Anda di halaman 1dari 22

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KEBIJAKAN

DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


Oleh: Hj. Muhaiminah
A. PENDAHULUAN

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KEBIJAKAN N DALAM LEMBAGA


PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: HJ. Muhaiminah

Dalam Sistem Pendidikan Nasional yang tertera pada Undang-undang Republik


Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tercantum bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu
upaya untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan adalah melalui pendidikan Agama
Islam.
Peran strategis lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan telah menjadi
perhatian. Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agama untuk
meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Di bawah pengawasan Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, pengembangan lembaga pendidikan Islam diarahkan pada
kontribusi lembaga tersebut terhadap pembangunan nasional, salah satunya dengan
mengintegrasikan pendidikan agama dalam pendidikan umum kedalam satu system
pendidikan nasional.
Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam memiliki peran besar pula
dalam perubahan social. Misi pendidikan pada Madrasah yang mengacu pada norma
keislaman dan ketentuan nilai harus mampu menjadi sebuah rekonstruksi social yang
mengacu pada kaidah al muhafadzah alal qadim as shahih, wal akhdu bil jaded al
ashla.

A.PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia dikenal dengan dua sistem, yaitu pendidikan
umum dan pendidikan Islam, dimana masing dibawah naungan Mendiknas
dan Kemenag. Dua jenis lembaga pendidikan ini mendapat perlakuan yang
tidak sama dari pemerintah. Pendidikan umum lebih mendapat perhatian
daripada

pendidikan

yang

berlabel

Islam.

Lembaga pendidikan Islam yang notabene di bawah naungan Kementrian


agama kebanyakan tidak didirikan oleh pemerintah sendiri,melainkan
didirikan pondok pesantren maupun perorangan yang kebanyakan berupa
yayasan. Model pendidikan seperti ini kemudian dalam segala urusan
biasanya dikuasai oleh pemegang yayasan bukan terpusat secara nasional
oleh

pemerintah.

Sehingga

setiap

madrasah

berbeda

satu

sama

lain.Sebagai sebuah lembaga pendidikan, madrasah atau universitas


pendidikan Islam tentunya mempunyai berbagai kelebihan dan kekurangan,
maupun permasalahan yang dihadapi olehnya. Permasalahan yang dihadapi
lembaga pendidikan Islam biasanya sangat kompleks. Terlebih-lebih dalam
hal manajemen dan kelembagaannya. Maka dari itu dalam Makalah ini
penulis akan menganalsis tentang
kebijakan dalam

berbagai kelebihan

dan kekurangan

Lembaga pendidikan Islam.Kami akan mengidentifikasi

permasalahan manajemen dan kelembagaan yang muncul dalam lembaga


pendidikan Islam dan berusaha memberikan solusi untuk kebaikan lembaga
pendidikan Islam.

A. Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat manusia
yang dalam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak
dapat diimpor dan diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran dan
model dari orang yang memakainya, sehingga tampak pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat
dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintahan, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat,
kebudayaan dan lain sebagainya.

Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca


kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng anak tirikan, mengisolasi
bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan
Indonesia bukanlah negara Islam. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari
tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu diredam
untuk sebuah tujuan ideal yang tertuang dalam UU Republik Indonesia No 20 Tahun
2003, yaitu Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hingga saat ini kita menyadari bahwa secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam
di Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan, antara lain :
Pertama, kelemahan sumber daya manusia (SDM), manajemen maupun dana.
Sementara itu kita mengetahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis
secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang semakin kompetitif seperti
sekarang ini harus didukung oleh ketiga hal tersebut, yaitu sumber daya manusia,
manajemen dan dana.
Kedua, kita menyadari bahwa saat ini lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum
mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita
idealnya. Di sisi lain masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan Islam
sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam dalam mewujudkan citacitanya, yaitu memberi rahmat bagi seluruh alam.
Ketiga, kita masih melihat lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu
mewujudkan Islam secara transformatif. Kita masih melihat bahwa masyarakat Islam
dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada dataran simbol dan
formalistik.
Keempat, pada saat ini kita hidup dalam era reformasi. Pada era ini kecenderungan
masyarakat untuk mewujudkan masyarakat madani demikian kuat, yaitu masyarakat
yang menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti nilai-nilai keadilan,
kebersamaan, kesederajatan, kemitraan, kejujuran dan sebagainya.
Kelima, hingga saat ini posisi lembaga pendidikan tinggi Islam, bahkan juga pada
lembaga pendidikan Islam yang ada di bawahnya masih kurang diminati oleh
masyarakat. Masyarakat pada umumnya lebih memilih sekolah pada lembaga
pendidikan yang tidak menggunakan label Islam.
Berbagai kelemahan di atas paling tidak merupakan persoalan yang harus dijawab oleh
sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini disebabkan karena
pendidikan memegang amanat tertinggi bangsa ini sebagai sarana untuk membina dan
membangun manusia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab1.
Dalam upaya merekonstruksi pendidikan dalam rangka untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, maka dibutuhkan gagasan keilmuan teoritis, dan aplikasi bagi para
peminat kajian manajemen pendidikan dan praktisi pendidikan. Dan manajemen
pendidikan nasional penuh dengan berbagai kebijakan sebagai konsekwensi
organisasional. Setiap kebijakan dimaksudkann sebagai pedoman, aturan dan prosedur
penyelenggaraan pendidikan. Memasuki dasawarsa pertama abad ke 21 yang penuh
tantangan eksternal dan tuntutan keperluan internal kebijakan pendidikan yang berbasis
pada pencerdasan bangsa, tentu saja harus secara konsisten tetap menjadi komitmen
kebangsaan. Karena itu, kebijakan pendidikan perlu dipahami secara radikal dan
konprehensif sehingga kebijakan tidak salah. Diawali dari proses formulasi,
implementasi, lalu sampai pada evaluasi, kebijakan harus memenuhi keperluan
kebangsaan baik dalam keperluan lokal, nasional, maupun daya saing global.
Bangsa kita semakin memerlukan pimpinan yang menjadi teladan dan
membela kepentingan rakyat. Maka pendidikan yang benar dan berkeadilan
sajalah yang dapat melahirkan pemimpin bangsa yang mampu menjaga
harkat dan martabat bangsa melalui pembangunan yang makmur dalam
keadilan dan adil dalam kemakmuran. Kita sudah mempunyai UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang didikuti pula dengan
kelahiran UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lalu kebijakan
lanjutan apa yang menjabarkan UU tersebut untuk kepentingan
mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memeperjuangkan pendidikan di atas
perjuangan lainnya dalam mempercepat kemajuan bangsa.

