ada persoalan mendasar
terkait dengan pungutan di sekolah. Akhir tahun 2011 tepatnya
30 Desember 2011, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menerbitkan Permendikbud Nomor 60 Tahun 2011 tentang
Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah Pertama. Namun kurang dari 6 bulan, kebijakan
tersebut diubah menjadi Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012
tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada

35
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Satuan Pendidikan Dasar pada 28 Juni 2012. Hal ini makin


melengkapi ketidaktegasan pemerintah dalam melihat konteks
permasalahan terkait pungutan atau sumbangan.

Dari sisi regulasi, terjadi kegamangan di mana pihak pemerintah


pusat dan daerah belum siap untuk menerapkan larangan secara
tegas menyangkut pungutan. Semangat yang dimunculkan
dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tidak diikuti dengan
aturan pendukung, misalnya ketegasan atas sangsi dan prinsip
keadilan. Meskipun yang dimaksud pungutan memenuhi prinsip
keadilan dalam Permendikbud adalah pendanaan pendidikan
yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing pihak;
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Namun jika
prasyarat dasar atas prinsip keadilan adalah transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan belum diterapkan
maka akan muncul tafsir karet yang akan melegalkan praktek-
praktek pungutan atau sumbangan.

Adalah sebuah ironi, persoalan pungutan selalu menjadi celah


dilematis antara aspek pemenuhan ketersediaan standar
pendidikan oleh pihak internal sekolah, dinas pendidikan dan
pemerintah secara umum dan eksternal oleh orangtua/wali
murid dan warga masyarakat. Sisi lain terutama menyangkut
pemenuhan pendidikan bermutu dan pendidikan gratis, antara
biaya strategis dan operasional sekolah, antara kegiatan intra
dan ekstra, mementingkan kebutuhan inklusif atau ekslusif.
Semua persoalan biaya dan pengelolaan biaya yang menjadi
sisi dilematis akan terus berkembang sepanjang persoalan
pelaksanaan kebijakan dan tata kelola sekolah tidak dibenahi
secara baik.

Tata kelola sekolah menjadi salah satu titik krusial terkait


permasalahan pendidikan di Indonesia. Berbicara tata kelola
sekolah tidak lepas dari kebijakan pendidikan di tingkat
sekolah. Kebijakan pendidikan di sekolah juga sering kali

36
Mendorong Tata Kelola

tersandung pada persoalan laten terkait dengan pungutan.


Ujung dari permasalahan pungutan adalah beban masyarakat
makin bertambah. Dalam situasi sulit, masyarakat khususnya
orang tua/ wali murid memiliki kerentanan dalam menyikapi
banyaknya pungutan yang harus mereka bayarkan. Masyarakat
memiliki sisi dilematis ketika mempersoalkan berbagai macam
pungutan baik yang legal maupun ilegal. Anak-anak mereka
tidak memiliki bargaining untuk menolak pungutan apalagi
dampak psikologis yang harus didapatkan ketika tidak mampu
membayar di tengah peserta didik lainnya. Sedangkan orang
tua/ wali murid menjadi bahan gunjingan dan menjadi public
enemy karena mencoreng nama baik guru atau sekolah. Situasi-
situasi ini memerlukan penanganan khusus untuk mendorong
tata kelola sekolah yang lebih baik.

Persoalan pembagian urusan pembiayaan pendidikan sudah


diatur dalam PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai turunan dari UU No.33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat bertanggung jawab atas
penyediaan pendanaan semua level pendidikan dan program,
serta penyediaan sumber daya untuk pendidikan tinggi
dan subsidi silang (pendidikan usia dini, sekolah dasar dan
menengah, dan pendidikan nonformal). Sementara pemerintah
Propinsi memiliki tanggungjawab pendanaan tingkat menengah
dan pendidikan vokasional, serta pendidikan khusus.
Propinsi juga bisa menyediakan tambahan sumber daya atau
subsidi untuk PAUD, pendidikan dasar dan non-formal, serta
pendidikan tinggi. Sedangkan untuk pemerintah kabupaten/
kota bertanggung jawab atas penyediaan sumber daya PAUD,
pendidikan dasar dan pendidikan non formal.

Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan PP No. 48 Tahun 2008


tentang Pembiayaan Pendidikan terutama Pasal 2 ayat (1)
yang menyebutkan pendanaan pendidikan menjadi tanggung

37
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

jawab bersama antara pemerintah, Pemerintah Daerah dan


masyarakat. Sedangkan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa
biaya pendidikan meliputi 3 hal yakni biaya satuan pendidikan,
biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan serta
biaya pribadi peserta didik. Lebih lanjut turunan biayabiaya
tersebut (termasuk biaya investasi) dapat bersumber dari
masyarakat. Sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat
inilah yang membuka peluang adanya berbagai macam tarikan
atau pungutan dari penyelenggara pendidikan pada peserta
didik. Dengan alasan biaya tinggi, peserta dan orang tua didik
berada dalam posisi dilematis dan terpaksa memaklumi adanya
pungutan dengan berbagai macam alasan dan kesepakatan.

Lebih dari itu, kebijakan pungutan ini juga diperkuat dengan


Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud)
Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya
Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Permendikbud
secara tegas menyatakan bahwa sumber biaya pendidikan pada
satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah selain APBN dan APBD dapat
juga berasal dari sumbangan dari peserta didik atau orangtua/
walinya (Pasal 5. Huruf c). Hal yang relatif sama juga disebutkan
pada pasal berikutnya bahwa sumber biaya pendidikan pada
satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat
adalah berupa pungutan, dan/atau sumbangan dari peserta
didik atau orang tua/walinya (Pasal 6. Huruf b).

Ada suatu pola pendekatan yang salah dalam hal ini. Akan
timbul banyak masalah menyangkut pungutan atau sumbangan.
Ada situasi dan korelasi kekuasaan yang tidak seimbang antara
sekolah dan peserta didik khususnya pada satuan pendidikan
dasar. Daya tawar atas penolakan pungutan bisa menjadi lemah
karena belum didukung penanganan keluhan atas pungutan
tersebut. Mekanisme hukuman bagi sekolah yang melanggar
tidak cukup jelas sehingga tidak dapat menjadi efek jera bila

38
Mendorong Tata Kelola

sekolah masih melakukan pungutan. Situasi ini diperparah


dengan ketidakcukupan dana untuk membiaya operasional
sekolah.

Penyebab lain adalah kebijakan pengelolaan kewenangan


pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah. Sebelum
polemik Sekolah Berstandar Internasional, pemetaan atas
kewenangan dan tanggung jawab di setiap jenjang pendidikan
belum terbagi secara tuntas. Idealnya pelimpahan kewenangan
juga diikuti dengan pelimpahan anggaran. Pemerintah pusat
sampai saat ini masih mengelola berbagai macam bantuan
sosial, beasiswa, pembangunan sekolah, penyaluran dana-dana
khusus, penyaluran kegiatan teknis sampai ke lingkup satuan
pendidikan (sekolah). Selain bantuan program dan kegiatan yang
langsung di kelola kementerian tingkat pusat, Dana Penyesuaian
yang masih dikelola Pusat yang diperuntukkan untuk daerah
dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dan
mempercepat pembangunan di daerah di antaranya adalah
dana tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah
(PNSD), Dana Insentif Daerah (DID), Tunjangan Profesi Guru
(TPG), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Penyesuaian
Infrastruktur Daerah (DPID), DP Cukai, Kurang Bayar Sarana
Prasarana Infrastruktur Papua Barat, DP DAU, dan DP DAK.
Kewenangan pendidikan yang dimiliki daerah tidak diimbangi
dengan kewenangan pengelolaan anggaran yang memadahi,
sehingga daerah-daerah miskin dan terpencil akan kesulitan
untuk mengejar kesenjangan dan ketimpangan pendidikan
tersebut.

Faktor lain adalah tata kelola pendidikan di daerah. Ini menjadi


penyebab utama era desentralisasi. Munculnya kepemimpinan
daerah yang memiliki komitmen pada persoalan pendidikan
menjadikan satu daerah akan berkembang dinamis dalam
pengelolaan pendidikan. Komitmen Kepala Daerah yang
visioner biasanya ditandai dengan munculnya inisiatif kebijakan-

39
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

kebijakan pendidikan yang langsung mencoba menyelesaikan


permasalahan dasar pendidikan, di antaranya pada aspek
penyediaan sarana prasarana, pendidik, operasional dan
manajemen. Seiring dengan bertumbuhnya aspek penyediaan
pendidikan, terdapat pula upaya peningkatan mutu pendidikan,
seperti peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan,
program-program pendukung, lingkungan pendidikan dan
lintas kerjasama antar pihak untuk mendukung program-
program pendidikan. Kebijakan pendidikan ini disertai dengan
alokasi anggaran pendidikan yang memadai untuk mendukung
program kerja dan kegiatan pendidikan.

C. Dampak dan Modus Pungutan

Pengalaman PATTIRO melalui Survei Citizen Report Card


(CRC) atau Kartu Penilaian Warga yakni Survei Penilaian atas
pelayanan publik yang diterima oleh warga masyarakat di suatu
wilayah dari penyedia layanan/ pemerintah masih menunjukkan
indikasi adanya pungutan pendidikan.

Program ini pertama kali dikembangkan di Bangalore, India tahun


1993. Survei ini menilai pelayanan publik dari beberapa aspek
di antaranya aspek ketersediaan pelayanan, keberterimaan
pelayanan, performa kinerja pelayanan (termasuk petugas),
kualitas sampai ke kepuasan layanan di lebih dari 30 Kota/
Kabupaten di Indonesia sejak tahun 2006 sampai awal tahun
2014. Hasil survei menunjukkan masih adanya kecenderungan
pungutan yang harus dibayar oleh peserta didik. Berbagai
biaya tersebut di antaranya adalah biaya ekstrakurikuler,
praktek, komite, penyediaan peralatan (komputer dan alat
bantu belajar), tambahan perlengkapan sekolah, pengecatan,
sumbangan kematian dan kelahiran, buku dan photocopi buku
pelajaran, sampai ke acara-acara keagamaan seperti peringatan
hari besar keagamaan, infak, qurban dan semacamnya.
40
Mendorong Tata Kelola

Kegiatan ekstrakurikuler sangat tergantung pada kebijakan


sekolah. Setidaknya ada beberapa contoh kegiatan ekstrakurikuler
yang dapat menjadi alasan untuk melakukan pungutan.
Kegiatan ekstrakurikuler dibagi berdasarkan jenisnya menjadi
; (1) Krida seperti kepramukaan, Latihan Dasar Kepemimpinan
Siswa (LDKS), Palang Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar
Bendera Pusaka (Paskibraka), OSIS, dst. (2) Kegiatan karya ilmiah
seperti Karya Ilmiah Remaja (KIR), penguasaan dan pendalaman
ilmu pengetahuan, penelitian, penulisan karya ilmiah lain dan
sejenisnya, dan yang terakhir (3) adalah kegiatan ekstrakurikuler
berupa latihan/olah bakat/prestasi meliputi pengembangan
bakat olah raga, seni, budaya, cinta alam, jurnalistik, teater,
keagamaan, musik, marching band, marawis, dst.

Semakin luasnya cakupan kegiatan ekstrakurikuler, pada tahun


2013 pemerintah mengatur kegiatan ekstrakurikuler dalam
kurikulum 2013. Pembenahan ini diatur melalui Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 81 A Tahun
2013, di mana dalam kurikulum 2013 kegiatan ekstrakurikuler
dikelompokkan mejadi dua; yakni ekstrakurikuler wajib dan
ekstrakurikuler pilihan. Kegiatan kepramukaan ditetapkan
sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib dari sedkolah dasar (SD/
MI) hingga sekolah menengah atas (SMA/SMK) melalui kerjasama
dengan organisasi kepramukaan setempat. Sedangkan kegiatan
ekstrakurikuler pilihan di antaranya OSIS, UKS, dan PMR serta
kegiatan ekstrakurikuler berbentuk kelompok atau klub yang
dikembangkan berkenaan dengan konten suatu mata pelajaran,
misalnya klub olahraga (bola, voli, basket, bulu tangkis, dst) atau
ekstrakurikuler yang dikembangkan dari peserta didik seperti
klub tari, paskibra, menyanyi, melukis, teater, kesenian, klub
diskusi, sastra, drama, klub bela diri, silat, karate, judo, klub
pecinta komputer, otomotif, elektronika, matematika, bahasa
inggris, klub pecinta alam, pertanian, daur ulang, pekerja sosial,
polisi lalu lintas, perkumpulan pengelola tempat ibadah, rohis
dan kelompok peduli yatim.
41
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler berpotensi menimbulkan


pungutan baik yang legal maupun ilegal. Namun ini semua
tidak dapat langsung dibuktikan. Berbagai modus pungutan
atas kegiatan ekstrakurikuler di antaranya adalah sebagai
berikut; (1) pembayaran sekali/ Dalam modus ini, kegiatan
ekstrakurikuler sudah termasuk dalam uaang pangkal (uang
sumbangan saat pertama kali peserta didik masuk sekolah);
(2) kegiatan ekstrakurikuler pembayaran berkala, dilakukan
per bulan; 3 bulan, semester atau per tahun. Biasanya berjenis
kegiatan ekstrakurikuler pilihan berbentuk kelompok seperti
klub olah raga, seni, dan peminatan khusus lainnya. Pungutan
akan dilakukan saat penerimaan raport semesteran, atau
langsung oleh panitia pelaksana saat peserta didik belum
melakukan pembayaran;(3) pembayaran sewaktu-waktu,
kegiatan ekstrakurikuler pilihan sesuai dengan even atau
kegiatan dalam rangka peringatan peristiwa besar, perlombaan,
atau bersifat kunjungan. Kegiatan ekstrakurikuler kompetisi
antar kelas, antar sekolah, promosi antar sekolah merupakan
aktivitas yang membutuhkan biaya tambahan. Pembayaran
dilakukan sewaktu-waktu, di mana sekolah berargumen
bahwa dana yang disediakan sekolah tidak mencukupi untuk
melakukan pembayaran trainer/pelatih, narasumber, pihak
ketiga dan kebutuhan perlengkapan dan peralatan yang belum
memadahi; (4) Pembayaran mendadak. Modus ini dilakukan
ketika kegiatan ekstrakurikuler menjadi pilihan yang sifatnya
mendadak. Modus awalnya berupa sumbangan sukarela
kemudian menjadi kebiasaan yang secara informal menjadi
kebiasaan sekolah. Seperti persiapan perpisahan sekolah
yang ditempelkan pada kegiatan ekstrakurikuler pilihan lain.
Biasanya juga ditambahkan pungutan mendadak, misalnya
pelatih ekstrakurikuler mendadak ulang tahun, hajatan, pindah
kerja, atau kegiatan sumbangan keagamaan dalam rangka suatu
peristiwa penting yang dilekatkan pada kegiatan ekstrakurikuler
pilihan lainnya.

42
Mendorong Tata Kelola

Modus pembenaran atas pungutan pada kegiatan ekstrakurikuler


yang dilakukan di antaranya; (1) sudah mendapat persetujuan
dari komite sekolah, (2) sesuai dengan program yang telah
dicanangkan pihak sekolah, dinas atau pemerintah daerah, (3)
kesepakatan rapat orang tua wali murid, (4) sudah menjadi
tradisi sekolah, (5) sesuai edaran dinas atau kepala daerah, (6)
membawa nama baik sekolah dan daerah, (7) mengajarkan anak
pada nilai-nilai tertentu (agama), (8) jumlahnya tidak seberapa,
jika agak besar bisa dicicil dan tidak memberatkan, (9) orang tua
lain sudah setuju, (10) kegiatan berpengaruh pada nilai rapor
atau kelulusan, dan (11) buat kenang-kenangan.

Jumlah nominal pungutan sangat tergantung pada lingkungan


sekolah, kebiasaan dan bentuk kegiatan ekstrakurikuler yang
diadakan. Bentuk ekstrakurikuler yang bervariasi dan memiliki
kekhususan (tidak semua peserta didik ikut), menyebabkan
jumlah nominal dianggap wajar. Besaran itu mulai Rp 1.000,-,
Rp 2.000,-, Rp 3.000,-, Rp 5.000,-, Rp 10.000,-, Rp 20.000,- sd
Rp 50.000,- untuk setiap kali kegiatan ekstrakurikuler, dengan
waktu kegiatan dalam 1 minggu antara 1-2 hari.

Kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi semakin melenceng


dari tujuannya ketika ada aspek psikologis yang muncul sebab
seringkali guru pengasuh ekstrakurikuler juga adalah guru mata
pelajaran atau guru kelas. Situasi ini menciptakan ekslusivisme
peserta didik dan orang tua peserta didik yang merasa aman
karena telah membayar pada pengasuh ekstrakurikuler.
Terlebih ketika jenis ekstrakurikuler itu menonjolkan kegiatan
dan perlengkapan yang mahal. Siswa yang menjadi peserta
dari ekstrakurikuler tersebut memiliki kebanggaan tersendiri
meskipun harus membayar lebih. Kedua pihak merasa dalam
posisi benar dan wajar. Padahal kecenderungan kegiatan
ekstrakurikuler seperti ini telah melahirkan kebanggaan semu.
Tujuan utama dalam belajar dikalahkan kegiatan ekstrakurikuler.

43
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Di beberapa sekolah, dalam studi PATTIRO, praktek pungutan


menjadi biasa dan mendapat pemakluman. Ironisnya, sekolah,
terutama guru bidang tertentu, menilai pungutan dianggap
sebagai hal wajar. Bentuk kewajaran akan sangat kentara ketika
berhubungan dengan sumbangan atas peringatan hari-hari
besar agama, sumbangan keagamaan seperti infak, shodaqoh
dan semacamnya. Yang menarik, sumbangan atau pungutan
tersebut dilakukan melalui surat edaran. Jenis dan jumlah
besaran ditetapkan, sampai ada semacam sangsi sosial yang
bisa diterima peserta didik jika tidak memberikan sumbangan
tersebut. Ada kalanya sumbangan dihubungkan dengan
penilaian proses belajar-mengajar. Situasi ini tidak hanya terjadi
di Pulau Jawa tapi juga sudah meluas ke luar Pulau Jawa.

Berbagai efek dan dampak lanjutan atas pungutan-pungutan


yang tidak transparan menimbulkan kesenjangan dan
kecemburuan tersendiri bagi peserta didik maupun orang tua
yang memiliki keterbatasan dana untuk bisa bergabung, bahkan
mereka merasa dikucilkan. Ketika pungutan dianggap wajar dan
biasa, stigma mutu akan selalu dikaitkan dengan pembiayaan
lebih. Pihak sekolah selalu punya alasan untuk selalu menarik
pungutan baik legal maupun ilegal. Sekolah menjadi sebuah
lingkungan moral yang tidak kondusif, jauh dari transparansi,
menghilangkan semangat saling membantu. Padahal, lembaga
pendidikan semestinya lebih mengutamakan integritas moral,
menumbuhkan budaya hormat dan menjadi contoh perilaku
jujur.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dalam rangka mencapai Wajar 12 tahun, terkait dengan tata


kelola sekolah yang baik khususnya dalam rangka mengurangi
pungutan sekolah dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;

44
Mendorong Tata Kelola

1. Tata kelola sekolah yang baik akan berkontribusi positif pada


pencapaian Wajar 12 tahun. Masalah pendidikan termasuk
adanya pungutan tidak bisa dilepaskan dari masalah
manajemen atau tata kelola Sekolah. Perubahan cukup
mendasar di dunia pendidikan sekitar 1 dekade terakhir
seiring dengan adanya Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional adalah tata kelola, kurikulum dan kemudian
diikuti dengan perubahan teknis lainnya. Tata kelola
sekolah yang baik, harus bisa mensinergikan kesepuluh
komponen (Pendidik, Peserta Didik, Tenaga Kependidikan,
Paket Instruksi Pendidikan, Metode Pengajaran, kurikulum
Pendidikan, Alat Instruksi dan Pendukung, Fasilitas
Pendidikan, Anggaran Pendidikan, dan Evaluasi Pendidikan)
berjalan selaras. Dengan berjalannya kesepuluh komponen
utama, setidaknya permasalahan pungutan bisa dikurangi.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab
utama menyelaraskan kebijakan, anggaran, sumber daya
dan sarana prasarana pendukung guna menjawab tuntutan
Wajar 12 tahun. Dari aspek tata kelola pendidikan, perubahan
cukup mendasar adalah berubahnya sentralisasi pendidikan
menjadi desentralisasi. Meskipun belum semua kebijakan
didesentralisasi namun perubahan ini cukup membawa
perubahan signifikan yang membawa dampak bagi daerah
untuk menyukseskan pengelolaan pendidikan ditingkat
daerah. Untuk sebagian daerah dengan infrastruktur dan
kapasitas sumber daya yang memadaii akan lebih mudah
melakukan akselerasi dan otonomi pendidikan tertentu.
Ini berbeda dengan daerah yang memiliki infrastruktur dan
kapasitas sumber daya terbatas, apalagi daerah yang baru
berdiri sebagai daerah otonomi baru.
3. Desentralisasi pendidikan yang tengah bergulir memberi
peluang bagi daerah untuk mengembangkan pendidikan
dan pengajaran yang selaras dengan kebutuhan dan
situasi masyarakat setempat. Begitupun dalam hal
45
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

penyelenggaraan. Hubungan kewenangan yang makin dekat


akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses
peningkatan kualitas pendidikan di daerahnya. Namun
demikian, praktek-praktek terkait pungutan di sekolah
harus menjadi perhatian bersama terutama Pemerintah
baik pusat maupun daerah.
4. Pemenuhan akses dan standar kualitas pelayanan
pendidikan di daerah masih rendah. Meskipun sudah ada
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2013 yang menetapkan
bahwa setiap kabupaten dan kota wajib memenuhi Standar
Pelayanan Minimal (SPM) sekurang-kurangnya dalam waktu
3 tahun setelah SPM tersebut disahkan. Sampai tahun 2013
baru ada sebanyak 68,7% SD/MI dan 62,5% SMP/MTs yang
terakreditasi minimal B. Ini berarti kualitas pendidikan dasar
masih rendah. Hal yang hampir sama juga pada kualitas
layanan pendidikan di jenjang pendidikan menengah.

