Anda di halaman 1dari 48

I

MODUL ILMU ILMU KWARGANEGARAAN

Dosen Pengampu:
Dr. M. Mona Adha, S. Pd., M. Pd.

Disusun Oleh:

1. Azzahra Melani Putri Dania : NPM 2213032001


2. Rifka Silmia Salsha Bella : NPM 2213032003
3. Amelia Irwana : NPM 2213032005
4. Meta Sari : NPM 2213032007
5. Nuraini Fitriani : NPM 2213032009
6. Tiran Cilcilia Fransiska : NPM 2213032011
7. Feby Viola Ayu Anjar Sari : NPM 2213032013
8. Kalyya Maharani : NPM 2213032015

PROGRAM STUDI PPKN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
TAHUN 2022

II
DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………………………. I
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………….…….. II
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. III
BAB I
Konsep Ilmu Kwarganegaraan Dan Pendidikan Kwarganegaraan
A. Pengertian Pendidikan Kwarganegaraan……………………………………………... 6
B. Perbandingan Antara PKN Paradigma Lama Dan Paradigma Baru………………….. 12
C. Ruang Lingkup Mata Pelajaran Pendidikan Kwarganegaraan……………………….. 12
D. Nilai Nilai Pancasila Dalam Pembelajaran PPKN…………………………………… 14
BAB II
Konsep Dasar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
A. Urgensi Pendidikan Kwarganegaraan Dalam Mencerdaskan Kehdiuapan Bangsa….. 35
B. Sumber Historis, Dan Politik Tentang Pendidikan Kwarganegaraan Di Indonesia….. 38
KESIMPULAN…………...…………………………………………………………….. 43
DAFTAR PUSTAKA…………………………............................................................... 44

III
BAB I
KONSEP ILMU KWARGANEGARAAN DAN PENDIDIKAN
KWARGANEGARAAN

Praktik pendidikan Indonesia selama ini lebih menitikberatkan pada


pengembangan keterampilan dan pengetahuan daripada pengembangan budi
pekerti luhur dan rasa kebangsaan warga negara. Selama ini tampaknya
pendidikan di Indonesia terlalu menekankan pada aspek intelektual tetapi kurang
pada aspek moral.
Teknologi digital yang semakin maju saat ini menyebabkan perubahan besar
di dunia. Dunia telah melewati empat tahap revolusi, yaitu: 1) Revolusi Industri
1.0 terjadi pada abad ke-18 dengan ditemukannya mesin uap, yang
memungkinkan produksi barang secara massal, 2) Revolusi Industri 2.0 terjadi
pada abad ke-19-20. Seabad akibat penggunaan listrik yang biaya produksinya
murah, 3) Revolusi Industri 3.0 terjadi pada tahun 1970-an melalui penggunaan
komputer dan 4) Revolusi Industri 4.0 sendiri terjadi pada tahun 2010-an melalui
kecerdasan dan Internet of Things sebagai Spine of people dan mobilitas dan
konektivitas mesin.
Generasi lain dari teknologi digital yang semakin maju telah lahir.
Kelompok yang berbeda memiliki akses yang mudah ke informasi dengan cara
yang berbeda dan dapat dengan bebas menggunakan kemungkinan teknologi
digital. Generasi muda secara aktif menggunakan internet dengan cara yang dapat
berkontribusi pada keterlibatan sipil mereka (Martens & Hobbs, 2015). Tapi
sayang itu tumbuh Berkat teknologi, semakin banyak kejahatan yang ditemukan.
Meski revolusi digital telah membawa manfaat besar bagi masyarakat, terutama
dalam hal akses informasi, banyak kekhawatiran yang muncul. Komunikasi dan
berbagi informasi yang diperluas, kemampuan yang diperluas untuk teknologi
yang ada, dan munculnya teknologi baru membawa banyak aplikasi potensial.
Revolusi digital telah membantu mengantarkan era baru pengawasan massal, yang
mengarah ke masalah-masalah sipil dan hak asasi manusia baru.
Di dunia saat ini, kombinasi Internet dan komputasi pribadi menyebabkan
media digital membawa dampak dan masalah bagi dunia penerbitan, jurnalisme,