Sejatinya, berbagai kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan


berpangkal pada pendidikan yang salah, mulai dari kebijakan pusat sampai aktivitas
pembelajaran di dalam kelas. Jika praktik pendidikan kurang memberdayakan maka
memungkinkan menyebabkan banyak penyimpangan sistem penyelenggaraan
pemerintahan. Ditambah lagi, hasil pembinaan sumber daya manusia (SDM) melalui
pendidikan nasional selain relatif memperlemah mental dan moral bangsa. Pendidikan
nasional adalah proses pemberdayaan , karena idealisme yang diusungnya adalah
mencerdaskan Bangsa.
1 UUSPN No. 20 Tahun 2003.

Maka sudah seharusnya, orientasi kebijakan diubah. Semula, hanya bertumpu


pada yang diinginkan dari atas perlu diubah titik tolaknya dari keperluan masyarakat
dan anak-anak didik terhadap pendidikan. Tujuannya adalah agar sesuai dengan potensi
diri dan budaya yang mengakar pada jati diri bangsa yang pancasilais. Jangan sampai
kebijakan pendididkan nasional memperlemah dan membodohi rakyat. Tetapi
pikirkanlah kualitas, masa depan, dan kelangsungan hidup bangsa ini untuk menjadi
bangsa yang mandiri dan berbudaya tinggi. Insya Allah.
.
B.KEBIJAKAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN
Keberadaan Sekolah/Madrasah sebagai lembaga formal penyelenggaraan
pendidikan memainkan peran strategis dalam keberhasilan sistem pendidikan Nasional.
Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin adalah bertanggung jawab dalam
menerjemahkan dan melaksanakan kebijakan pendidikan Nasional yang ditetapkan
pemerintah. Berawal dari UUD1945, Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
presiden, instruksi presiden, keputusan menteri, sampai kepada peraturan daerah
provinsi, peraturan daerah kabupaten dan kota, kemudian diterjemahkan dan
dilaksanakan oleh kepala sekolah untuk menyentuh langsung keperluan stakeholder
kependidikan , khususnya anak didik. Jadi setiap kebijakan harus selalu berhubungan
dengan kesejahteraan dan pencerdasan masyarakat.
Untuk mencapai peningkatan mutu sekolah, maka kepala sekolah sebagai
petugas profesional dituntut untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan
mengevaluasi kebijakan pendidikan . Kebijakan sekolah/ Madrasah termasuk dalam
spektrum kebijakan pendidikan. Kebijakan sekolah/madrasah merupakan turunan dari
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Dalam Beare dan Boyd dijelaskan
bahwa ada lima jenis kebijakan pendidikan, mencakup:
1. Penataan atau penyusunan tujuan dan sasaran lembaga pendidikan,
2. Mengalokasikan sumber daya untuk dan pelayanan pendidikan,
3. Mentukan tujuan pemberian pelayanan pendidikan,
4. Menentukan pelayanan pendidikan yang hendak diberikan,
5. Menentukan tingkat investasi dalam mutu pendidikan untuk memajukan
pertumbuhan ekonomi.2
Suatu kebijakan sekolah tentu saja dibuat untuk memajukan sekolah /madrasah
sesuai tuntutan keperluan warga sekolah atau masyarakat luas.Ditegaskan oleh Duke
dan Canady,3 bahwa:

2 Beare, H and W. Lowe Boyd, Restructuring School, (London: The Falmers Press, 1993),221.

Kebijakan sangat pending bagi kehidupan siswa dan para guru karena berkaitan
dengan pengajaran dan pembelajaran dalam rangka peningkatan efektivitas sekolah dan
prestasi pelajar.Tidak terkecuali peran administrator dan anggota komite sekolah adalah
sangat menentukan , terkait dengan suatu kebijakan
Kebijakan sekolah/madrasah adalah kerja sama dan keputusan oleh individu atau
keinginan kelompok dengan kewenangan yang sah dari dewan sekolah, pengawas,
administrator sekolah atau komite sekolah/madrasah dan tanggung jawab bagi kontrak
negosiasi. Biasanya kebijakan sekolah dituliskan dan dibagi kepada personil
sekolah/madrasah untuk memeperjuangkannya melalui berbagai kegiatan
sekolah/madrasah.
Suatu kebijakan sekolah/madrasah dibuat oleh orang yang terpilih bertanggung
jawab untuk memebuat kebijakan pendidikan, dewan sekolah dan unsur lain yang diberi
kewenangan memebuat kebijakan , baik kepala sekolah/madrasah, pengawas, atau
administrator yang memiliki kewenangan mengelola kebijakan dari dewan
sekolah/madrasah4.
Apabila kebijakan direncanakan, interaksi sedemikian menjadi rumit dengan
banyak tipe perilaku manusia yang secara bermacam-macam latar belakang dan
diperlukan kemampuan untuk memeberikan kontribusi. Secara khusus, pembuatan
kebijaksanaan adalah suatu elemen penting dalam hubungan sekolah dengan
masyarakat yang dilayaninya5
Setidaknya dari hasil penelitian terhadap sekolah di British, ada beberapa fokus
kebijakan sekolah, yaitu:
1. Melibatkan staf dalam pengambilan keputusan,
2. Kurikulum,
3. Imbalan dan hukuman,
4. Keterlibatan orang tua,
5. Peluang bagi pelajar, dan
6. Iklim sekolah6
Disatu sisi, peran kepala sekolah sebagai pemimpin ditampilkan dengan
menyusun visi, membuat strategi maka perilaku yang muncul adalah meliputi; perilaku
3 Duke, Daniel L. And Robert Lynn Canady, Scool Policy, (New york: Mc Graw Hill, Inc,
1991),1.