Untuk itu, kami memberikan rekomendasi untuk mengatasi


persoalan tata kelola sekolah agar dapat menjadi pendorong
tercapainya Wajar 12 tahun sebagai berikut;

1. Mencabut atau memperbaiki Permendikbud Nomor 44 Ta-


hun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendi
dikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Hal ini sangat krusial
karena akan membawa efek perhatian bagi seluruh pe-
mangku kepentingan pendidikan khususnya sekolah. Peme
rintah daerah bisa membantu dalam rangka proses penga-
wasan dan mendorong tata kelola sekolah yang lebih baik.
2. Perlunya kebijakan lokal sebagai pendukung pelaksanaan
akuntabilitas sekolah. Meskipun ditingkat nasional sudah
ada aturan yang mendukung, namun di daerah perlu
ada payung hukum tambahan untuk memastikan bahwa
pungutan yang terjadi di sekolah merupakan kejahatan

46
Mendorong Tata Kelola

dan ada sangsi hukumnya. Di level tertentu bahkan bisa


masuk ke ranah hukum. Kebijakan lokal dimaksud bisa
berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Kepala Daerah
(Perkada), Keputusan Kepala SKPD (SK Kepala Dinas),
sampai keputusan kesepakatan di tingkat Sekolah (Berita
acara kesepakatan atau Surat Kepala Sekolah).
3. Mendorong partisipasi dan praktek transparansi
pengelolaan keuangan sekolah. Sebagai upaya mengurangi
praktek pungutan di sekolah, pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan masyarakat perlu mendorong kembali upaya
transparansi pengelolaan keuangan sekolah dengn
membuat pedolan tentang transparansi dan larangan
praktek pungutan di sekolah. Bentuknya adalah adanya
pedoman tentang transparansi dan larangan praktek-
praktek pungutan sekolah. Pedoman ini berisi sangsi hukum
bagi yang melanggar.
4. Penguatan kapasitas sekolah SD dalam mengelola sekolah,
berupa penguatan kapasitas pengelola keuangan. Isu
transparansi masih menjadi tantangan bagi pihak sekolah
terutama di SD. Salah satu penyebabnya adalah kapasitas
pengelola keuangan. Berbeda dengan tingkat SMP dan
SMA yang telah mempunyai tata usaha (TU) atau staf
administrasi yang bisa dipekerjakan, situasi di SD belum
mendukung. Salah satu alternatifnya adalah melakukan
penguatan kapasitas pengelolaan keuangan tingkat SD
khususnya untuk bendahara sekolah atau guru yang ditunjuk
menjadi pengelola keuangan. Bentuk penguatan dimaksud
di antaranya adalah pelatihan administrasi keuangan,
workshop khusus, kunjungan belajar, assistensi keuangan,
dst. Stakeholder yang ada di sekolah perlu menyadari bahwa
sekolah adalah badan publik, sehingga pengelolaan keuangan
sekolah juga perlu menganut prinsip-prinsip keterbukaan.
Sekolah tidak perlu merasa risih, jika pengelolaan keuangan
sudah dilakukan dengan baik. Ppenyadaran bersama
47
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

tentang pentingnya transparansi pengelolaan keuangan


di sekolah harus terus dilakukan. Transparansi dimaksud
diantaranya mendorong pembuatan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Sekolah (APBS) berbasis Partisipasi Masyarakat.
Melaporkan penggunaan dana yang bisa diakses orang tua
dan peserta didik (misalnya melalui papan pengumuman,
majalah dinding, atau surat kepada orang tua murid tentang
pertanggungjawaban penggunaan dana).
5. Guna menguatkan kualitas layanan pendidikan, maka
perlu mengefektifkan kembali peran pengawas dan komite
Sekolah. Peran pengawas sekolah sangat relevan untuk
melakukan pengawasan sekaligus peningkatan kapasitas
bagi pengelola keuangan. Sehingga pengawas, setidaknya
memiliki jadwal rutin untuk melakukan kunjungan ke sekolah
(minimal per semester). Selain kunjungan rutin, pengawas
sekolah bisa menjadi mitra untuk peningkatan kapasitas bagi
pengelola keuangan. Agenda kunjungan pengawas sekolah
harus jelas dan diketahui bersama (jika perlu gunakan berita
acara pengawasan) sehingga sekolah juga mendapatkan
feedback dan langkah perbaikan. (tidak sekedar informal
pertemuan di sekolah, rumah makan dan tempat ngopi).
Sekecil apapun pungutan akan sangat mempengaruhi
performance dari sekolah. Sehingga pengawas dapat
memberikan feedback yang mendorong akuntabilitas
sekolah karena akan berpengaruh pada performance
sekolah yang bersangkutan.Sedangkan komite sekolah,
dapat melakukan perannya sebagai perwakilan orang tua
murid untuk menampung keluhan dan aspirasi perbaikan
(meskipun bisa juga langsung ke sekolah), menyalurkan
keluhan dan menjadi mitra sekaligus pengawas pelaksanaan
kegiatan sekolah. Komite sekolah bukan stempel kebijakan
kepala sekolah, tetapi menjadi perwakilan aktif orang tua
murid dan peserta didik yang mendorong peningkatan
kualitas pendidikan dan pengajaran di sekolah.

48
Pemenuhan
Kebutuhan Guru
dalam Pencapaian Target Wajib Belajar 12 Tahun

S
alah satu tujuan pendirian negara republik Indonesia adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan ini
negara memandang pendidikan sebagai sektor strategis dan
mendapat prioritas kebijakan negara. Salah satu kebijakan tersebut
adalah program wajib belajar.

Tulisan ini akan membahas tentang pemenuhan kebutuhan


guru dalam konteks wajib belajar 12 tahun. Tulisan dibatasi
pada pemenuhan wajib belajar 12 tahun pada sekolah formal
di bawah naungan Kemdikbud. Bagian pertama tulisan ini akan
membahas tentang standar kebutuhan guru ditingkat sekolah,
daerah dan nasional. Bagian kedua membahas tentang faktor yang
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan guru tersebut. Tulisan ini
ditutup dengan kesimpulan dan saran terkait dengan wajib belajar
12 tahun.
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

A. Kebutuhan Guru

Wajib belajar bertujuan untuk memastikan dan mewajibkan


penduduk usia sekolah dapat mengenyam pendidikan dasar.
Dasar hukum wajib belajar jenjang pendidikan dasar tercantum
dalam UUD 1945 tepatnya pasal 32 ayat (2). Selain itu, kebijakan
turunannya juga diatur dalam pasal 6 ayat (2), pasal 7 ayat (2) dan
pasal 34 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pemerintah
juga telah menetapkan PP No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib
Belajar sebagai acuan lebih lanjut atas program tersebut.

Wajib belajar pendidikan dasar sampai usia 15 tahun dinilai


kurang memadai. Bangsa Indonesia membutuhkan perluasan
wajib belajar pada jenjang pendidikan lebih tinggi, minimal
sampai pada jenjang pendidikan menengah. Hal ini disebabkan
karena meningkatnya populasi penduduk serta kebutuhan
persaingan bangsa Indonesia dengan bangsa lain dalam
beberapa dekade ke depan.

Perluasan kebijakan ini tentu memiliki berbagai implikasi


kebutuhan seperti penyediaan infrastruktur, guru, sarana
pendidikan, guru, kelembagaan, birokrasi dan anggaran. Wajib
belajar akan mendorong peningkatan akses warga negara
atas pelayanan pendidikan menengah dan pemerintah harus
menyediakan munculnya permintaan tersebut. Keberhasilan
perluasan cakupan wajib belajar tidak hanya ditentukan
oleh meningkatnya permintaan (demand) masyarakat atas
pelayanan pendidikan menengah akan tetapi juga ditentukan
oleh kesiapan pemerintah menyediakan pelayanan pendidikan
menengah bermutu dan berkeadilan.

Salah satu hal penting yang harus disediakan pemerintah


terkait perluasan cakupan wajib belajar adalah penyediaan
guru di masing-masing satuan pendidikan menengah. Tidak
ada artinya meningkatkan permintaan dan akses masyarakat

50
Pemenuhan Kebutuhan Guru

atas pendidikan menengah serta penyediaan infrastruktur


pendidikan tanpa kehadiran guru di depan kelas. Kegiatan
belajar mengajar tidak dapat berjalan dengan baik dan efektif
tanpa kehadiran dan kecukupan guru di sekolah.

Menghadirikan guru kedepan kelas di masing-masing sekolah


tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak faktor
penghambat dan rumitnya sistem manajemen guru di Indonesia
yang perlu diurai agar kebutuhan guru dapat terpenuhi.
Sebagian faktor tersebut terkait dengan internal sektor
pendidikan Indonesia namun sebagian lagi sangat berkaitan
dengan sistem yang berlaku di luar sektor pendidikan.

B. Perhitungan Dan Proyeksi Kebutuhan Guru

1. Metode Perhitungan kebutuhan Guru


Penyediaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah merupakan kewajiban pemerintah pusat dan
daerah. Berapakah jumlah guru yang harus disediakan
pemerintah agar program wajib belajar 12 tahun dapat
berjalan dengan baik? Jawaban pertanyaan ini dapat
diperoleh dengan menghitung kebutuhan guru ideal mulai
di tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi
dan nasional.

Perhitungan kebutuhan guru di tingkat sekolah didasarkan


pada dua variabel utama, pertama adalah jumlah rombel
yang terdapat di sekolah tersebut serta kedua adalah
beban kerja guru per minggu. Aturan yang menjadi dasar
perhitungan adalah Permendikbud No. 23 Tahun 2013
tentang Perubahan atas Permendikbud No. 10 Tahun 2010
SPM Pendidikan Dasar Kabupaten/Kota.

51
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

a. Metode Perhitungan Kebutuhan guru SD/MI


Perhitungan kebutuhan guru didasarkan pada
Permendiknas No. 10 Tahun 2010 tentang SPM (Standar
Pelayanan Minimal) Bidang Pendidikan. Berdasarkan
regulasi ini, perhitungan guru ditingkat SD adalah :

1). Jumlah peserta didik maksimal 32 orang;


2). 1 orang guru untuk 32 peserta didik per rombel;
3). Untuk daerah khusus, minimal ada 4 orang guru
kelas/satuan pendidikan;
4). Untuk non daerah khusus, minimal ada 6 orang guru
kelas/satuan pendidikan;
5). Guru agama, penjas dan mulok mengikuti
perhitungan guru mata pelajaran;

Berdasarkan prinsip ini maka dihitung kelebihan dan


kekurangan guru di suatu SD, yakni :

Kelebihan atau kekurangan guru SD = Guru yang ada


Kebutuhan guru kelas

Perhitungan kebutuhan guru kelas di SD didasarkan


pada guru yang tersedia, jumlah siswa sesuai APK dan
rasio siswa-guru. Hal pertama yang perlu diperhatikan
adalah apakah sekolah tersebut berada pada daerah
khusus. Jika sekolah berada di daerah khusus maka
sekolah tersebut mengikuti SPM khusus juga yang
berbeda dengan SPM sekolah daerah biasa. Jika sekolah
berada di daerah khusus dan jumlah guru kurang dari
empat serta rombel kecil atau sama dengan 6 maka
sekolah tersebut telah memenuhi SPM = 4.

52
Pemenuhan Kebutuhan Guru

Jika jumlah guru dan rombel tidak sesuai dengan


kriteria tersebut maka yang perlu dilihat selanjutnya
adalah melihat jumlah rombel disekolah tersebut.
Pertimbangan jumlah rombel juga berlaku bagi sekolah
biasa yang tidak berada di daerah khusus. Jika jumlah
rombel lebih kecil dibanding jumlah guru maka guru
yang berada di sekolah tersebut harus diredistribusi
antar sekolah ke jenjang yang sama.

Jika jumlah rombel lebih besar dengan jumlah guru


maka perlu dilihat apakah rombel tersebut memiliki
jumlah yang sama dengan guru atau lebih besar dengan
jumlah guru. Jika jumlah rombel sama besar dengan
jumlah guru maka kebutuhan ideal guru di sekolah
tersebut telah terpenuhi (sesuai dengan SPM). Namun
jika jumlah guru kurang dari 6 maka kebutuhan guru
yang dipenuhi sehingga terdapat 6 guru di sekolah
tersebut sesuai SPM. Jika tidak, hal itu adalah kondisi
minimal dalam pencapaian SPM.

Sumber: Direktorat P2TK Ditjen Dikdas Kemdikbud, 2014

53
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

b. Metode Perhitungan Kebutuhan Guru SMP/MTs


Prinsip perhitungan guru mata pelajaran tingkat SMP
berdasarkan Permendikbud No. 10 Tahun 2010 adalah :

1. Setiap rombel dalam mengikuti mata pelajaran


tertentu diampu oleh 1 (satu) orang guru;
2. Jumlah guru dihitung berdasarkan jumlah tatap
muka (JTM) per minggu yang terjadi di sekolah
dibagi wajib mengajar guru (24);
3. JTM dihitung dengan cara menjumlahkan rombel per
tingkat kali jumlah jam mata pelajaran per minggu
per tingkat yang ada dalam struktur kurikulum;
4. Wajib mengajar yang digunakan adalah 24 jam tatap
muka per minggu;
5. Guru mata pelajaran hanya mengampu 1 (Satu) jenis
mata pelajaran yang sesuai dengan sertifikat pendidik
dan atau latar belakang pendidikan yang dimilikinya;
Tersedia 1 orang guru bimbingan konseling untuk
150 250 peserta didik.

Sumber: Direktorat P2TK Ditjen Dikdas Kemdikbud, 2014

54
Pemenuhan Kebutuhan Guru

Proses perhitungan guru mata pelajaran pada suatau


SMP didasarkan pada tiga data yakni jumlah rombel
(JR), jumlah guru per mapel (G) dan struktur kurikulum
(JPM - Jam pelajaran per minggu). Langkah pertama
yang dilakukan adalah menghitung JTM dengan cara
mengalikan JR dengan JPM. Langkah selanjutnya
menghitung kebutuhan guru dengan cara membagi JTM
dengan 24. Angka 24 berasal dari beban kerja guru per
minggu yakni sebesar 24 per guru perminggu.

Jika kebutuhan guru (KG) sudah sama banyak dengan


guru yang tersedia dsekolah tersebut (G) maka hal
tersebut adalah kondisi ideal di mana kebutuhan guru
telah terpenuhi sepenuhnya. Jika hal tersebut tidak
terpenuhi, pihak Dinas Pendidikan kabupaten/kota
melakukan redistribusi guru mapel yang sama antar
sekolah pada jenjang yang sama (jenjang SMP). Jika
redisitribusi berhasil di mana sekolah kelebihan guru
dapat meredistribusikan gurunya ke sekolah yang
kekurangan guru sehingga kebutuhan guru dan guru
yang ada di sekolah tersebut bernilai yang sama maka
kondisi tersebut dinilai sekolah kondisi ideal.

Bila setelah redistribusi guru mapel yang sama


pada jenjang yang sama belum berhasil meratakan
distribusi guru maka Dinas Pendidikan kabupaten/kota
dapat melakukan redistribusi guru mapel yang sama
dari jenjang yang berbeda. Misalnya, sebuah SMP
membutuhkan guru Bahasa Inggris dan tidak dapat
dipenuhi oleh guru SMP lainnya. Hal ini dapat dipenuhi
oleh guru mata pelajaran Bahasa Inggris ditingkat SMA/
MA dengan syarat bahwa guru tersebut juga kekurangan
pencapaian 24 jam mengajar disekolahnya (SMA asal).

55
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Jika redistribusi guru antar jenjang tidak berhasil


maka selanjutnya dihitung berapa banyak sekolah
yang mengalami kelebihan dan kekurangan guru. Data
perhitungan ini selanjutnya dimasukkan dalam proyeksi
kebutuhan guru kabupaten/kota. Dalam konteks ini,
Pemerintah provinsi dapat memfasilitasi redistribusi
guru antar kabupaten/kota. Jika hal ini tidak berjalan
dengan baik atau tidak efektif maka pilihan akhirnya
adalah melakukan rekrutmen guru baru untuk sekolah
tersebut.

Perhitungan Kebutuhan Guru Mata Pelajaran SMP/MTs

2 2

24 24
Keterangan:
Keterangan :
KG :KebutuhanGuru
KG : Kebutuhan Guru
JTM
JTM ::JumlahTatapMukaperjenisguruperminggu
Jumlah Tatap Muka per jenis guru per minggu
MP : Alokasi jam mata pelajaran per minggu pada mata pelajaran tertentu
MP:Alokasijammatapelajaranperminggupadamatapelajarantertentu
di satu tingkat
disatutingkat
K : jumlah Kelas/rombongan belajar pada suatu tingkat yang mengikuti
pelajaran tertentu
:jumlahKelas/rombonganbelajarpadasuatutingkatyangmengikuti
24 : wajib mengajar per minggu, digunakan angka 24
1,2,3 :pelajarantertentu
tingkat 1, 2 dan 3

24 :wajibmengajarperminggu,digunakanangka24


Berdasarkan prinsip dan metode perhitungan di atas
1,2,3 :tingkat1,2dan3
maka kebutuhan ideal guru SMP (tahun 2013) adalah

sekitar 401.115 orang. Dari kebutuhan ideal tersebut,


tersedia guru SMP sebanyak 500.548
Berdasarkanprinsipdanmetodeperhitungandiatasmaka guru termasuk
kebutuhan idealguruSMP (tahun
2013)adalahsekitar401.115orang.Darikebutuhanidealtersebut,tersediaguruSMPsebanyak
guru GTT. Jadi terdapat kelebihan guru sekitar 99.443
500.548gurutermasukguruGTT.Jaditerdapatkelebihangurusekitar99.443orang.
orang.
JikaGTTtidakdimasukkandalamperhitunganmakaguruyangtersediaadalahsekitar378.377
orang. Dengan demikian
Jika GTT terdapat kekurangan guru
tidak dimasukkan dalamSMPperhitungan
sekitar 22.238 orang.
makaPerhitungan
guru ini didasarkan beban mengajar guru yang terdapat pada kurikulum KTSP (Kurikulum
2006).
guru yang tersedia adalah sekitar 378.377 orang. Dengan
demikian terdapat kekurangan guru SMP sekitar 22.238
Kekurangan guru SMP terbesar terdapat pada guru mata pelajaran sebanyak 14 ribu orang.
56
Kemudiandiikutiolehgurusenidangurubahasainggrisberturutturutsebesar9.172dan7.347
orangguru.

Pemenuhan Kebutuhan Guru

orang. Perhitungan guru ini didasarkan beban mengajar


guru yang terdapat pada kurikulum KTSP (Kurikulum
2006).

Kekurangan guru SMP terbesar terdapat pada guru


mata pelajaran sebanyak 14 ribu orang. Kemudian
diikuti oleh guru seni dan guru bahasa inggris berturut-
turut sebesar 9.172 dan 7.347 orang guru.

Jika perhitungan dibatasi pada SMP Negeri saja maka


kebutuhan guru ideal adalah sekitar 302.365 orang
guru. Guru yang tersedia adalah sekitar 374.011 orang
termasuk GTT yang berarti sekolah ini kelebihan guru
sekitar 71.646 orang. Jika GTT tidak dimasukkan dalam
perhitungan maka terdapat kekurangan guru sebesar
18.258 orang. Sama dengan Pendidikan SMP secara
keseluruhan, SMP Negeri mengalami kekurangan guru
mata pelajaran TIK, Seni dan Bahasa Inggris berturut-
turut sebanyak 13 ribu, 7 ribu dan 5 ribu orang.

c. Metode Perhitungan Kebutuhan Guru Tingkat SMA/


SMK/MA
Prinsip, metode dan rumus perhitungan kebutuhan
guru di SMA/SMK/MA tidak jauh berbeda dengan SMP/
MTs. Perhitungan didasarkan pada variabel rombongan
belajar yang terdapat pada SMA/SMK/MA serta beban
mengajar perminggu untuk guru tiap mata pelajaran.
Beban mengajar guru SMA/SMK/MA sama dengan
beban mengajar guru SMP/MTs yakni sebanyak 24
jam tatap muka perminggu sebagaimana diatur dalam
Permendiknas No. 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan
Beban Kerja Guru Dan Pengawas Tingkat Satuan
Pendidikan

57
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

d. Perhitungan Kebutuhan Guru Tingkat Kabupaten/Kota,


Provinsi dan Nasional
Perhitungan kebutuhan guru ditingkat Kabupaten/
Kota didasarkan pada perhitungan kebutuhan guru
di tingkat sekolah di jenjang pendidikan dasar dan
menengah. Kebutuhan guru pendidikan dasar dihitung
berdasarkan kebutuhan guru yang terdapat di seluruh
SD/MI dan SMP/MTs (Negeri dan Swasta) yang terdapat
di wilayah tersebut. Begitu juga dengan kebutuhan
guru pendidikan menengah juga didasarkan pada
penjumlahan kebutuhan guru diseluruh SMA/SMK/MA
diwilayah tersebut.

Perhitungan kebutuhan guru disemua jenjang


pendidikan selanjutnya dilakukan untuk perhitungan
kebutuhan guru ditingkat provinsi dan nasional.
Berdasarkan, hasil inilah kemudian kebutuhan guru
ditingkat nasional dapat diketahui.

Perhitungan kebutuhan guru sejauh didasarkan pada


jumlah rombel yang terdapat di sekolah. Dengan
demikian, perhitungan berdasarkan basis ini belum
memperhitungkan penduduk usia sekolah yang belum
atau putus sekolah. Oleh karena itu, untuk menghitung
kebutuhan guru ideal maka perlu dilakukan perhitungan
kebutuhan guru berdasarkan rasio guru murid pada
setiap jenjang pendidikan.

2. Perhitungan dan Proyeksi


a. Perhitungan dan Proyeksi Kebutuhan Guru SD
Perhitungan

58
Pemenuhan Kebutuhan Guru

Pada tahun 2013, Indonesia memiliki 1.404.298 orang


guru SD (Negeri dan Swasta). Kebutuhan guru ideal SD
ditaksir mencapai 1.391.079 orang. Dengan demikian
terdapat kelebihan guru SD sebanyak 13.219 orang1.

Meski jumlah guru SD berlebih, akan tetapi kelebihan


ini disebabkan karena adanya GTT (Guru Tidak Tetap).
Seharusnya, guru yang mengajar adalah guru PNS.
Guru PNS dan guru tetap yayasan berjumlah 946.595.
Sisanya, adalah 457.703 orang merupakan guru GTT
atau guru honorer. Jika guru honorer tidak dimasukan
dalam perhitungan kebutuhan guru, maka SD diseluruh
Indonesia kekurangan 444.484 orang.

Guru SD terdiri dari guru kelas, guru Penjas dan guru


Mulok. Di antara tiga kelompok guru, guru kelas
merupakan kelompok guru yang paling kurang jika
GTT tidak dimasukkan dalam perhitungan guru. SD dis
eluruh Indonesia kekurangan 282.224 orang guru kelas.
Sementara kekurangan guru Penjas dan guru Mulok
berturut-turut adalah sekitar 100.032 orang dan 62.228
orang. Kekurangan guru inilah yang wajib dipenuhi oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

b. Perhitungan dan Proyeksi Kebutuhan Guru SMP


Perhitungan

Berdasarkan prinsip dan metode perhitungan di atas


maka kebutuhan ideal guru SMP (tahun 2013) adalah
sekitar 401.115 orang. Dari kebutuhan ideal tersebut,
tersedia guru SMP sebanyak 500.548 guru termasuk
guru GTT. Jadi terdapat kelebihan guru sekitar 99.443
orang.

Sumber : Direktorat P2TK Ditjen Pendidikan Dasar Kemdikbud, 2014


1

59
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Jika GTT tidak dimasukkan dalam perhitungan maka


guru yang tersedia adalah sekitar 378.377 orang. Dengan
demikian terdapat kekurangan guru SMP sekitar 22.238
orang. Perhitungan guru ini didasarkan beban mengajar
guru yang terdapat pada kurikulum KTSP (Kurikulum
2006).

Kekurangan guru SMP terbesar terdapat pada guru


mata pelajaran sebanyak 14 ribu orang. Kemudian
diikuti oleh guru seni dan guru Bahasa Inggris berturut-
turut sebesar 9.172 dan 7.347 orang guru.

