Anda di halaman 1dari 28

Refleksi Tiga Dekade Reformasi Neoliberal Industri Pendidikan Indonesia (Bagian 1)

(Memperingati Hari Pendidikan Nasional)

Oleh: James Faot

Pengantar

Selama tiga dekade terakhir, upaya meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia didasarkan
pada teori ekonomi politik neoliberalisme. Di mana reformasi sistim pendidikan berbasis pasar
bebas dianggap dapat menciptakan sektor pendidikan yang mumpuni dalam menghasilkan
sumber daya manusia berkualitas tinggi. Pelajar Pancasila yakni profil manusia dilengkapi
dengan komptensi global dan berperilaku pancasilais1 inilah yang diyakini dapat diwujudkan
oleh model pendidikan neoliberal. Para pendukungnya percaya bahwa ‘Visi Indonesia 2045’,
Indonesia menjadi negara yang “berdaulat, maju, adil, dan makmur”2 di usia seratus tahun,
dapat dicapai dengan meliberalisasi sistim pendidikan nasional. Mereka berargumen bahwa
tren global menunjukkan telah terjadi perubahan fundamental dalam kehidupan umat manusia,
terutama pada aspek teknologi, sosial dan lingkungan. Perubahan itu, turut berdampak pada
pendidikan dan dunia kerja, khususnya cara kerja di masa depan, baik pada level struktural,
otonomi pekerja dan pemberdayaan teknologi. Demikian pula, orientasi keterampilan tenaga
kerja juga beralih dari kebutuhan kerja fisik ke kebutuhan skill pemecahan masalah, kognitif dan
sosial. Para think tank neoliberal menilai bahwa kondisi inilah yang telah mendorong negara-
negara mengadaptasi sistim pendidikan mereka untuk memenuhi kebutuhan perubahan agar
dapat maju di masa depan.3 Mereka juga yakin bahwa sisitim pendidikan berbasis pasar bebas
akan mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan nasional. Tidak hanya itu, mereka mengklaim bahwa model pendidikan neoliberal
dapat mengakomodasi keberagaman Indonesia dan memiliki daya adaptif tinggi terhadap
tuntutan perubahan lokal, nasional dan global.4 Semua optimisme neoliberal tersebut terbaca
jelas pada konstruksi berpikir Rancangan Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional (RUU
Sisdiknas), yang tahun lalu gagal diloloskan di parleman.

Sayangnya, pemerintah mengabaikan begitu saja kritik atas kegagalan struktural dalam
pembangunan manusia sebagai akibat dari penerapan model pendidikan neoliberal.
Di era komodifikasi pengetahuan dan keterampilan, berubahanya entitas pendidikan sebagai
komoditas tidak hanya mencabut hak atas pendidikan yang merupakan bagian integral dari hak
asasi manusia, tetapi juga telah melegitimasi kapitalisme menciptakan profit melalui bisnis
pendidikan. Sekalipun, para pembela neoliberalisme menyatakan bahwa terdapat progres
dalam kapitalisme, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi telah dibawa maju mencapai titik
mutakhir tertentu dalam sejarah, yang memungkinkan semua manusia dapat mengembangkan
potensi terbaiknya, tetapi penyelenggaraan pendidikan di bawah kontrol pasar tetap akan
berjalan pada rantai eksploitasi dan melahirkan kesenjangan akses dan mutu. Seperti dikatakan
Woods, sebuah fakta bahwa pada dekade pertama abad ke-21, progres kapitalisme benar-
benar berhenti total. Kapitalisme telah lama menghabiskan potensinya dan sebaliknya, justru ia
telah menjadi hambatan besar di jalan kemajuan manusia. Dalam pemahaman ini, mustahil
untuk berbicara mengenai progres kapitalisme.5 Dengan demikian, haruslah di renungkan

1
dalam-dalam bahwa bahkan pada situasi terbaik sekalipun, terdapat batasan untuk apa yang
mungkin terjadi di dalam kapitalisme. Dalam masyarakat kapitalis yang eksploitatif, mustahil
untuk mengharapkan pendidikan dapat mengembangkan kapasitas penuh manusia sejak masa
kanak-kanak melalui sekolah.6

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2023, kami menggunakan momentum ini
untuk peluncuran perdana portal berita online bernama rakat.id. Sebagai bagian dari
kepedulian kami terhadap pentingnya pendidikan dan masa depan pendidikan Indonesia,
rakat.id berupaya merefleksikan perjalanan pendidikan nasional. Artikel ini bermaksud
memberikan gambaran umum kepada para pembaca rakat.id—kami menyebutnya “rakat’s”,
dari kata rakat yakni ‘rakyat timur’7, sesama, saudara, senasib atau saudara untuk menunjukan
‘adanya ikatan persaudaraan senasib dan seperjuangan’—mengenai model dan arah sistim
pendidikan nasional yang kami lihat dari sudut pandang pendidikan kritis.

Artikel ini berisi refleksi tiga dekade reformasi neoliberal industri pendidikan Indonesia. Namun,
ia akan tersedia dalam tiga bagian artikel. Bagian pertama, di sini, diawali dengan sebuah
lompat ke dalam situasi keributan nasional pada akhir dekade ketiga, di mana terjadi polemik
RUU Sisdiknas. Mencermati isu dan sikap elemen-elemen yang bereaksi serta motif terselubung
di balik RUU Sisdiknas. Selanjutnya, artikel ini mengeksplorasi awal pembentukkan dan
perkembangan industri pendidikan Indonesia di bawah kendali ‘sektor bisnis terorganisir’.
Kuatnya dominasi dan hegemoni neoliberalisme ditandai dengan upaya reformasi terus-
menerus selama tiga dekade dengan maksud menyesuaikan industri pendidikan Indonesia
dengan tuntutan perkembangan kebutuhan kapitalisme global. Artikel ini berpadangan bahwa
upaya mereformasi sistim pendidikan nasional merupakan dorongan tingkat lanjut untuk
semakin mengintegrasikan industri pendidikan nasional dalam sistim perdagangan jasa
pendidikan global. Dalam kepentingan legalisasi—di negera seperti Indonesia dengan kualitas
demokrasi sekadar prosedural—kubu neoliberal berupaya memperoleh dan memperkuat
legitimasi mengomersialisasi pendidikan nasional secara lebih luas dan dalam.

Bagian kedua artikel akan membicarakan dampak reformasi neoliberal industri pendidikan
Indonesia. Beberapa dampak yang dipandang fundamental karena akan menentukan arah
perkembangan industri pendidikan Indonesia yang telah terneoliberalisasi. Ini mencakup
perubahan paradigma tentang pendidikan, perubahan tujuan pendidikan dan dimulai
era dominasi lembaga pendidikan korporat di Indonesia.

Sementara bagian ketiga dan merupakan akhir dari artikel ini, fokus pada tawaran menghadapi
neoliberalisme pendidikan di Indonesia. Menggunakan perspektif pendidikan kritis, tawaran ini
bersifat politis. Persepektif kritis melihat pendidikan sebagai media sosialisasi nilai kelas
berkuasa. Terkait kebijakan pendidikan, tidak lain merupakan produk politik yang mengabdi
pada kepentigan ekonomi kapitalis. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, kecuali mengorganisir
kesadaran politik dan gerakan politik sebagai alat dan wadah perjuangan bagi pelajar,
mahasiswa, guru, dosen, orang tua dan masyarakat umumnya untuk melawan hegemoni
neoliberalisme di sektor pendidikan Indonesia.

2
Lompatan ke akhir dekade ketiga reformasi industri pendidikan

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik


Indonesia sejak tiga tahun lalu8 tengah berupaya meloloskan draf RUU Sisdiknas ke dalam
program legislasi nasional (Prolegnas) 2020-2024.9 Upaya ini mulai ramai dibicarakan di ruang
publik pada akhir Maret 2022, yang diwarnai reaksi penolakan dari berbagai elemen karena
dipandang banyak mengandung kontroversi. Misalnya, Aliansi Penyelenggara Pendidikan
Indonesia (APPI) dan Konsorsium Pendidikan Indonesia (KOPI), mendorong Komisi X DPR RI
untuk menunda memasukan RUU ini ke proglegnas 2022 dan meminta naskah akademik dan
draf RUU Sisdiknas.10 Mereka mendesak “Kemendikbudristek membentuk Panitia Kerja
Nasional RUU Sisdiknas yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendesain
peta jalan pendidikan nasional, naskah akademik, dan draf RUU Sisdiknas”.11 Lembaga politik
berbasis Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)12 dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP),13 juga bersikeras menolak RUU ini karena hilangnya frasa Madrasah sebagai salah satu
jenis pendidikan di Indonesia.

Walaupun demikian, Kemendikbudristek mengklaim sementara menyempurnakan naskah


akademik dan RUU Sisdiknas.14 Mereka menyatakan bahwa semua proses transparan dan
melibatkan pakar, organisasi pendidikan serta publik dalam memberikan masukan terhadap
naskah akademik RUU Sisdiknas.15 Tetapi, hal tersebut sama sekali tidak menutupi adanya niat
menempuh cara mudah dan cepat untuk memperoleh legitimasi bagi agenda reformasi sistim
pendidikan nasional berbasis pasar. Argumentasi ini bukan tuduhan, sebab ia memiliki basis
historis dan telah muncul sebagai tren meloloskan produk legislasi yang tidak pro-kepentingan
publik. Konfigurasi politik rezim Jokowi telah melahirkan fenomena kolusi eksekutif dan
legislatif dalam pembentukan undang-udang secara inkontitusional. Terutama, sejak 2019,
beberapa produk legislasi tidak lagi berjalan sesuai ketentuan UU No 15 Tahun 2019 (revisi UU
No 12 Tahun 2011) tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Proses legislasi yang tidak
transparans, tidak ada akses publik ke draf RUU atau naskah akademik, tidak curah pendapat
dengan publik dan sering kali, jika ada ‘pihak publik’ atau ‘ahli’ yang dilibatkan, mereka sudah
‘diframe’ atau ‘dipilih’ hanya yang pro-persekongkolan. Singkatnya, proses legislagi tidak
melibatkan pemangku kepentingan yang genuine agar berkontribusi dalam menyempurnakan
draf perubahan UU atau RUU. Oleh karena itu, dalam kasus RUU Sisdiknas hanya
mencerminkan “persekongkolan kepentingan eksekutif dan legislatif, serta berbagai pihak
terkait oligarki politik dan oligarki bisnis”.16 Peluang inilah yang sedang dimanfaatkan oleh
Kemendikbudristek untuk meredam perlawan terhadap muatan program reformasi pendidikan
yang mengandung kontradiksi.17 Dalam kasus RUU Sisdiknas, sangat mungkin,
Kemendikbudristek hanya menargetkan sekedar lolos proses legislasi. Atau, dengan kata lain,
mereka berupaya mengantongi legitimasi politik dan hukum terlebih dahulu. Sedangkan,
substansi RUU Sisdiknas, masih dapat diatur setelah pengesahan.18

Apabila mencermati elemen-elemen protes di atas, kita menemukan masih terdapat


fragmentasi isu di antara kelompok kepentingan. Walaupun, terdapat aliansi di antara mereka,
tetapi itu sangat cair. Demikian pula, motif perlawanan yang bersifat pragmatis dan sektarian
telah mencerminkan kekolotan perspektif perjuangan mereka. PGRI sebagai serikat guru

3
tertua19 dan terbesar20 di Indonesia serta memiliki kedekatan dengan pemerintah, dalam
pengawalannya menyatakan sikap resmi mereka melalui apa yang disebut media sebagai ‘5
catatan penting PGRI’. Di mana, itu mencerminkan fokus mereka hanya pada isu tunjangan
profesi guru dan dosen yang hilang atau kabur dalam RUU Sisdiknas.21 Tidak hanya
pragmatisme PGRI, sektarianisme juga tercermin jelas pada sikap resmi PPP melalui Sekretaris
Fraksinya sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Achmad Baidowi bahwa "Jika frasa
madrasah dihilangkan dari draft RUU Sisdiknas, maka Fraksi PPP menolak revisi UU Sisdiknas
masuk prolegnas prioritas…."22 Serupa dengan PPP, PKB melalui Ketua Umumnya yang juga
Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar, menyatakan "DPR tidak akan membahas RUU tersebut
jika tidak segera ada revisi dalam rancangan draf RUU Sisdiknas yang baru tersebut, dan
memasukkan kembali frasa madrasah…"23

Sekalipun demikian, sejauh langkah perlawanan waktu itu, pada tahapan tertentu dapat
dikatakan cukup efektif. Hal itu ditandai dengan putusan Komisi X yang membatalkan RUU
Sisdiknas masuk dalam prolegnas DPR RI 2022.24 Tetapi, sungguh naif untuk berkesimpulan
bahwa upaya penolakkan DPR RI terhadap RUU Sisdiknas adalah “keputusan bersejarah dalam
menyelamatkan bangsa”.25 Mengapa demikian? Tentu saja, karena perspektif perlawanan yang
sama sekali belum menyentuh masalah paling pokok terkait reformasi sistim pendidikan
nasional—yang hendak dicapai melalui RUU Sisdiknas. Justru, sebuah kesalahpahaman, jika
berpikir bahwa “RUU Sisdiknas baru akan berpeluang membuka ruang liberalisasi pendidikan”,
sebagaimana telah dikemukan anggota Komisi X DPR RI, Debby Kurniawan.26 Bukankah
liberalisasi pendidikan nasional telah berlangsung sejak lama?