4 Thomson, Jhon Thomas, Policy Making in American Education, (New Jerse: Englewood Cliffs,
1976),17.

5 Newton, Colin dan Tony Tarrant, Managing Change in School,( London: Routledge 1992), 12.
6 Duke dan Canady,...5.

mengambil keputusan, perilaku interpesonal, perilaku keteladanan, pemberian reward


dan hukuman, serta pembinaan iklim sekolah diperkirakan berkaitan dengan kelancaran
dan keberhasilan suatu implementasi kebijakan bidang pendidikan dalam semua
aspeknya.
Suatu kebijakan dapat juga dipahami sebagai perangkat panduan yang
memberikan kerangka kerja bagi tindakan dalam hubungan dengan persoalan
substsntif.7 Garis panduan ini mencakup dalam: Istilah umum (general terms), tindakan
(yang akan dilaksanakan dalam pertimbangan persoalan yang ada). Pelaksanaan suatu
maksud dan pola bagi pengambil tindakan . Dalam sekolah diperlukan garis panduan
yang memeberikan kerangka kerja, seringkali dengan beberapa dasar bagi keleluasaan.
Dalam konteks ini, kepala sekolah, staf, dan personel lainnya sebagai warga sekolah
dapat melaksanakan tanggungn jawabnya dengan arahnyang jelas.Analisis kebijakan
pendidikan harus berkenaan dengan latar belakang dan pelaksanaan prinsip yang
memepengaruhi pengembangan kebijaksanaan tersebut, proses implementasi kebijakan,
antara pengamalan dan proses. Bahkan pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan kebijakan
pendidikan (identifikasi kesenjangan antara perencanaan dan implementasi) serta
pengaruh kebijakan.
C.Format dan Implementasi Kebijakan Sekolah
Desentralisasi pendidikan memeberikan peluang bagi kebijakan sekolah di
daerah. Pembuatan kebijakan sekolah adalah inheren dengan otonomi kepala sekolah.
Kebijakan Pendidikan di daerah adalah pekerjaan utama Dinas Pendidikan, yang dapat
menerima masukan dari Dewan Pendidikan Kabupaten dan Kota8. Selanjutnya kepala
sekolah/madrasah dapat pula memebuat kebijakan sekolah bersama dengan setaf,
pengawas, dan komite sekolah.
Implementasi kebijakan merupakan tahap kedua setelah pembuatan atau
pengembangan kebijakan. Kebijakan memiliki suatu sumber utama dari kekuasaan dan
kewenangan9. Keduanya berhubungan dengan formulasi dan pelaksanaan kebijakan.
7 Gemage dan Pang, Leadership and manajemen in Education, (Honkong: TheChinese
Universitsy Press, 2003),171

8 Duke dan Canady, School Policy,( New York: McGraw Hill, Inc, 1991), 130.
9 Monahan dan Hangst, Contemporarary Educational Administrasion,( New York: Macmillan
Publishing Co, Inc.1982), 224.

Kepala sekolah memiliki kewenangan dalam menerjemahkan kebijakan dari


pimpinan lebih tinggi sesuai dengan visi, misi, dan sasaran sekolah yang mengacu
kepada sumber daya di dalam dan diluar sekolah.
Kebijakan sekolah sangat penting bagi kehidupan siswa dan para guru karena
berkaitan dengan pembelajaran dalam rangka peningkatan efektivitas
sekolah/madrasah.10
Kebijakan di sekolah diarahkan kepada semua orang tua dan pelajar sebagai
suatu ungkapan nilai sekolah dan usaha memebngun komitmen terhadap kebijakan
serta usaha membawa kertampilan orang dalam nilaisekolah.11
Kebijakan adalah suatu elemen penting dalam hubungan sekolah dengan
masyarakat yang dilayaninya12.
Kebijakan perlu dituliskan secara baik dan secara berkelanjutan diperbarui13.
Ada beberapa kelebihan-kelebihan, yaitu:
1. Kebijakan menyatakan bahwa sekolah bekerja dalam keadaan efisien dan
terururs.
2. Kebijakan memepercepat stabilitas, sasaran, dan administrasi
3. Kebijakan menjamin pengembangan yang matang serta konsisitensi dalam
keputusan dan prosedur pelaksanaan
4. Kebijakan lokal harus konsisiten dengan sistem kebijakan dan peraturan yang
5.
6.
7.
8.
9.

memepengaruhi sekolah.
Kebijakan membantu menjamin bahwa pertemuan menjadi teratur.
Kebijakan mempercepat stabilitas dan kelanjutan.
Kebijakan memberikan kerangka kerja bagi operasional sekolah.
Kebijakan membantu sekolah dalam penilaian pengajaran.
Pertanyaan kebijakan yang tertulis dan disebarkan kepada masyarakat membuat

kebijakan akuntabel.
10. Kebijakan menjelaskan fungsi dan tanggung jawab kelompok, kepala sekolah
dan staf lainnya.