Jika perhitungan dibatasi pada SMP Negeri saja maka


kebutuhan guru ideal adalah sekitar 302.365 orang
guru. Guru yang tersedia adalah sekitar 374.011 orang
termasuk GTT yang berarti sekolah ini kelebihan guru
sekitar 71.646 orang. Jika GTT tidak dimasukkan dalam
perhitungan maka terdapat kekurangan guru sebesar
18.258 orang. Sama dengan Pendidikan SMP secara
keseluruhan, SMP Negeri mengalami kekurangan guru
mata pelajaran TIK, Seni dan Bahasa Inggris berturut-
turut sebanyak 13 ribu, 7 ribu dan 5 ribu orang.

c. Perhitungan dan Proyeksi Guru SMA/SMK


Perhitungan

Pada tahun 2013 terdapat 441.308 orang guru terdapat


di SMA dan SMK. Dari total guru tersebut, sebanyak
260.101 guru berada di SMA dan 181.207 berada di
SMK2. Berdasarkan status guru, sebanyak 151.660 guru
SMA adalah guru PNS. Sisanya, 108 441 guru berstatus

2
Sumber : Direktorat P2TK Ditjen Pendidikan Menengah Kemdikbud, 2014

60
Pemenuhan Kebutuhan Guru

non PNS. Sementara itu di SMK terdapat 77.078 guru


berstatus PNS Dan 104.129 guru berstatus non PNS.

Perhitungan kebutuhan guru ideal seperti perhitungan


kebutuhan guru ideal ditingkat SD dan SMP pada bagian
sebelumnya tidak diperoleh. Sebagaimana diketahui,
bahwa perhitungan kebutuhan guru ideal pada jenjang
SD dan SMP didasarkan pada data kebutuhan guru di
tingkat sekolah. Sementara itu, data siswa, rombel dan
guru berada pada Dapodikmen dan sampai tulisan ini
dibuat belum bisa diperoleh.

Akan tetapi, berdasarkan pernyataan publik Dirjen


Pendidikan kebutuhan guru ditingkat SMA dan SMK
untuk pemenuhan PMU adalah sebesar 12 ribu setiap
tahunnya. Perhitungan ini didasarkan pada asumsi satu
guru akan mengajar dua mata pelajaran. Pasalnya, jika
satu guru mengajar satu mata pelajaran, jumlahnya
akan melonjak drastis dan pemerintah akan kesulitan
memenuhinya3.

Proyeksi

Untuk melihat berapa jumlah guru yang dibutuhkan


di masing-masing jenjang pendidikan maka perlu
dilakukan proyeksi kebutuhan guru mulai dari tahun
2015 sampai dengan 2030. Proyeksi tidak dilakukan
dengan menggunakan rumus perhitungan guru yang
telah dilakukan pada bagian sebelumnya. Alasannya
adalah keterbatasan akses data guru dan murid di setiap
satuan pendidikan. Sebagaimana diketahui perhitungan
kebutuhan guru pada bagian sebelumnya didasarkan

Sumber:
3
(http://bola.kompas.com/read/2012/09/04/16132399/Untuk.
PMU.Butuh.Minimal.12.000. Guru.SMA/SMK).

61
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

pada perhitungan data Dapodik, baik Dapodikdas


ataupun Dapodikmen, yang memiliki data berbasis
sekolah.

Proyeksi kebutuhan guru selama 15 tahun kedepan


didasarkan pada asumsi :
1). Seluruh penduduk usia sekolah mengikuti seluruh
satuan pendidikan di tiap jenjang pendidikan.
Dengan kata lain, proyeksi mengasumsikan APS
(Angka Partisipasi sekolah) dan APM (Angka
Partisipasi Murid) masing-masing kelompok umur
dan jenjang pendidikan adalah 100 persen setiap
tahun pada periode proyeksi.
2). Pertumbuhan penduduk pada masing-masing
kelompok usia memiliki pertumbuhan sebesar 2,5
persen
3). Rasio guru murid konstan setiap tahunnya dan
memiliki nilai berbeda antar jenjang satuan
pendidikan.

Kebutuhan guru setiap tahunnya dihitung berdasarkan


jumlah penduduk dikelompok usia tertentu dibagi
dengan rasio guru murid.

Berdasarkan perhitungan ini maka diperoleh proyeksi


kebutuhan guru untuk masing-masing satuan
pendidikan selama 15 tahun kedepan.

Berdasarkan perhitungan proyeksi maka, pada tahun


2015 terdapat kebutuhan guru SD/MI sebanyak 1,95
juta guru. Jumlah kebutuhan ini terus meningkat
menjadi 2,82 juta pada tahun 2030. Sementara itu pada
jenjang SMP/MTs, kebutuhan guru jika APS atau APM
100 persen pada tahun 2015 dibutuhkan guru sebanyak

62
Pemenuhan Kebutuhan Guru

1,21 juta orang. Kebutuhan ini meningkatn menjadi


2,75 juta orang guru pada tahun 2030.

Begitu juga dengan jenjang pendidikan menengah


(SMA/SMK/MA). Untuk mencapai APS atau APM 100
persen maka dibutuhkan guru sebanyak 1,03 juta orang
pada tahun 2015. Nilai ini terus meningkat menjadi 1,49
juta orang pada tahun 2030.

C. Faktor yang menentukan pemenuhan kebutuhan guru


Pendidikan Dasar

Analisis dan proyeksi kebutuhan guru sebelumnya


mengungkapkan betapa besarnya jumlah guru yang harus
disediakan oleh pemerintah pusat dan daerah serta swasta
untuk menuntaskan wajib belajar 12 tahun. Hal ini tidaklah
mudah karena banyak faktor dan tantangan menyediakan
guru dalam jumlah besar dan mendistribusikannya keseluruh
wilayah Indonesia.

Apa saja masalah dan faktor yang mempengaruhi pemenuhan


kebutuhan guru untuk pemenuhan wajib belajar 12 tahun?
Beberapa faktor menentukan pemenuhan kebutuhan guru
dijenjang pendidikan dasar :

1. Belum tersedianya data yang akurat tentang guru4. Meski


bagian sebelumnya telah dijelaskan analisis dan proyeksi
kebutuhan guru akan tetapi perhitungan tersebut masih
didasarkan pada data makro. Dibutuhkan pemutakhiran
data guru dimasing-masing satuan pendidikan pada setiap
jenjang untuk memastikan bahwa satuan pendidikan
tersebut telah memiliki guru sesuai dengan standar.

4
Kegagalan Pemerataan Guru, Febri Hendri AA dkk, 2014, ICW)

63
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Kemdikbud telah memiliki sistem pendataan guru yang


terdapat dalam Dapodik (Data Pokok Pendidikan). Sistem
ini telah memiliki data guru dan bahkan siswa dimasing-
masing sekolah. Dapodik dapat menentukan kebutuhan
guru berdasarkan rumus perhitungan kebutuhan guru
yang terdapat pada bagian sebelumnya. Tidak hanya itu,
Dapodik juga dapat mengidentifikasi apakah seorang guru
pada sebuah tingkat SMP dan SMA dapat memenuhi beban
kerja minimal sebesar 24 jam tatap muka perminggu. Jika
tidak terpenuhi Dapodik juga bisa menyarankan satuan
pendidikan mana yang dapat digunakan guru tersebut
untuk mengajar sehingga beban kerja 24 jam tata muka
perminggu dapat terpenuhi.

Meski telah ada Dapodik, namun akurasi data ini sangat


bergantung pada pemutakhiran data oleh pihak sekolah
dan pemerintah daerah. Jika pihak sekolah dan pemerintah
daerah selalu memutakhiran data siswa, rombel dan guru
dengan baik maka akurasi data Dapodik akan lebih tinggi
dan dapat diandalkan. Akan tetapi, jika pemutakhiran data
terlambat atau tidak pernah dilakukan sama sekali maka
Dapodik sulit diandalkan untuk dijadikan sebagai basis
perhitungan kebutuhan guru.

Permasalah di tingkat sekolah adalah tidak adanya tenaga


yang dapat diandalkan untuk memperbarui data Dapodik. Di
sekolah terpencil misalnya sekolah tidak dapat mengupdate
data karena akses terhadap listrik atau internet. Oleh karena
itu, perkembangan data siswa dan guru di sekolah terpencil
bergantung pada data yang diberikan sekolah tersebut pada
Dinas Pendidikan di tingkat kecamatan atau kabupaten/
kota.

Permasalahan lain terkait dengan update data Dapodik juga


terletak pada persinggungan kepentingan daerah dan guru.

64
Pemenuhan Kebutuhan Guru

Dapodik dapat dijadikan ukuran dalam menentukan apakah


guru telah memenuhi kriteria layak penerima sertifikasi.
Kriteria ini didasarkan pada ukuran 24 jam tatap muka per
minggu. Besarnya kepentingan guru dan pemerintah daerah
akan hal ini maka seringkali mereka menghindari mengisi
atau mengupdate perkembangan data pada Dapodik.

2. Hal lain yang penting dalam pemenuhan kebutuhan guru


dalam mencapai target wajib belajar 12 tahun adalah
penataan dan pemerataan guru. Jika rekrutmen guru
dipaksakan pada kondisi guru tidak merata maka yang
akan terjadi adalah inefisiensi guru pada sekolah tertentu
terutama sekolah perkotaan.
Sebagaimana diketahui, bahwa distribusi guru Indonesia
terutama di jenjang pendidikan dasar tidak merata baik
antar sekolah maupun antar daerah. Guru lebih banyak
mengajar sekolah didaerah perkotaan dan cenderung
menghindari mengajar disekolah pedesaan. Mengajar
disekolah pedesaan, terpencil dan jauh dari keluarga
dianggap sebagai pembuangan, sanksi dan memberatkan
bagi guru senior.

Terdapat 11 persen guru PNS di SD dan 27 persen guru


SMP yang harus dipindahkan dari sekolah dia mengajar ke
sekolah lain yang kekurangan guru5. Hal ini menunjukkan
bahwa manajemen sistem guru masih belum efektif
dan berpotensi memicu efisiensi jika pemerintah tetap
memaksakan merekrut guru PNS dalam kondisi seperti ini.

Tidak meratanya ketersediaan guru antar sekolah dalam


kecamatan, kabupaten/kota atau antar provinsi telah
menjadi dilema tersendiri dalam perhitungan kebutuhan

5
Memperkuat Manajemen Guru untuk Meningkatkan Efisiensi dan Manfaat
Belanja Publik, Naskah Kebijakan El Samaray dkk, Bank Dunia 2013)

65
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

guru. Perhitungan guru yang didasarkan pada jumlah guru


dibagi dengan rasio murid justru akan memicu efisiensi
anggaran karena banyak guru disekolah kelebihan guru
terutama sekolah perkotaan yang tidak akan dapat
memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka per minggu.
Dengan kata lain, rekrutmen di tengah buruknya distribusi
guru adalah sebuah pemborosan anggaran.

3. Pemerintah belum mampu menyediakan alokasi anggaran


untuk merekrut guru PNS lebih banyak. Sebagaimana
diketahui, rekrutmen guru CPNS mewajibkan pemerintah
untuk mengalokasikan dana untuk membayar gaji,
tunjangan dan pensiun guru tersebut. Untuk mencapai agar
wajib belajar 12 tahun terpenuhi ditahun 2015 misalnya
dibutuhkan guru PNS sebanyak 2,67 juta orang. Jumlah
kebutuhan ini meningkat menjadi 4,05 juta orang guru pada
tahun 20306.
Kalau seorang guru diasumsikan mendapatkan gaji dan
tunjangan serta iuran pensiun sebesar Rp 3 juta per bulan,
maka dibutuhkan alokasi dana sebesar Rp 36 juta untuk
guru tersebut selama setahun. Jika seluruh guru direkrut
dan dibiayai negara maka dibutuhkan anggaran sebesar Rp
96 triliun untuk membayar gaji dan tunjangan guru selama
tahun 2015. Nilai ini menjadi meningkat menjadi Rp 145
triliun pada tahun 2030 untuk membiayai gaji, tunjangan
dan pensiun serta asumsi pendapatan paling rendah.

Estimasi ini belum memperhitungkan tunjangan sertifikasi


guru. Jika tunjangan ini diberikan maka alokasi anggaran
untuk membiayai guru dan menyukseskan wajib belajar
menjadi dua kali lipat. Nilai ini tentu berat bagi pemerintah
yang seringkali menghadapi kesulitan pendanaan dalam
belanja negara. Oleh karena itu, pemerintah belum mampu

6
Kegagalan Pemerataan Guru, Febri Hendri AA dkk, ICW 2014)

66
Pemenuhan Kebutuhan Guru

menyediakan guru untuk menyukseskan wajib belajar 12


tahun karena membutuhkan biaya yang tinggi.

Akibatnya, rekrutmen guru menjadi terbatas. Pemerintah


hanya mampu menyediakan rekrutmen CPNS guru sebesar
10 persen dari total kebutuhan sekolah saat itu dan
bukan total kebutuhan untuk mewajibkan seluruh warga
negara mengikuti pendidikan sampai jenjang pendidikan
menengah.

4. Akibat rendahnya kuota rekrutmen CPNS diberikan


pemerintah mengakibatkan sekolah mengalami kekurangan
guru. Kekurangan ini harus diatasi oleh sekolah atau
pemerintah daerah agar guru tersedia di masing-masing
sekolah sesuai standar. Untuk mencapai hal tersebut pihak
sekolah akhirnya merekrut guru honorer atau guru tidak
tetap untuk mengisi kekosongan tersebut.

Pada awalnya, pengisian kekosongan tenaga pendidik di


sekolah kekurangan guru memang mengatasi masalah
dengan baik. Akan tetapi, rekrutmen guru honorer telah
membawa dampak buruk terhadap sistem manajemen
guru.

Hal ini terjadi lantaran guru honorer direkrut tidak


sepenuhya kebutuhan guru akan tetapi disebabkan karena
faktor lain seperti faktor kekerabatan, pertemanan atau
balas budi kepala daerah pada tim suskses dalam pilkada.
Selain itu, guru honorer masih dinilai masyarakat sebagai
batu loncatan untuk menjadi guru CPNS. Mereka rela digaji
seadanya dengan harapan suatu hari kedepan pemerintah
berbaik hati merekrut mereka menjadi CPNS.

Rekrutmen guru honorer juga didukung oleh penyediaan


angaran dana operasional pendidikan yang berasal
dari pemerintah pusat dan daerah. Penggunaan dana

67
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

operasional untuk membayar honor para guru tersebut.


Pihak sekolah seakan mendapat dukungan merekrut dan
mampu membiayai para guru honorer untuk mengisi
kekosongan guru disekolah mereka.

Pemerintah pusat patut disalahkan terkait rekrutmen guru


honorer di berbagai sekolah. Hal ini disebabkan karena
pemerintah pusat tidak konsisten dengan kebijakan yang
telah dibuatnya. Pemerintah pusat misalnya, telah melarang
adanya rekrutmen tenaga honorer di berbagai instansi
pemerintah pusat dan daerah sejak tahun 2006. Namun,
pelarangan ini tidak disertai dengan solusi yang konkrit.
Seharusnya pemerintah pusat mengalokasikan dana untuk
membiayai rekrutmen guru CPNS untuk menggantikan
posisi guru honorer. Tanpa pengisian kekosongan ini pihak
sekolah tidak dapat menyediakan guru bagi pelayanan
pendidikan di sekolah. Hal ini berakibat pada kemauan
siswa untuk mau mengikuti pelajar di sekolah tersebut.

5. Faktor lainnya yang juga menentukan keberhasilan wajib


belajar 12 tahun adalah tingkat ketidakhadiran guru
disekolah. Meski guru sudah berhasil direkrut dan cukup
tersedia disekolah, namun ternyata tidak semua guru hadir
didepan kelas mengajar maka hal tersebut juga berdampak
terhadap kehadiran siswa7. Siswa menjadi malas belajar
atau tidak mau datang ke sekolah dan pada akhirnya putus
sekolah.
Ketidakhadiran guru didepan kelas disebabkan karena
berbagai faktor seperti jenis kelamin, lama guru mengajar,
dan moda transportasi yang digunakan guru kesekolah.
Guru laki-laki memiliki peluang 1,5 kali lebih besar tidak
hadir ke sekolah. Begitu juga dengan guru senior dan guru

7
Studi Ketidakhadiran Guru Disekolah, Phillip Mc Kenzie dkk ACER dan
SMERU 2014)

68
Pemenuhan Kebutuhan Guru

yang baru direkrut. Guru yang baru direkrut memiliki lebih


besar peluangnya hadir didepan kelas dibanding dengan
guru senior. Dan guru yang menggunakan transportasi
sepeda, jalan kaki, atau publik memiliki peluang kehadiran
dua kali lebih besar dari guru yang menggunakan kendaraan
pribadi ke sekolah.

D. Kesimpulan dan Rekmendasi

Kesimpulan

Kebutuhan guru dijenjang pendidikan dasar dan menengah terus


meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2030 kebutuhan guru
PNS dan guru tetap yayasan untuk semua jenjang pendidikan
mencapai 4,05 juta orang. Jumlah ini untuk mengantisipasi
agar angka partisipasi pendidikan, APS dan APM, mencapai 100
persen atau dengan kata lain, program wajib belajar 12 tahun
dapat berjalan dengan baik.

Pemenuhan kebutuhan tersebut sangat sulit dipenuhi karena


alasan ketersediaan anggaran yakni masih belum optimalnya
pendataan guru, distribusi guru belum merata, sekolah masih
merekrut guru honorer atau tenaga kontrak, pemerintah
kurang memiliki alokasi dana untuk membayar gaji, tunjangan,
dan pensiun guru. Selain itu, ketidakhadiran guru disekolah juga
ditenggarai menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya
pencapaian target wajib belajar 12 tahun tersebut.

Dibutuhkan konsensus bersama antara guru dan pemerintah


terkait dengan hal ini. Dari sisi pemeritah, jika mengurangi
kriteria 24 jam tatap muka akan meningkatkan kebutuhan guru
nasional. Peningkatan guru ini berarti membutuhkan anggaran
yang besar pula.

69
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Terlepas dari masalah tersebut, sebagaimana diamanatkan


oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas, pemerintah pusat dan
daerah memiliki kewajiban untuk membiayai kebutuhan ini.
Jika hal ini tidak terpenuhi maka pemerintah berada pada posisi
mengabaikan UUD 1945 dan juga UU Sisdiknas karena tidak
mampu menyediakan guru bagi seluruh sekolah untuk rakyat
Indonesia usia sekolah.

Rekomendasi

Untuk mencapai wajib belajar 12 tahun terutama pada aspek


penyediaan guru, ada beberapa rekomendasi:

1. Pemerintah pusat dan daerah harus mengoptimalkan


pendataan guru di seluruh satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah
2. Optimalisasi penggunaan data guru ditujukan untuk menata
dan meredistribusi guru sehingga manajemen guru menjadi
lebih efisien.
3. Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran yang cukup
untuk menyediakan guru sesuai standar dimasing-masing
sekolah. Dan secara bertahap mengurangi keberadaan GTT
di sekolah dengan melakukan pemerataan dan rekrutmen
guru.
4. Dibutuhkan regulasi yang mengatur insentif dan insentif
terkait dengan kehadiran guru disekolah. Ketidakhadiran dan
kehadiran guru diyakini berpengaruh terhadap kehadiran
siswa kesekolah. Pada gilirannya akan mempengaruhi
partisipasi pendidikan dan pencapaian target wajib belajar
12 tahun.

70
Peran Pendidikan
Non Formal
dalam Pemenuhan Wajib Belajar 12 Tahun

K
esuksesan pemerintah dalam program buta aksara dan
pendidikan di level sekolah dasar dan menengah pertama
(SMP), ternyata tidak berbanding lurus pada level menengah
atas (SMA). Hal ini bisa dilihat pada upaya pemerintah untuk wajib
belajar (WAJAR) 12 tahun hingga 2015 masih di angka 61.65 persen.

Tulisan ini akan memusatkan perhatian dan analisis pada penggalian


peranan pendidikan non formal dalam mendorong tercapainya
Wajib Belajar 12 tahun, analisis persoalan, strategi pemerintah, dan
contoh pendidikan non formal paket yang berbasis mutu. Tulisan
akan ditutup dengan rekomendasi penting bagi Pemerintah.

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) saat ini berjumlah 9.430


(Sembilan ribu empat ratus tiga puluh) unit. Yang menjadi masalah
adalah bagaimana sumbangan PKBM dalam penuntasan WAJAR 12
Tahun hingga 2030?
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

A. Dasar Regulasi

Ada beberapa hal yang mendukung WAJAR 12 tahun. Dari


regulasi, Wajar 12 tahun didukung melalui Konsitusi, dan
berbagai produk perundang-undangan yang relevan dengan
pendidikan, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak no
23/2002 (yang kemudian direvisi UU no 35/2014), Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.

Kumpulan peraturan tersebut ternyata belum dapat


mewujudkan harapan wajib belajar 12 tahun, karena persentasi
masih di 61.65 persen. Untuk menuntaskan target program 12
tahun harus ada kerjasama serius antara program pendidikan
formal dalam hal ini SMA/SMK/MA dengan program pendidikan
non formal.

Dalam Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan


Anak, yang kemudian direvisi UU no 35/2014 tentang Hak dan
Kewajiban anak disebutkan bahwa:

1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang,


dan berpartisipasi serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri
dan status kewarganegaraan.
3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya,
berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan
dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
5. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan
dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual, dan sosial.

72
Peran Pendidikan Non Formal

6. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan


pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya
7. Khusus bagi anak yang menyandang disabilitas juga berhak
memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak
yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan
pendidikan khusus

Faktanya, apa yang ada di dalam Undang-Undang tidaklah secara


otomatis terjadi di dalam kenyataan. Data Badan Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional
menunjukkan jumlah anak putus sekolah di Indonesia terus
meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006 jumlahnya
899.786 anak. Setahun kemudian bertambah sekitar 20 persen
menjadi 899.986 anak dari jumlah penduduk kelompok sekolah
yang bersekolah 55,318,077 anak.

Data tahun 2012 jumlah siswa yang berumur 7 12 tahun


yang tidak sekolah ada sejumlah 2.12 atau sebesar 2.000.000
(dua juta) anak. Ini akan menjadi semakin besar jika umurnya
dinaikan hingga berumur 15 (lima belas) tahun yang tidak
sekolah yaitu sebesar 10.48 persen atau 2 juta anak plus 280
ribu. Kondisi anak usia sekolah kita memang masih di bawah
rata-rata jika dilihat dari score HDI

73
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, untuk program


Wajar 9 Tahun Angka Partisipasi Kasar kita baru sebesar 98,11
persen atau 12,7 juta anak. Realisasi data UNICEF menyebutkan
dalam 20 tahun terakhir rasio bersih anak usia sekolah di tanah
air mencapai 94 persen. Meski demikian, di tanah air hingga
kini masih sangat banyak anak-anak usia 7-15 tahun atau usia
sekolah yang belum sempat mengenyam pendidikan.

Tingginya anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan


angka putus sekolah di tanah air membuat tingkat Indonesia
turun dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua
(education for all) dari badan dunia yang mengurusi pendidikan,
UNESCO. Tahun 2011 sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen
dari 31,5 juta anak sekolah dasar putus sekolah. Kondisi
demikian membuat peringkat Indonesia turun ke posisi 69 dari
127 negara. Tahun lalu peringkat Indonesia ada pada posisi 65.
Faktor lain adalah tingginya angka buta huruf nasional yang
masih lebih tinggi dari 7 persen turut mempengaruhi peringkat
Indonesia.

Kondisi APS dapat digambarkan sebagai berikut:

74
Peran Pendidikan Non Formal

Menurut data terbaru dari Kemdikbud pada 2014, jumlah siswa


putus sekolah setiap tahun ada sekitar 4,5 juta. Dari jumlah
ini, ada 1,6 juta siswa SMA yang putus sekolah. Situasi ini
tentu saja sangat memprihatinkan. Harus ada intervensi untuk
mengembalikan mereka dalam proses pendidikan.

