A.PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia dikenal dengan dua sistem, yaitu pendidikan
umum dan pendidikan Islam, dimana masing dibawah naungan Mendiknas
dan Kemenag. Dua jenis lembaga pendidikan ini mendapat perlakuan yang
tidak sama dari pemerintah. Pendidikan umum lebih mendapat perhatian
daripada
pendidikan
yang
berlabel
Islam.
pemerintah.
Sehingga
setiap
madrasah
berbeda
satu
sama
berbagai kelebihan
dan kekurangan
A. Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat manusia
yang dalam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak
dapat diimpor dan diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran dan
model dari orang yang memakainya, sehingga tampak pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat
dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintahan, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat,
kebudayaan dan lain sebagainya.
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab1.
Dalam upaya merekonstruksi pendidikan dalam rangka untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, maka dibutuhkan gagasan keilmuan teoritis, dan aplikasi bagi para
peminat kajian manajemen pendidikan dan praktisi pendidikan. Dan manajemen
pendidikan nasional penuh dengan berbagai kebijakan sebagai konsekwensi
organisasional. Setiap kebijakan dimaksudkann sebagai pedoman, aturan dan prosedur
penyelenggaraan pendidikan. Memasuki dasawarsa pertama abad ke 21 yang penuh
tantangan eksternal dan tuntutan keperluan internal kebijakan pendidikan yang berbasis
pada pencerdasan bangsa, tentu saja harus secara konsisten tetap menjadi komitmen
kebangsaan. Karena itu, kebijakan pendidikan perlu dipahami secara radikal dan
konprehensif sehingga kebijakan tidak salah. Diawali dari proses formulasi,
implementasi, lalu sampai pada evaluasi, kebijakan harus memenuhi keperluan
kebangsaan baik dalam keperluan lokal, nasional, maupun daya saing global.
Bangsa kita semakin memerlukan pimpinan yang menjadi teladan dan
membela kepentingan rakyat. Maka pendidikan yang benar dan berkeadilan
sajalah yang dapat melahirkan pemimpin bangsa yang mampu menjaga
harkat dan martabat bangsa melalui pembangunan yang makmur dalam
keadilan dan adil dalam kemakmuran. Kita sudah mempunyai UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang didikuti pula dengan
kelahiran UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lalu kebijakan
lanjutan apa yang menjabarkan UU tersebut untuk kepentingan
mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memeperjuangkan pendidikan di atas
perjuangan lainnya dalam mempercepat kemajuan bangsa.
2 Beare, H and W. Lowe Boyd, Restructuring School, (London: The Falmers Press, 1993),221.
Kebijakan sangat pending bagi kehidupan siswa dan para guru karena berkaitan
dengan pengajaran dan pembelajaran dalam rangka peningkatan efektivitas sekolah dan
prestasi pelajar.Tidak terkecuali peran administrator dan anggota komite sekolah adalah
sangat menentukan , terkait dengan suatu kebijakan
Kebijakan sekolah/madrasah adalah kerja sama dan keputusan oleh individu atau
keinginan kelompok dengan kewenangan yang sah dari dewan sekolah, pengawas,
administrator sekolah atau komite sekolah/madrasah dan tanggung jawab bagi kontrak
negosiasi. Biasanya kebijakan sekolah dituliskan dan dibagi kepada personil
sekolah/madrasah untuk memeperjuangkannya melalui berbagai kegiatan
sekolah/madrasah.
Suatu kebijakan sekolah/madrasah dibuat oleh orang yang terpilih bertanggung
jawab untuk memebuat kebijakan pendidikan, dewan sekolah dan unsur lain yang diberi
kewenangan memebuat kebijakan , baik kepala sekolah/madrasah, pengawas, atau
administrator yang memiliki kewenangan mengelola kebijakan dari dewan
sekolah/madrasah4.
Apabila kebijakan direncanakan, interaksi sedemikian menjadi rumit dengan
banyak tipe perilaku manusia yang secara bermacam-macam latar belakang dan
diperlukan kemampuan untuk memeberikan kontribusi. Secara khusus, pembuatan
kebijaksanaan adalah suatu elemen penting dalam hubungan sekolah dengan
masyarakat yang dilayaninya5
Setidaknya dari hasil penelitian terhadap sekolah di British, ada beberapa fokus
kebijakan sekolah, yaitu:
1. Melibatkan staf dalam pengambilan keputusan,
2. Kurikulum,
3. Imbalan dan hukuman,
4. Keterlibatan orang tua,
5. Peluang bagi pelajar, dan
6. Iklim sekolah6
Disatu sisi, peran kepala sekolah sebagai pemimpin ditampilkan dengan
menyusun visi, membuat strategi maka perilaku yang muncul adalah meliputi; perilaku
3 Duke, Daniel L. And Robert Lynn Canady, Scool Policy, (New york: Mc Graw Hill, Inc,
1991),1.