1
hiburan, pendidikan, bisnis, dan politik. Media digital juga membawa tantangan
baru, terutama undang-undang yang melindungi hak cipta dan hak kekayaan
intelektual, dan gerakan konten terbuka, di mana pembuat konten secara sukarela
menyerahkan sebagian atau seluruh hak hukum mereka atas karya mereka. Kini,
media digital telah memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat dan dampaknya
juga terasa di masyarakat luas, membuktikan bahwa media digital merupakan
awal dari era baru dalam sejarah industri yang disebut era informasi dan telah
mengarah pada paperless society. yaitu semua informasi. produk media dan
konsumsi komputer. Namun, tantangan migrasi media digital, termasuk dampak
undang-undang hak cipta, penyensoran, dan kesenjangan digital, merupakan
momok zaman kegelapan digital ketika media lama tidak dapat diakses, atau dapat
ditingkatkan ke, sistem baru. Revolusi teknologi telah mengubah sikap
masyarakat terhadap kehidupan yang serba canggih saat ini. Teknologi yang
menyebabkan perubahan besar di seluruh dunia, mulai dari mempermudah hingga
menimbulkan masalah ketika ruang digital yang semakin canggih ini tidak dapat
digunakan dengan baik dan benar. Oleh karena itu, kemandirian dan daya saing
bangsa dapat tercapai jika dilaksanakan dalam rangka memajukan peradaban
bangsa Indonesia. Salah satunya adalah pengembangan sistem iptek nasional
dalam pendidikan kewarganegaraan. PKn merupakan salah satu mata pelajaran
yang membentuk hakikat masyarakat Indonesia. Sebagai sistem informasi yang
terintegrasi, pendidikan kewarganegaraan dalam konteks keilmuan memiliki
logika internal atau struktur keilmuan yang meliputi tiga dimensi yang saling
terkait, yaitu kajian ilmiah (academic citizenship) tentang sikap, pengetahuan dan
keterampilan kewarganegaraan. Penguatan sosial budaya kewarganegaraan dalam
masyarakat (community citizenship) dan pembelajaran sikap, pengetahuan dan
sikap terhadap kewarganegaraan pada pendidikan formal dan informal
(Winataputra, 2001, 2015).
Bahkan sekarang sikap, pengetahuan, dan PKn untuk Birokrasi/Lembaga
(Sapriya, 2015). Pendidikan kewarganegaraan sebagai penelitian politik tidak
dirancang untuk mendukung sistem atau kekuatan politik tertentu, yang
merupakan arah teori hegemonik (Prewitt, Dawson, & Dawson, 1977).
Konsekuensi dari pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan

2
kewarganegaraan formal berupaya mendidik dan mengembangkan warga negara
yang baik, yaitu warga negara yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta memikul tanggung jawab. . Ketika itu terjadi,
perguruan tinggi akan menghasilkan generasi penerus dengan karakter yang
dibutuhkan untuk membangun dan mensejahterakan suatu bangsa. Pendidikan
karakter bersifat individual, sehingga perlu memperhatikan potensi individu atau
potensi diri. Pendidikan karakter berbasis pada kekuatan diri (individual)
merupakan pendidikan yang tidak hanya membimbing dan mengembangkan
setiap peserta didik dalam hal kompetensi intelektual, kemampuan mekanik,
produktivitas, inovasi dan pembentukan karakter.
Aslan (2011) menyatakan bahwa karakter terdiri dari nilai operasional dan
nilai dalam tindakan. Kami memproses dalam sifat kami ketika nilai menjadi
kebajikan, kecenderungan internal yang dapat dipercaya untuk menanggapi situasi
dengan baik secara moral. Seorang tokoh yang berperasaan demikian memiliki
tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu pengetahuan moral, perasaan moral,
dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri dari pengetahuan tentang hal-hal
yang baik, niat baik dan amal, cara berpikir, cara hati dan cara melakukan sesuatu.
Ketiga hal ini memandu kehidupan moral, dan ketiganya merupakan kematangan
moral.
Karakter yang baik, seperti yang dirumuskan oleh para penganut ajaran
Aristotelian (Arsitotelian), terutama di Inggris, meliputi (1) kebajikan moral
(seperti kejujuran dan kebajikan), (2) kebajikan sipil (pelayanan publik), (3)
kebajikan intelektual ( ingin tahu). , kreativitas). dan (4) kebajikan kinerja (daya
tahan dan daya tahan) (Arthur, Kristjánsson, Harrison, Sanderse, & Wright, 2016;
Arthur et al., 2015; Carr, Arthur, & Kristjánsson, 2017). Untuk mengatasi
keegoisan pendekatan psikologis, peneliti Jubilee Center menggalakkan
pendidikan karakter yang bertujuan untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap
orang lain, kemampuan untuk mengenali keputusan yang buruk secara moral dan
kemampuan berpikir untuk membenarkan tindakan mereka sendiri (Arthur et al.,
2015).
Berdasarkan penelitian tahun 2015, “perguruan tinggi memiliki peran
strategis dalam melaksanakan pembentukan karakter yang terintegrasi secara

