Anda di halaman 1dari 7

PERJALANAN PENDIDIKAN NASIONAL

Liza Indah Sari, Program Studi Pendidikan Kimia


Pendidikan Profesi Guru, Universitas Negeri Jakarta

Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya membangun peradaban suatu bangsa


dengan membangun manusia seutuhnya. Pendidikan adalah hak setiap orang untuk
meningkatkan martabat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penyelenggaraan pendidikan,
banyak faktor yang mempengaruhi pendidikan, baik yang berasal dari dalam maupun dari
luar sistem pendidikan. Faktor selain sistem pendidikan yang seimbang antara kepentingan
pemerintah dan masyarakat. Pendidikan juga akan selalu berkembang secara dinamis dari
waktu ke waktu. Desain pendidikan harus sesuai dengan zaman yang menghasilkannya.
Namun tidak ada perkembangan dinamis tanpa adanya proses pembentukan, pergerakan
dan pembangunan.
Indonesia juga telah bergerak melalui sejarahnya dengan proses, gerakan, dan
perkembangan pendidikan. Melihat perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah
satu faktor terpenting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan merupakan
kebutuhan dasar bangsa dan rakyat Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
negara serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Sepanjang sejarah bangsa
Indonesia, aspek pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kelangsungan hidup bangsa
Indonesia.
Sejak zaman kerajaan-kerajaan yang terpengaruh oleh masuknya agama sampai
masa penjajahan VOC di nusantara, pendidikan masih memiliki pola atau tujuan
penyebaran agama. Saat itu, tugas penyebaran agama menjadi prioritas dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan. Pola pendidikan mulai berubah pada awal abad ke-20,
ketika pendidikan mulai memiliki tujuan yang berbeda. Di zaman kolonialisme, pendidikan
sebagai cermin dari sistem ekonomi kolonial yang bersifat penghisapan bangsa atas bangsa.
Pendidikan dirancang oleh kekuasaan politik kolonialisme yang bersifat diskriminatif.
Pemerintah kolonial Belanda yang mulai mengembangkan industrialisasi banyak
membutuhkan tenaga kerja terdidik. Sejak saat itu dimulailah sistem pendidikan yang
ditujukan untuk mencetak tenaga kerja yang bisa digaji murah.Orientasi pendidikan saat itu
hanya untuk mengisi posisi pegawai negeri (Ambtenaar). Pemerintah kolonial berusaha
untuk tidak bergantung pada agama tertentu. Pendidikan diorientasikan agar lulusannya
menjadi pencari kerja, terutama untuk kemaslahatan kaum penjajah. Sistem sekolah
dibangun di atas hierarki sosial yang ada di masyarakat. Pendidikan ditujukan untuk
membentuk elit sosial Belanda (penjilat para kolonial). Landasan pendidikan yang
digunakan adalah landasan pendidikan barat, berdasarkan pengetahuan dan budaya barat.
Model pembelajaran kolonial Belanda juga digunakan sebagai model pembelajaran. Model
pembelajaran yang diterapkan tidak melatih kemampuan kritis peserta didik. Model
pembelajaran yang benar-benar mengubah peserta didik Pribumi menjadi generasi Pribumi.
Tidak berbeda dengan dengan masa penjajahan Jepang, tujuan pendidikan tetap
tidak mengutamakan intelektualisasi rakyat jajahan. Pendidikan pada saat itu berfokus pada
kebutuhan Jepang untuk memenangkan perang dan membentuk Asia Timur Raya yang
bersatu, sehingga pelatihan militer dan wajib militer dijadikan prioritas dalam pendidikan.
Jepang telah menerapkan berbagai langkah untuk memungkinkan pendidikan di Indonesia
untuk membantu perang yang sedang berlangsung. Mereka dapat belajar dari pengalaman
mereka sendiri dan mengubah pendidikan mereka untuk menjadi bangsa yang besar.
Kondisi ini menjadi pertimbangan Jepang untuk memanfaatkan Indonesia sepenuhnya,
sehingga perlu dibuat kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan pertama yang
diterapkan Jepang adalah mengajarkan budaya Jepang kepada masyarakat Indonesia.
Mendirikan pusat budaya dengan tujuan memperkenalkan dan menyebarluaskan budaya
Jepang serta mendidik dan membina seniman Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
bangsa Indonesia mengalami banyak perubahan tidak hanya di bidang pemerintahan tetapi
juga di bidang pendidikan. Perubahan pendidikan merupakan perubahan yang mendasar,
perubahan yang mempengaruhi keselarasan kebijakan pendidikan dengan landasan dan
cita-cita bangsa yang merdeka dan bangsa yang ingin mandiri. Karena penyesuaian ini,
kancah pendidikan telah berubah dalam pandangan cita-cita bangsa Indonesia. Terutama
dalam landasan falsafah pendidikan, tujuan pendidikan, sistem pendidikan dan kesempatan
belajar yang ditawarkan kepada masyarakat Indonesia. Tujuannya agar seluruh elemen
masyarakat Indonesia dapat mengenyam pendidikan dari tingkat rendah hingga tinggi.
Pendidikan kemerdekaan awal didasarkan pada Pancasila, filosofi nasional. Landasan dan