10 Duke dan Canady,...1


11 Beare,H.and w.Lowe Boyd, Restructuring School, London: The Falrmers Press.
12 Newton dan Tarrant, ...120.
13 Gamage dan Pang,....172.

Kebijakan yang dibuat sekolah/madrasah tidak hanya sekedar menjadi arah


bagi tindakan operasional sekolah yang bernilai strategis, tetapi juga memeperkuat
komitmen tugas, kerjasama, akuntabilitas, bahkan pemberdayaan staf, Manfaat
kebijakan diarahkan untuk meraih kepuasan harapan masyarakat sebagai bagian
penting stakeholders pendidikan.Kebijakan sekolah/madrasah adalah kerjasama dan
keputusan oleh individu atau keinginan kelompok dengan kewenangan yang sah oleh
dewan sekolah, pengawas, admonistrator sekolah atau komite sekolah dan tanggung
jawab bagi kontrak negosiasi. Bila kebijakan dipaham dengan baik, semua orang dapat
bekerja dengan efisien, memiliki kepuasan dan penuh komitmen.
Sebagai pemimpin, keberadaan kepala sekolah menduduki peran yang sangat
penting dalam melaksanakan kebijakan pimpinan puncak( top leader) untuk mengelola
seluruh sumber daya yang dapat mendukung pencapaian keunggulan sekolah/madrasah
D. Kebijakan tentang Penyelenggaraan Pendidikan Islam14
Terminologi pendidikan Islam bagi penulis akan merujuk pada konteks makna
institusi, proses dan subject matter (kurikulum). Institusi akan berkonotasi pada
lembaga-lembaga pendidikan Islam formal (mulai dari MI, M.Ts., MA PT Islam)
maupun non-formal (pondok pesantren, sekolah diniyah, TPA). Untuk pendidikan
berbentuk perguruan tinggi Islam. Meski untuk pendidikan tinggi, Zamroni (1995)
pernah mengajukan sinyalemen bahwa model pendidikan tinggi Islam pada dasarnya
merupakan implementasi dari sistem pendidikan tinggi sekuler barat yang ditambah
dengan mata kuliah agama Islam.
Sementara itu, proses merujuk pada situasi interaktif antara pendidik dengan
peserta didik beserta lingkungan pendidikan yang menyertainya. Dengan begitu, proses
yang berlangsung di dalamnya seharusnya diarahkan untuk menimbulkan pertumbuhan
kepribadian manusia yang seimbang dalam pelbagai aspek, dan mampu mengantarkan
manusia untuk menyerahkan diri kepada Allah SWT baik secara individual ataupun
kolektif. Adapun subject matter dapat dipahami sebagai kurikulum atau dalam makna
yang lebih sempit adalah mata pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta
didik.
Di lihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam konteks
pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga hari
ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam banyak
14 http://zinkser.blogspot.com/2011/01/makalah-kebijakan-pemerintahdalam.html

situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak
peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi
masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan pula terlihat
betapa program studi/sekolah yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan
Departemen Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas), bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan
dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut.
Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks
pendidikan nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi pendidikan Islam
belum beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan nasional.
Barangkali itulah yang menjadikan Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besarnya
menyatakan posisi pendidikan Islam hanya sekadar suplemen15.
Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan
pada sisi menagerial dan proses pendidikan Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur
bagaimana seharusnya pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk
menyebut pendidikan Islam) dan keagamaan lainnya diselenggarakan.
Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan, Pendidikan keagamaan meliputi
pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Pasal
ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup pendidikan keagamaan.
Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi
pengelola pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal tersebut,
yaitu Menteri Agama.
Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan
pengembangan pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam menjadi tanggungjawab
menteri agama. Tentunya mengingat posisi menteri agama bukan hanya untuk kalangan
Islam saja, maka beban menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan
agama lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan ruang lingkup
penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk seluruh agama-agama yang
diakui di Indonesia.
Mencermati betapa beratnya beban yang diemban oleh menteri agama,
tampaknya memang perlu dipikir ulang untuk kembali mengajukan ide
penyelenggaraan pendidikan dalam satu atap di bawah departemen pendidikan saja, dan
tidak terpecah sebagaimana sekarang ini.
15 Dalam Rozihan.http:/ /www.suaramerdeka. com/ harian/0501/07/opi3.htm)

Salah satu alasan terkuat mengapa perlu penyatuan pendidikan di bawah satu
atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang
berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan yang
dibuat oleh Depdiknas. Inovasi-inovasi pembelajaran lebih banyak muncul kali pertama
dari Depdiknas bukan dari Depag. Dengan sendirinya, Depag kerap selalu menunggu
adanya inovasi ataupun kebijakan pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas.
Dalam catatan sejarah pendidikan nasional, hampir tidak banyak inovasi yang
dilakukan Depag yang benar-benar berbeda dengan yang dikembangkan oleh
Depdiknas.
Kenyataan ini jelas tidak dapat dipungkiri, cermati saja bagaimana kebijakan
tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) terasa betapa dominasi Depdiknas dalam pengembangan dan penerapannya
begitu kentara. Sementara itu, Depag tetap setia mengikutinya. Untuk kasus yang lebih
baru, Depag juga tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan mata uji apa saja yang
harus ditempuh oleh peserta didik yangmengikuti pendidikan di M.Ts dan MA/MAK
saat penentuan kelulusan (simak kasus ujian nasional dan ujian sekolah)
Selain itu dari sisi managerial madrasah dikelola Departemen Agama yang tidak
memiliki dana yang cukup untuk membiaya madrasah yang jumlahnya sangat banyak,
di samping Depag tidak memiliki sumber tenaga kependidikan yang memadai untuk
mengelola madrasah, jika dibandingkan dengan Diknas.
Sebagai misal anggaran Dirjen Pendidikan Islam tahun 2007 adalah senilai Rp
7 triliun. Angka sebesar itu diperuntukkan bagi banyak komponen pendidikan seperti
gaji guru dan tenaga kependidikan (57,1% ), dana BOS BKM, BOS buku (25,7%),
sisanya sebagai anggaran tupoksi 4 direktorat Depag pusat dan bidang Mapenda serta
Pontren di 32 Kanwil Depag Provinsi (17,1%) atau sekitar Rp 1,2 triliun. Saat ini
anggaran pendidikan Islam di Depag diprediksi 20% dari anggaran pendidikan di
Depdiknas (bukan dari APBN) (Mulyana. 2008).
Untuk tingkat pendidikan tinggi, ketergantungan Depag terhadap Depdiknas
juga terasa. Sebut saja permasalahan tentang pengakuan kepangkatan (jabatan
akademik) dosen perguruan tinggi Islam yang masih tetap harus sepengtahuan dari
Depdiknas, bahkan Depdiknaslah yang menentukan kepangkatan dosen PT Islam untuk
jabatan Lektor Kepala dan Guru Besar.
Jalur yang harus ditempuh seorang dosen PT Islam untuk mendapatkan jabatan
guru besar pertama yang bersangkutan harus mengajukan pada institusinya, kemudian
mengajukan ke Depag di jakarta, setelah ke Depdiknas. Surat Keputusannya