3
integral dengan pelaksanaan pembelajaran” (Trisiana, Jutmini, Haryati &
Hidayatullah, 2015). Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu terus dilakukan
inovasi pembelajaran dengan mengembangkan model pembelajaran berbasis
pembentukan karakter (Trisiana, 2016). Selanjutnya, evaluasi pelaksanaannya
Pembelajaran pendidikan umum sebagai pengembangan kepribadian di
berbagai perguruan tinggi dibahas dalam diskusi kelompok terarah pelaksanaan.
Dalam diskusi tersebut diperoleh informasi sebagai berikut: Pertama, setiap
perguruan tinggi UPT MKU harus membuat terobosan baru dalam pengembangan
pelaksanaan pembelajaran yang akan memperkuat karakteristik masing-masing
perguruan tinggi. Kedua, ketika melaksanakan pendidikan karakter berkelanjutan,
mahasiswa perkuliahan MKU masih mengeluhkan bahwa hampir 70% model
pendidikan karakter yang digunakan dosen bersifat teoritis, artinya kreativitas,
keterampilan kewarganegaraan dan tanggung jawab dalam pembelajaran masih
sebatas pengetahuan. (buku pelajaran). bahwa hasil pada tingkat tetap
menyimpang dari 30% masih kecil. Ketiga, 73% pendidik membutuhkan bantuan
untuk menemukan, menerapkan dan mengevaluasi model-model pembangunan
karakter bangsa berbasis nasionalisme. Diharapkan 27% yang telah menerapkan
pendidikan karakter di kampus dapat lebih berkembang untuk memberikan dasar
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman belajar Membangun integritas sosial
dan karakter bangsa Menggali nilai kearifan lokal Tujuan jangka panjang. Adanya
rencana pengembangan model pembelajaran PKn untuk meningkatkan karakter
masyarakat Indonesia di era media digital.
Kajian pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi memiliki dua tugas
pokok, tugas pengembangan keilmuan dan tugas pengembangan profesional.
Tujuan dari kedua tugas tersebut biasanya untuk mencapai tujuan akhir yaitu
membentuk warga negara yang cerdas dan baik yang memperkokoh
kepribadiannya sehingga dapat senantiasa melaksanakan nilai-nilai inti Pancasila,
kebangsaan, dan cinta tanah air. Menerapkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni secara bertanggung jawab dan bermoral. Untuk
memenuhi misi pengembangan keilmuannya, program studi harus terhubung
dengan organisasi untuk mempertemukan para peneliti yang diharapkan memiliki
visi dan misi yang sama (Sapriya, 2015).

4
Pendidikan kewarganegaraan bukan hanya tentang pengetahuan, nilai, dan
keterampilan, tetapi juga melibatkan penerapan pengetahuan, nilai, dan
keterampilan.
Keterampilan dalam situasi nyata melalui partisipasi aktif (Doğanay, 2012).
Tugas pendidikan kewarganegaraan pada hakikatnya tidak hanya mendidik
generasi muda agar menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan
kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
yang ditekankan dalam konsep pendidikan kewarganegaraan, tetapi juga
membangun Kemauan warga untuk menjadi warga dunia (Doğanay, 2012;
Winataputra, 2014).
Berdasarkan uraian di atas, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia juga
memegang peranan penting dalam menunjang tujuan negara Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan yang sistematis mengacu pada pelaksanaan tugas
dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan kewarganegaraan berkaitan
dan berjalan seiring dengan jalan pembangunan kehidupan bangsa dan negara.
negara.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian integral dari gagasan, alat
dan praktik masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia (Somantri & Winataputra,
2017). Padahal dikatakan bahwa pendidikan nasional kita pada hakikatnya adalah
pendidikan kewarganegaraan untuk menghasilkan warga negara Indonesia yang
berkualitas dalam disiplin sosial dan kebangsaan, etos kerja, produktivitas kerja,
keterampilan intelektual dan profesional, keterampilan sosial, kebangsaan,
kemanusiaan, dan moral. Tanggung jawab, watak dan kepribadian (Soedijarto,
2008). Pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang interdisipliner
(Winataputra, 2001) atau bidang multidisiplin (Sapriya, 2007). Sebagai bidang
multidimensi, pendidikan kewarganegaraan dapat mencakup berbagai kegiatan
termasuk pendidikan kewarganegaraan, pendidikan hukum dan pendidikan nilai
(Soemantri, 2001), pendidikan demokrasi (Winataputra, 2001), pendidikan nilai,
pendidikan demokrasi, pendidikan moral dan pendidikan Pancasila (Al-Muchtar,