Perspektif kelompok penolak mengekspos suatu kondisi ketidakpahaman atau setidaknya


kekeliruan dalam membaca substansi permasalah yang dihadirkan pemerintah melalui RUU
Sisdiknas. Polemik yang ditimbulkan RUU ini sama sekali bukan karena Kemendikbudristek tidak
memahami konstitusi secara benar, seperti penilaian Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid.27
Sebaliknya, justru Kemendikbudristek memahami apa yang sedang mereka lakukan dan apa
yang mereka sembunyikan di balik RUU Sisdiknas, sehingga mereka berupaya mengecoh
seantero bangsa ini dengan cara yang terlihat bodoh dan membingungkan. Siasat mereka untuk
segera meloloskan RUU ini dalam prolegnas prioritas 2023 hanyalah usaha menutupi agenda
besar reformasi neoliberal industri pendidikan Indonesia, yang telah dimulai sejak tiga dekade
lalu. Mereka ingin menyembunyikan kelompok yang paling berkepentingan dengan sistim
pendidikan nasional yang telah terindustrialisasi. Mereka juga ingin menutupi maksud
reformasi neoliberal industri pendidikan nasional, karena dipandang sudah tidak relevan dan
tidak mampu mewadahi tuntutan perkembangan industri pendidikan global.

Awal industri pendidikan Indonesia

Para penggerak

Sistim pendidikan Indonesia telah menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai ‘industri ekspor
jasa pendidikan global’ sejak tiga dekade lalu. Titik awal peralihan sistim pendidikan nasional
menjadi sebuah industri telah dimulai sejak tahun 1994 silam. Upaya itu telah melibatkan

4
elemen kekuatan yang oleh Howard disebut ‘para penggerak’ (derivers).28 Mereka adalah
penyandang dana utama bersama lembaga pendukung yang dikendalikan. Sementara,
pelaksananya (implements) adalah politisi, lembaga think tang, pengawas sekolah dan pihak
lain yang melaksanakan keinginan para penggerak dan juga dapat memberikan saran strategis
kepada mereka.29 Dalam konteks Indonesia, satu dari tiga sektor drivers yakni ‘bisnis
terorganisir’ memainkan peran lebih dominan dan lebih lama dalam agenda reformasi.
Sementara, sektor kedua dan ketiga seperti ‘perusahaan bisnis pendidikan’ dan ‘filantropi’,
tidak memiliki peran dominan dan baru saja muncul dalam arena reformasi industri pendidikan
Indonesia.

Sektor pertama ‘bisnis terorganisir’adalah yang pertama dan terutama dalam pengaruhnya
secara finasial dan politik untuk mendorong reformasi neoliberal. Mereka merupakan lembaga
kuasi negara yang beroperasi sebagai perpanjangan tangan perusahaan dan memimpin agenda
reformasi menuju ‘korporasi lembaga pendidikan’30 dalam skala global. Sektor ini terdiri dari
organisasi multilateral seperti WTO, IMF, WB dan OECD serta organ donor ekstenal yang
mundukung agenda mereka seperti IBRD, IDA, ADB, BEC-Trust Fund, Kingdom of the Nederland
dan Europaen Commission, USAID dan AusAID. Tiga organisasi yang disebut terdahulu sering
dijuluki The Unholy Trinity,31 mungkin tidak terlalu berlebihan untuk menyebut mereka sebagai
pelopor dan paling dominan sejak dekade pertama hingga dekade ketiga. Sementara itu,
organisasi terakhir yakni OECD, nampaknya baru dominan pada dekade kedua sampai saat ini.32
Namun secara keseluruhan, mereka memainkan peran kunci dalam mendorong reformasi
struktural di Indonesia, termasuk reformasi sistim pendidikan nasional berbasis pasar dan
perdagangan bebas.

Sektor kedua ‘perusahaan bisnis pendidikan’. Walaupun bukan merupakan pemain kunci dalam
reformasi, mereka telah berperan menumbuhkan dan menyuburkan ekosistim industri
pendidikan Indonesia, sejak akhir dekade kedua hingga dekade ketiga. Mereka ini mencakup
perusahaan besar dan investor seperti perusahaan teknologi pendidikan (Edtech), perusahaan
teknologi finansial atau keuangan (Fintech) sektor pendidikan dan terutama investasi modal
ventura dalam pendidikan publik di Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir marak
beroperasi melalui perusahaan pendidikan privat—walaupun ada juga milik publik—berbentuk
startup. GovTech Edu,33 PT. Pinduit Teknologi Indonesia (Pintek),34 Ruangguru, HarukaEdu,
Cakap by Squline, Zenuis, Quipper35 dan lain-lain. Pertumbuhan perusahaan bisnis pendidikan
di Indonesia tidak lepas dari dihilangkannya partisipasi asing dan swasta dari daftar negatif
investasi (DNI) melalui Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 36 Tahun 2010, hasil revisi terhadap
Pepres Nomor 111 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha
Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.36 Pada 2020, Grup Bank Dunia
merilis sebuah laporan tentang keadaan Edtech di Indonesia, menyimpulkan bahwa secara
keseluruhan sektor ini masih dalam masa pertumbuhan. Tetapi, kalangan investor percaya
bahwa industri ini memiliki potensi pertumbuhan yang cukup besar, meskipun pencapaian
pendidikan di Indonesia dipandang masih berkualitas rendah. Sumber lain menilai bahwa sejak
Pepres 36 Tahun 2010 sektor pendidikan Indonesia telah menerima investasi asing langsung
yang semakin besar, demikian juga investasi swasta.37

5
Sektor ketiga ‘filantropi’. Merupakan sektor yang baru saja muncul pada era rezim pendidikan
Nadiem Makarim. Mereka terdiri dari organisasi yang terafiliasi dengan perusahan besar seperti
Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Tanoto.38 Keterlibatan mereka dalam Program
Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud berbasis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) telah memicu kontroversi karena dinilai mengandung conflict of interest.39 Kabar
terakhir diberitakan bahwa organisasi Corporate Social Responsbility (CSR) ini menggunakan
anggaran mandiri40 dalam keterlibatan sebagai fasilitator POP, setelah sebelumnya dinyatakan
lolos seleksi dengan ‘kategori gajah’ dan berhak atas hibah masing-masing Rp20 miliar per
tahun.41 Memang, sektor ini tidak sebanyak, sebesar dan sekuat filantropi di negara maju
seperti di Amerika Serikat (AS).42 Tetapi, melihat perkembangan industri pendidikan Indonesia
yang terus di dorong maju oleh kelas kapitalis, terdapat kemungkinan bertambah jumlah dan
besarnya pengaruh filantropis dalam bisnis pedidikan Indonesia di masa depan.

Dinamika legalisasi

Berubahnya sektor pendidikan Indonesia menjadi sebuah industri memiliki sejarah yang
terhubung langsung dengan keterlibatan Indonesia dalam pembentukan WTO pada tahun 1994.
Jadi, ia tidak berdiri sendiri atau secara tiba-tiba berubah menjadi sebuah industri. Tetapi,
dipengaruhi langsung oleh dinamika atau perubahan kondisi ekonomi politik dunia, khususnya
krisis kapitalisme. Inilah alasan pendorong ekspansi WTO ke sektor pendidikan.

Robertson mengemukan sebuah analisis kronologis yang menggambarkan bahwa semua


bermula dari krisis sektor jasa Amerika Serikat (AS), yang ditandai dengan penurunan
perdagangan jasa pada tahun 1984. Hal itu telah disebabkan oleh kehadiran perusahaan
transnasional dalam sektor perdagangan mereka. Namun, perusahaan-perusahan raksasa ini
menghadapi masalah besar terkait peraturan domestik yang menghambat ekspansi secara
global. Untuk mengatasi tantangan tersebut, perusahaan transnasional membentuk berbagai
kekuatan lobi, termasuk Coalition of Service Industries (CSI), yang didedikasikan untuk menekan
pemerintah melalui negosiasi pengurangan hambatan ekspor jasa AS. Negosiasi yang
berlangsung di bawah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT),43 menghasilkan amanat
layanan perdagangan yang diperluas, tidak hanya mencakup layanan barang.44 Tahapan ini
mungkin dapat disebut sebagai embrio dari upaya komoditisasi pendidikan melalui suatu
perangkat regulasi perdagangan global.

Pada 1994, GATT digantikan oleh WTO. Selaku rezim ekonomi global, WTO melalui hasil
Putaran Uruguay secara ambisius meresmikan dua peraturan pada dua bidang perdagangan
baru, yakni Perdagangan Jasa (Trade in Services) dan Kekayaan Intelektual (Intellectual
Property). General Agreement on Trade in Service (GATS) dan Trade Related Intellectual
Property Rights (TRIPS), secara substansial bertujuan memajukan rezim perdagangan berbasis
regulasi.45 GATS dan TRIPS telah dinilai sebagai upaya WTO untuk melegalkan tren liberalisasi
yang telah lama berlangsung sejak era pemerintah Thatcher di Inggris dan Reagen di AS pada
1980an.46 Dengan mengonseptualisasikan pendidikan dalam bahasa perdagangan, WTO
mensahkannya dalam kerangka peraturan internasional untuk mengubah pendidikan menjadi
industri yang dilindungi hukum agar dapat komersialisasi secara global.47

6
Walaupun neoliberalisme pendidikan telah berlangsung jauh sebelum GATS, tetapi baru pada
tahap ini upaya mengkomersialisasi pendidikan diatur dalam sistim perdagangan global.48 Di
bidang jasa, pendidikan dimasukan sebagai salah satu dari 12 objek liberalisasi GATS.49 WTO
mengkategorikan pendidikan sebagai industri sektor tersier karena kegiatan pokoknya adalah
mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya ketrampilan menjadi
orang berpengetahuan dan orang yang punya ketrampilan. Oleh karena itu, setiap upaya untuk
menjadikan pendidikan dan pelatihan sebagai komoditi yang tata perdagangannya diatur oleh
lembaga internasional, tidak boleh diatur oleh otoritas suatu negara.50

Setelah meregulasi Perdangan Jasa (GATS) dan Kekayaan Intelektual (TRIPS), WTO tidak hanya
menyasar sektor pendidikan Amerika dan Uni Eropa, tetapi juga Asia.51 Di Indonesia, langkah
pertama yang dibuat adalah melaksanakan seluruh perjanjian multilateral dalam kerangka
GATT/WTO, yang diwujudnyatakan dengan meratifikasinya dalam UU No. 7 tahun 1994
Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Hasil Putaran Uruguay ini membahas
permasalahan yang lebih luas dan kompleks. Selain perdagangan barang, mencakup juga
perdagangan jasa, aspek-aspek dagang dari kekayaan intelektuan dan kebijakan investasi yang
berkaitan dengan perdagangan. Pengurangan hambatan perdagangan dan pembukaan akses
pasar domestik serta pengaturan ulang aspek pedagangan dalam kaitan dengan GATS dan TRIPS
serta ketentuan investasi terkait perdagangan jasa, termasuk pendidikan merupakan poin
kesepakatan utama.52 WTO memberikan waktu kepada Indonesia selama sepuluh tahun untuk
melaksanakan kebijakan liberalisasi berbagai sektor.53

Keputusan memeluk neoliberalisme membawa Indonesia pada konsekuensi hukum yang serius.
Di mana, setelah menandatangani GATS, Indonesia harus mengadakan perubahan-perubahan
yang berkaitan dengan aspek hukum, terutama yang berkaitan dengan peraturan perundang-
undangan agar sesuai dengan perekenomian global dan regional.54 Hal itu memberikan
keleluasaan bagi kapitalisme menata ulang sistim pendidikan nasional agar selaras agenda
perdagangan global. Foster menyebut restrukturisasi neoliberal ini sebagai langkah
menganibalisasi negara oleh kepentingan-kepentingan swasta.55

Untuk mamastikan suksesnya agenda reformasi, kita melihat kerja sama antara ‘sektor bisnis
teroganisir’ yakni institusi-institusi kapitalisme global, baik IMF, WB dan WTO. Upaya itu
mengarah pada deregulasi (menghapus hambatan regulasi domestik), pembuatan kebijakan
liberalisasi dan privatisasi pendidikan Indonesia. Hanya dalam kurun waktu kurang dari satu
dekade (1994-2003)—sebagaimana ditentukan WTO—mereka berhasil menciptakan
infrastruktur hukum yang cukup lengkap seperti UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional. UU ini bertujuan tidak hanya melegitimasi dan melindungi praktek
perdagangan pendidikan, tetapi juga menciptakan sikap penerimaan terhadap industri
pendidikan nasional. Akselerasi kebijakan pendidkan berbasis pasar ini hadir dalam wacana
reformasi pendidikan tinggi dan internasionalisasi pendidikan. Dan, dalam waktu singkat
wacana ini telah menjadi bagian dari agenda pemerintah Indonesia.