pengangkatan guru besarpun ditandatangani oleh Mendiknas, bukan oleh Menag. Jalur
ini akan semakin panjang jika dosen tersebut adalah dosen PT Islam Swasta, yang harus
pula melewati Kopertais dan Kopertis. Hal ini jelas suatu ironi, betapa penyelenggara
pendidikan tidak dapat berbuat banyak untuk menentukan langkah-langkah inovasi
yang dibutuhkan dalam proses penyelengaraan institusi pendidikan.
Selain itu seandainya terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan
pendidikan keaagamaan, maka jika untuk pendidikan tinggi maka posisi menteri agama
sebagaimana pasal 7 ayat (1) a hanya sebagai pemberi pertimbangan dan bukan
pengambil keputusan. Adapun pengambil keputusan untuk jenjang pendidikan dasar
dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota, dan masukan pertimbangan diberikan
oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Sekali lagi hal ini
menunjukkan betapa Depag beserta jajarannya hingga yang paling bawah, tidak
memiliki kekuasaan dalam proses penyelenggaraan pendidikan keagamaan sekalipun.
Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah lembaga penyelenggara pendidikan
keagamaan Islam adalah MI, M.Ts dan MA/MAK. Meski sebenarnya penyebutan
lembaga-lembaga tersebut tidak secara ekplisit, namun sebagai penjelasan tentang
kemungkinan perpindahan peserta didik dalam jenjang pendidikan yang setara (Pasal
11). Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) juga memang
disebutkan untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu MI, M.Ts., dan Pasal 18 ayat (3)
jenjang pendidikan menengah bagi pendidikan Islam adalah MA dan MAK. Hanya saja
khusus untuk pendidikan keagamaan baik dalam UU Sisdiknas Pasal 30 ayat (4)
ataupun PP No. 55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pendidikan diniyah, dan pesantren. Ayat
(2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model pendidikan tersebut dapat
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.
Lantas pertanyaannya adalah bagaimana posisi MI, M.Ts., MA/MAK dan PT
Islam penyelenggara pendidikan keagamaan Islam? Apakah juga berposisi sama dengan
diniyah dan pesantren? Sebab pada akhirnya pada pasal 16 UU Sisdiknas disebutkan
bentuk kelembagaan dari proses pendidikan diniyah juga menggunakan nama MI, M.Ts.
MA/MAK untuk menyebut pendidikan diniyah dasar, dan pendidikan diniyah
menengah.
Tema menarik lain dalam PP 55 tahun 2007 ini adalah kemandirian dan
kekhasan pendidikan keagamaan sebagaimana tercantum dalam pasal 12 ayat (2) yaitu
Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama
tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional? Sejak dahulu kekhasan
pendidikan diniyah dan pesantren adalah hanya mengajarkan materi agama Islam saja,

dan tidak materi lain. Namun dalam pasal 18 PP No. 55 tahun 2007 disebutkan untuk
pendidikan diniyah formal pada ayat (1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal
wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib
belajar. Begitu juga untuk pendidikan diniyah menengah formal Kurikulum pendidikan
diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan,
bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Jika memang ada keinginan pemerintah untuk memberi pilihan kemandirian dan
kekhasan pada sekolah?di lingkup pendidikan Islam, tentunya tidak akan ada lagi
narasi sebagaimana pada pasal 18 ayat (1) disinilah terjadi benturan yang perlu disikapi
secara lebih bijak. Sebab, sejak awal hadirnya pendidikan Islam tampaknya lebih kuat
ke arah pendidikan non-formal, dan bukan formal sebagaimana pada pasal-pasal di atas.
Selain itu, materi yang banyak diajarkan adalah berkisar tema-tema agama, dan tidak
membicarakan mata pelajaran sebagaimana yang dimaksud.
Jika yang dimaksud adalah MI, M.Ts., MA/MAK sebagai wujud dari sekolah
formal pendidikan Islam, maka sejarah telah mencatat saat ini proporsi kurikulum
bidang agama dengan kurikulum bidang kajian umum di madrasah dapat dinyatakan
telah meninggalkan ciri madrasah sebagai pendidikan keagamaan Islam. Proporsi 70%
bidang umum dan 30% bidang agama, lebih dimaksudkan untuk penyetaraan
pendidikan di madrasah dengan sekolah pada jenjang yang sama.
Lantas apakah dengan penambahan proporsi kurikulum bidang umum lebih
tinggi dibanding kurikulum bidang agama dapat serta merta meningkatkan mutu
pendidikan di madrasah? Pada kenyataannya malah terjadi dampak yang tidak
selamanya positif. Sebut saja masalah jati diri madrasah.
Sejak mula hadir sebenarnya madrasah lebih berfokus pada pendidikan
keagamaan dan keislaman. Dengan perubahan orientasi tersebut justru madrasah saat
ini kehilangan jati dirinya, dan lebih parah lagi kesulitan pula untuk merebut peran
dalam konteks pendidikan nasional, jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum
di bawah pembinaan Depdiknas.
Pada masa-masa yang akan datang, dalam hal pengembangan kurikulum,
tampaknya madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan.
Setia dengan tujuan awal hadirnya sebagai pengembang ilmu-ilmu keislaman, atau
sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar melakukan perubahan kurikulum yang
ukurannya adalah pragmatism sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup peserta
didik. Tentu saja , pilihan atas itu semua akan memiliki resiko yang tidak sama dalam