4 Thomson, Jhon Thomas, Policy Making in American Education, (New Jerse: Englewood Cliffs,
1976),17.
5 Newton, Colin dan Tony Tarrant, Managing Change in School,( London: Routledge 1992), 12.
6 Duke dan Canady,...5.
8 Duke dan Canady, School Policy,( New York: McGraw Hill, Inc, 1991), 130.
9 Monahan dan Hangst, Contemporarary Educational Administrasion,( New York: Macmillan
Publishing Co, Inc.1982), 224.
memepengaruhi sekolah.
Kebijakan membantu menjamin bahwa pertemuan menjadi teratur.
Kebijakan mempercepat stabilitas dan kelanjutan.
Kebijakan memberikan kerangka kerja bagi operasional sekolah.
Kebijakan membantu sekolah dalam penilaian pengajaran.
Pertanyaan kebijakan yang tertulis dan disebarkan kepada masyarakat membuat
kebijakan akuntabel.
10. Kebijakan menjelaskan fungsi dan tanggung jawab kelompok, kepala sekolah
dan staf lainnya.
situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak
peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi
masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan pula terlihat
betapa program studi/sekolah yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan
Departemen Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas), bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan
dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut.
Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks
pendidikan nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi pendidikan Islam
belum beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan nasional.
Barangkali itulah yang menjadikan Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besarnya
menyatakan posisi pendidikan Islam hanya sekadar suplemen15.
Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang
pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan
pada sisi menagerial dan proses pendidikan Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur
bagaimana seharusnya pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk
menyebut pendidikan Islam) dan keagamaan lainnya diselenggarakan.
Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan, Pendidikan keagamaan meliputi
pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Pasal
ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup pendidikan keagamaan.
Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi
pengelola pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal tersebut,
yaitu Menteri Agama.
Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan
pengembangan pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam menjadi tanggungjawab
menteri agama. Tentunya mengingat posisi menteri agama bukan hanya untuk kalangan
Islam saja, maka beban menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan
agama lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan ruang lingkup
penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk seluruh agama-agama yang
diakui di Indonesia.
Mencermati betapa beratnya beban yang diemban oleh menteri agama,
tampaknya memang perlu dipikir ulang untuk kembali mengajukan ide
penyelenggaraan pendidikan dalam satu atap di bawah departemen pendidikan saja, dan
tidak terpecah sebagaimana sekarang ini.
15 Dalam Rozihan.http:/ /www.suaramerdeka. com/ harian/0501/07/opi3.htm)
Salah satu alasan terkuat mengapa perlu penyatuan pendidikan di bawah satu
atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang
berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan yang
dibuat oleh Depdiknas. Inovasi-inovasi pembelajaran lebih banyak muncul kali pertama
dari Depdiknas bukan dari Depag. Dengan sendirinya, Depag kerap selalu menunggu
adanya inovasi ataupun kebijakan pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas.
Dalam catatan sejarah pendidikan nasional, hampir tidak banyak inovasi yang
dilakukan Depag yang benar-benar berbeda dengan yang dikembangkan oleh
Depdiknas.
Kenyataan ini jelas tidak dapat dipungkiri, cermati saja bagaimana kebijakan
tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) terasa betapa dominasi Depdiknas dalam pengembangan dan penerapannya
begitu kentara. Sementara itu, Depag tetap setia mengikutinya. Untuk kasus yang lebih
baru, Depag juga tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan mata uji apa saja yang
harus ditempuh oleh peserta didik yangmengikuti pendidikan di M.Ts dan MA/MAK
saat penentuan kelulusan (simak kasus ujian nasional dan ujian sekolah)
Selain itu dari sisi managerial madrasah dikelola Departemen Agama yang tidak
memiliki dana yang cukup untuk membiaya madrasah yang jumlahnya sangat banyak,
di samping Depag tidak memiliki sumber tenaga kependidikan yang memadai untuk
mengelola madrasah, jika dibandingkan dengan Diknas.