7
Berbeda dengan WTO yang mendorong industrialisasi pendidikan Indonesia melalui reformasi
kebijakan perdagangan, WB dan IMF melakukannya melalui politik hutang. Juga pada 1994, WB
mendorong agenda ‘higher education reform’. Pokok reformasi tersebut disarikan ke dalam
empat hal, yakni: pertama, mendorong diferensiasi Institusi PT; kedua, mendorong diferensiasi
pendanaan dari publik; ketiga, mendefinisi ulang (redefinisi) peran pemerintah; dan keempat,
fokus pada kualitas, performa, dan persamaan.56 Berselang empat tahun kemudian, 1998-1999,
yang pada pokoknya melanjutkan apa yang dikerjakan IMF pada 1997, WB melalui paket
hutang, mendorong program penyesuaian struktural dengan tujuan mempercepat deregulasi,
liberalisasi dan peningkatan peran serta swasta di sektor ekonomi, keuangan, perbankan, dan
infrastruktur, termasuk kelistrikan dan air bersih. Policy Reform Support Loan (PRSL) sebesar
US$1 miliar, Policy Reform Support Loan II (PRSL II) sebesar US$500 juta, Social Safety Net
Adjusment Loan (SSNL) sebesar US$600 juta, dan Water Resources Sector Adjusment Loan
(WATSAL) sebesar US$300 juta. Dan, pada Januari 1999, untuk mendukung program privatisasi
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Asia Development Bank (ADB) memberikan pinjaman teknis
sebesar US$2,47 juta dengan tujuan menyusun rencana reformasi BUMN dalam rangka
peningkatan efisiensi dan privatisasi.57 Sebelumnya, IMF telah berperan mempercepat
deregulasi, liberalisasi dan privatisasi sektor publik dengan memanfaatkan keterpurukkan
ekonomi Indonesia akibat krisis moneter 1997. Mereka mendesak pemerintah melakukan
reformasi struktural dengan menyasar BUMN.

Dalam kasus privatisasi di Indonesia, kita menemukan bahwa metode privatisasi pada sektor
pendidikan berbeda dengan sektor keuangan, perbankan dan industri lainnya. Privatisasi di
sektor lain dilakukan melalui penjualan BUMN/BUMD. Tetapi, privatisasi di sektor pendidikan
dijalankan secara bertahap dengan mengubah kebijakan-kebijakan sektoral dan aturan
perundang-undangan melalui program reformasi struktural yang anggarannya bersumber dari
pinjaman lembaga-lembaga keuangan internasional. Langkah ini bertujuan untuk memisahkan
negara dengan penyedia jasa infrastruktur dan menciptakan kompetisi di tingkat sektoral. 58
Metode privatisasi pendidikan melalui penjualan langsung suatu badan hukum pendidikan
sama seperti penjualan BUMN/BUMD, baru dapat dilakukan setelah dilegitimasi oleh Peraturan
Presiden Republik Indonesia No. 76 dan 77 tahun 2007, di mana sektor pendidikan terbuka
bagi penanaman modal asing.

Hasil dari intervensi kapitalisme global melalui ‘sektor bisnis terorganisir’ adalah legalisasi
liberalisasi dan privatisasi pendidikan tinggi negeri di Indonesia. Di bawah rezim reformis
pertama, Presiden B.J Habibie, lahir Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 1999 dan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 1999, yang secara substansial mengakomodir pokok-
pokok reformasi pendidikan tinggi. Pertama, pembiayaan pendidikan tinggi dapat diperoleh
dari sumber pemerintah, masyarakat dan pihak luar negeri;59kedua, perubahan institusi negeri
ke privat melalui status otonom. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN), misalnya: UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI, dan Unair; ketiga, menggeser peran
pemerintah dalam pengelolaan pendidikan publik ke peran swasta (termasuk asing) sebagai
pengelolaan privat berdasarkan mekanisme pasar.

8
Legalisasi kemudian dipertegas dan disempurnakan pada level undang-undang yakni UU
Sisdiknas No.20/2003. Ini terjadi pada rezim Megawati, yang memang liberal dan paling banyak
memprivatisasi BUMN.60 UU ini harus baca dalam kerangka pengintegrasian sistim pendidikan
Indonesia ke dalam sistim perdangangan jasa pendidikan global. Dalam regulasi baru ini, tidak
hanya ketiga pokok reformasi pendidikan tinggi yang telah disebutkan sebelumnya di atas,
tetapi secara spektakuler kelas kapitalis mendorong perluasan jangkauan liberalisasi dan
privatisasi. Juga, ia harus dilihat sebagai fondasi sekaligus legitimasi yang menopang dan
melindungi implementasi industrialisasi pendidikan di Indonesia dalam dua dekade setelah
diterbitkan. Sebab, dari regulasi ini berbagai produk hukum dan program pendidikan dilahirkan
dengan mewarisi semangat neoliberalisasi pendidikan.61

Setidaknya empat prinsip penting yang melandasi dan melindungi atau meligitimasi
beroperasinya industri pendidikan Indonesia terdapat dalam UU Sisdiknas No.20/2003.
Pertama, melegalkan privatisasi seluruh satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah
atau masyarakat dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagaimana diatur dalam
Pasal 53 ayat 1. Dan, merekomendasikan diregulasinya status badan hukum pendidikannya
berdasarkan landasan legal setara undang-undang (Pasal 53 ayat 4).

Upaya melegitimasi privatisasi juga dapat dilihat pada Pasal 51 ayat 1. “Pengelolaan satuan
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah/madrasah.”62 Jelas, ini adalah otonomisasi sekolah. Sebab, model Manajeman Berbasis
Sekolah (MBS) tidak lain merupakan proyek WB yang dipromosikan melalui media yang disebut
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).63 MBS adalah proyek hegemonik kelas kapitalis yang
bertujuan untuk mengondisikan kesadaran pemerintah dan masyarakat agar menerima
privatisasi sekolah. MBS tidak hanya dipersiapkan untuk membangun kebiasaan terhadap
keterlibatan sektor bisnis, tetapi juga mengadopsi manajemen perusahaan sebagai bagian dari
reformasi manajerial sekolah. Ini adalah inti sarinya, semakin dalam peran swasta dan sektor
bisnis serta cara-cara pengelolaan sekolah berdasarkan prinsip-prinsip korporasi, maka semakin
mudah dan cepat lembaga sekolah bertransisi dari tangan pemerintah ke tangan swasta, yang
kemudian diubah menjadi ‘sekolah korporat’.

Kedua, melegalkan pebisnis pendidikan swasta nasional dan bahkan asing mengambil untung
dari anggaran negara. Pasal 54 mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan.
Siapa masyarakat ini? Dalam UU, mereka diidentifikasi sebagai perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (ay 1). Mereka ini juga
berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (ay 2). Sementara,
pada Pasal 55 mengatur pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan, selain dapat
bersumber dari penyelenggara atau pihak masyarakat sendiri, pendanaan juga diperoleh dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (ay 3). Selanjutnya, diatur juga mengenai lembaga
pendidikan berbasis masyarakat ini dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan
sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah
(ay 4).

9
Konseptualisasi dan kontekstualisasi peran serta masyarakat yang dibangun dalam UU ini telah
terkonfirmasi sebagai buah pemikiran berdasarkan egenda neoliberal seperti liberalisasi dan
privatisasi. Berpikir demikian akan menolong kita membuka tabir gelap dari beragam alasan
pemerintah melibatakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Penalaran
yang konsisten dengan logika dan praktik tata ulang regulasi pendidikan di Indonesia, justru
membuktikan bahwa peran serta masyarakat dapat berarti: 1) bisnis pendidikan terbuka luas
sebagai usaha menciptakan profit. Dengan kata lain, membuka sekolah atau perguruan tinggi
sebagai sesuatu yang murni berbisnis adalah legal; 2) melegitimasi ekspropriasi sekolah atau
perguruan tinggi negeri dan swasta melalui mekanisme investasi asing atau kepemilikan swasta
asing, sebagaimana dilegalisasi UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan
kemudian disusul oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 76 dan 77 tahun 2007, yang
menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing
maksimal mencapai 49%.64 Sebagaimana WTO mengonseptualisasikan pendidikan sebagai
komoditas dan dikategorikan sebagai industri sektor jasa, Perpres ini juga memperlakukan
pendidikan sebagai bidang usaha, selayaknya dipahami dalam bidang ekonomi. Kemitraan
dengan komposisi kepemilikan modal asing yang hampir berimbang tersebut membuka peluang
kepemilikan mayoritas beralih ketangan asing65 Mungkin, suatu waktu nanti karena tergiur
keuntungan yang lebih besar, proporsi kepemilikan privat asing dapat mencapai 100%. Di
sinilah kita melihat secara aktual peran serta masyarakat dalam penyelenggaran pendidikan
yakni adanya keterbukaan terhadap penanaman modal asing, baik pada lembaga pendidikan
negeri maupun swasta nasional. Walaupun, secara legal hal ini baru akan terjadi empat tahun
setelah lahirnya UU Sisdiknas 20/2003.

Ketiga, melegalkan keterlibatan negara sebagai provider industri ekspor jasa pendidikan dalam
sistim perdagangan global. Perkembangan ini penting untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai
neoliberalisme telah terinternalisasi membentuk watak ideologis dan peran negara dalam
mindset, motif, inisitif dan produk kebijakan. Tipikal negara yang demikian akan berdampak
buruk dalam penyelenggraan pendidikan nasional, terutama berkaitan dengan akselerasi
liberalisasi dan privatisasi yang memicu tumbuhnya budaya komersiil dalam lingkungan
pendidikan, peningkatan biaya pendidikan serta pembatasan akses terhadap pendidikan
berkualitas.

Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 50 ayat 3, di mana legalitas diberikan kepada negara
melalui pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkan sekolah bertaraf internasional.
“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan
yang bertaraf internasional.”66 Para pendukungnya berargumen bahwa Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI) merupakan upaya teknokratis dan donor untuk mempromosikan kualitas
pendidikan dan hasil belajar yang lebih baik melalui reformasi pendidikan berorientasi pasar. 67

Keempat, masih merupakan bagian dari skenario privatisasi lembaga pendidikan, tetapi
memiliki sifat yang lebih ekstrim, yakni melegalkan ekspansi, jika tidak ingin mengatakan invasi
pendidikan asing di Indonesia. Nalle, telah mengidentifikasi 4 pergeseran prinsip dalam Pasal
65, antara lain: 1) tidak ada lagi pembatasan tempat penyelenggaraan pendidikan; 2) tidak ada

10
lagi pembatasan tingkat satuan pendidikan yang dapat diselenggarakan oleh pendidikan asing;
3) kegiatan pendidikan asing bukan lagi ditujukan hanya untuk warga negara asing, namun juga
untuk warga negara Indonesia (ayat 2), dan; 4) kegiatan pendidikan asing dapat menggunakan
sistem pendidikan asing di negara Indonesia (ayat 4).68

Komitmen pemerintah Indonesia terhadap GATS—untuk mereformasi sistim pendidikan


nasional agar sejalan dengan visi industri ekspor jasa pendidikan regional dan global dalam
kerangka peraturan WTO—tidak hanya mengikat pemerintah, tetapi juga mengubah paradigma
pendidikan. Dalam kerangka WTO, GATS terdiri dari tiga komponen: pertama, kerangka aturan
yang mengatur perdagangan jasa diperlakukan dengan cara yang sama seperti perdangan
barang di bawah GATT; kedua, lampiran pada sektor jasa tertentu, dan; ketiga, jadwal yang
merinci komitmen liberalisasi masing-masing anggota WTO.69 Komitmen ini bersifat mengikat
dan tidak dapat diubah tanpa memberikan kompensasi kepada anggota lainnya, jika tidak
mereka akan disanksi.70 Pada dasarnya ini adalah cara untuk mengunci dan menghukum negara
anggota yang dirugikan dalam penjanjian. Dari sudut pandang teoritis, aturan dalam komponen
ini secara keseluruhan hanyalah taktik untuk mempercepat negara anggota menuju
liberalisasi.71 Sementara itu, perubahan paradigma pendidikan ditandai dengan perubahan
fundamental pada cara pandang dan perlakuan terhadap pendidikan, watak negara, format
institusi dan subjek pendidikan yaitu manusia itu sendiri.

Dengan demikian, untuk menjawab kebutuhan industri pendidikan global, organisasi


pendidikan konvensianal di bawah kendali negara (peran untuk menghalangi pasar atau
proteksionisme negara) tidak lagi relevan bahkan cenderung bertentangan dengan tujuan kelas
kapitalis yakni akumulasi kapital. Untuk itu, sektor bisnis terorganisir berupaya menata ulang
subuah sistim industri pendidikan Indonesia yang teregulasi berdasarkan tata regulasi
perdagangan global, terutama pada tataran kebutuhan legitimasi atau legalistas. Sistim ini
mensinkronisiasi industri ekspor jasa pendidikan Indonesia dengan industri ekpor jasa
pendidikan pada level regional dan global. Di sinilah awal diletakannya fondasi kokoh
industrialisasi pendidikan Indonesia berdasarkan doktrin neoliberal.

Selanjutnya, untuk mempercepat pedagangan bebas dan pengintegrasian lebih dalam dengan
industri ekspor pendidikan global, sistim pendidikan Indonesia masih harus ditata ulang
terutama dalam menerapkan formasi manajerial agar semakin sesuai dengan standar
pendidikan global. Di sini, kita kembali melihat kolaborasi sektor bisnis terorganisir, think tank,
dan pengambil kebijakan dalam melakukan penyesuaian melalui penerapan model
kelembagaan yang otonom dengan prinsip-prinsip pendanaan dalam manajemen pendidikan,
seperti keadilan (termasuk proporsionalitas pembiayaan), kecukupan, keberlangsungan
(termasuk manajemen yang berwirausaha), efisiensi, dan akuntabilitas. Sekaligus, upaya tata
ulang ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan ekonomi global akan ketersediaan sumber
daya manusia (human resuorces). Sepanjang 2005-2015, mereka merancang sistem pendidikan
nasional yang berwawasan global sebagai panduan kerangka kerja reformasi pendidikan
Indonesia. Kita harus jujur mengakui bahwa implementasi reformasi manajerial pendidikan
adalah tahapan maju yang dicapai oleh kelas kapitalis setelah mengitervensi kebijakan
pendidikan nasional selama satu dekade (1994-2004).