5
2001). 2005), dan pendidikan demokrasi, pendidikan karakter bangsa, pendidikan
nilai dan moral, pendidikan bela negara, pendidikan politik dan pendidikan hukum
(Sapriya, 2005).
Berbagai fungsi tersebut sesuai dengan kualitas “warga negara yang baik”
yang ingin diwujudkan. pembelajaran pedagogis Kewarganegaraan dalam
pendidikan tinggi memegang peranan penting dalam proses pendidikan yang
mampu secara cerdas dan efektif menggali segala kemungkinan yang dimiliki
individu untuk membentuk masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pembenahan/renovasi konsep dan paradigma pembelajaran
kewarganegaraan yang hanya menekankan pada perspektif kognitif dan
menekankan pada pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis, dan
religius dengan kualitas multidimensi. pembaruan pada Pendidikan
Kewarganegaraan bertujuan untuk mengembangkan peserta didik menjadi warga
negara atau warga negara muda yang cerdas, kreatif, partisipatif, berwawasan ke
depan dan bertanggung jawab, sehingga dapat berkontribusi pada kebijakan
publik masyarakatnya. Dari penjelasan tersebut kita dapat melihat bahwa proses
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan selama ini lebih menekankan pada
aspek kognitif daripada aspek afektif (Narvaez, Bock, Endicott dan Lies, 2004).
Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan harus mencakup 3 (tiga) aspek
yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan
internalisasi nilai dan karakter. Tujuan dari studi pendahuluan ini adalah untuk
mendeskripsikan perencanaan pengembangan model pembelajaran
kewarganegaraan, permasalahan yang muncul dan kebutuhan perencanaan model
pembelajaran untuk peningkatan karakter siswa, dan untuk merancang desain
model pembelajaran pembentukan karakter.(Trisiana, Sugiaryo, dan Rispantyo
2019, 154–58).

A. Pengertian Pendidikan Kwarganegaraan


Pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan kewarganegaraan adalah
program pendidikan dengan lingkungan interdisipliner berdasarkan teori
departemen ilmu sosial, yaitu multidisiplin dan multidimensi, dan departemen
ini didasarkan pada departemen terstruktur ilmu politik. Menurut National

6
Council for the Social Studies (NCSS), kewarganegaraan adalah proses yang
mencakup semua pengaruh positif dan berusaha untuk membentuk opini
warga negara tentang peran mereka dalam masyarakat. Sebagai program
pendidikan, tujuan utama kewarganegaraan adalah mendidik warga negara
yang lebih baik berdasarkan kondisi, norma, dan standar pengukuran
(sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945) (Cholisin, 2000:1.7).
Dalam konteks yang sama, Nu'man Soemantri menjelaskan bahwa PKn
merupakan program pendidikan dengan inti demokrasi politik yang
berkembang seiring dengan perkembangan sumber informasi lain dan
berdampak penting bagi pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua. Untuk
memberikan dampak positif, semua dilatih untuk mengembangkan pemikiran
kritis siswa. Melakukan kegiatan demokrasi secara analitis dan
mempersiapkan kehidupan demokrasi menurut Pancasila dan Konstitusi
(1945) (Cholisin, 2000: 1.7).
Menurut Sunarso dkk (2008:1) Pendidikan Kewarganegaraan adalah
bidang studi yang mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa
Indonesia melalui koridor “pendidikan berbasis nilai”. PKn komposit atau
sistemik didasarkan pada paradigma berikut:
Pertama, kurikulum kewarganegaraan dirancang sebagai mata pelajaran
dengan tujuan mengembangkan pemberdayaan diri dan menjadi warga negara
yang berakhlak mulia, cerdas, inklusif dan bertanggung jawab. Kedua,
kewarganegaraan dikonseptualisasikan secara teoritis sebagai mata pelajaran
yang meliputi aspek kognitif, emosional, dan psikomotorik yang terintegrasi
dengan pemikiran, nilai, konsep, dan moralitas Pancasila, kewarganegaraan
yang demokratis, dan substansi negara, atau mekanisme pertahanan yang
meresap dan membaur. Ketiga, kewarganegaraan dirancang sebagai subjek
pembelajaran dalam praktik, dengan penekanan bahwa isinya mengandung
nilai-nilai dan pengalaman belajar dalam bentuk pola perilaku yang berbeda
yang harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari, yaitu. belajar
kewarganegaraan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. . . yang
menjabarkan pemikiran, nilai, konsep, dan moralitas Pancasila,
kewarganegaraan yang demokratis, dan pembelaan kehidupan sosial bangsa.