Sebagai misal anggaran Dirjen Pendidikan Islam tahun 2007 adalah senilai Rp
7 triliun. Angka sebesar itu diperuntukkan bagi banyak komponen pendidikan seperti
gaji guru dan tenaga kependidikan (57,1% ), dana BOS BKM, BOS buku (25,7%),
sisanya sebagai anggaran tupoksi 4 direktorat Depag pusat dan bidang Mapenda serta
Pontren di 32 Kanwil Depag Provinsi (17,1%) atau sekitar Rp 1,2 triliun. Saat ini
anggaran pendidikan Islam di Depag diprediksi 20% dari anggaran pendidikan di
Depdiknas (bukan dari APBN) (Mulyana. 2008).
Untuk tingkat pendidikan tinggi, ketergantungan Depag terhadap Depdiknas
juga terasa. Sebut saja permasalahan tentang pengakuan kepangkatan (jabatan
akademik) dosen perguruan tinggi Islam yang masih tetap harus sepengtahuan dari
Depdiknas, bahkan Depdiknaslah yang menentukan kepangkatan dosen PT Islam untuk
jabatan Lektor Kepala dan Guru Besar.
Jalur yang harus ditempuh seorang dosen PT Islam untuk mendapatkan jabatan
guru besar pertama yang bersangkutan harus mengajukan pada institusinya, kemudian
mengajukan ke Depag di jakarta, setelah ke Depdiknas. Surat Keputusannya
pengangkatan guru besarpun ditandatangani oleh Mendiknas, bukan oleh Menag. Jalur
ini akan semakin panjang jika dosen tersebut adalah dosen PT Islam Swasta, yang harus
pula melewati Kopertais dan Kopertis. Hal ini jelas suatu ironi, betapa penyelenggara
pendidikan tidak dapat berbuat banyak untuk menentukan langkah-langkah inovasi
yang dibutuhkan dalam proses penyelengaraan institusi pendidikan.
Selain itu seandainya terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan
pendidikan keaagamaan, maka jika untuk pendidikan tinggi maka posisi menteri agama
sebagaimana pasal 7 ayat (1) a hanya sebagai pemberi pertimbangan dan bukan
pengambil keputusan. Adapun pengambil keputusan untuk jenjang pendidikan dasar
dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota, dan masukan pertimbangan diberikan
oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Sekali lagi hal ini
menunjukkan betapa Depag beserta jajarannya hingga yang paling bawah, tidak
memiliki kekuasaan dalam proses penyelenggaraan pendidikan keagamaan sekalipun.
Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah lembaga penyelenggara pendidikan
keagamaan Islam adalah MI, M.Ts dan MA/MAK. Meski sebenarnya penyebutan
lembaga-lembaga tersebut tidak secara ekplisit, namun sebagai penjelasan tentang
kemungkinan perpindahan peserta didik dalam jenjang pendidikan yang setara (Pasal
11). Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) juga memang
disebutkan untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu MI, M.Ts., dan Pasal 18 ayat (3)
jenjang pendidikan menengah bagi pendidikan Islam adalah MA dan MAK. Hanya saja
khusus untuk pendidikan keagamaan baik dalam UU Sisdiknas Pasal 30 ayat (4)
ataupun PP No. 55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pendidikan diniyah, dan pesantren. Ayat
(2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model pendidikan tersebut dapat
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.
Lantas pertanyaannya adalah bagaimana posisi MI, M.Ts., MA/MAK dan PT
Islam penyelenggara pendidikan keagamaan Islam? Apakah juga berposisi sama dengan
diniyah dan pesantren? Sebab pada akhirnya pada pasal 16 UU Sisdiknas disebutkan
bentuk kelembagaan dari proses pendidikan diniyah juga menggunakan nama MI, M.Ts.
MA/MAK untuk menyebut pendidikan diniyah dasar, dan pendidikan diniyah
menengah.
Tema menarik lain dalam PP 55 tahun 2007 ini adalah kemandirian dan
kekhasan pendidikan keagamaan sebagaimana tercantum dalam pasal 12 ayat (2) yaitu
Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama
tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional? Sejak dahulu kekhasan
pendidikan diniyah dan pesantren adalah hanya mengajarkan materi agama Islam saja,
dan tidak materi lain. Namun dalam pasal 18 PP No. 55 tahun 2007 disebutkan untuk
pendidikan diniyah formal pada ayat (1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal
wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib
belajar. Begitu juga untuk pendidikan diniyah menengah formal Kurikulum pendidikan
diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan,
bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Jika memang ada keinginan pemerintah untuk memberi pilihan kemandirian dan
kekhasan pada sekolah?di lingkup pendidikan Islam, tentunya tidak akan ada lagi
narasi sebagaimana pada pasal 18 ayat (1) disinilah terjadi benturan yang perlu disikapi
secara lebih bijak. Sebab, sejak awal hadirnya pendidikan Islam tampaknya lebih kuat
ke arah pendidikan non-formal, dan bukan formal sebagaimana pada pasal-pasal di atas.