B. Model Pendidikan Non Formal

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional pasal 13 menjelaskan bahwa jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan
informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Ketiga jalur pendidikan tersebut satu kesatuan sub sistem untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan formal yaitu pendidikan yang dilaksanakan


terstruktur dan berjenjang serta ketat. Pendidikan informal
adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman
sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, sejak seseorang
lahir sampai mati, di dalam keluarga, dalam pekerjaan atau
pengalaman sehari-hari. Sementara pendidikan nonformal
adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Menurut Hamojoyo, pendidikan nonformal adalah usaha


yang terorganisir secara sistematis dan kontinyu di luar sistem
persekolahan melalui hubungan sosial untuk membimbing
individu, kelompok, dan masyarakat agar memiliki sikap dan
cita-cita sosial (yang efektif) guna meningkatkan taraf hidup
di bidang materiil, sosial, dan mental dalam rangka usaha
mewujudkan kesejahteraan social (Hasbullah, 2015:134).

Pasal 26, ayat 2 UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pendidikan


non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik

75
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan


keterampilan fungsional. Ini berarti bahwa pendidikan non
formal mendapatkan keleluasaan untuk mengembangkan
SDM masyarakat dan memasyarakatkan budaya baca dalam
memperkuat dan meningkatkan kualitas pengetahuan dan
keterampilan yang berguna untuk kehidupan masyarakat.

Pendidikan luar sekolah diadakan untuk memenuhi kebutuhan


masyarakat (di luar sistem pendidikan formal). Yang ingin
dihasilkan adalah agar proses pendidikan luar sekolah (PLS)
dapat diterapkan. Ini berarti PLS seharusnya menunjang
proses kehidupan sosial seseorang di dalam masyarakat. Hasil
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi
warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap
pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,


lembaga pelatihan kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan
yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan untuk
memberikan bekal ketrampilan dan kecakapan hidup, dan
untuk mengembangkan diri. Lembaga pendidikan nonformal
seringkali muncul dan berkembang karena adanya kebutuhan
akan pentingnya pendidikan dan pengetahuan yang kian pesat
dan kompleks.

Pendidikan nonformal muncul karena tidak tersedianya jenis


program pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan melalui jalur
pendidikan formal. Karena itu, program Pendidikan Nonformal

76
Peran Pendidikan Non Formal

(PNF) diarahkan untuk memberikan pelayanan pendidikan


(dalam rangka pemeratan dan percepatan wajib belajar
pendidikan dasar) kepada masyarakat yang belum sekolah,
putus sekolah dan buta aksara, agar memiliki kemampuan
untuk mengembangkan potensi diri dengan penekanan pada
penguasaan pengetahuan, ketrampilan dan sikap kepribadian
mandiri.

Program Pendidikan Nonformal (PNF) diarahkan untuk


memberikan pelayanan pendidikan (dalam rangka pemeratan
dan percepatan wajib belajar pendidikan dasar) kepada
masyarakat yang belum sekolah, putus sekolah, dan buta
aksara, agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan
potensi diri dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap kepribadian mandiri. Sebagian dari
program pendidikan luar sekolah dapat digunakan sebagi
alternatif solusi untuk mengurangi angka anak putus sekolah.

Ayat 3 Pasal 26 dalam UU Sisdiknas menyatakan, bahwa


pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan,
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik. Jenis pendidikan non formal yang
dikembangkan dan dilaksanakan begitu luas dan beragam. Ini
memungkinkan masyarakat mengakses program pendidikan
non formal sesuai dengan kebutuhan aktual dan potensi yang
dimiliki oleh masing-masing warga belajar, termasuk juga dalam
memasyarakatkan budaya baca lewat program pendirian Taman
Bacaan Masyarakat (TBM).TBM ini memiliki kontribusi sangat
apik dalam menurunkan tingkat buta huruf di Indonesia yang
dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut

77
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Masing-masing jenis program dikembangkan sesuai dengan


tuntutan permintaan masyarakat. Program-program tersebut
dikuatkan lagi dengan wadah lembaga pendidikan non formal
seperti dinyatakan pada ayat 4,yaitu bahwa satuan pendidikan
non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis.

Kegiatan kursus dan pelatihan juga dikembangkan agar individu


mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Pasal 26 ayat 5 menyatakan bahwa kursus dan pelatihan
diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, dan
usaha mandiri, dan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi.

Sumber hukum rujukan untuk Pendidikan Non Formal, selain


UU Sisdiknas adalah (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar

78
Peran Pendidikan Non Formal

Pendidikan Dasar. (3) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun


2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
(4) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun
2010 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Direktorat
Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal.
(5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 49 Tahun
2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan
Pendidikan Nonformal

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) didesain sebagai


tempat belajar yang lebih fleksibel tidak seperti sekolah formal
yang ketat dan juga informal yang hampir tidak memiliki
desain. PKBM memiliki waktu yang tidak terlalu ketat terhadap
pelaksanaan pembelajaran. PKBM didirikan oleh masyarakat
dan langsung dimanfaatkan oleh masyarakat. Fungsi PKBM
selain sebagai pusat tempat pembelajaran, juga sebagai wadah
berdirinya TBM. Integrasi tempat tersebut diharapkan mampu
membangun kesadaran masyarakat untuk membudayakan
membaca.

Sasaran PNF adalah mereka yang masih membutuhkan


tambahan pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan
dirinya sesuai dengan motto pendidikan seumur hidup (lifelong
education). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan non formal
menawarkan kesempatan yang sebaik mungkin kepada semua
usia dalam mengembangkan potensinya. Oleh karena itu
pendidikan non formalyang termasuk di dalamnya pendidikan
kepemudaan berperan dalam memberikan pelayanan
pendidikan dalam rangka pembangunan bangsa dan melakukan
pendidikan bagi warga masyarakat sebagai investasi sumber
daya manusia pada pembangunan nasional di masa yang akan
datang

Keterlibatan pemuda dan masyarakat umumnya dalam


pembangunan sebuah sistem pendidikan sebagai penyeleng

79
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

garan masih rendah. Padahal perubahan pola pikir dan


paradigma bahwa pendidikan itu penting sebagai bekal masa
depan bangsa perlu dilakukan.

Adapun keterlibatan secara langsung unsur masyarakat dalam


menyelenggarakan proses pendidikan yang berbasis masyarakat
dapat dilakukan dengan mendirikan dan menyelenggarakan
satuan pendidikan nonformal yang dikelola dan dikembangkan
sendiri oleh masyarakat dan bekerjasama dengan pemerintah
melalui satuan kerja pendidikan nonformal dan informal.

Implementasi pendidikan nonformal di Indonesia sangat


beragam, mulai dari usia tingkat prasekolah, pada umur
produktif masa sekolah, sampai pada konsep pendidikan
sepanjang hayatlife long education.

Pendidikan nonformal memiliki peran penting dalam


menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan dan
pendidikan di Indonesia, khususnya pada hal yang bersifat
praktis dan mudah untuk diaplikasikan. Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM) merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari keberadaan Pendidikan Nonformal di Indonesia.
Perkembangan dan pertumbuhan PKBM di lapisan masyarakat
dewasa ini telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Hal ini dapat dilihat dari maraknya ijin yang diajukan kepada
Dinas Pendidikan melalui Bagian Pelaksana Pendidikan Luar
Sekolah untuk mendirikan dan mengembangkan satuan
pendidikan nonformal sejenis PKBM dengan karakteristik
yang berbeda-beda pada tiap PKBM yang akan didirikan
tersebut. Namun, kesamaan yang pada umumnya muncul
adalah kekhawatiran pada pendiri dan penyelenggara PKBM
terhadap tingginya angka putus sekolah yang salah satu
imbas dari pelaksanaan Ujian Nasional. Hal lain yang menjadi
pemicu berdiri dan berkembangnya PKBM yaitu rendahnya
minat masyarakat awam untuk melanjutkan pendidikan formal

80
Peran Pendidikan Non Formal

ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga dengan keberadaan


PKBM dapat menjembatani masyarakat awam yang hendak
melanjutkan pendidikan (kesetaraan) ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Program yang ada dalam Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM) yaitu: Kegiatan PAUD (Pendidikan
Anak Usia Dini), Kelompok Belajar Paket A setara SD, Kelompok
Belajar Paket B setara SMP, dan Kelompok Belajar Paket C setara
SMA, Kegiatan kursus

C. Faktor Penyebab Pemenuhan Wajar 12 Tahun

Kondisi jumlah anak yang putus sekolah hingga 2015 adalah


sebesar 4.489.000. Dari jumlah itu, 1,6 juta di antaranya
adalah siswa usia sekolah menenang. Penyebab mereka tidak
melanjutkan pendidikan tidaklah hanya semata-mata ekonomi.
Penyebab anak putus sekolah digolongkan dalam dua kategori
yaitu:

1. Faktor internal
a) Tidak ada motivasi diri untuk melanjutkan lebih tinggi.
b) Malas untuk pergi sekolah karena merasa minder atau
karena adanya ejekan dari teman lainnya.
c) Tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan
sekolahnya baik saat berinteraksi dengan siswa lain,
menjalin komunikasi, berteman, maupun saat bercanda
bersama.
2. Faktor eksternal :
a) Faktor ekonomi keluarga. Kebiasaan keluarga dengan
kondisi ekonomi menengah ke bawah menyuruh
atau melibatkan anak untuk bekerja dalam rangka
menambahincomekeluarga.

81
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

b) Faktor geografis terkait akses, di mana jarak antara


rumah tempat tinggal dengan sekolah yang cukup jauh,
sehingga menyebabkan anak sering terlambat, bolos
dan malas masuk sekolah dan akhirnya menjadi putus
sekolah. Hal ini terutama pada daerah yang luas, di
mana tempat tinggal penduduk tersebar pada berbagai
pelosok, menurut data tahu 2012 menunjukkan bahwa
35% siswa SLTA (SMA/SMK/MA) menempuh perjalanan
4 (empat) kilometer lebih dari rumah kesekolahnya
c) Faktor sosial-budaya masyarakat, terutama kepercayaan
kalau anak perempuan tidak perlu sekolah lebih tinggi.
d) Hubungan orang tua kurang harmonis. Hubungan
keluarga tidak harmonis dapat berupa perceraian
orang tua, hubungan antar keluarga tidak saling
peduli. Keadaan ini merupakan dasar anak mengalami
permasalahan yang serius dan hambatan dalam
pendidikan sehingga mengakibatkan anak mengalami
putus sekolah.
e) Perhatian orang tua yang kurang peduli pada anak yang
efeknya misalnya terjadi kenakalan remaja sehingga
diberhentikan atau putus sekolah.
f) Suasana sekolah yang tidak nyaman dan tidak
memberikan motivasi yang efektif kepada siswa yang
mempunyai potensi untuk putus sekolah, misalnya
hukuman bagi anak yang sudah menikah dikeluarkan
dari sekolah
g) Pengaruh lingkungan pergaulan. Ada juga siswa yang
putus sekolah karena ikut-ikutan dengan teman yang
telah labih dahulu putus sekolah. Apa lagi bila melihat
teman yang putus sekolah terlibat dalam suatu
pekerjaan yang menghasilkan uang maka ia akan ikut
teman tersebut.

82
Peran Pendidikan Non Formal

h) Masalah relevansi, yaitu lemahnya pendidikan


kita dalam membangun relasi dengan dunia kerja
yang dikenal dengan DUDI (Dunia usaha dan Dunia
Industri). Ini membuat orang tua tidak percaya untuk
menyekolahkan hingga level SMA

Penyebab anak putus sekolah bisa bervariasi, mulai dari


masalah sosial budaya, geografis dan ekonomi. Faktor sosial
budayaantara lain motivasi rendah, menjaga adik, malu, tidak
naik kelas dan nikah muda. Dari faktor geografis antara lain
daerah perbukitan dan jarak sekolah yang jauh dari rumah.
Dari faktor ekonomi antara lain tidak ada biaya, bekerja,
membantu orang tua.

Dilihat dari harapan pemerintah dalam Rencana Strategis 2015-


2019 yang ditetapkan oleh Permendikbud No. 22 tahun 2015
di mana Harapan angka putus sekolah khusus SMA dan Paket
C dari 1.20 persen di tahun 2015 menjadi 0.80 persen di 2019
dan dikuatkan dengan target pemerintah angka siswa SMP yang
melanjutkan sekolah ke jenjang SMA dan sederajat adalah dari
81.50 persen di tahun 2015 menjadi 88.00 di 2019, dibutuhka
strategi khusus untuk mencapai itu.

D. Harapan pada Pendidikan Non Formal

Semangat untuk mewujudkan APK SMA/SMK/MA 55 persen


pada tahun 2014 menjadi 67 persen pada tahun 2019 bahkan
pada tahun 2020 ditargetkan 94 persen memang tidaklah
gampang. Apalagi jika hanya mengandalkan sekolah formal.

Keterlibatan pendidikan non formal melalui PKBM dengan


program paket C jelas menjadi kebutuhan karena APK SMA
Sederajat termasuk Paket C pada 2015 berada pada posisi

83
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

75.70 persen dan akan ditargetkan pada 2019 menjadi 85.71


persen. APM untuk SMA Sederajat termasuk Paket C juga ingin
ditingkatkan dari 61.65 persen di tahun 2015 menjadi 67.50
persen pada 2019.

PKBM yang melaksanakan program paket C hingga 2015 telah


mampu mendampingi jumlah peserta PKBM paket C sebanyak
25.200 dan harapannya akan ada 429.611 jumlah siswa di tahun
2019. Untuk itu, pemerintah perlu membuat program yang
menargetkan bahwa di setiap kecamatan ada minimal satu
PKBM untuk melaksakan paket C. Keberadaan PKBM di tahun
2015 hanya 7.5 persen dari kabupaten/kota yang ditargetkan
menjadi 15.6 persen di tahun 2019.

Target jumlah kuantitatif PKBM hingga 2019 memang penting


untuk menjamin akses agar siswa yang tidak selesai SMA
sederajat dapat mengikuti program paket C. Namun ini harus
juga diimbangi dengan mutu pelayanannya, yaitu meningkatnya
jumlah PKBM yang akan diakreditasi dari 223 di tahun 2015
menjadi 1.445 di 2019

Dalam memenuhi kebutuhan peningkatan mutu tata kelola,


pemerintah membuat sistem pendataan online bagi lembaga
PKBM dengan jalur atau prosedur sebagai beikut

84
Peran Pendidikan Non Formal

Dengan melihat kondisi pemenuhan WAJAR 12 tahun di atas


maka diperlukan pola strategi kontribusi pendidikan non formal
dalam hal ini PKBM sebagai berikut:

1. Pemerintah mendukung dan bantuan finansial bagi yang


mendirikan PKBM misalnya dengan memberikan stimulus
bantuan operasional 50 juta bagi masing-masing PKBM.
Dengan rincian sebagai berikut

No Program Operasional PKBM Unit Cost


1 Pengembangan Kurikulum PKBM 5,000,000
2 Perbaikan Sarana & Prasarana 15,000,000
3 Kebutuhan Dan Tunjangan Guru 17,500,000
4 Akuntabilitas Keuangan 2,500,000
5 Aktifitas Kesiswaan 5,000,000
6 Komite PKBM 2,500,000
7 Kerjasama Dengan Dunia Bisnis & Industri 2,500,000
50,000,000

85
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

2. Jika pemerintah dalam kebijakan KIP (Kartu Indonesia


Pintar) untuk level SMA sederajat menganggarkan Penerima
KIP total 1.692.559 di tahun 2015 sama hingga di tahun
2019 demikian pula BOS maka seharusnya Pemerintah
mendukung semua yang memiliki kesempatan dengan
bantuan finansial termasuk paket C baik melalui BOS dan
KIP atau lainnya.
3. Program afirmasi untuk PKBM yang berada di posisi daerah
3T dan yang menangani siswa berkebutuhan khusus.
4. Meningkatkan peran masyarakat untuk pendidikan orang
tua tentang kewajiban mendampingai anak mereka
melanjutkan ke jenjang setara dengan SMA atau paket C
dan tentu diiringi dengan memotivasi siswa agar masih bisa
sekolah walau sambil kerja atau aktifitas lainnya untuk ikut
paket C.

PKBM memiliki peran dalam pengentasan WAJAR12 tahun


karena menurut UNESCO ada 3 peran penting di dalamnya:

1. Memberdayakan masyarakat agar mandiri. Artinya PKBM


selain menjadikan anak usia sekolah dapat mengenyam
pendidikan hingga 12 tahun juga menjadikan mereka siap
untuk mandiri dengan keterampilan yang dimilikinya
2. Meningkatkan kualitas hidup mereka dengan memiliki
kemampuan praktis dalam menjalani masa depan. Anak-
anak akan mampu terus mengembangkan dirinya.
3. Mengembangkan dan membangun masyarakat, karena
PKBM memang diniatkan untuk menbantu masyarakat
terus meningkatkan kualitasnya.

Walaupun demikian agar PKBM mampu menjadi bagian yang


langgeng (sustainable) dalam menuntaskan Wajib Belajar 12

86
Peran Pendidikan Non Formal

Tahun, maka ada 3 (tiga) fungsi pengembangan PKBM yang


harus dimaksimalkan yaitu:

Artinya fokus pada pendidikan hingga selesai minimal 12 tahun


(Basic Education) perlu dibekali dengan kemampuan tehnis
(Skill Training) yang menjadikan mereka mampu hidup mandiri
yang senantiasa diperbaharui sesuai dengan perkembangan
terbaru. (Up-date New Info).

Dalam perkembangannya jumlah PKBM mengalami peningkatan


dari 815 (1999) sampai 3064 (2005). Data PKBM setelah 2005
sampai saat ini dapat dijelaskan secara detail sebagai berikut:

Dari jumlah 9.430 PKBM di Indonesia, bentuk dan ragam PKBM


sebagai pusat pengembangan masyarakat terus mengalami
pengembangan sekedar gambaran dapat dijelaskan sebagai
berikut:

87
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Semantara jenis kegaitannya atau program PKBM antara lain:

88
Peran Pendidikan Non Formal

Data keterampilan yang dikembangkan PKBM antara lain:

Ragam produk yang dihasilkan dari kegiatan PKBM digambarkan


dalam grafik sebagai berikut:

89
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

E. Strategi Wajib Belajar 12 Tahun Hingga 2030

Jika pada tahun 2020 seperti yang terungkap di renstra


kementerian pendidikan dan kebudayaan pada 2015 hingga
2019, akan ada penambahan 900 SLTA atau secara detailnya
450 SMA dan 450 SMK, muncul pertanyaan berapa jumlah
penambahan PKBM di tahun yang sama?

Kita bisa melakukan prediksi. Sampai tahun 2030 diprediksi akan


muncul 7.605 baru jika pemerintah serius untuk membantu
masyarakat dalam mewujudkannya. Perhitungannya adalah
dengan menganalisis dan melihat perkembangan jumlah PKBM
dari 815 di tahun 1999 dan pada tahun 2005 sebanyak 3064,
dan ditahun 2015 sekarang ada sebanyak 9.430 maka terjadi
kenaikan jumlah PKBM pertahun sebesar 5.3 persen atau
naik sekitar 507 unit PKBM per tahun untuk semua wilayah di
Indonesia. Prediksi perkembangan PKBM Nasional hingga 2030
adalah sebagai berikut

Tahun Prediksi Jumlah PKBM


2015 9.430
2016 9.937
2017 10.444
2018 10.951
2019 11.458
2020 11.965
2021 12.472
2022 12.979
2023 13.486
2024 13.993
2025 14.500
2026 15.007
2027 15.514
2028 16.021
2029 16.528
2030 17.035

90
Peran Pendidikan Non Formal

Dalam Strategis pemerintah 2015-2019 Pemerintah


merencanakan membantu sejumlah PKBM untuk kelengkapan
sarana dan prasarana dengan jumlah yang minim yaitu dari 260
di tahun 2015, 307 di tahun 2016, 307 di tahun 2017, 307 di
tahun 2018 dan hanya 102 unit PKBM di tahun 2019. Kondisi
ini tentu tidak diharapakan oleh PKBM karena pemerintah
harus mendukung terwujudnya mimpi PKBM sejumlah 17.035
pada tahun 2030 agar cita-cita WAJAR 12 tahun terpenuhi.
Salah satu hal penting untuk mewujudkannya adalah dengan
memunculkan stimulus dana segar bagi setiap pendirian PKBM,
misalnya dengan memberikan kontribusi operasional pertahun
sebesar 50 juta bagi setiap PKBM yang telah berjalan, dengan
demikian kebutuhan dana yang dibutuhakan hingga 2030 tanpa
mempertimbangkan inflasi sebagai berikut:

Tahun Jumlah PKBM Dana Operasional Total Anggaran


2015 9,430 50,000,000 471,500,000,000
2016 9,937 50,000,000 496,850,000,000
2017 10,444 50,000,000 522,200,000,000
2018 10,951 50,000,000 547,550,000,000
2019 11,458 50,000,000 572,900,000,000
2020 11,965 50,000,000 598,250,000,000
2021 12,472 50,000,000 623,600,000,000
2022 12,979 50,000,000 648,950,000,000
2023 13,486 50,000,000 674,300,000,000
2024 13,993 50,000,000 699,650,000,000
2025 14,500 50,000,000 725,000,000,000
2026 15,007 50,000,000 750,350,000,000
2027 15,514 50,000,000 775,700,000,000
2028 16,021 50,000,000 801,050,000,000
2029 16,528 50,000,000 826,400,000,000
2030 17,035 50,000,000 851,750,000,000
10,114,500,000,000

91
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Pemerintah perlu menyediakan dana sekitar 10 trilyun lebih


untuk membantu 17035 PKBM. Kebutuhan anggaran di atas
tentu tidak sebanding dengan manfaat atau efek yang diberikan
atau bahkan terlalu kecil jika dilihat anggaran yang disiapkan
oleh pemerintah sebesar 7.9 triliun pada 2016 saja.

Kebutuhan anggaran untuk mencapai PKBM sebanyak 17.035


penting karena untuk memprogramkan pembebasan buta
huruf juga pemerintah telah menghabiskan dana yang tidak
sedikit yaitu :

F. Contoh Sekolah Non Formal Alternatif

Pendidikan Non Formal yang dapat membantu keberhasilan


Wajar 12 tahun telah banyak dikembangkan oleh masyarakat.
Berikut ada beberapa contoh alternatif sekolah non formal
yang mampu membantu pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan dan membantu keberhasilan Wajar 12 Tahun.