7
Jadi jika fokus penelitian, maka ideologi PKN yang diperlukan adalah
perilaku warga negara. Namun harus dipahami bahwa perilaku warga sangat
erat kaitannya dengan lingkungan, sehingga subjek penelitian ini adalah
lingkungan hidup dan keberadaan warga. Situasi perilaku yang dimaksud
adalah perilaku seseorang dalam kondisi atau keadaan tertentu, misalnya
karena orang tersebut adalah anggota keluarga, bagaimana orang tersebut
berperilaku sebagai warga negara di rumah? Bagaimana individu bermain,
berpikir, bekerja dan bertindak sebagai teman sekelas di sekolah karena
mereka adalah anak sekolah.(Zulfikar dan Dewi 2021, 107).
Pendidikan politik adalah sebuah konsep universal, yang menjelaskan
dasar pengetahuan tentang masyarakat politik, persiapan yang diperlukan
untuk berpartisipasi dalam seluruh proses politik dan, secara umum,
bagaimana menjadi warga negara yang baik. Menurut Zamron (dalam
Ubaedillah, A, dkk., 2008:9) bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah
pendidikan demokrasi, yang tujuannya membuat warga negara berpikir
bertindak kritis dan demokratis. Dengan kegiatan yang menyadarkan generasi
baru bahwa demokrasi adalah jalan hidup yang paling menjamin hak-hak
warga negara.
Cogan (Udin S. Winataputra, 2007: 3) memaknai pendidikan
kewarganegaraan. sebagai tugas sekolah dasar yang bertujuan mempersiapkan
warga negara muda untuk berperan aktif dalam komunitas mereka dalam
kehidupan mereka yang maju”. Atau departemen sekolah dasar yang bertujuan
untuk mempersiapkan generasi muda untuk kemudian berpartisipasi aktif
dalam kehidupan sosial. Nu'man Somantri (1976:54) berpendapat bahwa
pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang memiliki inti
demokrasi politik dan diperkaya dengan sumber informasi lain, memiliki efek
positif pada pendidikan sekolah, masyarakat, orang tua, semua bertujuan
untuk membuat siswa kritis, analitis, berperilaku dan untuk bertindak secara
demokratis dalam persiapan kehidupan demokrasi pasca-Pancasila dan 1945
berdasarkan UUD.
UU No. 20 Tahun 2003 yang merupakan perubahan atas UU tersebut no
2/1989 Sistem Pendidikan Nasional (SPN) hanya mencakup pendidikan

8
kewarganegaraan. Karena dalam undang-undang sebelumnya yaitu dalam 39
ayat 2 undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional, juga diperkenalkan Pendidikan Pancasila. Penamaan ini memang
sesuai dengan pemikiran akademis. Karena di mana pun mereka disebut warga
negara, harus ada nilai-nilai inti sebagai prasyarat untuk memperjuangkan
kehidupan bersama (great desirability), yang meliputi ideologi, sistem
pemerintahan sendiri, hak asasi manusia, dan kebaikan bersama (pada
umumnya). barang yang diakui, termasuk bea cukai). ). Artinya pembentukan
pancasila akan dimasukkan dalam pendidikan kewarganegaraan
(cholisin:2004:8-9).
Tabrakan (2004: 10) berpendapat bahwa kewarganegaraan adalah bagian
dari pendidikan kewarganegaraan yang materinya fokus pada peran warga
negara dalam kehidupan bernegara, yang kesemuanya berkomitmen untuk
mengukuhkan peran itu berdasarkan ketentuan Pancasila dan UUD 1945.
Menjadi warga negara yang dapat dipercaya oleh bangsa dan negara. Mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang
difokuskan untuk mendidik warga negara yang dapat memahami dan
melaksanakan hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia
yang cerdas, berilmu, dan berkarakter, sebagaimana disyaratkan oleh
Pancasila dan UUD 1945 (Permendiknas No. 22, 2006).
Dari berbagai pengertian PKn di atas, dapat dikemukakan bahwa ciri-ciri
Kewarganegaraan adalah a) program studi; b) materi utamanya adalah
demokrasi politik atau peran warga negara dalam berbagai aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta unsur-unsur lain yang mempunyai unsur positif
bagi perkembangan peran tersebut dalam keluarga, sekolah dan masyarakat, c)
tujuannya adalah untuk memajukan peran
Warga negara harus menjadi warga negara yang baik menurut Konstitusi
(Margaret S. Branson, 1999: 29-30). Mengingat amanat luas pendidikan
politik (PKn), tujuan pendidikan politik juga harus diperluas. Secara teori,
tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mendidik peserta didik menjadi
warga negara yang baik dan bertanggung jawab yang dapat berpartisipasi aktif
dalam masyarakat yang demokratis (Noor Ms Bakry, 2010: 38).