Selain itu, materi yang banyak diajarkan adalah berkisar tema-tema agama, dan tidak
membicarakan mata pelajaran sebagaimana yang dimaksud.
Jika yang dimaksud adalah MI, M.Ts., MA/MAK sebagai wujud dari sekolah
formal pendidikan Islam, maka sejarah telah mencatat saat ini proporsi kurikulum
bidang agama dengan kurikulum bidang kajian umum di madrasah dapat dinyatakan
telah meninggalkan ciri madrasah sebagai pendidikan keagamaan Islam. Proporsi 70%
bidang umum dan 30% bidang agama, lebih dimaksudkan untuk penyetaraan
pendidikan di madrasah dengan sekolah pada jenjang yang sama.
Lantas apakah dengan penambahan proporsi kurikulum bidang umum lebih
tinggi dibanding kurikulum bidang agama dapat serta merta meningkatkan mutu
pendidikan di madrasah? Pada kenyataannya malah terjadi dampak yang tidak
selamanya positif. Sebut saja masalah jati diri madrasah.
Sejak mula hadir sebenarnya madrasah lebih berfokus pada pendidikan
keagamaan dan keislaman. Dengan perubahan orientasi tersebut justru madrasah saat
ini kehilangan jati dirinya, dan lebih parah lagi kesulitan pula untuk merebut peran
dalam konteks pendidikan nasional, jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum
di bawah pembinaan Depdiknas.
Pada masa-masa yang akan datang, dalam hal pengembangan kurikulum,
tampaknya madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan.
Setia dengan tujuan awal hadirnya sebagai pengembang ilmu-ilmu keislaman, atau
sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar melakukan perubahan kurikulum yang
ukurannya adalah pragmatism sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup peserta
didik. Tentu saja , pilihan atas itu semua akan memiliki resiko yang tidak sama dalam
masyarakat, yang mengarah pada pembentukan formasi sosial baru. Formasi sosial baru
ini terdiri dari lapissn masyarakat kelas menengah terdidik yang menjadi elemen
penting dalam memeperkuat daya rekat sosial. Pendidikan yang melahirkan lapisan
masyarakat terdidik itu menjadi kekuatsan perekat yang menautkan unit-unit sosial di
dalam masyarakat, keluarga, komunitas, perkumpulan masyarakat, dan organisasi sosial
yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara.
Dengan demikian, pendidikan dapat memeberikan sumbangan penting dalam upaya
memantapkan integrasi sosial.
Dalam perspektif budaya, pendidikan merupakan wahana penting dan medium
yang efektif untuk mengajarkan norma, menyosialisasikan nilai, dan menanamkan etos
di kalangan warga masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk
memupuk kepribadian bangsa, memeperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati
diri bangsa. Bahkan peran pendidikan lebih penting lagi ketika arus globalisai demikian
kuat, yang membawa pengaruh nilai-nilai dan budaya yang acap kali bertentangan
dengan nilai-nilai dan kepribadian bangsa indonesia. Kesadaran kolektif sebagai warga
bangsa dan mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman
budaya, ras, suku bangsa dan agama sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.
Dalam perspektif ekonomi, pendidikan akan menghasilkan manusi-manusia
yang andal untuk menjadi subyek penngerak pembangunan ekonomi nasional. Oleh
karena itu pendidikan hrus mamapu melahirkan lulusan-luluan bermutu yan memiliki
pengetahuan , menguasi teknologi dan memepunyai ketrampilan teknis, dan kecakapan
hidup yang memadai. Pendidikan juga harusdapat menghasilkan tenaga-tenaga
profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang mejadi pilar utama
aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan
strategis untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa,
yang mejadi prasyarat mutlak dalam memasuki persaingan antara bangsa di era global.
Dalam perspektif politik, pendidkkan harus mampu mengembangkan kapasitas
individu untuk menjadi warga negara yang baik, yang memiliki kesadaran akan hak dan
tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Oleh karena
itu, pendidikan harus dapat melahirkan individu yang memiliki visi,dan idealisme itu
haruslah merujuk dan bersumber pada paham ideologi nasional, yang dianut oleh
seluruh komponen bangsa. Dalam jangka panjang, pendidikanniscaya akan melahirkan
lapisan masyarakat terpelajar yang kemudian membentuk critical mass, yang menjadi
36,79% siswa SLTP yang lulus, sisanya memperoleh predikat tamat belajar. Dari
paparan akademis, tingkat penguasaan materi pada umumnya sangat memprihatinkan.