11
Walaupun, upaya liberalisasi dan privatisasi pendidikan tinggi di Indonesia menghadapi
perlawanan masif dari kekuatan progresif kalangan mahasiswa, tetapi kelas kapitalis tetap dan
terus berupaya menyempurnakan sistim perdagangan global dalam dunia pendidikan nasional.
Di sini, harus diingat dengan baik mengenai komitmen liberalisasi negara anggota WTO. Dalam
GATS disebut komitmen horizontal, berlaku terhadap perdagangan jasa dalam semua sektor
yang telah dijadwalkan. Dengan demikian, semua tindakan proteksi terhadap akses pasar
(market acces) dapat dipandang sebagai ketidaktaatan pada perjanjian. Inilah alasannya,
sekalipun menghadapi gerakan kontra, berbagai modus digunakan untuk meloloskan produk
hukum baru guna mengimplementasikan manajemen pendidikan perusahaan. Model yang
memang sesuai dengan kebutuhan komersialisasi dalam industri pendidikan.

Contoh yang paling gamblang adalah upaya meloloskan Rancangan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP). Sejak direkomendasikan pembentukannya oleh UU Sisdiknas
20/2003, berselang tiga tahun kemudian, tepatnya pada Oktober 2006, Naskah Akademik RUU
BHP mulai mengisi wacana pendidikan tinggi, baik pada level nasional dan daerah. RUU ini
menjadi media kontestasi antara kelompok pro reformasi pendidikan neoliberal dan kelompok
kontra reformasi pendidikan neoliberal. Perhelatan kubu pro dan kotra belangsung sepanjang
tiga tahun, hingga 2009 RUU BHP resmi diundangkan menjadi UU No. 9 Tahun 2009 Tentang
Badan Hukum Pendidikan (UU BHP No. 9/2023).

Namun, pada 2010 hasil judisial review, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP karena
dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan menimbulkan ketidakpastian hukum.72 Atas
keputusan itu, WB merespon dengan memberikan tekanan kepada pemerintah Indonesia,
untuk wajib mensahkan sebuah regulasi baru penganti BHP, sehingga semua lembaga
pendidikan di Indonesia, baik negeri maupun swasta berstatus otonom.73 Dan, sebagai sikap
taat kepada keinginan para penggerak ini, tiga tahun kemudian pemerintah melahirkan UU No.
12 tentang Pendidikan Tinggi.

Pada 2003, berdasarkan angka perdagangan WTO, sektor perdagangan jasa menyumbang 1/5
dari perdagangan global dan 60-70% dari PDB di negara-negara OECD maju. Sementara itu, 75%
perdagangan jasa terletak di negara-negara industri OECD, terutama AS, Kanada, UE (eksportir
terbesar, sebagian besar terdiri dari Inggris, Prancis, Jerman) dan Jepang. Sedangkan, 25%
sisanya dimiliki oleh Hong Kong, China, Korea Selatan, Singapura dan India.74 Dengan dorongan
perkembangan perdagangan jasa global tersebut, pada tahun 2005, WTO memulai putaran
Hong Kong. Puturan ini memiliki tujuan utama mengurangi hambatan perdagangan di seluruh
dunia dan memajukan perdagangan global serta mengoperasionalkan langkah-langkah
peningkatan komitmen liberalisasi hasil putaran Doha pada 2001, yang mengalami hambatan
negosiasi negara anggota terkait isu penghapusan pajak impor dan pencabutan subsidi. 75 Dalam
putaran Hong Kong inilah, Indonesia menawarkan lagi liberalisasi lima sub sektor pendidikan,
seperti: (1) jasa pendidikan menengah teknikal dan vokasional; (2) jasa pendidikan tinggi
teknikal dan vokasional; (3) jasa pendidikan tinggi; (4) jasa pelatihan dan kursus bahasa; (5) jasa
pendidkan dan pelatihan sepak bola dan catur.76

12
Kita harus jeli mengenali motif pemerintah. UU Sisdiknas 20/2003 telah menunjukkan
terjadinya perubahan watak ideologis pemerintah dengan melegalisasi peran negara sebagai
provider industri ekspor pendidikan dalam sistim perdagangan global. Inisiatif penawaran di
atas, harus dibaca sebagai aktualisasi watak ideologis neoliberal. Sampai di sini, jelas bagi kita
bahwa liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan nasional bukan lagi suatu paksaan,
tetapi sudah merupakan suatu obsesi. Kesimpulan ini sama sekali tidak membantah telah
berlangsungnya komersialisasi pendidikan, terutama pendidikan tinggi sebelum sebelum tahun
2003. Praktek komersialisasi jelas sudah berlangsung seiring berjalannya liberalisasi dan
privatisasi pendidikan dengan berubahnya format organisasi perguruan tinggi menjadi BHMN
berdasarkan legitimasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 1999 dan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 1999. Akan tetapi, kesimpulan ini ingin membuktikan bahwa
dalam konteks penyelenggaraan pendidikan, hegemoni neoliberal telah berhasil ditanamkan ke
dalam kesadaran pemerintah dan swasta nasional oleh ‘sektor bisnis terorgnisir’. Pemerintah
dan masyarakat banyak telah bersikap sangat terbuka terhadap ideologi neoliberal sebagai
panduan penyelenggaraan pendidikan. Sekaligus, kesimpulan ini juga membantah apologi
bahwa ‘pemerintah masih terlibat dalam banyak urusan pendidikan nasional dan karenanya
kebijakan-kebijakannya tidak neoliberal.’ Sudut pandang demikian adalah keliru dan
menyesatkan. Sebab, “..adanya peran pemerintah sama sekali bukan dengan sendirinya berarti
paket kebijakan tidak berciri neoliberal. Sangat biasa paket kebijakan melibatkan peran
pemerintah yang besar, namun tetap saja berciri neoliberal.”77

Berselang dua tahun kemudian setelah diterbitkannya UU Sisdiknas 20/2003, di bawah rezim
baru yang berhaluan neoliberal, Susilo Bambang Yodhoyono (SBY), telah memulia serangkaian
implementasi kebijakan industrialisasi pendidikan nasional. Dari sudut pandang organisasi
kekuangan dan pembangunan internasional, negara dan perusahaan provider jasa pendidikan
asing, sisitim pendidikan Indonesia telah menjadi perusahaan dengan volume tinggi, tetapi
masih berkualitas rendah.78 Oleh karena itu, perlu didorong melalui reformasi pendidikan
berbasis pasar. Rendahnya kualitas tersebut diakibatkan oleh kurangnya pendanaan, rendahnya
sumber daya manusia, struktur insentif yang tidak tepat dan manajemen lembaga pendidikan
yang buruk. Mereka merekomendasikan agar pemerintah meningkatkan pendanaan
pendidikan, meningkatkan profesionalisme guru, dan mereformasi manajemen pendidikan.79

Bermodalkan legalitas UU Sisdiknas 20/2003, rezim SBY kemudian melahirkan UU No. 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, implementasi BOS dan MBS, RSBI/SBI dan UU BHP, UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan PP RI No. 76 dan 77 tahun 2007 dan UU No. 12
Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang merupakan ‘pintu masuk’ bagi perguruan tinggi
asing di Indonesia. Pintu pintu masuk ini telah diletakan dalam Pasal 90, Bab IV
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Lembaga Negara Lain.

Langkah reformasi industri pendidikan selanjutnya terjadi ketika Indonesia mengalami


pergantian kekuasaan dari SBY ke Jokowi (Joko Widodo) pada 2014. Tahap ini secara dominan
digerakan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang
dalam kurun waktu dua dekade terakhir telah berperan sebagai alat pemasaran global yang
mempromosikan reformasi pendidikan ke Indonesia.80

13
Pada 2014, OECD menilai bahwa berbagai langkah reformasi pendidikan berbuah hasil positif.81
Selanjutnya, pada 2015, OECD kembali merekomendasi reformasi fiskal dan struktural dalam
skala dua kali lipat, sebagaimana gamblang dinyatakan dalam pidato Sekertaris Jenderal OECD,
Angel Guirera.82 Saran tinjauan kebijakan pendidikan OECD, seringkali berorientasi pada
pembukaan dan pengembangan pasar dan industri pendidikan dengan memobilisasi sumber
daya swasta sebagai solusi atas masalah pendidikan. Ini mencakup reformasi struktur dan skala
penyediaan pendidikan, akses dan inklusi pendidikan, pengajaran dan pembelajaran, sistim
penilaian, standar dan akreditasi, pembiayaan dan tata kelola jenjang pendidikan pra-sekolah,
sekolah dasar, menengah, kejuruan hingga perguruan tinggi.83

Rekomendasi OECD pada 2015-2018, secara ambisius mempromosikan reformasi sistim


pendidikan nasional yang sebagian besar diakomodir dalam RUU Sisdiknas pada 2022. Misalnya
pada 2015, mereka mendorong perluasan program pendidikan kejuruan untuk meningkatkan
lapangan kerja bagi kaum muda,84 dan satu rekomendasi utama terkait pendidikan yakni
melanjutkan penilaian (asesmen) secara teratur dan pengembangan profesi yang dikaitkan
dengan gaji guru secara lebih dekat dengan kualifikasi dan kinerja.85 Pada 2016, mereka
mendorong penghapus pendidikan dari Daftar Hitam Negatif Investasi atau Daftar Negatif
Investasi (DIN),86 mendorong pembiayaan pendidikan tinggi melalui pinjaman mahasiswa87 dan
mengarahkan sumber daya publik (swasta/privat) untuk meningkatkan akses dan capaian
pendidikan88 Selanjutnya, pada 2018, OECD kembali mendorong pemerintah fokus pada
pengembangan dan memperbaiki keterampilan kejuruan yang melibatkan perusahaan-
perusahaan pemberi kerja.89 Melalui penyesuaian kebutuhan investasi di berbagai lapangan
ekonomi, pelibatan skala besar pemberi kerja melalui pendidikan dan pelatihan kejuruan
dipandang dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja dengan keterampilan menengah. Sementara
itu, mereka mendorong pemerintah mencabut pembatasan penggunaan tenaga kerja asing
dengan keterampilan tinggi.90 Tidak luput dalam kerangka hubungan pendidikan dan
ketenagakerjaan, OECD medorong pemerintah laksanakan program rintisan perlindungan
ketenagakerjaan dengan skala rendah, sekaligus menurunkan upah minimum bagi kaum muda
di kawasan ekonomi khusus. Jika berhasil, program rintisan direkomendasikan agar diperluas
baik prosedur dan jangkauannya.91 Masih terkait dengan pendidikan tinggi vokasi, OECD
mendorong pemerintah melibatan lembaga pendidikan swasta dengan skala penyedia utama
pendidikan dan pelatihan—walaupun ini terbatas pada sektor pariwisata.92

Dua tahun setelah OECD mendorong penghapusan DIN dari sektor pendidikan, pada 2018, lahir
Peraturan No. 53 tahun 2018 tentang Pendidikan Universitas Asing yang mulai berlaku efektif
sejak 30 Oktober 2018.93 Demikian pula, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (UU Cipta Kerja) menghapus klaster pendidikan dari Daftar Investasi Negatif (DIN) 94 dalam
Peraturan residen (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan
Bidang Usaha Terbuka Dengan Syarat,95 di mana pemerintah bisa mendirikan universitas di
Indonesia melalui mekanisme investasi asing, dengan memenuhi syarat dan limitas berdasarkan
Undang-Undang Pendidikan Tinggi di Indonesia, khususnya terkait dengan pendirian institusi
pendidikan tinggi. Terdapat dua jenis perguruan tinggi, baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan

14
Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dalam bentuk institut, universitas, sekolah vokasi, akademi,
politeknik atau akademi komunitas.96

Luar biasanya adalah Peraturan 53/2018, mengizinkan investor asing mendirikan universitas
asing di Indonesia tanpa perlu yayasan, perkumpulan atau badan nirlaba lainnya. Di bawah
mandat regulasi ini, universitas asing dapat mendirikan Perguruan Tinggi Luar Negeri (PTLN) di
Indonesia. PTLN perlu memenuhi syarat berikut: 1) PTLN harus didirikan di zona ekonomi
khusus; 2) Universitas asing harus merupakan institusi nirlaba; 3) Universitas asing harus diakui
dan diakreditasi di negara asal; 4) Universitas asing harus masuk dalam daftar universitas 200
teratas di dunia.97 Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas
Trikasih Lembong, apabila investasi asing berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),
proporsinya dapat mencapai 67%. Sedangkan, proporsi investasi asing berlokasi di luar kawasan
ekonomi dapat mencapai 100%.98

Perlu diingat bahwa sejak periode pertama kekuasaan Jokowi (2014-2019), telah memiliki
rencana menerima kampus asing membuka cabang di Indonesia. Keinginan ini telah dua kali
dilontarkan ke pubik, yakni dalam Simposium Cendekia Kelas Dunia di Hotel Sultan, Jakarta,
pada 21 Desember 2017 dan dalam Acara Konvensi Kampus XIV Forum Rektor Indonesia (FRI) di
Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 15 Februari 2018. Setelah keiginan-keinginan tersebut
di lontarkan ke publik, pada Februari 2020, dalam pertemuan bersama Perdana Menteri
Australia, Scott Morisson, Jokowi menyampaian keinginannya secara langsung agar dibukanya
Monash University di Indonesia.99 Berselang dua tahun dari pertemuan tersebut, tepatnya pada
14 April 2022, Monash University secara resmi beroperasi di Indonesia, walaupun telah
beroperasi secara daring sejak Oktober 2021.100

Rekomendasi OECD yang lain dan coba diwujudkan adalah menghapus kesejahteraan guru.
Pada 2021, lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) yang meniadakan Mata Pelajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn), menghilangkan Madrasah serta menghapus tunjangan profesi guru. Bagian terakhir ini
telah mengaitkan—seperti yang telah dikemukakan sebelumnya—besaran gaji guru
berdasarkan kualifikasi dan kinerja.101 Sekilas perlu disinggung di sini bahwa sistim pengupahan
ini telah dipakai oleh pemerintah dan korporasi pendidikan di AS, setidaknya untuk dua tujuan,
yakni: pertama, penurunan tingkat upah guru dalam kerangka efisiensi pengeluaran sekolah
korporat; dan kedua, menghancurkan serikat guru dan gerakan politik mereka yang dipandang
menghalangi keuntungan bisnis pendidikan.

