Anda di halaman 1dari 3

MULAI tahun lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)

melakukan uji coba Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) di sekolah-sekolah tingkat PAUD-
SMA/SMK yang mengikuti Program Sekolah Penggerak (PSP). PSP sudah dua angkatan. Angkatan
pertama diikuti 2.500 sekolah dan angkatan kedua diikuti sekitar 7.500 sekolah. Di Tahun ajaran
2022/2023 ini, uji coba semakin masif dengan mengajak sekolah-sekolah mengikuti IKM secara
mandiri dalam tiga kategori, yaitu mandiri belajar, mandiri berubah, dan mandiri berbagi. Berbeda
dengan PSP, sekolah yang ikut secara mandiri ini harus belajar dan mengembangkan IKM melalui
Plafform Merdeka Mengajar, yakni sebuah Learning Manajemen System (LMS) yang secara khusus
disiapkan Kemendikbudristek untuk diakses dan dipelajari para guru. Baca juga: Sukseskan
Implementasi Kurikulum Merdeka dengan 6 Strategi Ini Tidak ada lagi pelatihan-pelatihan guru yang
diselengarakan Kemendikbudristek seperti yang dilakukannya pada PSP. Kemendikbudristek
tampaknya ingin membuat para guru menjadi seorang pembelajar mandiri. Gerakan pembaruan
pendidikan Perubahan kurikulum bukan suatu yang yang baru di negara kita. Pembaruan kurikulum
mestinya dilihat sebagai gerakan pembaruan pendidikan. Sudah sejak lama kita memang tidak
punya lagi sekolah yang memerdekakan, yang ada hanyalah "pabrik" atau tempat penaklukan. Kita
tidak punya pula guru dalam arti yang memerdekakan, yang ada hanya para pawang, komandan,
penatar, atau instruktur. Kita pun tidak punya murid dalam arti yang merdeka, yang ada hanyalah
anak-anak yang ditaklukkan, kader mini politik dan calon sumber daya manusia. Sekolah, guru, dan
murid yang tidak merdeka dihasilkan oleh sebuah sistem pendidikan yang tidak merdeka.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia memang sarat dengan formalistik. Melalui kebijakan
undang-undang sistem pendidikan nasional dan kurikulum, pemerintah mengatur penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia. Kurikulum nasional mengatur proses belajar-mengajar semua sekolah yang
ada di Indonesia, termasuk yang diselenggarakan oleh pihak swasta. Pada masa Orde Lama,
kurikulum sebagai manifestasi kebijakan negara, mengacu pada upaya pembangunan karakter
bangsa sehingga sifatnya patriotis. Pada rezim Orde Baru, kurikulum memfokuskan pendidikan
sebagai ‘pabrik’ sumber daya manusia (SDM) yang akan menjadi faktor penunjang pembangunan
ekonomi, stabilitas politik dan keamanan. Sementara pada masa Reformasi ini, kurikulum sejak
Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga Kurikulum
2013 difokuskan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia menghadapi perubahan
dunia. Kini, Kurikulum Merdeka diharapkan dapat menghasilkan anak yang sejati dan tampil sebagai
sosok pelajar Pancasila. Peran negara memang tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan.
Negara melestarikan kekuasaannya melalui politik kebudayaan (cultural politics) yang disalurkan
melalui lembaga-lembaga pendidikan. Oleh sebab itu, dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan
politik atau sistem kekuasaan dalam suatu masyarakat. Biasanya, hal tersebut tidak disadari dalam
suatu masyarakat. Meskipun demikian, kekuasaan politik secara langsung seringkali berada dan
merasuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk objektif atau terang-terangan dan subjektif atau
secara tidak disadari yang dikenal sebagai “hidden curriculum”. Kurikulum yang berlaku dalam suatu
negara sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Biasanya para
pendidik dan masyarakat luas, tidak menyadari apa sebenarnya peranan kurikulum di dalam proses
pembelajaran peserta didik. Apabila dicermati, penyusunan kurikulum yang silih berganti di
Indonesia, menunjukkan betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan kukunya dalam penentuan
isi kurikulum. Menurut Bourdieu dan Passeron, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan untuk
mereproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan kekerasan ini
berasal dari hubungan kekuasaan yang sesungguhnya yang disembunyikan oleh kekuatan
pedagogis.
Dunia pendidikan memang seringkali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka.
Namun sebenarnya berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber
kekuasaan dalam dunia pendidikan. Kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan,
yang berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi dalam suatu
masyarakat. Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan,
Namun, dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk, kurikulum adalah pertarungan antar-
kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan
mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui sistem persekolahan.
Baca juga: Kemendikbud Pastikan Kurikulum Merdeka Berjalan Sesuai Rencana Maka, bisa dilihat
apa yang terjadi pada masyarakat kita hari ini merupakan akumulasi hasil pendidikan kita beberapa
tahun yang lalu hingga hari ini. Tidak ada masyarakat yang demokratis, terbuka, cerdas, manusiawi
dan menghargai keragaman dihasilkan oleh suatu pendidikan yang mengajarkan indoktrinasi.
Keadaban publik sangat paralel dengan hasil pendidikan. Pada masa Reformasi, setelah rezim Orde
Baru tumbang, kurikulum nasional yang ditujukan untuk menyiapkan generasi muda yang siap
menghadapi perubahan global dengan bekal kompetensi di segala bidang, tampaknya justru secara
sistematis dimanfaatkan kelompok masyarakat tertentu untuk membangun generasi agamis. Guru
dan dosen pun kemudian menjadi agen utama gerakan agamis ini, kemudiaan terus menguatkan
identitas keagamaan, bahkan atas nama negara. Lembaga pendidikan tidak lagi menjadi arena
pemerdekaan tetapi menjadi instrumen beroperasinya gerakan ideologis. Bersamaan dengan itu, ide
pemikiran kritis menjadi tidak populer dan ditinggalkan. Membentuk manusia merdeka Mendidik
manusia merdeka sudah dimulai sejak Generasi 1928, generasi Soekarno-Hatta. Visi para pendiri
Republik Indonesia datang dari iklim humanisme politik etik Belanda, kendati kolonial tetapi para
guru dan mahaguru Belanda mengajarkan tentang manusia demokratik, sikap fair play,
kemanusiaan dan sebagainya. Orang-orang Generasi 1928 ingin menciptakan negara yang bisa
mendidik manusia Indonesia menjadi manusia merdeka. Maka kata-kata kucinya adalah
kemerdekaan, musyawarah, dan ekonomi koperasi. Mungkinkah IKM menghasilkan manusia yang
merdeka? Mungkin! Asalkan seluruh filosofi, ekosistem, dan para pihak yang terlibat dalam sistem
pendidikan mendukung tumbuhnya manusia yang merdeka.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bisakah Kurikulum Merdeka Hasilkan Manusia
Merdeka?", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/23/150936471/bisakah-
kurikulum-merdeka-hasilkan-manusia-merdeka?page=2.

Editor : Egidius Patnistik

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:


Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bisakah Kurikulum Merdeka Hasilkan Manusia
Merdeka?", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/edu/read/2022/07/23/150936471/bisakah-
kurikulum-merdeka-hasilkan-manusia-merdeka.

Editor : Egidius Patnistik

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:


Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Anda mungkin juga menyukai