1. Sekolah Alam. Sekolah ini didesain khusus untuk pemenuhan


potensi siswa semaksimal mungkin dengan seminimal
mungkin mengikuti kurikulum pemerintah sehingga akan
ada dua ciri kelulusan di dalamnya. Pertama, menghasilkan

92
Peran Pendidikan Non Formal

peserta didik yang lahir dengan penuh potensi yang


termaksimalkan dan lulus paket C untuk level SMA.
2. Sekolah MATER di Depok. Sekolah ini fokus pada pelayanan
untuk masyarakat marginal, terutama anak jalanan. Sekolah
diberikan tanpa menarik biaya (gratis). Sekolah ini untuk
memenuhi pendidikan yang tidak bisa mereka peroleh
karena aktivitas mereka, seperti mengamen dan seterusnya
sebagai bentuk upaya menggantikan sekolah formal dengan
kurikulum yang diatur khusus sesuai dengan dunia mereka.
3. Sekolah SBM (Sekolah berbasis Masjid) Mosque Schooling
Jogokaryan di Yogya, dengan pendekatan Sekolah non
formal Islam yang memfokuskan pada suplemen pelajaran
agama walau tidak gratis namun berbayar murah dengan
konsentrasi pada kurikulum akhlak dan life skills
4. SMASH (Sekolah Berbasis masjid) Dompet Dhuafa. Sekolah ini
memanfaatkan masjid untuk proses pendidikan terinspirasi
dari Surat At-Taubah 8. Idenya adalah bahwa Masjid juga
dapat dijadikan tempat untuk proses pendidikan. Dalam
konteks Indonesia kita melihat potensi PKBM yang berbasis
keagamaan dengan menggunakan fasilitas tempat ibadah
sebagai berikut:

93
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Wajar dan sangat rasional jika Dompet Dhuafa merasa penting


membantu pemerintah dalam mengentaskan WAJAR 12 tahun
dengan memanfaatkan fasilitas masjid.

G. Rekomendasi

Ada beberapa rekomendasi bagi pengambil kebijakan


pendidikan agar Wajar 12 tahun dapat terwujud, yaitu :

1. Pemerintah mendukung keterlibatan masyarakat sebagai


bagian dari sebuah sistem pendidikan yang berperan dalam
menyelenggarakan jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).
2. Pemerintah perlu memberikan dorongan untuk
memaksimalkan keterlibatan masyarakat dengan
memberikan stimulus 50 juta setiap PKBM untuk
mengembangkan 17.035 unit PKBM sesuai prediksi
perkembangan.
3. Diperlukan pendekatan budaya dengan memanfaatkan
kearifan lokal dalam rangka mengantisipasi kemungkinan
adanya siswa putus sekolah. Pendidikan berbasis masyarakat
sangat dimungkinkan di daerah-daerah yang menjadikan
masyarakat secara adat atau budaya dapat berkontribusi
terhadap pelaksanaan pendidikan di daerahnya masing-
masing. Jadi Pemerintah perlu merencanakan pendidikan
yang berbasis kearifan lokal khususnya dalam hal pendidikan
bagi anak yang putus sekolah.
4. Pemberian dukungan beasiswa secara proporsional pada
siswa laki-laki dan perempuan yang sedang belajar di
jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).
5. Penciptaan suasana sekolah yang nyaman bagi siswa
sehingga siswa merasa betah berada di jenjang pendidikan
PKBM paket C (SLTA).

94
Peran Pendidikan Non Formal

6. Peningkatan kompetensi profesional para guru/fasilitator


PKBM paket C yang dapat menciptakan suasana
pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan dan
non diskriminatif.
7. Penyadaran terhadap berbagai lapisan masyarakat terutama
para orang tua pentingnya melanjutkan pendidikan
khususnya jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).
8. Penyediaan sarana dan prasarana pada jenjang pendidikan
PKBM paket C (SLTA) hingga terwujudnya mimpi PKBM
sejumlah 17.035 pada tahun 2030.
9. Memfasilitasi anak putus sekolah dengan Mendirikan
sekolah alternatif. Misalnya seperti pengembangan sekolah
alam, Sekolah MATER di Depok, Sekolah SBM di Yogya serta
SMASH (Sekolah berbasisi Masjid) Dompet Dhuafa dan
Institut kemandiriran Dompet Dhuafa.
10. Perlunya pendampingan pemerintah untuk mutu tata
kelola dengan mempertimbangkan: Pertama, penataan
konsep yang tepat tentang program-program Pendidikan
Non Formal. Kedua, perencanaan program PNF berbasis
kebutuhan nyata warga sasaran. Ketiga, penyelenggaraan
dan pengelolaan PNF secara tekun dan berkelanjutan
dengan prinsip-prinsip manajemen yang tepat guna disertai
proses akreditasi yang baik.

95
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

96
Pendidikan Inklusif
untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi

Setiap anak butuh belajar dengan dukungan dan lingkungan yang kondusif.
Tidak hanya anak normal, penyandang disabilitas juga butuh pengetahuan
dan kesempatan yang sama.

A. Pengantar

Anak terlahir ke dunia tidak pernah meminta dirinya dilahirkan


dalam kondisi berkelainan, tuna, terlahir sebagai laki-laki,
perempuan, utuh anggotanya atau ada yang kurang dalam
dirinya dan menyandang disabilitas. Semua itu adalah anugerah
kodrati dari Tuhan. Karena itu, para penyandang disabilitas
juga mempunyai hak dan keinginan yang sama sebagaimana
anak-anak pada umumnya, ingin bertumbuh, berkembang dan
berhasil dalam meniti karir hidupnya.

Memberikan hak pendidikan kepada siapapun tanpa pandang


bulu adalah bagian dari perlindungan terhadap hak azasi
manusia, seperti hak mendapatkan pendidikan berkualitas,
hidup produktif, bebas dari diskriminasi serta mendapatkan
akses dan kesempatan yang sama di semua aspek kehidupan.
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Di antara hak dasar itu, yang harus dipenuhi adalah hak


pendidikan, nimimal pendidikan terhadap anak di usia sekolah.
Hak pendidikan anak ini penting karena setiap manusia lahir telah
dibekali perangkat potensi kecerdasan otak yang menjadi ciri
pembeda dengan mahluk-makhluk yang lain. Potensi tersebut
tidak akan berkembang dengan baik kalau tidak melalui proses
pendidikan. Setiap anak, termasuk anak dengan disabilitas juga
memiliki hak untuk belajar untuk menyempurnakan dirinya
agar dapat tumbuh kembang dan mendapatkan kehidupan
yang layak.

Kesempatan belajar harus diberikan kepada semua generasi


dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memenuhi
kewajibannya, yaitu memberikan hak pendidikan kepada seluruh
warganya, tanpa pengecualian. Namun, peran pemerintah
dalam mencerdaskan anak bangsa belum maksimal. Ini terbukti
masih kurang dikembangkannya sekolah-sekolah inklusif yang
bisa menampung penyandang disabilitas sebagai siswa yang
sepadan dengan anak-anak lain.

Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) tahun 2007


menyebutkan bahwa jumlah difabel yang sudah mengikuti
pendidikan formal baru mencapai 24,7 persen atau 78.689
anak dari populasi anak difabel di Indonesia, yaitu 318.600 anak
(Directorat PSLB, 2008). Ini berarti masih terdapat sebanyak 65,3
persen anak difabel yang masih terseklusi dan terabaikan hak
pendidikannya. Di tahun 2012 jumlah warga dengan disabilitas
cukup besar, yaitu 10 persen dari total populasi (TNP2K, 2012).
Versi lain adalah dari WHO yang menyebutkan ada lebih 15
persen penyandang disabilitas di setiap negara berkembang
seperti Indonesia (World Report on Disability [WHO 2012]).
Dari jumlah tersebut, pada 2013 anak berkebutuhan khusus
yang telah tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif
baru 116.000 anak dari total 300.000 anak, selebihnya masih

98
Pendidikan Inklusif

di bawah asuhan orang tua masing-masing.1 Penyandang


disabilitas usia 0-14 tahun mencapai sekitar 4,5 juta jiwa.
Lembaga-lembaga Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berjumlah
2.456 buah (2012/2013) hanya mampu menampung sebanyak
89.223 siswa2. Angka tersebut bahkan diperkirakan dapat jauh
lebih besar mengingat sistem pendataan kependudukan kita
sering tidak akurat. Anak-anak ini adalah bagian dari data angka
putus sekolah yang bukan hanya pada tingkat pendidikan 12
tahun atau setingkat SLTA, tapi juga SLTP atau setara dengan 9
tahun.

Tantangan global mewajibkan kita untuk meningkatkan kualitas


pendidikan nasional. Persaingan sumber daya manusia hanya
bisa kita jalani bila pemerintah mampu mencerdaskan warga
bangsanya terlebih dahulu. Banyaknya angkatan kerja lulusan
SD mewajibkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, setidaknya sampai tamatan SMA. Peluang kerja
buruh pabrik pun sekarang sudah mempersyaratkan minimal
SMA.

Pendidikan inklusif tanpa diskriminasi harus dapat menjadi


kenyataan bagi anak-anak Indonesia. Pendidikan harus dapat
diakses oleh siapapun, kapanpun dan di daerah manapun.
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat.
Negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan
pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa
pengecualian, termasuk anak-anak difabel seperti yang tertuang
pada UUD 1945 pasal 31 (1). Penyelengaraan sistem pendidikan
inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk
membangun tatanan masyarakat inklusi (inclusive society),

1
http://ti2014.solider.or.id/info/pendidikan-inklusif-dan-anak-berkebutuh
an-khusus/
2
New Indonesia, Laporan Pendidikan 12 tahun di Komisi X DPR-RI, Agustus
2015

99
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

yaitu sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan


menjunjung tinggi nilai nilai keberagaman sebagai bagian dari
realitas kehidupan.

Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar


Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya
sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap
satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus
memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi
menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan
kebutuhan khusus.

Peran pemerintah dalam mengupayakan pendidikan bagi


para penyandang difabel masih belum maksimal. Yang cukup
memprihatinkan adalah anak-anak difabel jika ingin menempuh
jenjang pendidikan harus berada bersama dengan teman-
teman senasibnya. Negara seolah menyetujui atau membiarkan
pemberlakuan kebijakan terhadap penyandang disabilitas
untuk menyingkir dari kehidupan manusia pada umumnya.
Upaya ini dilabeli dengan istilah Sekolah Luar Biasa, yang pada
hakikatnya adalah sebuah penyingkiran atau eksklusi.

Situasi ini terjadi karena masyarakat belum siap menerima


keberagaman dan memunculkan segmentasi lembaga
pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan
bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang
dimiliki oleh siswa. Segmentasi lembaga pendidikan ini telah
menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati
realitas keberagaman dalam masyarakat, jauh dari falsafah
bangsa yang berpegang kuat pada bhineka tunggal ika.

Bila pemerintah masih terus melanjutkan segregasi terhadap


penyandang disabilitas, pemerintah sesungguhnya sedang
membiarkan 3 persoalan sosial menjadi bom waktu. Pertama,
anak penyandang difabel sampai menamatkan jenjang

100
Pendidikan Inklusif

pendidikan setinggi apapun akan merasa inferior saat bertemu


anak-anak yang non-disabel (fisik). Mereka akan sulit untuk
berkembang mensesuaikan kehidupan masyarakat pada
umumnya. Kedua, anak difabel setinggi apapun pendidikannya
tetap akan sulit untuk mendapatkan pekerjaannya, kecuali
bekerja ditempatnya semula, yaitu mengurus difabel lagi.
Ketiga, pandangan negatif masyarakat terhadap anak difabel
sebagai beban sosial akan makin mengakar kuat, sehingga
kalaupun ada perusahaan atau perorangan mempekerjakan
mereka, perlakuan itu disasari atas rasa belas kasihan, daripada
penghargaa terhadap individu dan kemampuannya.

B. Pengertian Inklusif dan Pendidikan Inklusif

Secara etimologis kata inklusif berasal dari kata include yang


berarti menjadi bagian dari sesuatu [being a part of something],
menyatu dalam kesatuan [being embraced into the whole].
Lawan katanya adalah exclude yang berarti to keep out, to
bar, or to expel (Villa; Thousand, 2005). Adapun secara Istilah;
inklusif memiliki pemahaman yang sangat universal. Istilah
inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak
individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik,
sosial, pendidikan dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing
dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling
berkaitan satu sama lain.

Dalam konteks pendidikan, inklusi merujuk kepada keadilan


dalam mengakses atau memperoleh kesempatan pendidikan
bagi setiap warga masyarakat yang mempunyai latar belakang
berbeda. Stainback (1990) mendefinisikan Sekolah Inklusif
adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang
sama. Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan
Inklusif adalah Penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

101
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler.


Sedangkan Sapon-Shevin (O Neil 1995) menyatakan bahwa
Pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang
mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat,
di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Dengan kata
lain, pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak
berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya
(Stainback, 1980),Salim Choiri, 2009: 88).

Fuad Fahrudin mencatat, setidaknya ada tiga unsur dalam


pendidikan inklusif; (1) sikap positif atau inklusif terhadap anak-
anak yang memiliki kelainan, (2) rasa efikasi yang tinggi terhadap
pembelajaran, dan (3) kemauan dan kemampuan melakukan
adaptasi terhadap pengajaran berdasarkan kebutuhan dan
kelainan individu (Loreman: Earle: Chris, 2007).

C. Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif harus diletakkan dalam konteks


pengembangan pendidikan secara umum sehingga kehadiran
para penyandang disabilitas ini bisa menjadi sumber-sumber
pembelajaran bagi lingkungan sekitarnya. Mereka yang biasa
bergaul dengan anak-anak penyandang disabilitas dapat
mengasah hatinya agar tajam dan peka terhadap keadaan,
tidak individualis dan arogan. Seringnya seorang anak berjumpa
dan berkomunikasi dengan para penyandang disabilitas dan
menempuh pendidikan bersama akan semakin memudahkan
mereka menata kehidupan bersama yang lebih bermartabat
dan manusiawi.

Tujuan Pendidikan Inklusi

Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar

102
Pendidikan Inklusif

dan sengaja. Ki Hajar Dewantara menyebut tujuan pendidikan


adalah untuk memerdekaan bangsa. Pendidikan ini mempunyai
tiga sifat penting, yaitu berdiri sendiri, tidak bergantung pada
orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.3 Pendidikan
secara umum mempunyai tujuan untuk membantu peserta
didik agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan
pengalaman itu tingkah laku peserta didik bertambah, baik
kuantitas maupun kualitas. Tingkah laku yang dimaksud meliputi
pengetahuan, keterampilan dan nilai atau norma yang berfungsi
sebagai pengendali sikap dan perilaku yang dikemudian hari
diharapkan mampu mandiri, tidak bergantung pada orang lain.
Jika demikian, pendidikan inklusi diselenggarakan setidaknya
dengan tujuan sebagai berikut:

1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada


semua anak (termasuk Anak Difabel) mendapatkan
pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan
dasar, sekurang-kurangnya 12 tahun atau setara dengan
tamat SLTA sebagai upaya kesiapan menghadapi persaingan
global.
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dengan
menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah semaksimal
mungkin.
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidak diskriminatif.
Persoalan penyandang disabilitas melibatkan 3 konsep dasar,
yaitu penyandang disabilitas itu sendiri, makna pendidikan
bagi mereka dan peranan pemerintah. Anak difabel atau
penyandang disabilitas menjadi obyek sekaligus subyek

3
Ignas G Saksono, Tantangan Pendidikan Mencegah Problem Bangsa,
Forkoma PMKRI-Yogjakarta, 2010, hal 16.

103
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

pendidikan. Pendidikan bagi mereka membutuhkan sebuah


proses perkembangan, penyempurnaan dan pembaharuan
terus menerus. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan perlu
mendesain kebijakan pendidikan yang ramah dan berkelanjutan
terhadap para penyandang disabilitas. Untuk mengembangkan
dan mendampingi para penyandang disabilitas serta
merumuskan kembali peranan pemerintah dan lembaga
pendidikan, ada beberapa hal perlu diperhatikan.

1. Penyandang disabilitas perlu dikenali agar kita semakin


mudah memahami apa keinginannya di masa mendatang.
Di antara ciri yang harus dikenali adalah kondisi fisik,
kemampuan intelektual, kemampuan komunikasi, sosial
emosional.
2. Pemerintah perlu menumbuhkan semangat pendidikan
inklusif di setiap jenjang pendidikan. Yang dimaksud di
sini adalah sebuah proses pendidikan yang menyertakan
penyandang disabilitas dalam satu ruang kelas yang
sama dengan anak-anak lain non-disabel dalam proses
pendidikan.
3. Pemerintah sebagai otoritas pemegang kekuasaan harus
bertanggungjawab mewujudkan pendidikan yang inklusif,
pendidikan yang ramah, tidak diskriminatif, sekurang-
kurangnya sampai 12 tahun setara SLTA pada tahun 2030.

D. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan Inklusif

1. Layanan pemerintah terhadap para penyandang


disabilitas
Secara formal Indonesia telah mendeklarasikan pendidikan
inklusif pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung dengan

104
Pendidikan Inklusif

harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk


mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk
penyandang disabilitas. Setiap penyandang difabel berhak
memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis
dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang
disabilitas memiliki hak yang sama untuk menumbuh
kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang disabilitas anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI
No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat).

Penyandang disabilitas di Indonesia belum mendapatkan


hak pendidikannya secara baik. Menurut Dirjen Pendidikan
Dasar Kemendikbud ada sekitar 184.000 anak penyandang
disabilitas belum menikmati indahnya pendidikan layaknya
anak dengan kondisi mental dan fisik normal. Sampai saat
ini jumlah anak berkebutuhan khusus yang telah tertangani
dan masuk dalam pendidikan inklusif baru 116.000 anak
dari total 300.000 anak, selebihnya masih di bawah asuhan
orang tua masing-masing.

Menurut laporan dari WFD (World Federation for the


Deaf) terdapat 70 juta komunitas tuna rungu4 di seluruh
dunia, di mana 0.5 persen dari mereka yang berusia 10-17
tahun justru memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah
dibandingkan anak yang mendengar normal usia 9-10 tahun.
Hal ini juga terjadi di Indonesia, rata-rata anak-anak tuna rungu
sampai dewasa memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah

4
Galuh; istilah tuli sudah tidak digunakan lagi dalam peraturan perundang-
undangan, diganti menjadi tuna rungu. Akan tetapi istilah tersebut justru
menciderai para penyandang tuli itu sendiri. Karena menurutnya, tuli itu bukan
tuna (cacat), tapi hanya tidak mampu mendengarkan suara saja. Perlu diketahui
bahwa mendengarkan suara hanyalah salah satu cara seseorang untuk memahami
komunikasi, tapi komunikasi tidak selamanya harus menggunakan suara, bisa
menggunakan tulisan atau bahasa yang lain yang dipahami para penyandang tuli.
Jadi tuli bukanlah tuna.

105
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

di bawah rata-rata anak yang mendengar normal usia 9-10


tahun. Mereka yang lulus dari SLB maupun lulus SMA umum
dan sebagian kecil yang sempat menuntut pendidikan tinggi
di Universitas pun mengalami kesulitan dalam memahami
bacaan dan tulisan dalam Bahasa Indonesia.5

Sejauh ini pendidikan untuk anak dengan disabilitas


disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu
sistem pendidikan segregasi, terpadu dan inklusif.

a. Pendidikan segregasi
Sekolah segregasi adalah sekolah yang memisahkan
anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan
reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini
berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar
Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti
SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak
tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita) dst.

b. Pendidikan terpadu
Sekolah terpadu adalah sekolah yang memberikan
kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk
mengikuti pendidikan sekolah regular tanpa
adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan
kebutuhannya. Sekolah tetap menggunakan sistem
pengajaran regular untuk semua peserta didik.
Dengan kata lain, pendidikan terpadu mensyaratkan
peserta didik untuk mengikuti sistem yang dituntut
sekolah regular. Kelemahan pendidikan terpadu ini
bagi penyandang disabilitas adalah bahwa ia tidak
mendapatkan perlakuan khusus yang memudahkan
dalam mengikuti pelajaran. Kelebihannya adalah bahwa

5
P3M, Laporan Workshop Pendidakan Inklusi di Hotel Kaisar Jakarta.

106
Pendidikan Inklusif

penyandang disabilitas bisa leluasa bersosialisasi


dengan teman-temannya, bermain, dsb.

c. Pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan atau
penyempurnaan dari sekolah terpadu. Di sekolah ini,
para penyandang disabilitas diberikan pembelajaran
sesuai dengan kebutuhan khususnya dengan berbagai
macam bentuk akomodasi sehingga mereka bisa belajar
bersama-sama temannya dalam satu kelas.

Seiring perkembangan zaman, pendidikan dengan sistem


segregasi yang memisahkan pendidikan berdasarkan
jenis ke-tuna-an merupakan sebuah bentuk cacat moral
dan dianggap menjauhkan para penyandang disabilitas
dari penerimaan ragam ke-bhinekaan. Maka muncullah
kepedulian pemerintah kepada penyandang disabilitas
melalui kebijakan Pendidikan Inklusif. Program pendidikan
inklusif diharapkan mampu merevolusi mental generasi
muda untuk lebih realistis dengan mengobarkan semangat
kebersamaan dan persatuan bangsa tanpa diskriminasi.

Di samping melalui sekolah reguler, pemerintah dan


lembaga swasta masih menyelenggarakan pendidikan atau
sekolah khusus untuk melayani beberapa jenis disabilitas.
Hal ini dilakukan untuk tetap memberikan kesempatan pada
orang tua yang tetap memilih menyekolahkan anaknya di
SLB atau atas dasar pilihan peserta didiknya sendiri.

Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di


daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan
SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian
kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Untuk menjangkau
SLB atau SDLB yang relatif sangat jauh para penyandang

107
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

disabilitas harus mengeluarkan biaya tinggi. Persoalan


ini bisa dipecahkan melalui implementasi semangat UU
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana semangat desa
membangun yang dibedakan dengan istilah membangun
desa oleh Kementerian desa membutuhkan tenaga-tenaga
terampil dari berbagai pihak. Dengan kata lain, generasi
bangsa tidak boleh ada yang menjadi pengangguran. Dengan
memiliki semangat kerja membangun desa diharapkan
seluruh warga dapat berpartisipasi membangun desa,
termasuk para penyandang disabilitas. Pemerintah Desa
dapat berperan penting untuk menjadi solusi menjembatani
kebutuhan pendidikan inklusi di pedesaan.

Pada 2001, pemerintah sudah mengadakan uji coba


untuk merintis sekolah inklusi di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan 12 sekolah di daerah Gunung Kidul dan
di Provinsi daerah Khusus Ibukota Yogyakarta dengan 35
sekolah. Sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintisan
itu memang diperuntukkan bagi anak-anak lambat belajar
dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat
pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan
sampai sekarang belum ada informasi lebih lanjut tentang
keberlangsungan program rintisan tersebut. Sampai tahun
2006, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul
di tengah public. Isu tersebut tenggelam oleh isu lain,
seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lain-
lain. Pada 2009 tema pendidikan inklusi mulai muncul lagi
dengan adanya beberapa sekolah di Jakarta dan beberapa
daerah lain yang memulai pendidikan inklusif.

2. Kebijakan Dunia Tentang Disabilitas


Persoalan penyandang disabilitas bukan sekedar menjadi
keprihatinan nasional, melainkan juga sudah menjadi

108
Pendidikan Inklusif

persoalan global sehingga banyak negara dan lembaga


internasional bekerja bersama-sama memperjuangkan
pendidikan inklusif tanpa diskriminasi ini. Ada beberapa
dasar hukum pengaturan dan perlindungan terhadap
hak-hak para penyandang disabilitas. Aturan atau hukum
internasional itu antara lain:

a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948.


b. Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989.
c. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun
1990.
d. Peraturan standar tentang persamaan kesempatan bagi
para penyandang cacat, 1993.
e. Pernyataan Salamanca dan Kerangka aksi tentang
pendidikan kebutuhan khusus, 1994.
f. Tinjauan 5 tahun Salamanca; 1999.
g. Kerangka aksi forum pendidikan dunia, Dakar; 2000.
h. Tujuan pembangunan millennium yang berfokus pada
penurunan angka kemiskinan dan pembangunan; 2000.
i. Flagship Pendidikan untuk semua (PUS) tentang
pendidikan dan kecacatan; 2001.
Kebijakan-kebijakan di atas menandakan bahwa dunia
akan menemukan arah kemanusiannya, untuk semua
negara, bangsa dan warganya yang dibangun dari kerangka
pendidikannya.