9
Isi kewarganegaraan meliputi pengetahuan kewarganegaraan,
keterampilan kewarganegaraan, dan sikap kewarganegaraan seperti
pendukung sistem politik yang ideal.

a. Pengetahuan Kwarganegaraan
Informasi warga (citizen information) bersifat material Sesuatu
yang perlu diketahui warga. Pada dasarnya, pengetahuan yang harus
diketahui warga negara terkait dengan hak dan tugas/perannya sebagai
warga negara dan pengetahuan dasar tentang struktur dan sistem
politik, pemerintahan, dan sistem sosial yang ideal sebagaimana
didokumentasikan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
adalah dan telah menjadi konvensi. kehidupan sehari-hari Berbangsa
dan bernegara serta nilai-nilai universal dalam masyarakat demokratis
dan cara bekerja sama untuk mencapai kemajuan bersama dan hidup
berdampingan secara damai dalam masyarakat internasional (Cholisin,
2005:4).
Kewarganegaraan mengacu pada keterampilan akademik yang
berkembang dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral.
Dengan bantuan keahlian sipil, dasar untuk pengembangan
keterampilan sipil dan karakter warga negara harus diciptakan.

b. Keterampilan Kwarganegaraan
Keterampilan Kewarganegaraan adalah keterampilan
berkembang dari ilmu kewarganegaraan, sehingga ilmu yang didapat
menjadi sesuatu yang bermanfaat karena dapat digunakan untuk
menghadapi persoalan-persoalan kehidupan berbangsa. dan negara
(Cholisin, 2005:4).
Keterampilan kewarganegaraan meliputi keterampilan
intelektual dan keterampilan partisipatif. Keterampilan
kewarganegaraan yang meliputi keterampilan intelektual dan

10
keterampilan partisipatif sangat penting untuk mencapai demokrasi
yang stabil. Karena demokrasi yang stabil membutuhkan partisipasi
warga
ruang dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, ketika
warga negara memiliki kemampuan untuk menjelaskan, menganalisis,
mengevaluasi, mengambil posisi, memantau dan mempengaruhi proses
politik pemerintahan, baik secara formal maupun informal, mereka
menjadi warga negara yang berpartisipasi dan menjauhkan negara dari
praktik pemerintahan yang otoriter.

c. Karakter Kwarganegaraan
Jenis kewarganegaraan (citizenship) adalah jenis atau Kualitas
yang harus dimiliki setiap warga negara untuk mendukung efektivitas
partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat,
pengembangan martabat dan harga diri manusia (Cholisin, 2011:7).
Komponen fundamental ketiga dari pendidikan
kewarganegaraan adalah konsep kewarganegaraan, yang mencakup
karakter publik dan pribadi yang penting bagi pelestarian dan
pengembangan demokrasi supremasi hukum. Atribut kewarganegaraan
dan keterampilan kewarganegaraan berkembang perlahan sebagai hasil
dari apa yang telah dipelajari dan dialami individu di rumah, sekolah,
di masyarakat, dan di organisasi masyarakat sipil (Branson, Margaret
S. et al., 1999: 23).
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan meliputi
pendidikan kewarganegaraan, pendidikan demokrasi, pendidikan
hukum, dan pendidikan moral/karakter, yang bertujuan untuk
mendidik warga negara yang cerdas, berakal budi yang mampu
melaksanakan hak, tugas, dan tanggung jawabnya. Hal ini bertujuan
agar siswa menjadi warga negara yang baik sesuai dengan kondisi
Pancasila dan UUD 1945.(Ui 2008, 19–27).

11
B. Perbandingan Antara PKN Paradigma Lama Dan Paradigma Baru
Tingkat kepentingan pemerintah terhadap PKn dipimpin terjadinya
reduksionisme misi penelitian dalam rangka mendidik warga negara yang baik
(Samsuri, 2010:3). Penggambaran warga negara yang patuh, hegemoni
interpretasi negara dan wacana kepada warga negara serta minimnya
kemungkinan budaya kritis dalam hubungan antara masyarakat sipil dan
masyarakat politik pada gilirannya membentuk budaya politik sipil yang tidak
layak untuk dipromosikan. sistem politik yang demokratis. Salah satu
keprihatinan tentang keadaan pendidikan kewarganegaraan pada masa orde
baru adalah perubahan paradigma kewarganegaraan dari paradigma
kewarganegaraan lama digantikan oleh paradigma kewarganegaraan baru.
Paradigma baru kewarganegaraan ini memiliki akar akademis yang
jelas berdasarkan ilmu politik, hukum dan filsafat moral, dengan penekanan
pada pemberdayaan warga negara. Sangat berbeda dengan paradigma lama
tentang kewarganegaraan yang lebih menekankan pada pembangunan negara,
dan keuntungan administrasi pemerintahan sangat besar bagi warga negara.(Ui
2008, 33).