Upaya yang paling sistimatis dalam langkah merofmasi industri pendidikan Indonesia terjadi
pada antara 2021-2022. Ini berlangsung secara senyap ketika Pandemi Covid-19 menyita
perhatian semua orang. Langkah pertama pemerintah ketika mengajukan RUU Sisdiknas—
disebut Versi April—untuk masuk dalam dalam Prolegnas 2020-2024, mendapatkan rekasi
penolakan dari berbagai pihak termasuk Komisi X DRP RI karena dipandang tidak memenuhi
prosedur, termasuk tanpa naskah akademik dan ingin memberangus eksistensi pendidikan
Islam di Indonesia. Merespon penolakan ini, dengan senang hati pemerintah segera
mempersiap dfar baru dan diusulkan pada Agustus 2022,—disebut Versi Agustus. Namun,
langkah inipun kembali menuai penolakan.

15
Tetapi, sebagai bagian penting dari sejarah reformasi neoliberal industri pendidikan Indonesia,
perlu untuk dicermati hal-hal apa yang hendak dicapai dari upaya tata ulang sistim pendidikan
nasional agar semakin terintegrasi dengan indsustri ekspor jasa pendidikan regional dan global.

Dalam Paparan Naskah Akademik RUU Sisdiknas,102 selain memuat latar belakang pembentukan
RUU, setidaknya memuat ± 13 aspek perubahan dalam sistim pendidikan nasional. Perubahan
atau pembentukan RUU ini dilatarbelakang oleh empat hal, yakni: 1) mengintegrasikan UU
Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU Dikti dalam satu UU; 2) untuk merespon perkembangan
yang cepat, maka undang-undang ini disusun lebih fleksibel dan tidak terlalu rinci; 3)
mengakomodasi semua putusan Mahkamah Konstitusi terkait 3 (tiga) UU yang diintegrasikan;
4) memuat prinsip-prinsip Merdeka Belajar yang menekankan kualitas belajar mengajar serta
memperluas ruang inovasi dalam sistem pendidikan. Sedangkan, aspek-aspek perubahan
mencakup: 1) Asas, Fungsi, dan Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan; 2) Prinsip
Penyelenggaraan Pendidikan; 3) Tugas dan Wewenang Pemerintah; 4) Hak dan Kewajiban
Warga Negara, Orang Tua, dan Masyarakat; 5) Wajib Belajar; 6) Jalur, Jenis, dan Jenjang
Pendidikan; 7) Standar Nasional Pendidikan; 8) Kurikulum, Pembelajaran, dan Penilaian Pelajar;
9) Akreditasi dan Evaluasi; 10) Pendidik dan Tenaga Kependidikan; 11) Sekolah Diplomatik dan
Lembaga Pendidikan Asing; 12) Sanksi Administratif dan Ketentuan Pidana, dan; 13) Ketentuan
Peralihan.

Pemaksaan draf RUU Sisdiknas agar segera memperoleh legitimasi sebagai UU dapat lihat dari
perubahan-perubahan substansi RUU. Sekali lagi, sejauh perkembangnnya, terdapat dua versi
yakni versi April 2022 dan versi Agustus 2022. Keduanya memiliki beberapa perbedaan, di
antaranya ialah hilangnya atau kaburnya pengaturan tentang tunjangan profesi guru, Madrasah
kembali diakui sebagai salah satu jenis satuan pendidikan dan dihapusnya kewenangan
lembaga privat untuk untuk menyelenggarakan ujian sekolah bersertifikasi. Pada 2021
beberapa bagian nampak dalam Kajian Akademik dan RUU Sisdiknas yang merekomendasikan
diregulasinya kurikulum berbasis kebutuhan industri, fleksibilitas tridarma dan otonomi
perguruan tinggi,103 reformasi upah guru dan dosen104 serta menyerahkan kewenangan evaluasi
ke tangan privat.105

Menyangkut Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, dan Masyarakat, RUU telah
membuang pengakuan atas hak warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu,
mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat, serta mendapatkan
beasiswa dan bantuan pendidikan berkewajiban mengikuti pendidikan dasar. Dan,
mengantikannya dengan kewajiban masyarakat untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan
pendidikan serta memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.106 Di
sini, pemerintah berupaya mempertegas (batasan) peran pemerintah dan masyarakat terkait
sumber pendanaan pendidikan, baik pada jenjang yang termasuk cakupan wajib belajar
maupun yang tidak termasuk cakupan wajib belajar. Masyarakat didorong secara halus untuk
berkontribusi—secara sukarela, tanpa paksaan, dan tidak mengikat—dalam pendanaan
pendidikan.107

16
Langkah pergeseran ini dilegitimasi oleh Pasal 9 UU Sisdiknas 20/2023,108 yang memang
merupakan produk reformasi neoliberal industri pendidikan nasional pada dua dekade silam.
Fleksibilitas pasal ini, telah memungkinkan mandatnya ditarik kemana-mana untuk melindungi
produk kebijakan baru yang mengangkangi pemenuhan hak pendidikan masyarakat. Faktanya,
pergeseran ini pada dasarnya merupakan upaya mengimpor kebijakan pendanaan pendidikan
negara-negara OECD dalam kerangka sistim pendidikan yang telah terindustrialisasi.
Pemerintah berupaya merasionalisasi bahwa kontribusi masyarakat pada pendidikan masih
rendah jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan Indonesia dan rata-rata anggaran
nasional sektor pendidikan negara anggota OECD. Pendanaan pendidikan pemerintah negara-
negara OECD, rata-rata sebesar 4,1% dari PDB, sementara pendanaan masyarakat sebesar 0,9%
dari PDB. Sedangkan di Indonesia, pendanaan pendidikan dari pemerintah baru sebesar 3% dari
PDB, sementara pendanaan masyarakat baru sebesar 0,4% dari PDB.109 Salah satu contoh yang
direplikasi adalah Kontribusi Sekolah Sukarela (Voluntary School Contribution) yang mengatur
kriteria kontribusi yang dapat dilakukan oleh orang tua/wali untuk meningkatkan kualitas
program sekolah, sebagaimana di praktekkan di negara bagian New South Wales, Australia.110

Masih dalam kaitan dengan peran serta masyarakat, RUU ini juga memberikan bentuk peran
serta masyarakat dalam sektor pendidikan secara tidak terbatas. Komite sekolah telah dianggap
membatasi bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi pendidikan perorangan, kelompok, organisasi profesi. Di sinilah,
organisasi kemasyarakatan, dan terutama dunia usaha/dunia industri diberikan ruang
kendali.111 Ini juga adalah salah satu pokok rekomendasi OECD dalam kerangka pelibatan secara
sektor swasta dan industri pendidikan.

RUU Sisdiknas juga mengatur ulang wajib belajar. Wajib belajar pada pendidikan dasar menjadi
10 tahun, dari sebelumnya hanya 9 tahun. Ini mencakup kelas prasekolah (kelas 0) dan kelas 1 –
kelas 9, yang diberlakukan secara nasional. Menurut ketentuan RUU ini waktu penyesuaian
paling lama lima tahun bagi satuan pendidikan pada jenjang PAUD dan jenjang pendidikan
dasar wajib.112 Sementara itu, wajib belajar pada pendidikan menengah mencakup kelas 10 –
kelas 12. Dengan demikian, di bawah mandat RUU ini wajib belajar menjadi 13 tahun. Pada
jenjang ini, perluasan diimplementasikan secara bertahap di daerah-daerah yang dinilai
memenuhi kriteria. Untuk jenjang ini waktu penyesuaian paling lama empat tahun.113

Memformalkan prasekolah atau kelas nol dalam wajib belajar memang memberikan banyak
manfaat, baik bagi masyarakat dan juga guru. Visinya, akan muncul PAUD-PAUD Negeri di
berbagai daerah secara nasional. Pada 2019/2020 statistik jumlah Taman Kanak-Kanak (TK),
Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA) dan Satuan PAUD Sejenisnya (SPS)
berjumlah 202.911 yang terdiri dari 4.512 (negeri) dan 198.479 (swasta). Memiliki total
pendidik dan tenaga kependidikan mencapai 666.678 orang. Total terahir ini diisi oleh 198.301
tenaga dengan status pegawai lainnya (others), di mana mereka bukan PNS, bukan Guru Bantu
(PNS yang diperbantukan) dan bukan pula Guru Honda (Honor Daerah).114 Dengan memasukan
prasekolah dalam wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar, diharapkan nasib Others bisa
diangkat menjadi PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun,
dengan mencermati ketidakonsitenan RUU ini terkait perlindungan terhadap kesejahteraan

17
guru dan upaya memburuhkan mereka bersama para dosen, langkah prasekolah mungkin tidak
lebih dari upaya melegitimasi ekspansi modal dan komersilaisasi jenjang prasekolah.

Salah satu langkah terbesar Mas Menteri, Nadiem Makarim, adalah meniadakan Ujian Nasional.
Suatu kebijakan yang—selama ini—secara keliru dipaksakan untuk mengevaluasi kemampuan
siswa. Untuk mengisi kekosongan, rancangan baru ini menggunakan asesmen dan penilaian
pelajar oleh guru dan evaluasi sistem pendidikan oleh pemerintah.115 Tetapi, menjadi sebuah
polemik baru, ketika RUU Sisdiknas versi April 2022 Pasal 102c melegitimasi kewenangan
evaluasi pembelajaran pada perusahaan pendidikan privat. Namun, pengaturan ini kemudian
dihilangkan dalam RUU Sisdiknas versi Agustus 2022 dan diganti dengan rumus yang lebih halus
yakni “…penilaian pelajar yang bersifat opsional bagi pelajar dari semua jalur pendidikan yang
ingin mendapatkan pengakuan hasil belajar”.116 Pertanyaannya, di era serba tersertifikasi ini,
pelajar mana yang tidak membutuhkan pengakuan hasil belajar? Bukannya dengan ini, semua
pelajar pada akhirnya terpaksa memilih mengikuti setifikasi penilaian belajar, yang secara pasti
beroperasi dalam mekanisme komersil. Gegap gempita sambuatan masyarakat terhadap
peniadaan UN, seketika bisa berubah, manakala mereka juga memahami ‘pasal tipu-tipu’ ini.117
Kebijakan penilaian yang baru ini, ibarat Mas Menteri ‘melepaskan pelajar dari mulut harimau,
masuk ke dalam mulut buaya’.

RUU Sisdiknas juga mengusung sebuah konsep baru yakni fleksibilitas tridarma.118 Pemerintah
memberikan tiga argumentasi mengapa perguruan tinggi sebaiknya diberi ruang agar memilih
fokus tridarma mereka. Pertama, mengoptimalkan sumber daya yang terbatas. Kedua,
meningkatkan relevansi dengan kebutuhan eksternal. Ketiga, menajamkan strategi keunggulan
masing-masing perguruan tinggi. Menurut pemerintah, tujuan utama adanya diferensiasi
horizontal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bervariasi.119 Tetapi, ini
merupakan sebuah ambisi besar untuk meniru raksasa-raksasa kampus korporasi di AS, seperti
University of California, California State University, Community College, Carnegie Classification
of Institutions of Higher Education, Oxford University, dan Massachusetts Institute of
Technology (MIT), yang memiliki spesifikasi atau fokus keunggulan dalam misi mereka masing-
masing.