3. Kebijakan Pendidikan Pemerintah Indonesia bagi


penyandang disabilitas
Pemerintah Indonesia sudah memulai kebijakan pendidikan
inklusif bagi penyandang disabilitas dengan mempergunakan
dasar falsafah negara Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika
109
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

sebagai landasan kebijakan. Berikut ini beberapa peraturan


perundang-undangan yang menjadi dasar bagi Pemerintah
Indonesia

a. UUD 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan setiap


warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.
b. UUD 1945 Pasal 32 ayat (2) yang menegaskan bahwa
setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya.
c. UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
Bab III pasal 6: setiap penyandang cacat berhak
memperoleh (1) pendidikan pada semua satuan, jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan. Bab IV pasal 11: setiap
penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur,
jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatannya. Bab IV Pasal 12: setiap lembaga
pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan
yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta
didik satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta
kemampuannya.
d. UU No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan
Nasional, pasal (5) ayat (1) yang menegaskan bahwa
setiap warga Negara memperoleh hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan bermutu.
e. UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun
2002, pasal 51 yang menegaskan bahwa anak yang
menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan
kesempatan yang sama dan aksesbilitas untuk
memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
f. PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun
2004.
110
Pendidikan Inklusif

g. Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi


tahun 2004.
h. PERMENDIKNAS no 70 tahun 2009 tentang pendidikan
inklusif bagi peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan atau bakat istimewa. Pasal 3 ayat
(1); setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan atau bakat istimewa berhak mengikuti
pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan
tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Pasal 7: satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif menggunakan kurikulum tingkat satuan
pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan
kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat,
dan minatnya. Pasal 12, 13; pemerintah sebagai
penyelenggara harus punya komitmen penyelenggaran
pendidikan inklusif. Pasal 14; satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif terbukti melanggar
ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan menteri
akan diberikan sangsi administratif sesuai peraturan
perundang-undangan.
Seluruh kerangka peraturan, baik itu yang berada di tingkat
global maupun nasional bertujuang untuk mendorong
terwujudnya partisipasi penuh dari warga masyarakat
dalam rangka penghargaan hak-hak asasi mereka sebagai
manusia.

E. Konsekuensi pendidikan inklusif

Sebuah proses pendidikan dinyatakan berhasil jika selalu dan


terus menerus memperbaharui diri agar manusia sebagai
subyek pendidikan mampu hidup merdeka dan mandiri, jauh

111
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

dari diskriminasi dan penindasan. Bila ditilik dari berbagai


macam kebijakan yang ada, Pemerintah Indonesia sudah
berada dalam jalur yang benar dalam rangka pengembangan
pendidikan bagi para penyandang disabilitas tanpa diskriminasi.
Seluruh semangat yang muncul dalam gerakan pendidikan di
dunia terarah pada realisasi pendidikan inklusi sebagai sebuah
jiwa pendidikan. Karena itu, bila pemerintah Indonesia ingin
maju, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, perlu ada perubahan dalam paradigma pendidikan


yang secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan nasional
bersifat inklusif. Ini artinya, semua sekolah harus memiliki
visi inklusi, sekalipun di sekolah tersebut tidak ada murid
penyandang disabilitas. Untuk mencapai pendidikan universal
yang memiliki spirit inklusi ini, pemerintah perlu membuat
sekolah rintisan sesuai dengan kebutuhan. Intinya adalah
bila semua sekolah adalah inklusi, siapapun mestinya dapat
mengakses pendidikan di sekolah umum mana pun tanpa
diskriminasi. Perubahan paradigma ini akan membedakan
praksis pendidikan kita dengan pendidikan sebelumnya yang
dasarnya adalah diskriminasi, pendidikan inklusi dan non-
inklusi, atau sekolah luar biasa dan sekolah biasa.

Anies Baswedan, Menteri Pendidikan menegaskan,


bercampurnya anak yang berasal dari berbagai latar belakang
ekonomi, sosial, budaya dan karakteristik dalam lingkungan
sekolah inklusif diharapkan dapat menumbuhkan kepedulian,
kerja sama, dan saling menghargai perbedaan.6 Penelitian
tentang inklusi telah banyak dilakukan di Negara-negara barat
sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar baru
dipelopori oleh the National Academy of Science (AS). Hasil
riset AS menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan

6
http://www.antaranews.com/berita/464852/menteri-anies--pendidikan-
inklusif-adalah-hak-anak-berkebutuhan-khusus

112
Pendidikan Inklusif

anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak


efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar
pendidikan khusus yang dilakukan secara segregatif hanya
diberikan terbatas pada penyandang disabilitas tertentu
setelah mendasarkan diri pada hasil identifikasi yang tepat
(Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan
mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi
dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena
karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan
Walberg, 1994/1995)7

Perubahan paradigma pendidikan disertai dengan pendekatan


sekolah rintisan semakin baik bila sarana, prasarana dan tenaga
pengajar juga disiapkan dengan baik. Beberapa kasus yang
muncul misalnya minimnya sarana penunjang sistem pendidikan
inklusif, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang
dimiliki oleh para guru sekolah inklusif menunjukkan betapa
sistem pendidikan inklusif belum benar benar dipersiapkan
dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang
ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan
anak anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel),
sehingga program pendidikan inklusif hanya terkesan program
eksperimental.

Perubahan paradigma pendidikan ini akan memiliki konsekuensi


dalam praksis pendidikan kita. Konsekuensi tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Landasan pedagogi/pengajaran (edit sampai di sini)


Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa tujuan

7
http://izzaucon.blogspot.co.id/2014/06/tujuan-dan-landasan-pendidikan-
inklusi.html

113
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta


didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara
yang demokratis danbertanggungjawab. Melalui
pendidikan, peserta didik diharapkan menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu
yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi
dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak
awal penyandang disabilitas diisolasikan dari teman
sebayanya melalui model sekolah-sekolah khusus. Betapa
pun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama
teman sebayanya, ini prinsip utama yang perlu dipahami.
Pembedaan dan segregasi dimungkinkan setelah melalui
analisis evaluasi dan asesment penempatan secara adekuat
dan objektif.

Implementasi dari tujuan pendidikan di atas adalah bahwa


pendidikan inklusi seharusnya dirancang sedemikian
rupa sehingga program pendidikan dilaksanakan dengan
memperhatikan keanekaragaman karakteristik dan
kebutuhan siswa penyandang disabilitas. Penyandang
disabilitas harus memperoleh akses ke sekolah reguler
di mana sekolah tersebut perlu memberikan akomodasi
dalam proses pembelajaran dalam rangka pedagogi
yang berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pada dasarnya pedagogi
yang berpusat pada diri anak itu menguntungkan bagi
semua siswa, mengembangkan potensi unik siswa dan dan
pada gilirannya menguntungkan bagi masyarakat secara
keseluruhan. Mereka mampu berperan serta secara aktif
sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.

114
Pendidikan Inklusif

2. Dari sisi ketersediaan sarana pendidikan


Untuk menyukseskan sistem pendidikan inklusi pemerintah
perlu mempersiapkan ketersediaan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan bagi penyandang disabilitas. Sarana
prasarana tersebut disesuaikan dengan kebutuhan para
penyandang disabilitas yang terdaftar di masing-masing
sekolah. Secara umum sarana sekolah harus didesain
bangunannya sesuai dengan kebutuhan standar para
penyandang disabilitas sehingga sekolah menjadi simbol
akses universal pada setiap individu apapun keadaan
mereka. Peralatan pembelajaran perlu disesuaikan dengan
apa yang dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas di
unit sekolah.

3. Dari sisi keterampilan pendidik


Untuk memenuhi kebutuhan keberlangsungan belajar
mengajar pada pendidikan inklusif, LPTK sebagai tempat
penyediaan SDM yang berkualitas memiliki tanggungjawab
dalam rangka pelaksanaan pembelajaran sepanjang hayat
(lifelong learning), termasuk untuk penyandang disabilitas.
Di antara tugas yang harus dimaksimalkan adalah:
restrukturisasi pendidikan inklusif secara profesional,
memberikan bantuan profesional bagi guru, kepala sekolah,
dan pengawas untuk untuk meningkatkan mutu pendidikan
inklusi, melakukan penelitian untuk pengembangan
pendidikan inklusif, punya tanggungjawab untuk ikut
meningkatkan pemahaman tentang pendidikan inklusi
kepada semua calon pendidik.

Di Jepang, misalnya, dalam menjalankan sekolah inklusi,


mereka menempatkan guru umum dan guru yang terdidik
secara khusus untuk menangani para penyandang disabilitas.

115
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Selain itu, setiap penyandang disabilitas mendapatkan dua


pendamping, yaitu; pendamping yang membantu pada
tingkat kesulitannya seperti merangkum tulisan pelajaran
yang disampaikan guru, dan pendamping saat punya hajat,
misalnya ingin ke kamar mandi dan toilet.

4. Dari sisi regulasi dan kebijakan pendidikan


Tentang hak-hak pendidikan para penyandang disabilitas
sudah dieksplisitkan dalam UU No. 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat. Dari regulasi pendidikan,
kebijakan pendidikan bagi penyandang disabilitas diatur
dalam permendiknas tentang Pendidikan Inklusif, yaitu
Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusif. Namun demikian, masih terdapat beberapa
permasalahan krusial yang menarik untuk dikritisi.
Permasalahan tersebut menurut Trimo (2012) bermuara
pada pemenuhan delapan standar nasional pendidikan.

Jika demikian yang diperlukan adalah monitoring dan evaluasi


sekolah inklusi yang merupakan satu kesatuan, bukan
dua hal yang dipisah-pisah, dimaksudkan sebagai proses
mengidentifikasi indikator-indikator penyelenggaraan
sekolah inklusi untuk mengetahui apa yang sudah ada,
apa yang sudah dilakukan, apa yang belum ada, dan apa
yang belum dilakukan dalam menyelenggarakan program
pendidikan inklusif di satuan pendidikan masing-masing.

Selain itu, hak-hak pendidikan para penyandang disabilitas


merupakan hak asasi manusia, karena itu, regulasi pendidikan
untuk mereka harusnya tidak diatur melalui Permendiknas,
melainkan melalui sebuah undang-undang. Karena itu,
pemerintah perlu segera merevisi UU Penyandang Cacat
tahun 1997 yang masih mempergunakan istilah cacat

116
Pendidikan Inklusif

untuk penyandang disabilitas, serta mendesain sebuah


Undang-Undang Penyandan Disabilitas yang lebih fokus
pada jaminan hak-hak dasar para penyandang disabilitas
dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya
hak-hak dalam pendidikan.

F. Penerapan pendidikan inklusif di lapangan

Pendidikan inklusi mestinya menjadi jiwa seluruh proses


pendidikan. Untuk sampai pada idealisme ini, ada empat hal
yang harus diperhatikan:

1. Tantangan integrasi (bagaimana pemerintah membuat


desain asesmen untuk penempatan (placement assessment)
anak-anak berkebutuhan khusus dan penyandang
disabilitas agar dapat berintegrasi ke sekolah umum dengan
baik. Harus ada semacam penilaian untuk penempatan
yang melibatkan pakar pendidikan, psikolog, dan ahli di
bidang ketunaan, untuk memverifikasi pada level apa
seorang anak bisa berintegrasi, dari integrasi keseluruhan,
parsial, sampai pada pilihan akhir separasi secara khusus).
Penilaian dan asesmen ini memungkinkan peserta didik
bisa saling beradaptasi, anak non-disable dapat menghargai
dan menerima teman mereka yang disabel, sehingga
memungkinkan sebuah lingkungan pembelajaran yang
ramah dan penuh penghargaan.
2. Tantangan pedagogi (kurikulum, metode pengajaran,
penilaian, akomodasi)
- Kesiapan penerimaan seluruh tenaga pengajar di mana
pendidikan inklusi diterapkan; bukan hanya kesiapan
guru pembimbing khusus, namun juga kesiapan guru-
guru lain untuk menerima anak-anak dengan kebutuhan
khusus.

117
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

- Peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga


pengajar (guru pembimbing khusus, guru kelas dan
pengawas sekolah).
- Bisa dimungkinkan ada perubahan kurikulum,
metode pengajaran dan bahkan penilaiannya. Oleh
sebab itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
menyempurnakan gagasan program pendidikan inklusi.
- Selain itu, diperlukan alat atau orang dewasa sebagai
pendamping yang menunjang pemahaman akan
kehadiran para penyandang disabilitas.
- Kerjasama antara guru pembimbing khusus, guru
kelas dan semua pihak, terutama yang terkait dalam
keberlangsungan belajar mengajar.

3. Tantangan budaya.
Perbaikan konsep publik tentang penyandang disabilitas,
baik konsep yang diyakini penyandang disabilitas sendiri
tentang dirinya, orang tua, dan masyarakat. Umumnya
diyakini bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai
orang yang tidak mampu sehingga perlu diperlakukan
secara khusus. Padahal, konsep ini justru membelenggu
dan kurang kondusif bagi pengembangan rasa percaya
diri dan kemampuan diri dari para penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas sebenarnya tidak cacat (tuna).
Mereka hanya tidak memiliki kemampuan untuk
mendengar, tidak bisa melihat dan tidak bisa bicara
sebagaimana orang pada umumnya. Mereka tetap dapat
berkomunikasi meskipun dengan Bahasa isyarat atau gerak
bibir dan bahasa tubuh. Hal ini kurang lebih sama dengan
perbedaan suku atau bangsa yang berbeda bahasa. Kalau
kita ingin bisa berbahasa dengan bahasa suku atau bangsa
lain maka kita harus belajar dan berani mempergunakan

118
Pendidikan Inklusif

bahasa mereka. Begitu halnya dengan bahasa isyarat yang


bisa dipelajari oleh siapapun. Pemahaman ini harus terus
disosialisasikan kepada semua pihak, baik masayarakat
umum, penentu kebijakan dan atau bahkan penyandang
disabilitas itu sendiri.

4. Tantangan Regulasi.
Undang-Undang Penyandang Cacat 1997 yang sekarang
berlaku harus direvisi dan diganti, karena isi pasal-
pasalnya sudah ketinggalan zaman dan sudah tidak mampu
mengakomodasi kebutuhan para penyandang disabilitas.
Lebih lagi, perlindungan bagi hak asasi manusia tidak boleh
diatur dalam Permendiknas, melainkan dalam Undang-
Undang. Karena itu, pemerintah perlu segera mengajukan
rancangan Undang-Undang baru untuk melindungi hak para
penyandang disabilitas. Draft Rancangan Undang-Undang
Penyandang Disabilitas yang sudah digodok beberapa tahun
ini perlu segera menjadi prioritas Prolegnas agar segera
disahkan oleh anggota DPR.

G. Penutup/ringkasan

Sekolah reguler dengan orientasi inklusif adalah lembaga


yang paling efektif untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan
komunitas ramah, membangun suatu masyarakat inklusif dan
mencapai pendidikan untuk semua. Model sekolah inklusif
akan menanamkan moral kebhinekaan dan mempertahankan
keutuhan Negara RI yang adil dan beradab.

Pendidikan inklusi yang menekankan kepada persamaan hak


dan akses pendidikan kepada setiap warga negara tanpa kecuali
pada hakikatnya adalah visi baru di bidang pendidikan sebagai
bagian dari reformasi politik yang menekankan kepada pilar

119
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

demokrasi, HAM, otonomi, desentralisasi, dan akuntabilitas.


Bila salah satu program Nawa Cita Presiden Jokowidodo adalah
membangun dari pinggiran, membangun dari pinggiran ini
perlu diartikan sebagai sebuah proses untuk memanusiakan,
menghargai, melindungi hak-hak mereka yang ada di dalam
pinggiran kehidupan masyarakat, termasuk para penyandang
disabilitas. Pendidikan inklusif harus menjadi paradigma baru
dalam pendidikan bagi semua, termasuk para penyandang
disabilitas yang diilhami dan didorong oleh berbagai dokumen
international, khususnya tentang pendidikan untuk semua serta
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai pendidikan
berkebutuhan khusus tahun 1994.

Mengembangkan lingkungan sekolah reguler yang inklusif


saat ini sudah menjadi sebuah keharusan. Banyak sekolah
yang telah merintis program inklusi berusaha memastikan
semua siswa merasa dihargai dengan memberikan semua
kebutuhan belajar mereka dan membantu mereka
mencapai potensi yang maksimal. Teladan penghargaan
kepada tiap siswa itulah yang akan membangun karakter
kepedulian peserta didik atas sesama, tanpa melihat latar
belakang yang disandangnya.

Kurikulum dalam pendidikan inklusif hendaknya disesuaikan


dengan kebutuhan anak. Selama ini anak dipaksakan harus
mengikuti kurikulum. Oleh sebab itu sekolah hendaknya
memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kurikulum
dengan anak yang memiliki berbagai kemampuan, bakat dan
minat. Modifikasi (penyesuaian) kurikulum dilakukan oleh tim
pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum
sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata
pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli
lain yang terkait.

Meskipun pendidikan inklusi di Indonesia saat ini mulai

120
Pendidikan Inklusif

dikembangkan, namun dalam tataran implementasinya masih


terdapat banyak persoalan. Permasalahan ini harus disikapi
secara bijak sehingga implementasinya tidak menghambat
upaya dan proses menuju pendidikan inklusif di Indonesia
selambat-lambatnya di tahun 2030 menjelang usia kemerdekaan
satu abad. Untuk itu diperlukan komitmen tinggi dan kerja keras
melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah maupun
masyarakat.

Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan yaitu mencerdaskan


kehidupan bangsa dapat terpenuhi dalam perilaku hidup
keseharian bangsa Indonesia yang menghargai para penyandang
disabilitas sebagai individu yang berharga, bermartabat, yang
dihormati karena kemanusiaannya, bukan diberi belas kasih
karena kekurangannya.

Rekomendasi

Berikut ini kami sampaikan beberapa rekomendasi penting


terkait dengan pendidikan inklusif.

1. Pemerintah harus memiliki komitmen mewujudkan semua


sekolah Inklusif di Indonesia selambat-lambatnya pada tahun
2030 untuk menyongsong masa satu abad kemerdekaan.
Dengan kata lain, pemerintah harus benar-benar memegang
prinsip pendidikan berdasarkan kebhinekaan yang terbuka
dan adil bagi semua.
2. Pemerintah harus membentuk tim peneliti dan evaluasi
(monitoring) pengembangan pendidikan inklusif yang
berkualitas, mulai soal kurikulum, methodologi pengajaran,
dan menyiapkan payung hukum yang lebih akomodatif.
3. Pemerintah harus terus mensosialisasikan dan menambah
sekolah percontohan inklusif tiap tahunnya hingga tahun
121
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

2030 sehingga semua sekolah melaksanakan semangat


inklusif.
4. Penanganan sekolah inklusif bisa dilakukan dengan
membangun kerjasama dengan masyarakat di
sekitar sekolah sehingga tidak hanya guru kelas yang
bertanggungjawab, melainkan masyarakatpun bisa ikut
terlibat dalam mendorong pendidikan inklusif di ingkungan
di mana mereka tinggal.
5. LSM dan masyarakat harus terus ikut memantau dan turut
memberi usulan untuk menyempurnakan sistem pendidikan
inklusif.

122
Revitalisasi Kebijakan
Anggaran Pendidikan
Dasar 12 Tahun

Oleh: Hadi Prayitno dan Ahmad Taufik

A. Pengantar

Pemerintah berkewajiban mendukung pendidikan sebagaimana


tertuang dalam hasil amandemen keempat UUD 1945. Tanggung
jawab pembiayaan telah dibebankan kepada pemerintah dan
pemerintah daerah yang secara eksplisit tercantum di dalam
pasal 31 ayat 4 yang berbunyi Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Revitalisasi
penganggaran pendidikan bisa mendorong terwujudnya
pendidikan dasar 12 dengan lebih cepat.

Seyogyanya peningkatan akses, kualitas dan relevansi


pendidikan melalui penyediaan sarana prasarana, pemberian
bantuan operasional, serta pemberian beasiswa miskin dalam
rangka memenuhi jaminan dan keterjangkauan layanan
pendidikan dasar dan menengah harus diwujudkan melalui
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

skema kebijakan jangka pendek maupun jangka menengah.

Secara umum pemerintah telah mengilustrasikan secara singkat


hasil capaian strategis dalam bidang pembangunan pendidikan
selama kurun waktu 2005-2014 yaitu meliputi implementasi UU
guru dan dosen, standard nasional pendidikan, sertifikasi guru,
maupun penyediaan tunjangan profesi1. Selain itu pemerintah
juga menjelaskan capaian lainnya yang bersifat tematik selama
2010-2014 yaitu meliputi (i) peningkatan partisipasi PAUD dari
50,21 persen pada tahun 2010 menjadi 68,10 persen pada
tahun 2014; (ii) Tercapainya APK SD/SDLB/Paket A sebesar 97,31
persen dan APK SMP/SMPLB/ Paket B sebesar 74,29 persen; (iii)
Turunnya disparitas APK SD/MI antar kabupaten dan kota dari
2,15 persen tahun 2010 menjadi 1,9 persen tahun 2014 dan
APK SMP/MTs dari 15 persen tahun 2010 menjadi 12,7 persen
tahun 2014; (iv) Tercapainya APK SMA/SMK/SMLB/Paket C
sebesar 68,92 persen pada tahun 2014; (v) Akreditasi B SMA/
MA sebesar 73,5 persen dan SMK sebesar 48,2 persen tahun
2013; dan (vi) Menurunnya Angka Niraksara dari 4,75 persen
tahun 2010 menjadi 3,76 persen tahun 2014.

Capaian-capaian di atas menjadi baseline dari perencanan


pembangunan jangka menengah dalam waktu dekat yaitu 2015-
2019. Sekaligus hal itu juga diposisikan sebagai tantangan atau
sisa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah
baik di tingkat pusat dan daerah. Beberapa tantangan yang
dimaksud secara umum antara lain meliputi belum semua
penduduk memperoleh layanan akses PAUD yang berkualitas,
pelaksanaan wajib belajar 12 tahun yang berkualitas belum
optimal, dan kualitas pembelajaran belum maksimal.

Tantangan lain yang harus direvitalisasi adalah masih terjadinya


potensi redundancy penggunaan belanja infrastruktur

1
Lihat RPJMN 2015-2019

124
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

yang seharusnya dapat didesentralisasikan tetapi masih


diselenggarakan langsung oleh pemerintah pusat melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama sepuluh
tahun terakhir.

Pada tahun 2012 pemerintah telah merintis program pendidikan


dasar 12 tahun yang dipersiapkan implementasinya pada tahun
anggaran 20142. Terdapat dua upaya yang ditempuh yaitu
pertama menambahkan alokasi Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) SMA/SMK/MA supaya wajib belajar 12 tahun dapat
terwujud, dan kedua menyiapkan revisi UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sampai saat ini upaya kedua
tersebut belum berhasil dicapai, sehingga rintisan pendidikan
dasar 12 tahun belum memiliki landasan hukum yang kuat.