Pada 2003 telah lahir UU No 20/2003 tentang Pendidikan Nasional. Undangundang ini memang telah lebih komprehensif dan jelas menyatakan tentang
standardisasi pendidikan dan peningkatan mutu. Namun karena operasionalisasi
undang-undang ini memerlukan peraturan pemerintah, dan peraturan itu hingga 2004
belum selesai dibuat, maka keputusan menteri pendidikan nasional belum mengacu
kepada undang-undang tersebut.
Dalam hal ini kebijakan pendidikan yang ada belum mampu meningkatkan
mutu pendidikan menembus pencapaian jangka pendek (output pendidikan) dan
pencapaian jangka panjang (outcome pendidikan), apalagi mengungguli pencapaian
mutu pendidikan negara tetangga.
Peningkatan mutu pendidikan selama ini masih belum menunjukkan hasil yang
memuaskan. Rendahnya mutu pendidikan ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain
mutu dan distribusi guru yang masih belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana
pendidikan, kurikulum yang kurang sesuai, lingkungan belajar di sekolah maupun
dalam keluarga dan masyarakat belum mendukung.18
E. KESIMPULAN
Landasan teori kebijakan berfungsi untuk memahami, menjelaskan,
memprediksi dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan sehingga sesuai dengan
kaidah-kaidah (keilmuan) dan tujuan pendidikan. Karena kebijakan sebagai ilmu
terapan yang multidisiplin. Pendidikan sebagai salah satu sektor penting dalam
18 http://mpiuika.wordpress.com/2009/11/08/makalah-diskusi-analisiskebijakan-pendidikan-islam-kelompok-1/
pembangunan yang menghasilkan sumber daya manusia yang dibutuhkan sesuai arah
tujuan pendidikan: Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Individu, Pengembangan
Manusia sebagai Mahluk sosial, Pengembangan Manusia sebagai Mahluk susila
(Ahklak Mulia), Pengembangan Manusia sebagai Mahluk Beragama (Imtaq), dan
Pengembangan Manusia sebagai Mahkluk Profesi, atau menjadi warga negara yang
baik (good Citizens) dan mewujudkan civil society dalam era reformasi. Bila dilihat dari
tujuan idealnya dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional.
Dalam upaya meningkatkan kinerja pendidikan nasional, diperlukan suatu reformasi
menyeluruh yang telah dimulai dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi
pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Sebelum diberlakukan
UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka pengelolaan pendidikan dasar
menganut sentralisasi dan terjadi dualisme pemerintahan, yaitu oleh dinas dikbud yang
menginduk ke departemen dalam negeri dan departemen pendidikan. Namun setelah
reformasi politik pemerintahan ini tertuang di dalam UU No.22/1999 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut
menandai perubahan radikal tata kepemerintahan dari sentralistik ke sistem
desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Pendidikan yang
semula menjadi kewenangan pemerintahan pusat kemudian dialihkan menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang
pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
manajemen pendidikan sehingga diharapkan dapat memeperbaiki kinerja pendidikan
nasional, dan kelebihan-kelebihan kebijakan dalam lembaga pendidikan lainnya yaitu:
1. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota mengambil inisiatif sendiri dalam
melaksanakan perubahan organisasi untuk merespons peran dan fungsi yang
berubah maka hal inilah yang merupakan bagian dari kelebihan-kelebihan
kebijakan dalam lembaga pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang
merupakan bagian pendidikan Nasional.
2. Tumbuhnya inisiatif dalam mengelola perubahan yang didorong oleh kekuatan
internal pada tingkat satuan pendidikan dan masyarakat.
3. Pada tingkat pusat reformasi struktur organisasi Departemen lebih diarahkan pada
semakin besarnya fungsi manajemen mutu sebagai respons positif terhadap
tuntutan perkembangan global dan kebijakan desentralisasi.
4. Mulai tampak adanya kebutuhan legilasi dan regulasi dalam pengelolaan
pendidikan di daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Beare, H and W. Lowe Boyd, Restructuring School, (London: The
Falmers Press, 1993)
Duke, Daniel L. And Robert Lynn Canady, Scool Policy, (New york: Mc
Graw Hill,
Inc, 1991)
Gemage daon Pang, Leadership and manajemen in Education,
(Hongkong: The Chinese University Press, 2003)