C. Ruang Lingkup Mata Pelajaran Pendidikan Kwarganegraan


Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Khusus Pendidikan politik
mencakup aspek-aspek berikut:
a. Persatuan dan keutuhan bangsa, meliputi:, Hidup dalam Kerukunan
Dalam Keberagaman, Cinta Lingkungan, Kebanggaan Sebagai Bangsa
Indonesia, Sumpah Pemuda, NKRI, Partisipasi Bela Negara, Sikap

12
Positif Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Transparansi
dan Terjaminnya Keadilan.
b. Norma, hukum dan peraturan untuk bab:, Ketertiban dalam kehidupan
keluarga, ketertiban di sekolah, norma yang berlaku dalam
masyarakat, peraturan daerah, norma dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, hukum dan ketertiban nasional, hukum dan peradilan
internasional.
c. hak asasi manusia, antara lain:, Hak dan tanggung jawab anak,
perjanjian nasional dan internasional tentang hak asasi manusia,
pemajuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. yaitu
Kebutuhan warga negara meliputi mis. Koeksistensi, harga diri warga
negara, kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi, menghormati
pilihan bersama, realisasi diri, kesetaraan sipil.
d. konstitusi negara, antara lain:, Proklamasi Kemerdekaan dan
Konstitusi Pertama, konstitusi yang digunakan di Indonesia, dasar
hubungan antara negara dan konstitusi.
e. Kekuasaan dan Politik, meliputi:, Pemerintahan desa dan daerah,
pemerintahan dan otonomi daerah, pemerintahan pusat, demokrasi dan
sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi bagi masyarakat
madani, sistem pemerintahan, pers dan masyarakat demokratis.
f. Pancasila, meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai pembentukan
negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai
pembentukan negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

Globalisasi, antara lain:


Globalisasi di Lingkungannya, Politik Luar Negeri Indonesia di Er
Globalisasi, Pengaruh Globalisasi, Hubungan Organisasi internasional
dan internasional dan evaluasi globalisasi.

Cakupan kelompok topik tentang kewarganegaraan dan kepribadian

13
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran dan visi peserta
didik tentang kedudukan, hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan kualitas dirinya
sebagai manusia. Kesadaran dan visi, termasuk visi kebangsaan, semangat dan
patriotisme bela negara, penghormatan terhadap hak asasi manusia, pluralisme
bangsa, perlindungan lingkungan, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung
jawab sosial, taat hukum, membayar pajak dan sikap anti sosial dan korupsi,
persekongkolan dan nepotisme (Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi). Sementara itu, menurut NCSS, ruang lingkup PKN meliputi:

a) cita-cita nasional;
b. Hal-hal baik yang diakui oleh masyarakat (common good);
c. proses manajemen diri (self-management process);, yaitu hak asasi
manusia dan warga negara yang dijamin secara konstitusional; dan
Semua pengaruh positif datang dari keluarga, sekolah dan masyarakat
(Cholisin, 2004: 25).

Oleh karena itu ruang lingkup pendidikan kewarganegaraan harus


dikaitkan dengan sistem demokrasi dan fleksibel untuk mendukung
terwujudnya sistem demokrasi Pancasila. Selain itu, ruang lingkup pendidikan
kewarganegaraan meliputi nilai-nilai Pancasila yang menunjang kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk menjaga keutuhan bangsa sesuai dengan visi
pendidikan kewarganegaraan, yaitu dalam membangun bangsa dan
membangun karakter. Cakupan tersebut kemudian dijabarkan dalam standar
kompetensi dan kompetensi inti yang diajarkan kepada siswa sesuai
kurikulum.(Ui 2008, 36).