Dalam hal fokus keuanggulan tersebut, universitas dapat memilih untuk berorientasi pada ilmu
pengetahuan, teknologi, dan sains dasar (fundamental science orientation), atau berorientasi
pada penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sains (application orientation).
Misalnya, Oxford University, yang berorientasi pada riset dan temuan yang bersifat
fundamental dan menyerahkan tindak lanjut pengembangan produk pada penelitian dan
pengembangan di industri atau Massachusetts Institute of Technology (MIT), yang berorientasi
pada riset dan inovasi yang relevan dengan kebutuhan industri.120 Dalam pengaturan baru ini,
tidak lagi diwajibkan penerapan tridarma oleh dosen. Tridarma hanya diukur pada level
institusi. Dalam hal ini, dosen-dosen yang berkontribusi pada pencapaian tridarma lembaga
dapat diberikan apresiasi yang lebih tinggi, misalnya, cuti subbactial121 yang lebih lama, rangkap
jabatan di industri terkait, pengurangan beban mengajar dan gaji yang lebih tinggi.122

18
Selain itu, juga memberikan level otonomi yang lebih besar kepada perguruan tinggi.
Pemerintah tidak sabar untuk segera mengakselerasi status Badan Hukum untuk semua
perguruan tinggi negeri123 dalam kurun waktu delapan tahun.124

Untuk pendidikan vokasi, tingginya kebutuhan pasar tenaga kerja berkeahlian menengah hingga
tinggi serta upaya memanfaatkan bonus demografi—yang akan memasuki fase puncak 2020-
2030—telah medorong upaya-upaya inovasi. Salah satunya dengan membuka ruang agar
sebuah satuan pendidikan menengah dapat berinovasi dengan pendidikan umum dan
pendidikan vokasi.125 Langkah tersebut mengharuskan upaya melebur pendidikan kejuruan
dengan pendidikan vokasi. Namun, upaya terkendala pada Pasal 18 ayat (3) UU Sisdiknas yang
telah mengatur nomenklatur bentuk satuan pendidikan menengah. Padahal, pendidikan vokasi
dipandang berperan sebagai instrumen meningkatkan mobilitas tenaga kerja, kemampuan
beradaptasi dan produktivitas. Ia juga bertujuan meningkatkan daya saing industri dan
memperbaiki ketidakseimbangan pasar tenaga kerja. Menurut pemerintah, dengan tidak
mengatur nomenklatur, membuka ruang inovasi bagi sebuah satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan menengah dapat menyelenggarakan tidak hanya jenis pendidikan umum namun
juga jenis pendidikan vokasi. Demikian pula, SMK dan MAK dapat diubah, misalnya, Sekolah
Menengah Vokasi dan Madrasah Aliyah Vokasi (tergantung istilah yang paling relevan untuk
dunia kerja, dunia usaha dan dunia industri).126

Masih berkaitan dengan isi pendidikan vokasi, RUU ini juga membuka ruang bagi perguruan
tinggi vokasi untuk merekrut praktisi industri, termasuk perguruan tinggi baru dan perguruan
tinggi di daerah terpencil. Oleh karena itu, menurut pertimbangan pemerintah pengaturan
mengenai sertifikasi, kualifikasi akademik, dan kompetensi dosen tidak lagi diatur di tingkat
undang-undang. Pertimbangan ini dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas lebih kepada
perguruan tinggi vokasi. Dalam hal pengupahan, dosen yang belum miliki sertifikasi—demikian
pula guru—diatur di bawah UU Ketenagakerjaan.127

Penghapusan tunjangan profesi guru dan dosen adalah nyata-nyata dorongan OECD. Hal ini
dilakukan dengan tujuan semua guru dan dosen di Indonesia berstatus buruh dalam pengertian
harafiah. Suatu upaya mewadahi kepentingan lembaga pendidikan korporat akan tenaga
pengajar murah, dapat dikendalikan dan mampu mendorong efisiensi dan efektifitas
manajerial. Guru dan dosen harus diletakan di bawah regulasi ketenagakerjaan yang telah
diperlemah sedemikian rupa oleh kelas kapitalis. Bagian ini hanyalah salah satu prakondisi
dominasi lembaga pendidikan korporat di Indonesia. Sebelumnya, pada 2018, pemerintah
melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB),
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Regulasi ini bertujuan untuk mendorong
efisiensi keuangan negara dan melemahkan daya tawar (posisi politik) guru dan dosen dari
status profesi menjadi tenaga kontrak (perjanjian kerja) atau outsourching. Regulasi ini,
sungguh mencerminkan watak korporatis negara.

Bagian terakhir dari upaya reformasi neoliberal industri pendidikan Indonesia adalah
memberikan legitimasi bagi beroperasinya lembaga pendidikan asing. Pemerintah membangun

19
argumen bahwa langkah reformasi pada aspek ini adalah memperkuat kepentingan pendidikan
nasional. Jika, pada UU Sisdiknas 20/2003 tidak terdapat mandat bagi lembaga pendidikan asing
untuk mendukung kepentingan nasional, maka pada rancangan baru ini mandat tersebut
ditegaskan. Demikian pula, jika pada UU sebelumnya tidak terdapat kewajiban bagi lembaga
pendidikan asing beroperasi secara nirlaba, maka pada rancangan baru ini mandat tersebut
juga ditegaskan. Setidaknya, dikemukakan bahwa mereka harus terakreditasi di negaranya
masing masing atau telah terakreditasi secara internasional dan memenuhi persyaratan.128

Selain dirancang dengan kemampuan kokoh karena memiliki daya legitimasi yang kuat untuk
melindungi praktek komersialisasi pendidikan, rancangan regulasi terakhir ini, juga telah
dilengkapi dengan fitur canggih seperti sensitifitas dan adaptif terhadap kebutuhan pasar dan
perdagangan bebas. Ketika pasar berkembang dan melahirkan kebutuhan baru, ia merespon
secara cepat dengan melahirkan kebijkan-kebijakan baru yang sesuai dengan permintaan pasar.
Itulah mengapa, fleksibilitas merupakan narasi utama dari RUU Sisdiknas.

Arah baru industri pendidikan Indonesia

Inilah rangkaian sejarah tiga dekade dari proyek reformasi proyek reformasi pendidikan
neoliberal yang gerakkan oleh sektor bisnis terorganisir. Namun, ketiga elemen penggerak ini
memiliki kepentingan atau tujuan yang berbeda. Menurut Howard,129 bagi sektor bisnis
terorganisir, tujuan utamanya adalah memperkuat hegemoni perusahaan melalui pendidikan.
Sementara, bagi sektor perusahaan bisnis pendidikan, tujuannya adalah keuntungan yang
berhubungan dengan bisnis pendidikan. Sedangkan, bagi sektor filantropi, memiliki tujuan yang
bervariasi. Dalam kasus Indonesia, para filantropi awalnya dimotivasi agenda ideologis yakni
melalui misi pendidikan mereka membantu mewujudkan visi dunia berbasis pasar neoliberal.
Namun, seiring pertumbuhan pasar pendidikan nasional, mereka dimotivasi oleh keuntungan
sebagaimana perusahaan bisnis pendidikan.

Analalisis ideologis seperti yang dikemukakan Forster, menjelaskan motif yang lebih
fundamental. Bahwa mengenai upaya para penggerak, terutama sektor bisnis terorganisir
seperti WTO, yang memasukan pendidikan sebagai layanan publik ke dalam sektor jasa, telah
disebabkan oleh kontradiksi internal sistim kapitalisme itu sendiri. Krisis struktural dari fase
baru kapitalisme yakni modal keuangan monopoli telah memaksa perusahaan-perusahaan
raksasa yang mengusai ekonomi dunia mencari pasar baru untuk berinvestasi di luar bidang
tradisional mereka. Konteks krisis struktural kapitalisme demikianlah yang mengarahkan
kapitalisme mengambil-alih dan memprivatisasi elemen-elemen kunci ekonomi suatu negara.130

Keputusan Indonesia meratifikasi GATS dan pengambilan kebijakan-kebijakan strategis


setelahnya, dalam pandangan Peck dan Tickell, disebut roll-out neoliberalisme yakni suatu
proses konstruksi dan konsolidasi yang bertujuan mereformasi negara, mode pemerintahan
dan hubungan regulasi berdasarkan paham neoliberal. Ini melibatkan penciptaan peraturan
perdagangan dan keuangan baru oleh lembaga-lembaga tata kelola internasional, seperti WTO,
WB dan IMF. Ia juga melibatkan kebijakan intervensi sosial dan inisiatif publik-swasta yang
paternalistik.131 Dalam perspektif filsafat, melampaui kosekuensi hukum, di mana kelas kapitalis

20
dapat menata ulang berbagai peraturan suatu negara bahkan membentuk negara dan
pemerintahan neoliberal, menurut Priyono, pada hakekatnya neoliberalisme merupakan proyek
mengatur ulang hubungan manusia dan masyarakat. Sebab, dalam agenda neoliberalisme,
manusia diperlakukan tidak hanya sebagai makhluk ekonomi dalam bidang ekonomi, tetapi juga
makluk ekonomi dalam bidang politik, hukum, budaya, pendidikan dan sebagainya. Itulah
mengapa neoliberalisme dalam proyek tata ulang seluruh bidang kehidupan dilakukan dengan
dalil harga.132

Keberhasilan meregulasi instrumen-instrumen hukum berhaluan neoliberal sangat


dimungkinkan oleh sistim politik Indonesia yang bersifat oligarkis. Terbukti bahwa kontrol
kekuasaan dan kontrol sumber daya ekonomi hanya berada di tangan segelintir elit politik.
Mereka memegang peran ganda, yakni sebagai pemimpin partai politik besar dan pemimpin
terdepan dalam kehidupan bisnis dan perdagangan.133 Kapitalis asing dan oligarki nasional
membangun hubungan mutualisme untuk memuluskan kepentingan bisnis mereka. Kondisi ini
makin diperparah dengan absennya kekuatan kiri dalam parlemen untuk membangun gerakan
kontra hegemoni melalui proyek-proyek strategis di sektor pendidikan sebagai anti tesis
terhadap proyek-proyek industri pendidikan neoliberal yang digerakkan oleh sektor bisnis
teroganisir (drivers) seperti WTO, IMF, WB, OECD dan organisi pendukung eksternal yang
mereka kendalikan dan kerjakan oleh implements, seperti para politisi, think tang lokal di
kampus-kampus dan birokrat pendidikan. Seperti sebuah fakta silam, yang telah dipublikasi
melalui pengakuan penting dari politisi dan anggota parlemen dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Eve Kusumandari, bahwa sejumlah 76 undang-undang yang drafnya disusun
oleh pihak asing, baik WB, IMF dan USAID. Dan ini, telah berlangsung selama 12 tahun sejak
dimulainya era reformasi. Regulasi itu mencakup sektor perbankan, pendidikan, energi,
kesehatan dan politik. Beberapa diantaranya yang diidentifikasi, antara lain: UU Migas No. 22
Tahun 2021, UU Kelistrikan No. 20 Tahun 2002, UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, UU Sumber
Daya Air No. 7 Tahun 2004, UU Penanaman Modal Asing No. 25 Tahun 2007 dan UU Pemilu No.
10 Tahun 2008.134

Walaupun, terjadi perlawanan-perlawanan bahkan terdapat beberapa penolakan terhadap


agenda reformasi pendidikan, jangan berpikir bahwa upaya-upaya reformasi itu berhenti.
Jangan pula, berpikir bahwa sistim pendidikan Indonesia adalah suatu sektor yang masih
mengemban mandat kemanusiaan dan kebangsaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Faktanya, kini ia adalah sebuah industri besar—dalam mengertian harafian—hasil reformasi
neoliberal. Suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi dengan tujuan menghasilkan
barang dan jasa pendidikan. Ia diatur dalam sebuah kerangka regulasi yang berbasis dan
berorientasi pasar bebas. Oleh karena itu, misinya, mau tidak mau, bersifat profit.

Kurang dari satu dekade terakhir fodasi-fondasi baru telah diletakan untuk memastikan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi dalam sektor industri pendidikan Indonesia akan sangat sulit
untuk diubah. Sekalipun, rezim berganti, baik atau buruk kekuasaan itu, tidak akan mudah
untuk memutar balik arah reformasi neoliberal industri pendidikan Indonesia.

Bersambung ke Bagian 2: Dampak Reformasi Neoliberal Industri Pendidikan Indonesia.