B. Realitas Anggaran Pendidikan

Anggaran pendidikan dalam APBN dialokasikan melalui


belanja pemerintah pusat, belanja transfer dan pengeluaran
pembiayaan. Secara umum pengelolaan anggaran pendidikan
di tingkat kabupaten, kota dan provinsi diorientasikan untuk
pemenuhan penyelenggaraan pendidikan dasar sembilan
tahun dan pendidikan menengah. Hal itu tercermin dari
pemanfaatan APBD untuk membiayai belanja pegawai dan
enam program unggulan yaitu meliputi program wajib belajar
9 tahun, manajemen pelayanan pendidikan, peningkatan
mutu, peningkatan sarana prasarana, manajemen pendidikan
menengah dan pelayanan administrasi3.

2
Dikutip dari pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Moh. Nuh dari berita
Kompas tanggal 22 Februari 2012
3
Lihat lampiran Permendagri No. 13 tahun 2006 terkait program generik
urusan wajib pendidikan. Disarikan dari Peraturan Bupati tentang Penjabaran
APBD tahun 2014 dari 20 kabupaten/kota

125
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Grafik 1 Proporsi Anggaran Pendidikan dalam APBN dan APBD


Anggaran Pendidikan 201 0 - 201 5 Nilai & Proporsi Anggaran Pendidikan Daerah 201 5
200.00
2,500
20.2% 32.9%
31.8%
20.1%
2,000 20.0% 20.0% 20.0%
150.00

1,500
Rp Triliun

100.00
19.5%
1,000

50.00
500 4.4%

Rp Triliun 150.37 32.50 5.40


0 -
2010 2011 2012 2013 2014 2015 Kabupaten Kota Provinsi

Belanja Negara Anggaran Pendidikan % Anggaran Pendidikan


Rp Triliun Percent

Sumber: APBN 2015 dan APBD 2015 se-Indonesia; DJPK Kemenkeu 2015

Sejak tahun 2010 sampai 2015, pemerintah telah mengalokasikan


anggaran pendidikan rata-rata sebesar 20 persen dari APBN
selama lima tahun berturut-turut. Berdasarkan proporsi, alokasi
yang disediakan oleh pemerintah daerah bahkan berada pada
kisaran 30,4 persen dari APBD yaitu lebih besar dari batasan
minimal yang harus dipenuhi. Jika diuraikan berdasarkan tingkat
pemerintahan daerah otonom, rata-rata proporsi Kota sebesar
32,9 persen, Kabupaten 31,8 persen, dan Provinsi dengan rata-
rata paling rendah yaitu 4,4 persen.

Meskipun penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah


telah didesentralisasikan kepada pemerintah provinsi,
kabupaten dan kota, tetapi pemerintah pusat masih mengelola
anggaran yang cukup besar melalui intervensi tematik oleh
Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Pada tahun 2015 kedua kementerian tersebut
mengelola anggaran masing-masing sebesar Rp53,3 triliun dan
Rp49,4 triliun. Pengelolaan anggaran di Kementerian Agama
dilakukan secara sentralistik, yaitu untuk membiayai kebutuhan
lembaga pendidikan Islam sampai kepada tingkat desa melalui
pengendalian kantor perwakilan di tingkat provinsi, kabupaten
dan kota.

Adapun desentralisasi pendidikan juga telah disertai dengan


alokasi melalui skema Dana Alokasi Umum (DAU) untuk

126
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

membayar gaji pegawai dan guru yang bersifat mengikat, serta


Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan, pemeliharaan
dan rehabilitasi sarana maupun prasarana dengan mekanisme
pengelolaan yang diatur secara ketat oleh pemerintah
pusat. Artinya, meskipun dana tersebut ditransfer kepada
daerah, tetapi pemerintah daerah tidak memiliki diskresi
untuk menggunakan secara leluasa sesuai dengan prioritas
pembangunan di tingkat lokal karena batasan-batasannya telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Berikut ini adalah rekapitulasi anggaran pendidikan dasar dan


menengah yang terdapat pada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dan Kementerian Agama.

Tabel 1 Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah


(Dalam Jutaan Rupiah)

Satuan Kerja/ Kegiatan APBNP 2015

A. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah


Pembinaan Sekolah Dasar 6.871.000
Pembinaan Sekolah Menengah Pertama 5.843.000
Pembinaan Sekolah Menengah Atas 8.010.000
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan 9.009.000
Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus 912.000
Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Lainnya 386.757

B. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan

Pendidikan Masyarakat
Penyediaan Layanan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan 204.334
C. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam - Kementerian Agama
Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan dan Subsidi
Pendidikan Agama Islam 746.494
Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan dan Subsidi
Pendidikan Keagamaan Islam 1.149.755

127
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan dan Subsidi RA/BA


dan Madrasah 16.256.164
Program Pendidikan Dasar dan Menengah dan Program
Pendidikan Masyarakat (A+B) 31.236.091
Program Pendidikan Islam ( C ) 18.152.413
Belanja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 53.278.549
Rasio Program Pendidikan Dasar dan Menengah (%) 58,6%
Sumber: Lampiran III Perpres No. 36 tahun 2015 RABPP BA.KL

1. Implementasi Anggaran di Kementerian Pendidikan


dan Kebudayaan
Pada tahun 2015 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mengelola anggaran pada program pendidikan dasar dan
menengah sebesar Rp31,03 triliun atau setara dengan
58,2 persen alokasi anggaran Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Program tersebut dijabarkan menjadi kegiatan
pembinaan Sekolah Dasar, pembinaan Sekolah Menengah
Pertama (SMP), pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA),
pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pembinaan
pendidikan dan layanan khusus, dan dukungan manjemen.
Adapun proporsi kegiatan pembinaan pendidikan dasar
sembilan tahun yang meliputi SD dan SMP adalah 23,9
persen, sedangkan pembinaan pendidikan menengah pada
SMA dan SMK mendapatkan proporsi 31,9 persen dari total
belanja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Selain itu juga terdapat program pendidikan masyarakat


terkait dengan konteks pendidikan dasar dan menengah
yang dibelanjakan dalam bentuk kegiatan penyediaan
layanan pendidikan keaksaraan dan kesetaraan sebesar
Rp204,3 miliar atau setara dengan 0,38 persen dari total
belanja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

128
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

Pengelolaan anggaran pendidikan dasar diorientasikan


kepada dua aspek yaitu tersedianya layanan pendidikan
dan tersedianya bantuan pendidikan bagi siswa berbasis
keluarga. Sedangkan orientasi pendidikan menengah adalah
tercapainya perluasan dan pemerataan akses pendidikan
yang bermutu, berkesetaraan jender, dan relevan dengan
kebutuhan.

Berdasarkan output yang telah ditetapkan, kegiatan-


kegiatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat
jenis yaitu infrastruktur, bantuan, pembinaan dan subsidi.
Belanja subsidi mendapatkan proporsi rata-rata paling
dominan yaitu 72,2 persen dari kegiatan pembinaan Sekolah
Dasar (SD), pembinaan Sekolah Menengah Pertama (SMP),
pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Adapun rata-rata
proporsi infrastruktur mendapatkan 17,9 persen, rata-
rata proporsi bantuan 2,6 persen, dan rata-rata proporsi
pembinaan sebesar 7,4 persen.

Tabel 2 Kelompok Manfaat Belanja Pendidikan Dasar dan Menengah

Pembinaan Pembinaan Pembinaan Pembinaan


SD SMP SMA SMK
Infrastruktur 22,5% Infrastruktur 28,0% Infrastruktur 7,3% Infrastruktur 13,8%
Bantuan 2,4% Bantuan 4,4% Bantuan 1,4% Bantuan 1,9%
Pembinaan 7,7% Pembinaan 13,8% Pembinaan 3,1% Pembinaan 4,8%
Subsidi 67,3% Subsidi 53,8% Subsidi 88,2% Subsidi 79,4%
Sumber: Diolah dari Lampiran III Perpres No. 36 tahun 2015 RABPP BA.KL

2. Anggaran Pendidikan Islam pada Kementerian


Agama
Anggaran pendidikan yang dikelola Kementerian Agama

129
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

terkait pendidikan dasar dan menengah meliputi program


pendidikan agama Islam. Adapun rincian kegiatan dari
program tersebut antara lain peningkatan akses, mutu,
kesejahteraan dan subsidi pendidikan agama Islam,
pendidikan keagamaan Islam, serta RA/BA dan madrasah.

Pada APBN Perubahan tahun 2015 alokasi anggaran untuk


membiayai kegiatan-kegiatan tersebut sebesar Rp18,15
triliun atau sama dengan 36,7 persen dari total anggaran
pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Agama yaitu
Rp49,4 triliun.

Kegiatan pendidikan agama Islam didesain untuk


memberikan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas
dan kuantitas guru PAI dan pengawas PAI. Adapun target
capaian pada kegiatan pendidikan keagamaan Islam adalah
meliputi infrastruktur, bantuan, pembinaan manajemen
dan subsidi kepada pendidikan non formal, diniyah dan
pondok pesantren. Sedangkan untuk kegiatan peningkatan
mutu, akses dan tata kelola madrasah, capaian yang
ditargetkan juga meliputi infrastruktur, bantuan, pembinaan
manajemen dan subsidi kepada MI, MTs, dan MA.

130
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

Tabel 3 Sasaran dan Target Output Program Pendidikan Islam

Kegiatan Sasaran/Output
Meningkatnya mutu pendidikan islam pada
sekolah, melalui;
Pendidikan Agama Sertifikasi 24.142 guru PAI
Islam
Peningkatan kualifikasi S1 bagi 1.500 guru PAI
Pengembangan pembelajaran PAI di 5.631 sekolah
Meningkatnya mutu, akses & tata kelola PNF,
diniyah, & pesantren;
Beasiswa bagi 2000 hafidz Al-Quran di pesantren
BOS kepada 70.053 santri diniyah/ pendidikan
muadalah
Pendidikan 492.941 santri mendapatkan subsidi KIP
Keagamaan Islam Tunjangan fungsional bagi 10.000 guru diniyah
Biaya Operasional Pendidikan bagi 5000 madrasah
diniyah
Sertifikasi 24.142 guru PAI
Peningkatan kompetensi & kualifikasi 3000 guru
diniyah
Meningkatnya akses, mutu, dan tata kelola
madrasah;
Pemberian BOS kepada 3.56 juta siswa MI, 3,23
juta siswa MTs, dan 1,21 juta siswa MA
Pemberian KIP kepada 826.467siswa MI, 773.491
siswa MTs, dan 356.429 siswa MA
Pembangunan & rehabilitasi 1.750 ruang kelas &
perpustakaan MI
Peningkatan
Beasiswa kepada 2.500 siswa MI, MTs dan MA
Madrasah
Pembangunan & rehabilitasi 2.050 ruang kelas &
perpustakaan MTs
Pembangunan & rehabilitasi 1.297 ruang kelas &
perpustakaan MA
Pembangunan & peralatan 600 laboratorium IPA,
Komputer dan Bahasa di MA/MAK
Tunjangan fungsional, tunjangan profesi &
tunjungan khusus bagi 648.275 PTK Non-PNS

131
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

3. Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah di


Daerah
Pemerintah daerah telah mengalokasikan rata-rata 30,4
persen belanja daerah untuk pendidikan, tetapi 23,4 persen
dipergunakan untuk membiayai belanja pegawai. Sedangkan
anggaran untuk program pembangunan pendidikan yang
terdiri dari pemenuhan infrastruktur, aksesibilitas dan mutu
hanya 7,0 persen.

Tingginya belanja pegawai tersebut mencerminkan


penggunaan anggaran pendidikan sebagian besar hanya
diperuntukkan kepada pemenuhan kebutuhan biaya tenaga
pengajar. Di sisi lain kualitas penyelenggaraan proses belajar
mengajar juga seharusnya ditunjang dengan infrastruktur
yang memadai, jaminan akses yang adil dan mutu yang baik

Berdasarkan laporan hasil analisis anggaran daerah (AAD)4


di 16 kabupaten dan 4 kota pada wilayah Provinsi Aceh,
Kalimantan Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,
alokasi program pendidikan dasar tahun 2014 sebesar
rerata 47 persen. Sebagian besar anggaran pada program
Wajar Dikdas 9 tahun dipergunakan untuk membiayai
rehabilitasi dan pengadaan infrastruktur sekolah. Jenis
kegiatan di dalam program Wajar Dikdas sembilan tahun
meliputi pengadaan dan perbaikan inftrastruktur, Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), penyediaan pendidikan gratis,
penyelenggaraan ujian, pelatihan dan monitoring. Dari
kegiatan-kegiatan tersebut yang mendapatkan alokasi rata-
rata sebesar 75 persen adalah pengadaan dan rehabilitasi
infrastruktur sekolah.

4
Laporan hasil analisis anggaran pendidikan 2014 di 20 kabupaten/ kota
lokasi program KINERJA - USAID

132
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

Grafik 2
Grafik2
Distribusi Anggaran Pendidikan Berdasarkan Program Tahun 2014
DistribusiAnggaranPendidikanBerdasarkanProgramTahun2014
100%
80%
60%
79%

40%
63%

59%

57%

57%

56%

55%

47%

46%

45%

43%

40%

37%

33%
33%
20%

Luwu 26%

Kota Probolinggo 22%


0%
Makassar

Singkawang

Bengkayang

Sambas
Tulungagung

Sekadau

Kab. Probolinggo
Bulukumba

Luwu Utara

Bener Meriah
Aceh Singkil

Simelue

Aceh Tenggara
Jember

Banda Aceh
Wajar Dikdas 9 Tahun Manajemen Pelayanan Pendidikan
Pelayanan Administrasi Peningkatan Mutu

Sumber:DatabaseAPBDDJPKKemenkeutahun2014;diolahSeknasFITRA
Sumber: Database APBD DJPK Kemenkeu tahun 2014; diolah Seknas FITRA

Program peningkatan mutu pendidikan hanya mendapatkan proporsi sebesar ratarata 3


persendaribelanjalangsungpendidikantahun2014.Meskipunprograminimerupakansalah
Program peningkatan mutu pendidikan hanya mendapatkan
satuprioritaspembangunannasionaldisektorpendidikan,tetapihanyaterdapatduadaerah
proporsi sebesar rata-rata 3 persen dari belanja langsung
yangmemberikanperhatianagakseriusdenganindikatoralokasianggaranyanglebihdari5
persen yaitupendidikan
Kabupaten Aceh tahun 2014.
Singkil Meskipun
7 persen program
dan Kabupaten ini merupakan
Probolinggo dengan alokasi
salah satu prioritas pembangunan nasional di sektor
tertinggiyaitusebesar11persen.
pendidikan, tetapi hanya terdapat dua daerah yang
Pada tahun 2014 proporsi program manajemen pelayanan pendidikan di Kabupaten Luwu
memberikan perhatian agak serius dengan indikator alokasi
adalah50persendaritotalbelanjalangsungpendidikan.BerdasarkanhasilAADtahun2011,
anggaran
hal itu juga terjadi yang lebih
di kabupaten daridengan
yang sama 5 persen yaitu
proporsi Kabupaten
lebih Aceh
tinggi yaitu 67 persen.
Singkil 7 persen dan Kabupaten Probolinggo dengan alokasi
Tingginya alokasi disebabkan oleh adanya kegiatan pelayanan pendidikan gratis sebesar
tertinggi yaitu sebesar 11 persen.
Rp32,8miliaratausamadengan99persendaritotalanggaranprogramtersebutyaituRp33,3
miliar.
Pada tahun 2014 proporsi program manajemen pelayanan
C. KerangkaKebijakanPembiayaanPendidikan
pendidikan di Kabupaten Luwu adalah 50 persen dari total
Arah kebijakan pemerintah secara periodik
belanja langsung tercermin di
pendidikan. dalam Rencana
Berdasarkan Pembangunan
hasil AAD tahun Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) yang memiliki periode dua puluh tahun, dan Rencana Pembangunan
2011, hal itu juga terjadi di kabupaten yang sama dengan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN).Setiap tahun kebijakan diturunkan menjadi Rencana Kerja
proporsi lebih tinggi yaitu 67 persen. Tingginya alokasi
Pemerintah(RKP)yangmenjadiacuandasarpenetapankebutuhananggaran.
disebabkan oleh adanya kegiatan pelayanan pendidikan
Kebijakan pendidikan menjadi bagian dari arah kebijakan pembangunan jangka panjang pada
bagiankeduamewujudkanbangsayangberdayasaing.Secaralebihspesifikhalitudapatdilihat
133
pada aspek pembangunan sumberdaya manusia
berkualitas dan berdaya saing melalui strategi
peningkatan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi, politik anggaran, integrasi seluruh
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

gratis sebesar Rp32,8 miliar atau sama dengan 99 persen


dari total anggaran program tersebut yaitu Rp33,3 miliar.

C. Kerangka Kebijakan Pembiayaan Pendidikan

Arah kebijakan pemerintah secara periodik tercermin di dalam


Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang
memiliki periode dua puluh tahun, dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Setiap tahun kebijakan
diturunkan menjadi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang
menjadi acuan dasar penetapan kebutuhan anggaran.

Kebijakan pendidikan menjadi bagian dari arah kebijakan


pembangunan jangka panjang pada bagian kedua mewujudkan
bangsa yang berdaya saing. Secara lebih spesifik hal itu
dapat dilihat pada aspek pembangunan sumberdaya manusia
berkualitas dan berdaya saing melalui strategi peningkatan
kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi, politik anggaran,
integrasi seluruh pendidikan kedinasan ke dalam perguruan
tinggi, dan pelayanan pendidikan yang mencakup semua jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan5.

1. Kebijakan Pendidikan Jangka Menengah


Adapun arah kebijakan pemerintah yang relevan dengan
penyelenggaraan pendidikan dasar 12 tahun di dalam
RPJMN 2015-20196 adalah sebagai berikut:

a. Melaksanakan Wajib Belajar 12 tahun dengan


melanjutkan upaya untuk memenuhi hak seluruh

5
UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional, Bab IV Arah, Tahapan, dan
Prioritas Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005-2025
6
Lampiran Perpres No. 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku II
Agenda Pembagunan Bidang, Halaman 2-103 sampai 2-121

134
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

penduduk mendapatkan layanan pendidikan dasar


Sembilan tahun secara berkualitas
b. Melaksanakan Wajib Belajar 12 tahun dengan
memperluas dan meningkatkan pemerataan pendidikan
menengah yang berkualitas
c. Memperkuat jaminan kualitas (quality assurance)
pelayanan pendidikan
d. Memperkuat kurikulum dan pelaksanaannya
e. Memperkuat sistem penilaian pendidikan yang
komprehensif dan kredibel
f. Meningkatkan profesionalisme, kualitas, dan
akutabilitas guru dan tenaga kependidikan
g. Meningkatkan pengelolaan dan penempatan guru

Penyelenggaraan pendidikan dasar 12 tahun sebagaimana


tersebut diatas mengandung dua pernyataan kunci yang
harus digaris bawahi, yaitu menuntaskan pendidikan
dasar Sembilan tahun terlebih dahulu, dan secara pararel
memperluas menuntaskan dan meningkatkan pemerataan
pendidikan menengah yang berkualitas. Sedangkan
pengelolaan, penempatan, profesionalisme, kualitas,
dan akuntabilitas guru diletakkan lebih sebagai variable
pendukung. Selain itu juga terdapat dua aspek penunjang
yang harus diarusutamakan yaitu meliputi memperkuat
kurikulum dan pelaksanaannya, serta jaminan kualitas
pelayanan pendidikan.

2. Kerangka Pembiayaan Pendidikan Dasar 12 Tahun


Anggaran pendidikan berdasarkan APBN Perubahan tahun
2015 sebesar Rp408,5 triliun yang terdiri dari belanja
pemerintah pusat Rp154,4 triliun dan belanja transfer ke
135
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

daerah Rp254,2 triliun. Sedangkan pada RAPBN tahun


2016 mengalami peningkatan secara nominal menjadi
Rp424,8 triliun yang dikelola melalui belanja pemerintah
pusat Rp143,8 triliun, belanja transfer Rp275,9 triliun dan
pengeluaran pembiayaan Rp5,0 triliun.

Menurut UNESCO, pagu ideal anggaran pendidikan bagi


setiap Negara untuk menjamin pemerataan pelayanan yang
berkualitas adalah paling sedikit sama dengan 6 persen
dari Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun rasio anggaran
pendidikan Indonesia tahun 2015 adalah 4,0 persen dari
PDB. Sedangkan rasio pada RAPBN 2016 mengalami sedikit
peningkatan menjadi 4,2 persen.

Proyeksi kebutuhan biaya dapat dihitung melalui pendekatan


satuan biaya setiap siswa berdasarkan jenjang pendidikan
dengan merujuk kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM)
dan satuan biaya pendidkan total faktual setiap sekolah.
Perhitungan pendanaan pendidikan sendiri telah diatur
di dalam Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008, pasal
3 ayat (1) yang secara jelas memberikan kategorisasi
pembiayaan yaitu meliputi: a) biaya satuan pendidikan; b)
biaya penyelenggaraan dan/ atau pengelolaan pendidikan;
dan c) biaya pribadi peserta didik.

Kebutuhan biaya pendidikan berdasarkan SPM pernah


dihitung oleh Abbas Ghozali yang menetapkan satuan
biaya untuk SD/MI sebesar Rp4,05 juta, SMP/MTs Rp6,24
juta, SMA/MA Rp6,23 juta, dan SMK Rp8,17 juta. Di sisi
lain, perhitungan biaya satuan pendidikan total faktual juga
pernah dihitung oleh Neti Budiwati dengan menetapkan
kebutuhan tersebut secara total berdasarkan jenjang
pendidikan meliputi penggabungan biaya satuan, biaya
penyelenggaraan dan biaya pribadi. Sedangkan pada
skenario ketiga, rujukan ilmiah yang digunakan adalah hasil

136
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

perhitungan Prof. Zamroni, Ph.D dkk.

Desain kerangka estimasi pembiayaan berdasarkan periode


pemerintahan jangka menengah. Mengingat skenario
jangka panjang diperhitungkan sampai tahun 2030, maka
proyeksinya akan meliputi tiga periode pemerintahan
yaitu 2015-2019, 2020-2024, dan 2025-2029. Hal itu dapat
dilakukan dengan memperhitungkan tren pertumbuhan
penduduk usia sekolah dalam lima tahun terakhir.

Skenario 1:

Biaya Satuan Pendidikan Total Faktual tahun 2005


yang pernah dijadikan rujukan pemerintah dalam
memperhitungkan biaya satuan pendidikan tahun 2009.

Tabel 4 Estimasi Satuan Biaya Berdasarkan BSPT Faktual

Jumlah
Jenjang
No Sekolah BSPT Faktual Jumlah (Rp)
Pendidikan
2014
1 SD 148.272 8.401.500.000 1.245.707.208.000.000
2 MI 23.678 8.440.000.000 199.842.320.000.000
3 SMP 35.488 10.255.000.000 363.929.440.000.000
4 MTs 16.283 9.794.500.000 159.483.843.500.000
5 SMA 12.409 12.362.500.000 153.406.262.500.000
6 MA 7.260 11.775.500.000 85.490.130.000.000
7 SMK 11.726 11.329.500.000 132.849.717.000.000
TOTAL 2.340.708.921.000.000
Persentase terhadap PDB 2014 23,2%
Proporsi Pembiayaan Masyarakat 20 persen 468.141.784.200.000
Proporsi Pembiayaan Negara 80 persen 1.872.567.136.800.000

Metode penghitungan pada Tabel 4 menggunakan rujukan

137
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Biaya Satua Pendidikan Total (BSPT) Faktual berdasarkan


harga konstan tahun 2005. Kemudian biaya satuan tersebut
dikalikan dengan jumlah sekolah SD, MI, SMP, MTs, SMA,
SMK, dan MA yang telah dipublikasikan oleh BPS tahun
2014.

