Pendidikan Profesi Guru, Universitas Negeri Jakarta
Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya membangun peradaban suatu bangsa
dengan membangun manusia seutuhnya. Pendidikan adalah hak setiap orang untuk meningkatkan martabat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penyelenggaraan pendidikan, banyak faktor yang mempengaruhi pendidikan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar sistem pendidikan. Faktor selain sistem pendidikan yang seimbang antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Pendidikan juga akan selalu berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu. Desain pendidikan harus sesuai dengan zaman yang menghasilkannya. Namun tidak ada perkembangan dinamis tanpa adanya proses pembentukan, pergerakan dan pembangunan. Indonesia juga telah bergerak melalui sejarahnya dengan proses, gerakan, dan perkembangan pendidikan. Melihat perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor terpenting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bangsa dan rakyat Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, aspek pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Sejak zaman kerajaan-kerajaan yang terpengaruh oleh masuknya agama sampai masa penjajahan VOC di nusantara, pendidikan masih memiliki pola atau tujuan penyebaran agama. Saat itu, tugas penyebaran agama menjadi prioritas dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Pola pendidikan mulai berubah pada awal abad ke-20, ketika pendidikan mulai memiliki tujuan yang berbeda. Di zaman kolonialisme, pendidikan sebagai cermin dari sistem ekonomi kolonial yang bersifat penghisapan bangsa atas bangsa. Pendidikan dirancang oleh kekuasaan politik kolonialisme yang bersifat diskriminatif. Pemerintah kolonial Belanda yang mulai mengembangkan industrialisasi banyak membutuhkan tenaga kerja terdidik. Sejak saat itu dimulailah sistem pendidikan yang ditujukan untuk mencetak tenaga kerja yang bisa digaji murah.Orientasi pendidikan saat itu hanya untuk mengisi posisi pegawai negeri (Ambtenaar). Pemerintah kolonial berusaha untuk tidak bergantung pada agama tertentu. Pendidikan diorientasikan agar lulusannya menjadi pencari kerja, terutama untuk kemaslahatan kaum penjajah. Sistem sekolah dibangun di atas hierarki sosial yang ada di masyarakat. Pendidikan ditujukan untuk membentuk elit sosial Belanda (penjilat para kolonial). Landasan pendidikan yang digunakan adalah landasan pendidikan barat, berdasarkan pengetahuan dan budaya barat. Model pembelajaran kolonial Belanda juga digunakan sebagai model pembelajaran. Model pembelajaran yang diterapkan tidak melatih kemampuan kritis peserta didik. Model pembelajaran yang benar-benar mengubah peserta didik Pribumi menjadi generasi Pribumi. Tidak berbeda dengan dengan masa penjajahan Jepang, tujuan pendidikan tetap tidak mengutamakan intelektualisasi rakyat jajahan. Pendidikan pada saat itu berfokus pada kebutuhan Jepang untuk memenangkan perang dan membentuk Asia Timur Raya yang bersatu, sehingga pelatihan militer dan wajib militer dijadikan prioritas dalam pendidikan. Jepang telah menerapkan berbagai langkah untuk memungkinkan pendidikan di Indonesia untuk membantu perang yang sedang berlangsung. Mereka dapat belajar dari pengalaman mereka sendiri dan mengubah pendidikan mereka untuk menjadi bangsa yang besar. Kondisi ini menjadi pertimbangan Jepang untuk memanfaatkan Indonesia sepenuhnya, sehingga perlu dibuat kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan pertama yang diterapkan Jepang adalah mengajarkan budaya Jepang kepada masyarakat Indonesia. Mendirikan pusat budaya dengan tujuan memperkenalkan dan menyebarluaskan budaya Jepang serta mendidik dan membina seniman Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan tidak hanya di bidang pemerintahan tetapi juga di bidang pendidikan. Perubahan pendidikan merupakan perubahan yang mendasar, perubahan yang mempengaruhi keselarasan kebijakan pendidikan dengan landasan dan cita-cita bangsa yang merdeka dan bangsa yang ingin mandiri. Karena penyesuaian ini, kancah pendidikan telah berubah dalam pandangan cita-cita bangsa Indonesia. Terutama dalam landasan falsafah pendidikan, tujuan pendidikan, sistem pendidikan dan kesempatan belajar yang ditawarkan kepada masyarakat Indonesia. Tujuannya agar seluruh elemen masyarakat Indonesia dapat mengenyam pendidikan dari tingkat rendah hingga tinggi. Pendidikan kemerdekaan awal didasarkan pada Pancasila, filosofi nasional. Landasan dan visi pendidikan pada masa Orde Lama diharapkan mampu menetapkan tujuan pendidikan yang jelas. Oleh karena itu, tujuan