pengembangan materi pembelajaran, orientasi serta proses pembelajarannya.


Sementara itu untuk pendidikan diniyah non-formal disebutkan dalam pasal 21 ayat (1)
yaitu, Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab,
Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur'an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang
sejenis. Adapun untuk proses penyelenggaraannya tertuang dalam pasal yang sama ayat
(5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
Jika untuk lembaga pendidikan keagamaan Islam yang diformalkan saja
memiliki banyak hambatan, maka persoalan yang senada juga pasti dialami oleh
pendidikan diniyah non-formal. Tentunya bentuk-bentuk pendidikan diniyah nonformal
di atas lebih dimaksudkan sebagai upaya menyiasati ketidakmungkinan peserta didik
mengikuti proses pendidikan secara formal. Hanya saja jika itu terjadi, maka
persoalannya pada bagaimana upaya kesetaraannya? Lembaga mana yang akan
dijadikan sebagai model ideal bagi penyetaraan pendidikan diniyah non-formal ini?
Sementara persoalan pendidikan kesetaraan di lingkup Depdiknas sendiri belum
seluruhnya tuntas, setidaknya untuk masalah home scooling yang hingga hari ini masih
tarik ulur tentang penyelenggaraannya. Tentunya Depag juga harus mulai antisipasi
untuk membuat desain model penyetaraan bagi pendidikan diniyah non-formal ini.
Sebab rasanya tidak adil, tidak menghargai mereka yang telah menempuh pendidikan
selama kurun waktu tertentu, namun tidak memberi atribut kelulusannya
D.Analisis Kebijakan Di Lembaga Pendidikan
Pembangunan pendidikan Nasional adalah suatu usaha yang bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri dan modern.16
Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeluruh dan
sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa.Keberhasilan dalam
memebangun pendidikan akan memberikan kontribusi besar pada pencapaian tujuan
pembangunan nasional secara keseluruhan . Dalam konteks demikian pembangunan
pendidikan itu mencakup berbagai dimensi yang sangat luas; yang meliputi dimensi
sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Dalam pespektif sosial, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar
yang memepunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam masyarakat.
Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas
16 Depdiknas: 2003, 5a.

masyarakat, yang mengarah pada pembentukan formasi sosial baru. Formasi sosial baru
ini terdiri dari lapissn masyarakat kelas menengah terdidik yang menjadi elemen
penting dalam memeperkuat daya rekat sosial. Pendidikan yang melahirkan lapisan
masyarakat terdidik itu menjadi kekuatsan perekat yang menautkan unit-unit sosial di
dalam masyarakat, keluarga, komunitas, perkumpulan masyarakat, dan organisasi sosial
yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara.
Dengan demikian, pendidikan dapat memeberikan sumbangan penting dalam upaya
memantapkan integrasi sosial.
Dalam perspektif budaya, pendidikan merupakan wahana penting dan medium
yang efektif untuk mengajarkan norma, menyosialisasikan nilai, dan menanamkan etos
di kalangan warga masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk
memupuk kepribadian bangsa, memeperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati
diri bangsa. Bahkan peran pendidikan lebih penting lagi ketika arus globalisai demikian
kuat, yang membawa pengaruh nilai-nilai dan budaya yang acap kali bertentangan
dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa indonesia. Kesadaran kolektif sebagai warga
bangsa dan mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman
budaya, ras, suku bangsa dan agama sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.
Dalam perspektif ekonomi, pendidikan akan menghasilkan manusi-manusia
yang andal untuk menjadi subyek penngerak pembangunan ekonomi nasional. Oleh
karena itu pendidikan hrus mamapu melahirkan lulusan-luluan bermutu yan memiliki
pengetahuan , menguasi teknologi dan memepunyai ketrampilan teknis, dan kecakapan
hidup yang memadai. Pendidikan juga harusdapat menghasilkan tenaga-tenaga
profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang mejadi pilar utama
aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan
strategis untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa,
yang mejadi prasyarat mutlak dalam memasuki persaingan antara bangsa di era global.
Dalam perspektif politik, pendidkkan harus mampu mengembangkan kapasitas
individu untuk menjadi warga negara yang baik, yang memiliki kesadaran akan hak dan
tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Oleh karena
itu, pendidikan harus dapat melahirkan individu yang memiliki visi,dan idealisme itu
haruslah merujuk dan bersumber pada paham ideologi nasional, yang dianut oleh
seluruh komponen bangsa. Dalam jangka panjang, pendidikanniscaya akan melahirkan
lapisan masyarakat terpelajar yang kemudian membentuk critical mass, yang menjadi