BSPT Faktual dimaksud adalah meliputi gaji dan tunjangan


pendidik, operasional non gaji, dan investasi termasuk
diskresi yang menjadi tanggungjawab negara. Selain itu
juga merupakan bagian perhitungan atas kebutuhan
pembiayaan pendidikan yang menjadi tanggungjawab
masyarakat. Total kebutuhan tahunan dari simulasi di atas
adalah sebesar Rp2.340,7 triliun atau sama dengan 23,2
persen PDB tahun 2014.

Total kebutuhan tersebut kemudian dibagi ke dalam dua


kategori yaitu 80 persen pembiayaan oleh Negara sehingga
menjadi Rp1.872,5 triliun dan 20 persen pembiayaan oleh
masyarakat sebesar Rp468,1 triliun. Artinya tanggung
jawab bersih Negara secara tahunan terhadap pembiayaan
pendidikan dasar 12 tahun adalah sebesar 18,5 persen dari
PDB atau tiga kali lipat lebih besar dari benchmark UNESCO
apabila pelayanan pendidikan benar-benar dicita-citakan
secara merata dan berkualitas di masa yang akan datang.

Skenario 2:
Biaya Satuan Pendidikan berdasarkan SPM dikalikan dengan
jumlah siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA tahun 2014

138
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

Tabel 5 Estimasi Satuan Biaya Berdasarkan SPM

Jenjang Biaya Satuan


No Jumlah Siswa Jumlah (Rp)
Pendidikan (SPM)
1 SD 26.508.500 4.057.104 107.547.741.384.000
2 MI 3.290.240 4.057.104 13.348.845.864.960
3 SMP 12.672.700 6.249.393 79.196.682.671.100
4 MTs 2.817.027 6.249.393 17.604.708.814.611
5 SMA 4.235.774 8.710.662 36.896.395.622.388
6 SMK 4.157.682 12.253.769 50.947.274.803.458
7 SMLB 7.110 8.710.662 61.932.806.820
8 MA 1.414.554 8.710.662 12.321.701.774.748
TOTAL 317.925.283.742.085
Persentase terhadap PDB 2014 3,1%

Perhitungan pada skenario pertama ini merujuk kepada


hasil Studi Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun Di Indonesia
tahun 2014 yang telah dikerjakan oleh NEW Indonesia, Bina
Swadaya Konsultan dan LPES.

Hasil simulasi tersebut kemudian dilengkapi dengan


jumlah siswa secara lebih terperinci berdasarkan jenjang
pendidikan sesuai dengan data Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2014. Sehingga estimasi kebutuhan tahunan
pembiayaan pendidikan dasar 12 tahun diperhitungkan
sebesar Rp317,9 triliun atau sama dengan 3,1 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2014. Rasio ini masih
berada dibawah international benchmark yang telah
ditetapkan oleh UNESCO tahun 2010.

Catatan penting dari perhitungan satuan biaya diatas adalah


bahwa kebutuhan yang dimaksudkan belum termasuk
biaya operasional dan biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sehingga apabila dua komponen lain pendanaan pendidikan
tersebut digabungkan, maka target rasio minimal sebesar

139
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

6 persen dari PDB setiap tahun akan dapat dipenuhi sejak


tahun 2016 sampai tahun 2030.

Skenario 3:

Estimasi Anggaran Pendidikan Dasar berdasarkan SPM


dikalikan dengan jumlah siswa SD/MI dan SMP/MTs tahun
2014

Tabel 6 Estimasi Anggaran Pendidikan Dasar Berdasarkan SPM

Jenjang Jumlah Estimasi


No Jumlah (Rp)
Pendidikan Siswa Anggaran
1 SD 26.508.500 2.952.000 78.253.092.000.000
2 MI 3.290.240 2.952.000 9.712.788.480.000
3 SMP 12.672.700 3.864.000 48.967.312.800.000
4 MTs 2.817.027 3.864.000 10.884.992.328.000
TOTAL 147.818.185.608.000
Persentase terhadap PDB 2014 1,5%
Proporsi Pembiayaan Masyarakat 20 persen 29.563.637.121.600
Proporsi Pembiayaan Negara 80 persen 118.254.548.486.400

Pada tahun 2010 Prof. Zamroni, Ph.D dkk dari Universitas


Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, telah merilis hasil
penelitian tentang Estimasi Anggaran Pendidikan Dasar
Melalui Penghitungan Unit Cost Guna Mewujudkan
Pendidikan Terjangkau di Daerah Istimewa Yogyakarta,
dengan ruang lingkung jenjang Sekolah Dasar (SD) sederajat
dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat.

Hasil kajian tersebut menjadi salah satu rujukan akademis


yang tersedia dan layak untuk dijadikan acuan dalam
menghitung opsi pembiayaan pendidikan dasar sebagai
skenari ketiga. Pada tabel 6 diatas dijelaskan bahwa unit

140
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

cost siswa SD sederajat setiap bulan adalah Rp246.000 atau


sama dengan Rp2.952.000 per-tahun. Sedangkan unit cost
siswa SMP sederajat adalah Rp322.000 atau sama dengan
Rp3.864.000 per-tahun.

Apabila diperhitungkan dengan jumlah siswa masing-masing


jenjang berdasarkan data BPS tahun 2014 maka unit cost
SD sederajat setiap tahun adalah Rp87,9 triliun, sedangkan
unit cost SMPsederajat setiap tahun adalah Rp59,8 triliun.
Artinya total estimasi anggaran pendidikan dasar Sembilan
tahun melalui perhitungan unit cost setiap tahun adalah
sebesar Rp147,8 triliun. Apabila 20 persen dari estimasi
anggaran tersebut merupakan kontribusi masyarakat, maka
anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah tinggal 80
persen atau setara dengan Rp118,2 triliun.

Berdasarkan kerangka kebijakan dalam RPJMN 2015-2019


bidang pendidikan dan Renstra Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan 2015-2019, maka anggaran pendidikan
Sembilan tahun dalam skema perhitungan 80 persen di atas
harus dituntaskan oleh pemerintah, yang secara pararel juga
dengan proses rintisan pemenuhan pendidikan menengah
pada jenjang SMA/SMK sederajat. Adapun rasio anggaran
dari pemerintah sendiri adalah setara dengan 1,2 persen
dari Produk Domestik Bruto (PDB).

D. Langkah-Langkah Strategis

Pemerintah dan pemerintah daerah memerlukan langkah-


langkah sistematis dan strategis untuk mendorong
penyelenggaraan pendidikan dasar 12 tahun sebagaimana telah
tersebut di dalam RPJMN 2015-2019. Adapun pilihan alternatif
dari langkah-langkah strategis dimaksud adalah sebagai berikut:

141
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

1. Revisi UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan


menegaskan arah kebijakan pelayanan pendidikan dasar 12
tahun.
Pemerintah dapat mengajukan kepada DPR RI naskah
akademik dan draft revisi secara terbatas UU Sisdiknas
khususnya kepada pasal-pasal utama yang berkaitan dengan
pendidikan dasar, agar terakomodir menjadi program
legislasi nasional prioritas tahun 2016. Secara pararel,
kolaborasi harus tetap dilakukan kepada para pemangku
kepentingan pendidikan dan kelompok masyarakat sipil
dalam rangka menyelenggarakan uji publik dan menggali
masukan konstruktif.

2. Menginisiasi terbitnya Peraturan Pemerintah tentang


Penyelenggaraan Pendidikan Dasar 12 Tahun.
Apabila revisi UU Sisdiknas berhasil masuk menjadi agenda
Prolegnas Prioritas tahun 2016, pemerintah juga harus
mulai mempersiapkan draft peraturan pemerintah tentang
penyelenggaraan pendidikan dasar 12 tahun tersebut. Tetapi
jika revisi tersebut tidak masuk dalam agenda prolegnas di
DPR RI, peraturan pemerintah posisinya menjadi sangat
vital untuk segera diterbitkan sebagai acuan hukum satu-
satunya di masa yang akan datang.

3. Menyusun grand design penyelenggaraan pendidikan dasar


12 tahun sekaligus memperjelas fokus utama kewenangan
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten/
kota agar tidak tumpang tindih.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan bertanggungjawab terhadap penyusunan
grand design tersebut. Panduan operasional ini harus
disahkan menjadi peraturan menteri. Apabila revisi UU
Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah terjadi atau tidak

142
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

terjadi, grand design sangat dibutuhkan sebagai acuan


implementasi teknis dapat dijadikan oleh seluruh tingkat
pemerintahan.

4. Mendesentralisasikan urusan pembangunan infrastruktur


sepenuhnya kepada kabupaten/ kota dan urusan
pemenuhan aksesibilitas kepada pemerintah provinsi.
Perkembangan capaian kinerja urusan dan fungsi
pendidikan dalam 15 tahun terakhir belum mengindikasikan
terjadinya akselerasi, karena tidak adanya harmonisasi atau
pembagian peran antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/ kota dalam menggunakan anggaran pendidikan.
Penyediaan infrastruktur lebih baik didesentralisasikan
sepenuhnya kepada kabupaten/ kota melalui mekanisme
Dana Alokasi Khusus Pendidikan yang diskresinya secara
penuh diserahkan, dan juga tanpa adanya prasyarat dana
pendamping 10 persen. Begitu juga dengan pemerintah
provinsi dapat mengambil kewenangan penuh dalam
pelayanan akses pendidikan. Pemerintah pusat dapat secara
terfokus dalam rangka melakukan afirmasi manajemen
pendidikan dan peningkatan mutu.

5. Merevitalisasi pemanfaatan anggaran pendidikan 20 persen


dari APBN dan APBD untuk pembangunan pendidikan,
termasuk pendidikan dasar 12 tahun di luar pemenuhan
gaji pegawai dan guru.
Berdasarkan skenario pertama pembiayaan yang telah
dibahas pada bagian sebelumnya, pemerintah dituntut
untuk menyediakan alokasi anggaran pendidikan dasar 12
tahun sebesar 3,1 persen dari PDB di luar kebutuhan gaji.
Dengan estimasi kebutuhan gaji yang diperkirakan sebesar
3 persen lainnya dari rasio PDB, anggaran pendidikan secara
total sudah sesuai dengan benchmark UNESCO. Pemerintah
juga dapat mengambil opsi kedua dengan mengalokasikan

143
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

anggaran pendikan sebesar 18,5 dari PDB apabila benar-


benar memiliki komitmen untuk pemenuhan layanan
pendidikan dasar 12 tahun secara merata dan berkualitas.

E. Rekomendasi:

Ada beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada elemen


pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pemangku
kepentingan pendidikan termasuk di dalamnya kelompok
masyarakat sipil. Adapun rekomendasi yang dimaksudkan
adalah sebagai berikut:

1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik


Indonesia seyogyanya melakukan penyempurnaan
Rencana Strategis; Revisi tersebut harus dilakukan sebelum
berakhirnya tahun 2015 dengan memasukkan secara tegas
pendidikan dasar 12 tahun sebagai target prioritas, supaya
konsisten dengan amanat Perpres No.2 tentang RPJMN
2015-2019.
2. Kementerian Keuangan segera melakukan optimalisasi
penerimaan Negara yang bersumber dari pajak dan
penerimaan Negara bukan pajak agar kebutuhan anggaran
pendidikan dasar 12 tahun dapat dipenuhi seluruhnya;
Potret ketersediaan anggaran dalam APBN sampai tahun
2015 diprediksikan tidak akan mampu memenuhi estimasi
kebutuhan pembiayaan pendidikan setiap tahun. Oleh
karena itu Presiden melalui Kementerian Keuangan
Republik Indonesia harus meningkatkan penerimaan
Negara melalui penetapan rasio pajak minimal 14 persen
dari PDB, dan memastikan perusahaan pengelola industri
berbasis sumberdaya alam taat untuk membayar PNBP
yang sampai hari ini baru terealisasi 30 persen dari potensi
sesungguhnya.
144
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun

3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia melakukan


ear-marking penerimaan dari PNBP SDA dengan proporsi
yang lebih memadai untuk membiayai pemenuhan layanan
pendidikan.
Isu penting lainnya adalah memperjelas sumber pembiayaan
pendidikan melalui penambahan ear-marking PNBP Migas
dan PNBP Pertambangan untuk diredistribusikan kepada
belanja pendidikan dasar 12 tahun. Ear-marking ini juga
berlaku bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota
sebagai penerima dua skema DBH tersebut sebagai upaya
untuk akselerasi pencapaian target nasional.

4. Kelompok Masyarakat Sipil secara pro-aktif mengawal


proses revisi Renstra Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan 2015-2019, serta melakukan pengawasan
secara berjenjang terhadap realisasi kebijakan anggaran
pendidikan, khususnya terkait pemenuhan pendidikan
dasar 12 tahun.

145
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

146
DAFTAR PUSTAKA

Baidowi, Ahmad, dkk., (2015), Potret Pendidikan Kita, PT. Pustaka


Alvabet, Jakarta

Budiwati, Neti,.(tanpa tahun) Bahan Kuliah Pembiayaan Pendidikan.


Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

Farhan, Yuna., dkk,.(2012). Laporan Analisis Anggaran Daerah


2008-2011: Temuan-Temuan Hasil Studi Pengelolaan
Anggaran di 20 Kabupaten/ Kota Partisipan Program
KINERJA. The Asia Foundation Seknas FITRA. Jakarta.

Hasbullah. (2015). Kebijakan Pendidikan, Jakarta; Raja Grafindo.

http://www.antaranews.com/berita/395235/184-ribu-anak-
berkebutuhan-khusus-belum-nikmati-pendidikan

http://www.budhii.web.id/2015/05/pengertian-pendidikan-
inklusi.html

https://fuadinotkamal.wordpress.com/2011/04/12/pendidikan-
inklusif/

http://www.pokjainklusifbojonegoro.com/about-us/apa-itu-
pendidikan-inklusif

http://sekolah-mandiri.sch.id/node/18
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

NEW Indonesia, Bina Swadaya Konsultan, LP3ES. (2014). Hasil Studi


Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun di Indonesia. Jakarta.

NEW Indonesia (2015), Bahan Presentasi Pendidikan 12 tahun di


Komisi 10 tentang Pendidikan, tidak diterbitkan.

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia


Nomor 22 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun 2015-
2019.

Prayitno, Hadi,. (2015). Polemik Kebijakan Ujian Nasional dan


Kurikulum 2013; dipresentasikan dalam Diskusi Tematik
tentang Kurikulum 2013 dan Ujian Nasional, yang
diselenggarakan oleh Yayasan Pembinaan Anak dan
Remaja Indonesia (YAPARI) dan NEW Indonesia pada 26
Februari 2015

Prayitno, Hadi,. (2015). Analisis Anggaran Pendidikan 16 Kabupaten


dan 4 Kota tahun 2010 2014 (Tidak Dipublikasikan). Mei,
2015

P3M (2014), Laporan Workshop Pendidikan Inklusi, tidak diterbitkan.

Republik Indonesia, Sekretariat Kabinet. (2015). Peraturan Presiden


Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015 2019 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015). Jakarta,
Januari.

Republik Indonesia, Sekretariat Kabinet. (2015). Peraturan


Presiden Nomor 36 tahun 2015 tentang Rincian Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56 Tahun
2015). Jakarta, Maret.

148
DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


(2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 22 tahun 2015 tentang Rencana Strategis 2015-
2019 (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 923 tahun
2015). Jakarta, Juni.

Rusdiana (2015). Kebijakan pendidikan dari filosofis ke Implemetasi,


Bandung; Pustaka Setia.

Sunaryo. (2009), Makalah Manajemen Pendidikan Inklusif

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak

Zamroni, Prof., Ph.D., dkk. (2010). Laporan Hasil Studi Estimasi


Anggaran Pendidikan Dasar melalui Penghitungan Unit
Cost Guna Mewujudkan Pendidikan Terjangkau di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.

149
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

150
Tentang Penulis dan Editor

Achmad Ikrom adalah sarjana Hauzah Ilmiyah Qum Iran (2005-2007) dan sedang
menyelesaikan Pasca Sarjana Jurusan Komunikasi Dakwah Universitas Syafiiah
(UIA) Jakarta. Saat ini menjadi Dosen di STAINU Jakarta dan menjadi pengajar di
beberapa pesantren. Selain itu, juga sebagai aktivis dialog antar agama dan sering
mengisi seminar-seminar tentang pendidikan dan anak. Ia juga aktif di Organiasi
keagamaan sebagai Katib Syuriah PCNU Kab Bogor (2015-2019). Penulis dapat
dihubungi melalui email: mullah.ahmad@gmail.com

Achmad Taufik, mulai mengeluti dunia anggaran sejak masih duduk di bangku kuliah di
semester akhir. Sejak 2009 hingga Oktober 2015, aktif di Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA). Penulis selalu terlibat dalam analisis anggaran,
baik level APBN maupun APBD dalam kajian dan penelitian anggaran yang
dilakukan oleh FITRA, baik sebagai peneliti maupun sebagai analis data. Sektor
anggaran yang digeluti adalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur (pekerjaan
umum), kemiskinan, pemberdayaan perempuan, dan terakhir anggaran yang
berkaitan dengan perubahan iklim dan keterbukaan informasi. Penulis dapat
dihubungi melalui email: opikcumin@gmail.com

Doni Koesoema A. Adalah pemerhati pendidikan, penulis buku dan pengembang pendidikan
karakter utuh dan menyeluruh dalam konteks keindonesiaan, alumnus Boston
College Lynch School of Education Boston, USA, dengan spesialisasi Curriculum and
Instruction. Ia mendalami pedagogi pengembangan profesional dan spiritualitas
di Universitas Gregoriana dan Salesiana, Roma, Italia. Ia banyak menulis artikel
pendidikan di harian nasional Kompas, Media Indonesia dan Sinar Harapan. Buku
yang telah diterbitkan antara lain, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di
Zaman Global, edisi revisi (Grasindo, 2015), Pendidik Karakter di Zaman Keblinger,
Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter, Edisi
Revolusi Mental (Grasindo, 2015), Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh,
edisi revisi (Kanisius, 2015), Strategi Pendidikan Karakter dalam Lembaga
Pendidikan (Kanisius, 2015). Ia menjadi pendiri dan direktur Pendidikan Karakter
Education Consulting (www.pendidikankarakter.org). Doni dapat dihubungi di
email: pendidikankarakter@gmail.com

Febri Hendri AA adalah aktivis antikorupsi yang tergabung dalam ICW (Indonesia Corruption
Watch). Saat ini, dia bergabung dalam divisi Investigasi. Sebelumnya, pada tahun
2010 Febri Hendri berada pada divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW yang
fokus pada permasalahan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Pengalaman
menangani masalah dan kebijakan pendidikan menjadikannya memahami seluk
beluk pendidikan mulai dari kebijakan ditingkat nasional sampai pada masalah
pendidikan ditingkat provinsi, kabupaten/kota, sekolah bahkan guru dan orang tua
murid. Saat ini, Febri Hendri bergabung dengan KMSTP (Koalisi Masyarakat Sipil
Untuk Transformasi Pendidikan) yang berisikan CSO (Civil Society Organization)
yang peduli dengan isu pendidikan. Penulis dapat dihubungi melalui email: febri_
hendri@antikorupsi.org
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

Hadi Prayitno, Lahir di Tuban, 21 Februari 1982. Merupakan alumni Pondok Pesantren Nurul
Jadid Paiton Probolinggo. Pernah bekerja di Sekretariat Nasional Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) tahun 2009-2015. Mengikuti
program-program di tingkat international yaitu: (1) International Workshop and
Exchange Programme on Social Audit. SSAAT Department of Rural Development,
Government of Andhra Pradesh, India 2011; (2) Strategic Management and
Leadership yang diselenggarakan oleh Harvard Kennedy School of Executive
Education di University of Navara, Madrid Spain tahun 2012; (3) Asian Regional
Conference on Social Accountability in Municipal Governance. Held by PRIA
India, SILAKA Cambodia and PRIP Trust Bangladesh, Phnom Penh, Cambodia,
2013; (4) Budget Advocacy and Monitoring Workshop for CSOs in Southeast Asia
Countries. Held by International Budget Partnership and The Ford Foundation,
Jakarta, Indonesia, 2013; (5) Regional Technical Workshop on Climate Responsive
Budgeting. Held by UNDP IBP Sweden Embassy and UKAid in Bangkok, Thailand
on 2014; dan (6) International Workshop on The Role of Think Tank in Policy
Making. Held by Shanghai Academy of Social Sciences (SASS) and School of Public
Policy and Management (SPPM), Tsinghua University KSI Indonesia, Shanghai
and Beijing on May 2015

Ridwan Darmawan, sejak Mahasiswa aktif di organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, PMII,
Keluarga Mahasiswa UIN Jakarta, Forum Kota, Sanggar Altar, Forum Studi Academia
Ciputat. Aktif menulis di Media internal UIN Fajar Baru Indonesia (FBI). Selepas
kuliah, ia melanjutkan aktivitas di PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM
Indonesia) 2004 - 2007, lalu mendirikan organisasi IHCS (Indonesian Human Rights
Committee for Social Justice) 2007. Saat ini (2014-2017) menjadi Ketua Eksekutif
IHCS. Sebagai anggota PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), ia juga aktif
sebagai Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian Hukum pada Asosiasi Pengacara
Syariah Indonesia (APSI) 2014-2019. Dan hingga kini aktif membela hak-hak
Konstitusional warna negara di Mahkamah Konstitusi (MK) dan di ranah advokasi
lainnya. Penulis dapat dihubungi melalui email: bogsdarmawan97@gmail.com

Rohidin Sudarno, saat ini aktif di PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) sebagai
Senior Adviser. Berpengalaman lebih dari 15 tahun di lembaga swadaya
masyarakat dalam berbagai isu, seperti kemiskinan, kebijakan dan pelayanan
public, dan anggaran daerah dan nasional. Memiliki pengalaman dalam desain
riset, manajemen keuangan dan mengorganisir komunitas. Penulis juga banyak
terlibat dalam beberapa pelatihan di tingkat internasional, di antaranya: Training
A Regional Forum on Procurement Monitoring as a Social Accountability Tool
Advancing Citizens Engagement with Government, Affiliated Network for Social
Accountability in East Asia and the Pacific (Hong Kong, 2009), Training of Social
Audit (India, 2011), Workshop and Working Meeting Integrity and Accountability
Method (Washington DC and New York, USA, 2012). Penulis dapat dihubungi
melalui email: roi@pattiro.org

Supangat Rohani, lebih dari 15 tahun berdedikasi di dunia pendidikan, mulai mengajar dari
Guru kursus bahasa inggris di Yogyakarta hingga Direktur Perguruan Islam Al Syukro
Universal Dompet Dhuafa Jakarta, dengan latar pendidikan formal S1 & S2 di (UIN)
Sunan Kalijaga dan S2 lagi di UGM Yogyakarta dan S3 di UPI Bandung, pengalaman
lainnya seperti short course pendidikan di McGill University, Canada & Sydney
University, Australia, serta pendampingan siswa di event internasional seperti
Turkey, Malaysia, Singapura dan Thailand. Penulis dapat dihubungi melalui email:
faatugm@yahoo.com

152

Anda mungkin juga menyukai