21
Catatan akhir
1
Kementerian pendidikan dan kebudayaan, 2020, Peta jalan pendidikan indonesia 2020-2035, h. 30.
https://eng.unila.ac.id/wp-content/uploads/2020/06/5.a-Peta-Jalan-Sistem-Pendidikan-2020-
2035_Kemendikbud.pdf. Diakses pada: 30 November 2022.
2
Kementerian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi, 2022, Naskah akademik rancangan undang-undang
tentang sistem pendidikan nasional, h. 7.
https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/?smd_process_download=1&download_id=881. Diakses pada: 30 November
2022.
3
Op. Cit, Peta jalan pendidikan …h. 1-9.
4
Loc. Cit, Naskah akademik …
5
Alan Woods, 2022, Peradaban, barbarisme dan pandangan Marxis tentang sejarah, Partai sosialis revolusioner
(PSR), https://revolusioner.org/teori-4/materialisme-historis/8862-peradaban-barbarisme-dan-pandangan-marxis-
tentang-sejarah.html. Diakses pada: 06 Desember 2022.
6
MYD, 2011, 3. Fight-back: Education’s radical future, Volume 63, Issue 03 (July-August),
https://monthlyreview.org/2011/07/01/3-fight-back-educations-radical-future/. Diakses pada: 06 Desember 2022.
7
Menurut informasi, kata rakat secara populer digunakan oleh mahasiswa asal NTT yang merantau (berstudi) di
Pulau Jawa. Kata ini berfungsi sebagai penanda atau identifikasi sesama mahasiswa yang berasal dari wilayah
Timur Indonesia.
8
Pernyataan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, “Bisa saya pastikan, saya sampaikan bahwa masuk tahun 2021 kami
ada agenda untuk lakukan revisi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003." Mereka menilai bahwa substansi Revisi UU
Sisdiknas 2021 serupa omnibus, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201119074219-32-571685/dpr-sebut-
substansi-revisi-uu-sisdiknas-2021-serupa-omnibus. Diakses pada: 19 April 2023.
9
Komisi X, Komisi x terima masukan terkait revisi uu sisdiknas,
https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/40798/t/Komisi+X+Serap+Masukan+Terkait+Revisi+UU+Sisdiknas. diakses
pada: 26 April 2023.
10
Ibid.
11
Aliansi ini terdiri dari Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Kristen
(MPK) di Indonesia, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Pengurus Besar Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI), Persatuan Tamansiswa, serta Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU).
Dewi Nurita dan eko Ari Wibowo, 2022, Aliansi pendidikan minta DPR tolak ruu sisdiknas masuk prolegnas prioritas
2022, https://nasional.tempo.co/read/1574399/aliansi-pendidikan-minta-dpr-tolak-ruu-sisdiknas-masuk-
prolegnas-prioritas-2022. Diakses pada: 26 April 2023.
12
Loc. Cit, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220329180226-32-777613/ramai-ramai-tolak-ruu-
sisdiknas-nadiem-imbas-kata-madrasah-hilang. Diakses pada: 26 April 2023.
13
Dwi Andayani, 2022, PPP tolak ruu sisdiknas masuk prolegnas jika kata 'madrasah' hilang,
https://news.detik.com/berita/d-6005589/ppp-tolak-ruu-sisdiknas-masuk-prolegnas-jika-kata-madrasah-hilang.
Diakses pada: 30 November 2022.
14
Kemendikbudristek Litbang Publik, 2022, Ruu sistim pendidikan nasional masih tahap perencanaan,
kemendikbudristek litbang publik, https://setjen.kemdikbud.go.id/berita-ru-sistim-pendidikan-nasional-masih-
tahap-perencanaan-kemendikbudristek-litbang-publik.html. Diakses pada: 30 November 2022.
15
Mendikbudristek: pemerintah transparan dan libatkan publik dan penyusunan RUU Sisdiknas,
https://setjen.kemendikbud.go.id/berita-kemendikbudristek-pemerintah-transparan-dan-libatkan-publik-dan-
penyusunan-RUU-Sisdiknas.html. Diakses pada: 30 November 2022.
16
Pandangan ini kemukakakn oleh Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, seorang Guru Besar Sejarah Peradaban Islam
Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia telah mencermati pola
pembentukan produk legislasi beberapa tahun terakhir dan menemukan bahwa pada kenyataannya proses
lagislasi telah mengalami banyak penyimpangan. Hal ini telah terbukti mulai dari perubahan UU No 30 Tahun 2002
menjadi UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK; UU No 4 Tahun 2009 menjadi No 3 Tahun 2020 tentang
Pertambangan, Mineral, dan Batu Bara (Minerba); pengesahan RUU Omnibus Law menjadi UU No 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja; dan terakhir, UU No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Azyumardi Azra, 2022,

22
Mencermati Ruu Sisdiknas (1), https://www.uinjkt.ac.id/mencermati-ruu-sisdiknas-1/. Diakses pada: 30 November
2022.
17
Mulai dari meniadakan Mata Pelajar (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) melalui Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), menghilangkan Madrasah,
menghilangkan tunjangan profesi guru dan lain sebagainya,
18
Contoh kasus UU Cipta Kerja Omnibus Law, yang masih boleh diedit setelah pengesahan DPR RI. Andi Saputra,
2022, UU PPP Legalkan Omnibus Law hingga bolehkan edit salah ketik uu, https://www.news.detik.com/berita/d-
6101521uu-ppp-legalkan-omnibus-law-hingga-bolehkan-edit-salah-ketik-uu. Pemaksaan draf RUU Sisdiknas agar
segera memperoleh legitimasi sebagai UU dapat lihat dari perubahan-perubahan substansi RUU. Sejauh
perkembangnnya, terdapat dua versi yakni versi April 2022 dan versi Agustus 2022.
19
PGRI berusia 78 Tahun. Didirikan pada tanggal 25 November 1945 –seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia– Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan. PGRI juga setua kemerdekaan republik
Indonesia. https://pgri.or.id/sejarah-
pgri/#:~:text=Di%20dalam%20kongres%20inilah%2C%20pada,Republik%20Indonesia%20(PGRI)%20didirikan.
Diakses pada: 19 April 2023.
20
Data di tahun 2021, PGRI menjadi organisasi profesi guru terbesar di Indonesia. Mereka memiliki lebih dari 2 juta
anggota. https://www.quipper.com/id/blog/info-guru/organisasi-profesi-
guru/#:~:text=Saat%20ini%2C%20PGRI%20menjadi%20organisasi,peningkatan%20kompetensi%20profesional%20
para%20anggotanya. Diakses pada: 19 April 2023.
21
Yohanes Enggar Harususilo, 2022, Tunjangan profesu guru “hilang” dari ruu sisdiknas, pgri tegaskan 5 hal ini,
https://www.kompas.com/edu/red/2022/08/28/213908071/tunjangan-profesu-guru-hilang-dari-ruu-sisdiknas-
pgri-tegaskan-5-hal-ini?page=all. Diakses pada: 30 November 2022.
22
Loc. Cit, Dwi Andayani, 2022, PPP tolak Ruu Sisdiknas…
23
Loc. Cit, CNN Indonesia, 2022, Ramai-ramai tolak Ruu Sisdiknas…
24
Tatang Guritno, 2022, Ruu sisdiknas tak masuk prolegnas prioritas 2023,
https:///nasional.kompas.com/red/2022/09/21/14235041/ruu-sisdiknas-tak-masuk-prolegnas-prioritas-2023.
Diakses pada: 30 November 2022.
25
Fartinus Nua, 2022, Tolak ruu sisdiknas masuk prolegnas, dpr dinilai telah selamatkan bangsa,
https://mediaindonesia.com/humaniora/524116/tolak-ruu-sisdiknas-masuk-prolegnas-dpr-dinilai-telah-
selamatkan-bangsa. Diakses pada: 30 November 2022.
26
DPR sebut Ruu Sisdiknas berpeluang buka liberalisasi pendidikan, https://www.ngopibareng.id/read/dpr-sebut-
ruu-sisdiknas-berpeluang-buka-liberalisasi-pendidikan. Diakses pada: 30 November 2022.
27
Dea Duta Aulia, 2022, HNW beberkan alasan menolak Ruu Sistem Pendidikan Nasional,
https://news.detik.com/berita/d-6005353/hnw-beberkan-alasan-menolak-ruu-sistem-pendidikan-nasiona/amp.
Diakses pada: 30 November 2022.
28
Ryan Howard, 2017, Who is behind the assault on public schools, http://monthlyreview.org/2017/04/01/who-is-
behind-the-assault-on-public-schools/. Diakses pada: 07 Desember 2022.
29
Idid.
30
Sebuah badan hukum dalam bentuk perusahaan yang menjalankan bisnis pendidikan. Seringkali juga disebut
‘sekolah perusahaan’. Lembaga demikian dimiliki oleh sektor privat/swasta dan dioperasikan sebagai perusahaan
pendidikan. Dalam misinya, korporasi lembaga pendidikan adalah entitas bisnis yang berorientasi pada
keuntungan.
31
Richard Peet (2003), Loc. Cit. Sofian Effendi.
32
Gurría, Angel, 2015, Pidato: peluncuran survei ekonomi Indonesia dan tinjauan kebijakan pendidikan,
www.oecd.org/indonesia/economic/survei-indonesia.htm. Diakses pada: 30 November 2022.
33
N. A, 2022, Soal Shadow Organization diKemendikbud, di Depan Anggota DPR Menteri Nadiem Ngaku Salah!,
https://emitennews.com/news/soal-shadow-organization-di-kemendikbud-di-depan-anggota-dpr-menteri-
nadiem-ngaku-salah. Diakses pada: 07 Desember 2022.
34
Aziz Rahardyan, 2012, Pintek targetkan penyaluran pinjaman UKM pendidikan Rp700 miliar,
https://finansial.bisnis.com/read/20210826/563/1434451/pintek-targetkan-penyaluran-pinjaman-ukm-
pendidikan-rp700-miliar. Diakses pada: 07 Desember 2022.

23
35
RD Redaksi DB, 2022, 5 Startup Pendidikan di Indonesia, https://www.digitalbisa.id/artikel/startup-pendidikan-
indonesia-iuZY1. Diakses pada: 07 Desember 2022.
36
Martina Prianti, 2010, Investor Asing, Silahkan ke Sektor Pendidikan,
https://www.google.com/amp/s/amp.kontan.co.id/news/investor-asing-silahkan-ke-sektor-pendidikan?espv=1.
Diakses pada: 07 Desember 2022.
37
https://www.cekindo.com/id/sektor/pendidikan.
38
Edy Y Syarif, 2020, Alasan Nadiem Makarim Libatkan Sampoerna dan Tanoto, https://www.tagar.id/alasan-
nadiem-makarim-libatkan-sampoerna-dan-tanoto. Diakses pada: 07 Desember 2022.
39
Nadiem Makarim: Kami Telah Sepakat, Tanoto dan Sampoerna Tak Akan Gunakan Dana APBN,
https://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2020/07/29/nadiem-makarim-kami-telah-sepakat-tanoto-dan-
sampoerna-tak-akan-gunakan-dana-apbn/. Diakses pada: 07 Desember 2023.
40
Ibid.
41
Luthfi Fikaz, 2020, Ini Alasan Lengkap NU, Muhammadiyah dan PGRI Ogah Ikut Program POP Kemendikbud,
https://www.kalderanews.com/2020/07/ini-alasan-lengkap-nu-muhammadiyah-dan-pgri-ogah-ikut-program-pop-
kemendikbud/. Diakses pada: 07 Desember 2022. Menurut ketentuan Program Organisasi Penggerak (POP), untuk
masuk dalam ‘Kategori Gajah’, suatu organisasi harus memiliki Rekam Jejak Organisasi Penggerak, yakni: 1)
Memiliki bukti empiris dampak program terhadap hasil belajar siswa; 2) Memiliki bukti empiris dampak program
terhadap peningkatan motivasi, pengetahuan dan praktek mengajar guru dan kepala sekolah; 3) Memiliki
pengalaman merancang dan implementasi program dengan baik. Lihat dalam Materi Power Point Presentasi, 10
Maret 2020, Kemndikbud, Merdeka Belajar Episode 4: Program Organisasi Penggerak, h. 7.
https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id/organisasipenggerak/. Diakses pada: 25 April 2023.
42
Loc. Cit., Howard, Who is behind…Dia mendaftarkan sektor penggerak ketiga yakni filantropi, yang terdiri dari
tiga besar perusahan berbasis di AS, seperi Bill Gates, pemilik Microsoft, Eli Board, raja real estate dan asuransi dan
Keluarga Walton, pemilik Walmart.
43
Menurut Robertson, Sejarah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bisa ditelusuri ke 1947, ketika International
Trade Organization (ITO) berdiri. Namun, AS menyatakan penolakkan untuk bergabung dengan ITO. Sebaliknya, AS
menginisiasi pembentukan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Apa yang mendorong GATT beropeasi
ialah adanya komitmen politik bersama di antara para anggotanya yakni ekspansi progresif pasar bebas
internasional dengan forkus liberalisasi perdagangan dalam sistem negara kesejahteraan. Susan L. Robertson,
2006, Globalization, gats and trading in education services, Published by the centre for globalisation, Education
and societies, University of Bristol, Bristol BS8. 1JA, UK, h. 2. http://susanleerobertson.com/publications/. Diakses
pada: 23 Juli 2022.
44
Ibid., h. 3.
45
Ibid., h. 6.
46
Misalnya di AS, pada tahun 1980-an liberalisasi pendidikan dimulai melalui gerakan standar dan akuntabilitas
sekolah pada era pemerintahan Reagan.
47
Op. Cit, Robertson, h. 1.
48
Ibid, h. 3.
49
Afrisal, Liberalisasi pendidikan “pelecehan terhadap martabat bangsa”, h. 4. 12 bidang sektor jasa Business
services, Communication services, Construction andrelated engineering services, Distribution services, Education
services, Environmental services, Financial services, Health related and social services, Tourism and travel related
services, Recreational, cultural and sporting services, Transportational services, and Other services not included
elsewhere. http://jurnal.stiaindragiri.ac.id/site/index.php/jiaganis/article/download/48/39. Diakses pada: 07
Desember 2022.
50
Sofian Effendi, 2005, GATS dan liberalisasi pendidikan tinggi, Makalah pada diskusi “GATS: Neo-imprialisme
modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEM-KM UGM, Yogyakarta, 22 September 2005. Hal. 2. Dua
sektor lainya adalah sektor primer dan sektor sekunder. Sektor primer meliputi semua industri ekstrasi hasil
pertambangan dan pertanian. Sedangkan, sektor sekunder meliputi industri pengolahan bahan dasar menjadi
barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities, h. 1-2. http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/GATS-dan-
Liberalisasi-Pendidikan.pdf. Diakses pada: 25 April 2023.
51
Op. Cit, Susan L. Robertson, h. 4-6.