visi pendidikan pada masa Orde Lama diharapkan mampu menetapkan tujuan pendidikan
yang jelas. Oleh karena itu, tujuan pendidikan yang jelas mengarah pada pencapaian
kompetensi yang diperlukan dan metode pembelajaran yang efektif. Sekalipun itu hanya
pernyataan karena tidak menjelaskan bagaimana meletakkan dasar untuk setiap pelajaran.
Praktik pendidikan di Indonesia sejak kemerdekaan hingga tahun 1965 sangat
dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktik pendidikan pascakolonial
menekankan pada pengembangan patriotisme. Pada saat itu, lingkungan politik tampaknya
mendominasi praktik pendidikan. Upaya untuk membangkitkan patriotisme dan
nasionalisme tampaknya sudah terlalu jauh, menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri,
dan kebijakan pendidikan politik menteri dari tahun 1945 hingga 1950 belum terasa, dapat
dikatakan belum terlihat hasilnya. Penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia pasca
kemerdekaan mendapat banyak perhatian dari pemerintah baik di sekolah negeri maupun
swasta. Secara umum, pembentukan Orde Lama sebagai bentuk interpretasi
pascakemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Sukarno sudah cukup untuk menciptakan
ruang kosong bagi pembentukan. Pemerintah berbasis sosialis akan menjadi standar
fundamental bagaimana pendidikan dirancang dan dikelola untuk pembangunan dan
kemajuan bangsa Indonesia di masa depan.
Sementara itu, pemerintah Orde Baru merasa perlu memberikan pelatihan
rehabilitatif penyadaran ideologis kepada mereka yang diasingkan dari Pancasila. Orde
Baru identik dengan ideologi atau slogan pembangunan. Demikian pula orientasi dan
kebijakan pendidikan juga disesuaikan dengan gerakan pembangunan. Kata pembangunan
lebih diutamakan daripada pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan, meskipun
secara resmi bukan sebuah ideologi, menjadi basis sebuah tatanan baru yang akan
mengorientasikan pemerintahan dan pendidikan di luar Pancasila. Kurikulum 1984
mencakup 'pendekatan kompetensi proses'. Dengan kata lain, meskipun proses menjadi
lebih penting dalam penyelenggaraan pendidikan, namun tujuan tetap menjadi faktor kunci.
Peran peserta didik dalam kurikulum ini adalah observasi, pengelompokan, diskusi, dan
pelaporan. Model ini disebut Student Active Learning (CBSA) atau Student Active
Learning (SAL).
Perkembangan pendidikan di Indonesia lebih lanjut pada masa reformasi sangat
dipengaruhi oleh revisi konstitusi yang merupakan salah satu tantangan reformasi.
Lembaga ilmiah seperti universitas, bebas dari campur tangan dan pengaruh luar.
Kebijakan pendidikan lain di awal reformasi adalah isu otonomi universitas. Pemerintah
Megawati menyusun RUU Sisdiknas, yang kemudian menjadi UU Sisdiknas. Perubahan
kurikulum juga membentuk sejarah pendidikan Indonesia pada masa Reformasi. Perhatian
khusus juga diberikan pada pendidikan agama selama Reformasi. Secara kelembagaan,
pendidikan agama melapor ke Kementerian Agama, berbeda dengan pendidikan umum
yang melapor ke Kementerian Pendidikan.
Setelah era reformasi, perjalanan pendidikan di Indonesia terus berlanjut. Hal ini
ditandai dengan adanya perubahan kurikulum yang terus menyeuaikan zaman. Sejatinya,
pendidikan memang harus dapat membekali peserta didik agar dapat survive menghadapi
zamannya, sementara kurikulum yang merupakan suatu sistem rancangan proses
pengajaran pun akan senantiasa berubah sebagai suatu keniscayaan dalam menghadapi
tantangan zaman.
Pada tahun 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diperkenalkan untuk
menggantikan kurikulum 1994. Program pendidikan berbasis kompetensi meliputi seleksi
kompetensi terhadap spesifikasi, metrik untuk menentukan keberhasilan, kinerja
kompetensi, dan pengembangan pembelajaran. KBK memiliki penekanan pribadi dan
klasik pada pencapaian kompetensi peserta didik, dan ditandai dengan pembelajaran yang
berorientasi pada hasil dan berorientasi pada keragaman. Kegiatan pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda. Sumber belajar tidak hanya seorang
guru, tetapi juga sumber belajar lain yang memenuhi komponen pendidikan.
Selain itu, pada tahun 2006 dibuat kurikulum baru yang didasarkan pada lingkungan
sosial budaya masyarakat. Walaupun kurikulum ini hampir identik dengan kurikulum 2004,
namun terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam amanat pembuatannya, terkait
dengan semangat desentralisasi sistem pendidikan Indonesia. Dalam kurikulum 2006,
pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru harus
mampu mengembangkan kurikulum dan penilaiannya sendiri sesuai dengan konteks
sekolah dan masyarakat. Semua hasil pengembangan subjek digabungkan dalam satu
perangkat. Kurikulum ini disebut juga dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).
Selanjutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengakui menurunnya
karakter generasi muda dan merancang kurikulum baru berbasis penguatan karakter yang
disebut Kurikulum 2013. Kurikulum ini menggantikan kurikulum KTSP. Kurikulum 2013
mencakup tiga dimensi penilaian: dimensi pengetahuan, dimensi keterampilan, dan dimensi
sikap dan perilaku. Pada Kurikulum 2013, khususnya pada materi pembelajaran, ada
beberapa materi yang disusun dan ada pula yang ditambah. Materi yang diutak-atik
sepertinya bahasa Indonesia, IPS, PKn, dll, tapi materi tambahannya adalah matematika.
Perubahan kurikulum berjalan seiring dengan kebutuhan manusia yang terus
berubah dan implikasi global. Kurikulum juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, politik,
sosial dan budaya. Dampak perubahan kurikuler juga mempengaruhi kemajuan negara di
mana masyarakat dilatih untuk mengikuti perubahan kurikuler. Kebijakan pemerintah
tentang perubahan kurikulum harus melewati survei terstruktur tentang arah yang benar
yang diharapkan dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam artian, kurikulum tidak dapat dibuat
apa adanya, tetapi direncanakan secara keseluruhan melalui pembelajaran dan pertukaran
melalui hal-hal yang spontan dan kreatif, serta evaluasi yang menjadi poin-poin kunci
perubahan kurikulum. Guru sebagai fasilitator berperan besar dalam implementasi
kurikulum yang disampaikan dan pengembangan kurikulum di kelas. Perlunya pembenahan
sistem pendidikan nasional sebagai pembenahan kurikuler untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan global tentunya tidak lepas dari nilai dan esensi moral Pancasila, serta
mempengaruhi motivasi peserta didik untuk menjadi pelaku kurikulum.
Adanya kebijakan dan perubahan baru, perubahan aturan dan metode pembelajaran
yang digunakan untuk melakukan pembelajaran di sekolah merupakan kendala yang
dihadapi kebijakan dalam mengubah kurikulum. Masalah baru bagi guru dalam mengubah
metode dan model pembelajaran. Guru diharapkan menjadi pemain utama dalam
mengarahkan kegiatan kelas dan menerapkan metode dan resep baru dalam kurikulum.
Mengubah gaya mengajar dengan memodifikasi sistem pembelajaran aktif dan inovatif
telah menjadi kebutuhan lain bagi guru. Baik peserta didik maupun mereka yang terlibat
dalam perubahan kurikulum mengalami situasi yang sama ketika pembelajaran
dilaksanakan. Peserta didik perlu menjadi peserta yang lebih aktif dalam pembelajaran
menggunakan metode baru dan mandiri dalam melaksanakan perubahan kurikuler.
Persoalannya tentu komitmen pemerintah untuk menetapkan kurikulum yang sesuai dengan
ranah sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Pendefinisian kurikulum tentunya akan
membuat kurikulum lebih relevan dalam pelaksanaannya dan meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia.
Akan tetapi, Perjalanan Pendidikan Nasional sejauh ini sejak masa pra-kolonial
hingga diterapkannya kurikulum 2013 dirasa masih berorientasi pada tujuan dan
kepentingan pemerintah termasuk di dalamnya sebagai upaya menghasilkan lulusan yang
berorientasi pada kepentingan politik dan social-ekonomi. Padahal menurut Ki Hadjar
Dewantara Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun
maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak
itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Semua perkembangan manusia
membutuhkan pengembangan yang seimbang dari segala aspek kekuatan. Pembangunan
yang terlalu fokus pada satu kekuatan menyebabkan perkembangan yang tidak sempurna
sebagai manusia. Ki Hadjar Dewantara berpendapat pendidikan yang menekankan sisi
intelektual hanya akan mengasingkan peserta didik dari masyarakat. Ternyata pendidikan
selama ini hanya terfokus pada pengembangan kreativitas, dengan sedikit perhatian pada
pengembangan rasa dan spontanitas. Jika hal ini terus berlanjut, manusia akan kehilangan
kemanusiaannya, atau kehilangan kemanusiaannya.
Lebih jauh lagi, Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan haruslan
menjadi upaya untuk menuntun anak berkembang menjadi manusia yang merdeka.
Manusia merdeka merupakan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Merdeka yang berarti
secara fisik, mental dan spiritual. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah
suasana yang dilandasi kekeluargaan, kebaikan, empati, kasih sayang dan rasa hormat
terhadap setiap anggota. Oleh karena itu, hak setiap individu harus dihormati. Pendidikan
dirancang untuk membantu peserta didik menjadi mandiri dan mandiri secara fisik, mental
dan emosional. Pendidikan seharusnya tidak hanya mengembangkan sisi intelektual.
Pendidikan harus memperkaya semua individu, namun perbedaan individu harus
diperhitungkan. Pendidikan harus membangun kepercayaan diri dan membangun harga diri.

Anda mungkin juga menyukai