pendidikan yang jelas mengarah pada pencapaian kompetensi yang diperlukan dan metode pembelajaran yang efektif. Sekalipun itu hanya pernyataan karena tidak menjelaskan bagaimana meletakkan dasar untuk setiap pelajaran. Praktik pendidikan di Indonesia sejak kemerdekaan hingga tahun 1965 sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktik pendidikan pascakolonial menekankan pada pengembangan patriotisme. Pada saat itu, lingkungan politik tampaknya mendominasi praktik pendidikan. Upaya untuk membangkitkan patriotisme dan nasionalisme tampaknya sudah terlalu jauh, menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri, dan kebijakan pendidikan politik menteri dari tahun 1945 hingga 1950 belum terasa, dapat dikatakan belum terlihat hasilnya. Penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia pasca kemerdekaan mendapat banyak perhatian dari pemerintah baik di sekolah negeri maupun swasta. Secara umum, pembentukan Orde Lama sebagai bentuk interpretasi pascakemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Sukarno sudah cukup untuk menciptakan ruang kosong bagi pembentukan. Pemerintah berbasis sosialis akan menjadi standar fundamental bagaimana pendidikan dirancang dan dikelola untuk pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa depan. Sementara itu, pemerintah Orde Baru merasa perlu memberikan pelatihan rehabilitatif penyadaran ideologis kepada mereka yang diasingkan dari Pancasila. Orde Baru identik dengan ideologi atau slogan pembangunan. Demikian pula orientasi dan kebijakan pendidikan juga disesuaikan dengan gerakan pembangunan. Kata pembangunan lebih diutamakan daripada pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan, meskipun secara resmi bukan sebuah ideologi, menjadi basis sebuah tatanan baru yang akan mengorientasikan pemerintahan dan pendidikan di luar Pancasila. Kurikulum 1984 mencakup 'pendekatan kompetensi proses'. Dengan kata lain, meskipun proses menjadi lebih penting dalam penyelenggaraan pendidikan, namun tujuan tetap menjadi faktor kunci. Peran peserta didik dalam kurikulum ini adalah observasi, pengelompokan, diskusi, dan pelaporan. Model ini disebut Student Active Learning (CBSA) atau Student Active Learning (SAL). Perkembangan pendidikan di Indonesia lebih lanjut pada masa reformasi sangat dipengaruhi oleh revisi konstitusi yang merupakan salah satu tantangan reformasi. Lembaga ilmiah seperti universitas, bebas dari campur tangan dan pengaruh luar. Kebijakan pendidikan lain di awal reformasi adalah isu otonomi universitas. Pemerintah Megawati menyusun RUU Sisdiknas, yang kemudian menjadi UU Sisdiknas. Perubahan kurikulum juga membentuk sejarah pendidikan Indonesia pada masa Reformasi. Perhatian khusus juga diberikan pada pendidikan agama selama Reformasi. Secara kelembagaan, pendidikan agama melapor ke Kementerian Agama, berbeda dengan pendidikan umum yang melapor ke Kementerian Pendidikan. Setelah era reformasi, perjalanan pendidikan di Indonesia terus berlanjut. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan kurikulum yang terus menyeuaikan zaman. Sejatinya, pendidikan memang harus dapat membekali peserta didik agar dapat survive menghadapi zamannya, sementara kurikulum yang merupakan suatu sistem rancangan proses pengajaran pun akan senantiasa berubah sebagai suatu keniscayaan dalam menghadapi tantangan zaman. Pada tahun 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diperkenalkan untuk menggantikan kurikulum 1994. Program pendidikan berbasis kompetensi meliputi seleksi kompetensi terhadap spesifikasi, metrik untuk menentukan keberhasilan, kinerja kompetensi, dan pengembangan pembelajaran. KBK memiliki penekanan pribadi dan klasik pada pencapaian kompetensi peserta didik, dan ditandai dengan pembelajaran yang berorientasi pada hasil dan berorientasi pada keragaman. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda. Sumber belajar tidak hanya seorang guru, tetapi juga sumber belajar lain yang memenuhi komponen pendidikan. Selain itu, pada tahun 2006 dibuat kurikulum baru yang didasarkan pada lingkungan sosial budaya masyarakat. Walaupun kurikulum ini hampir identik dengan kurikulum 2004, namun terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam amanat pembuatannya, terkait dengan semangat desentralisasi sistem pendidikan Indonesia. Dalam kurikulum 2006, pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru harus mampu mengembangkan kurikulum dan penilaiannya sendiri sesuai dengan konteks sekolah dan masyarakat. Semua hasil pengembangan subjek digabungkan dalam satu perangkat. Kurikulum ini disebut juga dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Selanjutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengakui menurunnya karakter generasi muda dan merancang kurikulum baru berbasis penguatan karakter yang disebut Kurikulum 2013. Kurikulum ini menggantikan kurikulum KTSP. Kurikulum 2013 mencakup tiga dimensi penilaian: dimensi pengetahuan, dimensi keterampilan, dan dimensi sikap dan perilaku. Pada Kurikulum 2013, khususnya pada materi pembelajaran, ada beberapa materi yang disusun dan ada pula yang ditambah. Materi yang diutak-atik sepertinya bahasa Indonesia, IPS, PKn, dll, tapi materi tambahannya adalah matematika. Perubahan kurikulum berjalan seiring dengan kebutuhan manusia yang terus berubah dan implikasi global. Kurikulum juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dampak perubahan kurikuler juga mempengaruhi kemajuan negara di mana masyarakat dilatih untuk mengikuti perubahan kurikuler. Kebijakan pemerintah tentang perubahan kurikulum harus melewati survei terstruktur tentang arah yang benar yang diharapkan dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam artian, kurikulum tidak dapat dibuat apa adanya, tetapi direncanakan secara keseluruhan melalui pembelajaran dan pertukaran melalui hal-hal yang spontan dan kreatif, serta evaluasi yang menjadi poin-poin kunci perubahan kurikulum. Guru sebagai fasilitator berperan besar dalam implementasi kurikulum yang disampaikan dan pengembangan kurikulum di kelas. Perlunya pembenahan sistem pendidikan nasional sebagai pembenahan kurikuler untuk menyesuaikan diri dengan perubahan global tentunya tidak lepas dari nilai dan esensi moral Pancasila, serta mempengaruhi motivasi peserta didik untuk menjadi pelaku kurikulum. Adanya kebijakan dan perubahan baru, perubahan aturan dan metode pembelajaran yang digunakan untuk melakukan pembelajaran di sekolah merupakan kendala yang dihadapi kebijakan dalam mengubah kurikulum. Masalah baru bagi guru dalam mengubah metode dan model pembelajaran. Guru diharapkan menjadi pemain utama dalam mengarahkan kegiatan kelas dan menerapkan metode dan resep baru dalam kurikulum. Mengubah gaya mengajar dengan memodifikasi sistem pembelajaran aktif dan inovatif telah menjadi kebutuhan lain bagi guru. Baik peserta didik maupun mereka yang terlibat dalam perubahan kurikulum mengalami situasi yang sama ketika pembelajaran dilaksanakan. Peserta didik perlu menjadi peserta yang lebih aktif dalam pembelajaran menggunakan metode baru dan mandiri dalam melaksanakan perubahan kurikuler. Persoalannya tentu komitmen pemerintah untuk menetapkan kurikulum yang sesuai dengan ranah sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Pendefinisian kurikulum tentunya akan membuat kurikulum lebih relevan dalam pelaksanaannya dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, Perjalanan Pendidikan Nasional sejauh ini sejak masa pra-kolonial hingga diterapkannya kurikulum 2013 dirasa masih berorientasi pada tujuan dan kepentingan pemerintah termasuk di dalamnya sebagai upaya menghasilkan lulusan yang berorientasi pada kepentingan politik dan social-ekonomi. Padahal menurut Ki Hadjar Dewantara Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Semua perkembangan manusia membutuhkan pengembangan yang seimbang dari segala aspek kekuatan. Pembangunan yang terlalu fokus pada satu kekuatan menyebabkan perkembangan yang tidak sempurna sebagai manusia. Ki Hadjar Dewantara berpendapat pendidikan yang menekankan sisi intelektual hanya akan mengasingkan peserta didik dari masyarakat. Ternyata pendidikan selama ini hanya terfokus pada pengembangan kreativitas, dengan sedikit perhatian pada pengembangan rasa dan spontanitas. Jika hal ini terus berlanjut, manusia akan kehilangan kemanusiaannya, atau kehilangan kemanusiaannya. Lebih jauh lagi, Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan haruslan menjadi upaya untuk menuntun anak berkembang menjadi manusia yang merdeka. Manusia merdeka merupakan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Merdeka yang berarti secara fisik, mental dan spiritual. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang dilandasi kekeluargaan, kebaikan, empati, kasih sayang dan rasa hormat terhadap setiap anggota. Oleh karena itu, hak setiap individu harus dihormati. Pendidikan dirancang untuk membantu peserta didik menjadi mandiri dan mandiri secara fisik, mental dan emosional. Pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan sisi intelektual. Pendidikan harus memperkaya semua individu, namun perbedaan individu harus diperhitungkan. Pendidikan harus membangun kepercayaan diri dan membangun harga diri.