elemen pokok dalam upaya memebangun masyarakat madani.Dengan demikian


pendidikan merupakan usaha besar untuk meletakkan landasan sosial yang kukuh bagi
terciptanya masyarakat demokratis, yang bertumpu pada golongan masyarakat
demokratis, yang bertumpu pada golongan masyarakat kelas menengah tedidik yang
menjadi pilar utama civil society yang menjadi salah satu tiang penyangga bagi upaya
perwujudan pembangunan masyarakat demokratis17
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya me
warisi nilai yang menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam
menjalani kehidupan dan untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia, tanpa
pendidikan manusia sekarang tanpa berbeda dengan manusia masa lampau, yang
dibandingkan dengan manusia sekarang telah sangat tertinggal baik kwalitas maupun
proses pembedayaanya.Untuk itu pemerintah banyak membantu dalam dunia
pendidikan diantaranya banyak peraturan-peraturan yang telah di buat seperti :
Keputusan mentri No 44 Tahun 2005 tentang Komite Sekolah
Peraturan pemerintah No 19 Tahun 2007 Penilaian Standar Isi.
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2007 Standar Sarana dan Prasarana
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2007 Sertifikasi guru
Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 2007 tentang buku teks Pelajaran
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2008 Standar Adminitrasi Sekolah
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Pembagian Wewenang
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2008 wajib Belajar
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2008 Guru
17 Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan,(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012),43-45.

Undang-Undang No.14 Guru dan Dosen


Undang-Undang No.20 Sekdiknas
Lahirnya Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 1999 yang memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan,
merupakan tonggak baru penyelenggaraan pendidikan. Dengan undang-undang ini
kebijakan pendidikan berubah, yang tadinya otoritas penyelenggaraan pendidikan
berada di tangan pemerintah pusat, sekarang otoritas tersebut berada di tangan
pemerintah daerah.
Permasalahan pendidikan yang dihadapi Pemerintah Indonesia memang sangat
kompleks. Selain menyediakan pendidikan bagi penduduk usia belajar yang jumlahnya
begitu besar, kita menghadapi perubahan dan perkembangan teknologi dan informasi
yang begitu deras, yang tidak diimbangi peningkatan mutu sumber daya pembelajaran,
termasuk dalam hal peningkatan mutu guru, kurikulum, alat pembelajaran, dan lainnya.
Ketertinggalan dalam hal mutu sumber daya pembelajaran ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah. Melihat kompleksnya isu pendidikan yang dihadapi pada Abad21 ini dan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, diperlukan kajian terhadap sistem
pendidikan di Indonesia beserta kebijakan yang mendukungnya.
Kebijakan pemerintah yang perlu dikaji adalah kebijakan dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, serta keputusan direktur
jenderal. Banyak permasalahan pendidikan yang dapat diidentifikasi dari masalah yang
disebabkan oleh kebijakan pendidikan yang ada, termasuk isu-isu pendidikan yang
berkembang.
Kelemahan peningkatan pendidikan terletak dari sudut pandang pengelolaan
pendidikan. Pendidikan membutuhkan proses yang panjang, bukan hanya target-target
instan yang tak akan bertahan dalam jangka panjang. Tujuan pendidikan yang terdapat
dalam undang-undang tidak dapat dilaksanakan dengan sudut pandang pragmatis atau
realistis.

Mutu pendidikan di Indonesia tidak akan dapat melampaui mutu pendidikan


negara lain, atau tujuan pendidikan nasional tidak akan dapat dicapai tanpa perencanaan
jangka panjang dan jangka menengah yang berkesinambungan.
Tujuan pendidikan yang demikian ideal selama ini tidak pernah dengan
sungguh-sungguh diterjemahkan secara operasional. Kurikulum yang dirancang dan
dilaksanakan secara relevan, efisien, dan efektif akan mampu mendukung terlaksananya
fungsi pendidikan nasional untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan budaya
nasional. Peningkatan mutu pendidikan dari segi pelayanan pembelajaran belum
disentuh.
Pergantian era kepemimpinan menteri pendidikan tidak mampu membawa
peningkatan pelayanan pendidikan yang bermuara pada peningkatan mutu. Rasio siswa
dalam satu kelas tidak pernah menurun. Rasio siswa dari jenjang SD hingga SMA
masih di atas 25 orang, bahkan di tingkat SMP dan SMA berada pada kisaran 40 orang.
Angka ini masih jauh dari tuntutan penyediaan pendidikan yang berkualitas.
Sekalipun pemerintah telah lama melakukan perluasan pendidikan, ternyata
tidak berhasil menaikkan rasio siswa dalam satu kelas. Peningkatan mutu pendidikan
dari segi input siswa. Tanpa kesehatan, nutrisi yang cukup, ketekunan, kehadiran yang
tetap, dan dukungan rumah, kegiatan pembelajaran di kelas tidak akan efektif. Siswa
harus mampu bertahan mengikuti pembelajaran selama jam pelajaran, sehingga harus
didukung oleh nutrisi yang cukup.
Dari segi proses, peningkatan mutu pendidikan belum berjalan baik karena
para guru dan tenaga pengajar lain masih lebih banyak berpendidikan di bawah S-1.
Kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan selama ini masih dalam taraf
meningkatkan kompetensi guru hingga D-2. Hal ini terjadi khususnya di jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
Dari segi mutu output pendidikan didapati bahwa selama ini tidak ada kriteria
kelulusan berdasarkan hasil ujian, sehingga hampir semua peserta ujian memperoleh
predikat tamat dan dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan selanjutnya. Dengan
mengambil batas nilai 5,5 (asumsi) sebagai kriteria minimal kelulusan, berarti hanya