24
52
Undang-undang republik indonesia nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan agreement establishing the world
trade organization (persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia), h. 10 dan 17.
53
Loc. Cit, Afrisal.
54
Anggiat P. Simamora, dkk., 2014, Liberalisasi pendidikan dalam kerangka GATS: Kajian hukum terhadap
pendirian perguruan tinggi asing di indonesia, USU Law Journal, Vol.II-No.1 (Feb-2014), h. 68.
https://media.neliti.com/media/publications/14199-ID-liberalisasi-pendidikan-dalam-kerangka-gats-kajian-hukum-
terhadap-pendirian-perg.pdf. Diakses pada: 25 April 2023.
55
Loc. Cit., John Bellamy Foster, Education and the Structural Crisis…
56
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, 2013, UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme, h. 3.
https://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/. Diakses pada: 25 April 2023.
57
Sugeng Bahagijo (ed.), Globalisasi Menghempas Indonesia, Jakarta: LP3ES, hal. 156, dalam Anonymouse, Latar
Belakang Kebijakan Privatisasi di Indonesia, Universitas Sumatra Utara (USU), h. 32.
58
Ibid., Anonymouse, h. 9.
59
Op. Cit., Afrizal.
60
Sejak 1997-2004, pemerintah Indonesia melakukan 21 kali proses privatisasi pada 19 BUMN. Rezim Megawati
(23 Juli 2001-20 Oktober 2004) memprivatisasi sebanyak 16 (76,19%) BUMN, antara lain: PT Kimia Farma Tbk, 9,2%
(Rp10 miliar); PT Indofarma, 19,8% (Rp150 miliar); PT Socfindo, 30% (US$ 45,4 juta); PT Telkom Tbk, 11,9%
(Rp3.100 miliar); PT Indosat Tbk, Tahap Satu 8,06% (Rp967 miliar) dan Tahap Dua 41,94 (US$608,4 juta); PT Telkom
Tbk, 3,1 (Rp1.100 miliar); PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk, 16,26% (Rp156 miliar); PT WNI, 41,99% (Rp255
miliar); PT Bank Mandiri Tbk, 20% (Rp2.547 miliar); PT Indocement Tbk, 16,67% (Rp1.157 miliar); PT BRI Tbk, 45%
(Rp2.512 miliar); PT PGN Tbk, 39% (Rp1.235 miliar); PT Pembangunan Perumahan, 49% (Rp60,49 miliar); PT Adhi
Karya, 49% (Rp65 miliar); PT Bank Mandiri Tbk, 10% (Rp2.844miliar); PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk, 12,5%
(Rp180 miliar), Anonymous, Universitas Sumatra Utara.
61
Mulai dari UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Desen, UU Badan Hukum Pendidikan di tahun 2006/2007,
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Rancangan Sekolah Berbasis Internasional/Sekolah Berbasis Internasional
(RSBI/SBI), UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yang merupakan ‘pintu masuk’ bagi perguruan tinggi
asing di Indonesia. Pintu pintu masuk ini telah diletakan dalam Pasal 90, Bab IV Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
oleh Lembaga Negara Lain.
62
UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional.
63
Kementerian Pendidikan Nasional, Basic Education Capasity-Trust Fund, Kingdom of the Nederland Komisi Eropa
dan Bank Dunia, 2010, Membuat BOS Efektif di Masa Desentralisasi: Naskah Kebijakan, h. 1.
64
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 76 dan 77
tahun 2007.
65
M. Tajudin Nur, Liberalisasi Pendidikan: Sebuah Wacana Kontroversial, Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, h. 5-6,
https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jvip/article/view/41. Diakses pada: 25 April 2023.
66
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional.
67
Loc. Cit, Andrew Rosser.
68
Victor Imanuel Williamson Nalle, 2011, Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik
terhadap Liberalisasi Pendidikan dalam UU Sisdiknas dan UU BHP, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus
2011, ISSN 1829-7706, h. 572-573.
69
Op. Cit, Robertson, h. 8.
70
Ruswandiana, 2015, Pengaruh General Agreement On Trade In Services (GATS) terhadap Sektor Ketenagakerjaan
di Indonesia, Jurnal: Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, h. 7.
71
Loc. Cit, Robertson.
72
Asp dan Anw, 2010, 5 alasan MK membatalkan UU BHP, https://news.detik.com/berita/d-1329564/5-alasan-mk-
batalkan-uu-bhp. Diakses pada: 09 Januari 2023.
73
Mahesa Danu, 2013, PRP, Batalkan UU Pendidikan Tinggi!, https://www.berdikari.online.com/prp-batalkan-uu-
pendidikan-tinggi. Diakses pada: 09 Januari 2023.
74
Op. Cit., Susan L. Robertson, h. 4.
75
Yuniman Farid, 2011, Bagaimana Kelanjutan Putaran Doha?, http:///id/bagaimana-kelanjutan-putaran-doha/a-
15605184, Diakses pada: 29 April 2023.

25
76
Op. Cit., Sofian Effendi, h. 10-11.
77
B. Herry Priyono, 2009, Sesat neoliberalisme,h. 3. www.indoprogress.com/2009/05/sesat-neoliberalisme/.
Diakses pada: 30 Mei 2022.
78
Andrew Rosses, 2018, Beyond access: Making Indonesia,s education system work,
https://www.lowyinstitute.org/publications/beyond-access-making-indonesia-s-education-system-work. Diakses
pada: 12 Januari 2023.
79
Ibid.
80
OECD, Survei Ekonomi OECD, INDONESIA, Maret 2015, IKHTISAR, h. 22.
81
Ibid.
82
Gurría, Angel, 2015, Pidato: peluncuran survei ekonomi Indonesia dan tinjauan kebijakan pendidikan,
www.oecd.org/indonesia/economic/survei-indonesia.htm.
83
Linggasari, Yohannie, 2015, Kajian OECD: siswa Indonesia tertinggal 3 tahun,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150325134100-20-41730/kajian-oecd-siswa-indonesia-tertinggal-3-
tahun. Diakses pada: 28 April 2023.
84
Op. Cit., OECD, 2015, Survei Ekonomi…h. 24.
85
Tiga rekomendasi utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
berkesinambungan selain terkait guru, dua lainnya terkait peningkatan belanja pemerintah dalam infrastruktur
dengan fokus transportasi dan logistik untuk mendukung industri, serta penanggulangan bencana alam dan
pengolahan air dan hindari berbagai langkah proteksionis yang menghalangi keterbukaan terhadap perdagangan
dan investasi asing. Ibid, h. 27.
86
OECD, Survei Ekonomi OECD, INDONESIA, Oktober 2016, Ikhtisar, h. 43.
87
Ibid.
88
Ibid., h. 44.
89
OECD, Survei Ekonomi OECD, INDONESIA, 2018, Ikhtisar, h. 6.
90
Ibid.
91
Ibid.
92
Ibid., h. 53.
93
Nyoman Ary Wahyudi, 2021, Pemerintah Buka Investasi Asing Pada Sektor Pendidikan di KEK,
https://ekonomi.bisnis.com/read/20210912/12/1441187/pemerintah-buka-investasi-asing-pada-sektor-
pendidikan-di-kek. Diakses pada: 26 April 2023.
94
Cekindo, 2023. Bagaimana Mendirikan Universitas di Indonesia dengan Investasi Asing,
https://www.cekindo.com/id/blog/investasi-asing-indonesia-universitas. Diakses pada: 26 April 2023.
95
Tri Adi, 2010, Investor Asing, Silakan ke Sektor Pendidikan, https://nasional.kontan.co.id/news/investor-asing-
silakan-ke-sektor-pendidikan. Diakses pada: 26 April 2023.
96
Loc. Cit., Cekindo.
97
Ibid.
98
Rizky Alika, 2019, Dorong Sektor Jasa, Pemerintah Ajak Universitas Asing Masuk Indonesia,
https://katadata.co.id/muchamadnafi/berita/5e9a554f11510/dorong-sektor-jasa-pemerintah-ajak-universitas-
asing-masuk-indonesia. Diakses pada: 26 April 2023.
99
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210930180043-20-701694/kampus-asing-pertama-di-indonesia-
mulai-buka-4-oktober. Diakses pada: 26 April 2023.
100
Kumparan News, 2022, Monash University Jadi Universitas Asing Pertama yang Buka Kampus di Indonesia,
https://kumparan.com/kumparannews/monash-university-jadi-universitas-asing-pertama-yang-buka-kampus-di-
indonesia-1xsitPfaZb4/full. Diakses pada: 26 April 2023
101
Pada 2020, The World Bank juga merokomendasikan hal yang sama, yakni diterapkannya sisitim evaluasi guru
yang harus dikaitkandengan insentif berbasis kinerja. The World Bank dan Australia Government, 2020, Janji
Pendidikan Indonesia, h. 7.
102
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2022, Paparan Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional, h. 2-22.
103
Ibid, Kementerian pendidikan…Naskah akademik…h. 17-18, 132-139.

26
104
Kristina, 2022, 5 poin penting di ruu sisdiknas: soal tunjangan guru hingga guru wajib sertifikasi,
http://www.detik.com/edu/sekolah/d-6259741/5-poin-penting-di-ruu-sisdiknas-soal-tunjangan-guru-hingga-guru-
wajib-sertifikasi, dikses pada: 29 Agustus 2022. Lihat juga RUU Sisdiknas Pasal 145 versi Agustus 2022 dan
badingkan dengan RUU Sisdiknas Pasal 188 versi April 2022. Versi April mungkin lebih dari satu versi RUU.
105
RUU Sisdiknar Pasal 102c Versi April 2022, h. 35.
106
Loc.Cit., Kementerian Pendidikan…Paparan Naskah…h. 6 dan Op. Cit., Kementerian Pendidikan…Naskah
Akademik…h. 169-171.
107
Ibid., Kementerian Pendidikan…Naskah Akademik…
108
Bunyi Pasal 9 UU Sisdiknas 20/2003 “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan”.
pendidikan.
109
Loc. Cit., Kementerian Pendidikan…Naskah Akademik…h. 169.
110
Ibid. h. 170. Lihat sumber kutipan pemerintah di OECD Data, Private Spending on Education, diakses pada laman
[https://data.oecd.org/eduresource/private-spending-on-education.htm] pada tanggal 1 Maret 2022. Dan, NSW
Government Policy Library, Voluntary School Contribution, diakses dari situs resmi pemerintah
negara bagian New South Wales, Australia pada laman [https://policies.education.nsw.gov.au/policy-
library/policies/voluntary-school-contribution] pada tanggal 1 Maret 2022.
111
Loc.Cit., Kementerian Pendidikan…Paparan Naskah…Op. Cit., Kementerian Pendidikan…Naskah Akademik…h.
114.
112
Ibid. Paparan Naskah…h. 7 dan 22.
113
Ibid.
114
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sekretariat Jenderal Pusat Data dan Teknologi Informasi, 2020,
Statistik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 2019/2020, h. 1.
115
Ibid., h. 16-17. Menurut RUU Sisdiknans, Asesmen merupakan bagian dari siklus pembelajaran dan
dilakukan secara terus menerus untuk perbaikan pembelajaran. Penilaian pelajar merupakan kegiatan yang
dilakukan pendidik, bukan pemerintah, yang mengandung unsur keputusan. Misalnya untuk kenaikan kelas pelajar
dan kelulusan pelajar. Kedua hal tersebut tidak perlu dilakukan dengan metode yang sama.
116
Ibid.
117
Istilah ‘pasal tupu-tipu’ dipopulerkan oleh media. Istilah ini dikaitkan dengan muncul dan hilangnya pengaturan
tentang tunjangan profesi guru dalam RUU Sisdiknans. Lihat di:
https://mediaindonesia.com/humaniora/520589/pengamat-desak-kaji-ulang-pasal-tipu-tipu-di-ruu-sisdiknas dan
https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/zNPjGvVk-pengamat-desak-kaji-ulang-pasal-tipu-tipu-di-
ruu-sisdiknas. Diakses pada: 07 Mei 2023.
118
Op. Cit., Kementerian Pendidikan…Naskah Akademik…h. 134-139.
119
Ibid., h. 134.
120
Ibid., h. 136-137.
121
Sabbatical leave merupakan kebijakan cuti yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya. Jenis cuti ini
dimaksudkan agar karyawan menjauh sejenak dari pekerjaan, namun tetap mendapatkan gaji, tunjangan dan hak-
hak lainnya sebagai karyawan perusahaan.
122
Ibid., h. 139.
123
Ibid. h. 13.
124
Loc. Cit., Paparan Naskah…h. 21.
125
Op. Cit., Paparan Naskah…h. 11.
126
Op. Cit., Naskah Akademik…h. 125.
127
Op. Cit., Paparan Naskah…h. 18-19.
128
Ibid., h. 20.
129
Loc. Cit., Ryan Howard.
130
John Bellamy Foster, 2011, Education and the Structural Crisis of Capital: The U.S. Case
https://monthlyreviewarchives.org/mr/article/view/MR-063-03-2011-07_3. Diakses pada: 28 April 2023.
131
Peck dan Tickell, 2002:37, dalam Adalbert Aguirre, Jr., Volker Eick, dan Ellen Reese, 2006, Privatization and
resistance: Contesting neoliberal globalization, Social Justice Vol. 33, No. 3 (2006), h.2.

27
http://www.socialjusticejournal.org/product/privatization-and-resistance-contesting-neoliberal-globalization-vol-
33-3-2006/. Diakses pada: 06 Desember 2022.
132
Menurut Priyono, inilah yang membedakan neoliberalisme dengan liberalisme klasik, dalam liberalisme-kliasik,
manusia itu makhluk ekonomi (homo economicus) hanya (sekali lagi ‘hanya’) dalam kegiatan ekonomi. Herry B.
Priyono, 2009, Sesat neoliberalisme, www.indoprogress.com/2009/05/sesat-neoliberalisme/. Diakses pada: 30 Mei
2022.
133
Rudi Hartono, Menolak Pseudo Demokrasi. http://arahkiri.blogspot
134
Imperilisme Undang-Undang http://berdikari.online.com

28

Anda mungkin juga menyukai