36,79% siswa SLTP yang lulus, sisanya memperoleh predikat tamat belajar. Dari
paparan akademis, tingkat penguasaan materi pada umumnya sangat memprihatinkan.
Pada 2003 telah lahir UU No 20/2003 tentang Pendidikan Nasional. Undangundang ini memang telah lebih komprehensif dan jelas menyatakan tentang
standardisasi pendidikan dan peningkatan mutu. Namun karena operasionalisasi
undang-undang ini memerlukan peraturan pemerintah, dan peraturan itu hingga 2004
belum selesai dibuat, maka keputusan menteri pendidikan nasional belum mengacu
kepada undang-undang tersebut.
Dalam hal ini kebijakan pendidikan yang ada belum mampu meningkatkan
mutu pendidikan menembus pencapaian jangka pendek (output pendidikan) dan
pencapaian jangka panjang (outcome pendidikan), apalagi mengungguli pencapaian
mutu pendidikan negara tetangga.
Peningkatan mutu pendidikan selama ini masih belum menunjukkan hasil yang
memuaskan. Rendahnya mutu pendidikan ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain
mutu dan distribusi guru yang masih belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana
pendidikan, kurikulum yang kurang sesuai, lingkungan belajar di sekolah maupun
dalam keluarga dan masyarakat belum mendukung.18

E. KESIMPULAN
Landasan teori kebijakan berfungsi untuk memahami, menjelaskan,
memprediksi dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan sehingga sesuai dengan
kaidah-kaidah (keilmuan) dan tujuan pendidikan. Karena kebijakan sebagai ilmu
terapan yang multidisiplin. Pendidikan sebagai salah satu sektor penting dalam
18 http://mpiuika.wordpress.com/2009/11/08/makalah-diskusi-analisiskebijakan-pendidikan-islam-kelompok-1/

pembangunan yang menghasilkan sumber daya manusia yang dibutuhkan sesuai arah
tujuan pendidikan: Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Individu, Pengembangan
Manusia sebagai Mahluk sosial, Pengembangan Manusia sebagai Mahluk susila
(Ahklak Mulia), Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Beragama (Imtaq), dan
Pengembangan Manusia sebagai Mahkluk Profesi, atau menjadi warga negara yang
baik (good Citizens) dan mewujudkan civil society dalam era reformasi. Bila dilihat dari
tujuan idealnya dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional.
Dalam upaya meningkatkan kinerja pendidikan nasional, diperlukan suatu reformasi
menyeluruh yang telah dimulai dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi
pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Sebelum diberlakukan
UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka pengelolaan pendidikan dasar
menganut sentralisasi dan terjadi dualisme pemerintahan, yaitu oleh dinas dikbud yang
menginduk ke departemen dalam negeri dan departemen pendidikan. Namun setelah
reformasi politik pemerintahan ini tertuang di dalam UU No.22/1999 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut
menandai perubahan radikal tata kepemerintahan dari sentralistik ke sistem
desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Pendidikan yang
semula menjadi kewenangan pemerintahan pusat kemudian dialihkan menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang
pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
manajemen pendidikan sehingga diharapkan dapat memeperbaiki kinerja pendidikan
nasional, dan kelebihan-kelebihan kebijakan dalam lembaga pendidikan lainnya yaitu:
1. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota mengambil inisiatif sendiri dalam
melaksanakan perubahan organisasi untuk merespons peran dan fungsi yang
berubah maka hal inilah yang merupakan bagian dari kelebihan-kelebihan
kebijakan dalam lembaga pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang
merupakan bagian pendidikan Nasional.
2. Tumbuhnya inisiatif dalam mengelola perubahan yang didorong oleh kekuatan
internal pada tingkat satuan pendidikan dan masyarakat.
3. Pada tingkat pusat reformasi struktur organisasi Departemen lebih diarahkan pada
semakin besarnya fungsi manajemen mutu sebagai respons positif terhadap
tuntutan perkembangan global dan kebijakan desentralisasi.
4. Mulai tampak adanya kebutuhan legilasi dan regulasi dalam pengelolaan
pendidikan di daerah.

Adapun yang menjadi kekurangan-kekurangan kebijakan dalam hal


desentralisasi adalah bahwa perencanaan dan pelaksanaan program belum didukung
oleh data dan informasi yang akurat pada berbagai tingkatan pemerintah. Salah satu
fungsi manajemen yang penting yaitu pengawasan terhadap berbagai program dan
kegiatan yang berkaitan dengan upaya pemerataan dan perluasan akses serta
peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan. Pengawasan yang dapat dilakukan
dengan cara monitoring dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas
pendayagunaan sumber daya dalam pembangunan pendidikan,agar dapat mencegah
sekecil mungkin terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme(KKN). Pemberantasan KKN
menjadi isu pemerintahan sekarang.

DAFTAR PUSTAKA
Beare, H and W. Lowe Boyd, Restructuring School, (London: The
Falmers Press, 1993)
Duke, Daniel L. And Robert Lynn Canady, Scool Policy, (New york: Mc
Graw Hill,
Inc, 1991)
Gemage daon Pang, Leadership and manajemen in Education,
(Hongkong: The Chinese University Press, 2003)

http://zinkser.blogspot. Com/2012/01/ makalah-kebijakan-pemerintahdalam.html. Diakses 12 Desember 2012


http://mpiuika.wordpress.com/2009/11/08/makalah-diskusi-analisiskebijakan-pendidikan-islam-kelompok-1/UUSPN No. 20 Tahun 2003.
Diakses 12 Desember 2012
Monahan dan Hangst, Contemporarary Educational Administrasion,
( New York:
Macmillan Publishing Co, Inc.1982)
Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan, Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya 2012.
Newton, Colin dan Tony Tarrant, Managing Change in School,
( London: Routledge
1992)
Rozihan.http:/ /www.suaramerdeka. com/ harian/0501/07/opi3.htm)
Syafaruddin. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
2008.
Thomson, Jhon Thomas. Policy Making in American Education, (New
Jerse:
Englewood Cliffs, 1976)

Anda mungkin juga menyukai