D. Nilai Nilai Pancasila Dalam Pembelajaran PPKN


a. Pengertian Nilai
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai adalah sesuatu
berharga, kompeten, berkualitas tinggi, dan bermanfaat bagi orang
banyak. Sesuatu yang memiliki nilai berarti sesuatu itu berharga atau

14
berguna bagi kehidupan manusia. Nilai memiliki sifat realitas yang
abstrak, bersifat normatif dan berguna sebagai pedoman bagi tindakan
manusia. Nilai pada dasarnya adalah sifat atau kualitas yang terkait
dengan suatu objek, sehingga tidak disebut nilai, jadi nilai merupakan
realitas yang tersembunyi di balik realitas lain sebagai pembawa nilai
(Dwi Listyan dan Irton, 2011: 4).
Muchson (2002:16) mendefinisikan nilai, yang dalam bahasa
Inggris adalah value yang dapat diartikan sebagai harga, penilaian atau
perkiraan. Artinya adalah harga yang melekat pada sesuatu atau
penilaian sesuatu. Notonegoro (dalam Kaelani, 2000: 12) menyebutkan
3 nilai yang berbeda. Ketiga nilai tersebut adalah sebagai berikut:
 Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan jasmani manusia.
 Nilai-nilai esensial, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
manusia untuk melakukan fungsi atau tindakan.
 Nilai spiritual, yaitu segala sesuatu yang bermanfaat bagi
spiritualitas manusia. Nilai-nilai spiritual misalnya

 Nilai kebenaran yang bersumber dari akal manusia (hubungan,


pikiran, kreativitas).
 Nilai keindahan atau nilai estetika yang bersumber dari unsur
perasaan manusia.
 Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber dari unsur
kehendak manusia (willingness).
 Nilai Religius, yaitu nilai spiritual yang tertinggi dan mutlak
berdasarkan keyakinan atau keyakinan orang.

Nilai-nilai di atas masih abstrak atau disebut nilai inti karena


Nilai ini masih ada dalam pikiran manusia. Nilai-nilai dasar tersebut
kemudian diinterpretasikan dengan interpretasi menjadi nilai-nilai
instrumental yang berupa parameter-parameter konkrit, yang masih
dalam bentuk rumusan umum berupa standar. Nilai instrumental

15
menjelma menjadi nilai praktis, sebagai indikator yang sangat konkrit
terkait dengan lingkup kehidupan. Menurut Ferdiansyah dan Irton
(2011:5) ada tiga tingkatan nilai. Ketiga tingkatan nilai tersebut adalah:
 Nilai fundamental yang merupakan nilai yang sangat abstrak dan
tetap, terlepas dari pengaruh perubahan dari waktu ke waktu.
Nilai-nilai inti adalah prinsip-prinsip yang sangat abstrak, sifatnya
sangat umum, tidak tergantung waktu dan tempat, dan seperti
aksioma dalam kebenaran. Dari segi nilai, nilai inti mengacu pada
keberadaan sesuatu yang mencakup cita-cita, tujuan, keteraturan,
dan kualitas.
 Nilai instrumental yang merupakan nilai kontekstual. Nilai
instrumen adalah deskripsi nilai dasar yang mewakili arah
kinerjanya untuk waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu. Nilai
instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan
tuntutan zaman. Namun, nilai instrumental harus berhubungan
dengan nilai inti yang digambarkannya. Penyempurnaan bisa
menjadi kreatif dan dinamis dalam bentuk-bentuk baru untuk
mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang
diperbolehkan oleh nilai Dasa. Nilai instrumental adalah, dalam
konten nilainya, kebijakan, strategi, organisasi, sistem, rencana,
program, dan bahkan proyek yang mengikuti nilai-nilai inti ini.
 Nilai praktis, yaitu nilai yang tertanam dalam realitas sehari-hari.

Meskipun Walter G. pernah (dalam Dwi Listyan dan Irton,


2011:4) Penggolongan nilai-nilai kemanusiaan menjadi 8 golongan,
yaitu: sebuah.
 Nilai ekonomi: ditunjukkan oleh harga pasar dan mencakup
semua produk yang akan dibeli. Misalnya emas, logam, dll
 Nilai fisik:, mengacu pada kesehatan, kemampuan atau
kecantikan fisik, misalnya: kondisi, konsistensi, dll
 Nilai hiburan:

16
 nilai permainan dan waktu luang yang berguna bagi
kehidupan. Sebagai contoh: Waktu luang, musik, film, dll. d.
Nilai sosial:
 nilai berasal dari berbagai bentuk hubungan, misalnya:
kerukunan, persahabatan, dll
 Nilai tandai:, integritas pribadi yang diinginkan, mis.
kejujuran, kesetiaan, dll
 Nilai estetika:, nilai kehidupan di alam atau karya seni, mis.
keindahan, harmoni, dll
 Nilai rohani:, nilai pengetahuan dan pencarian kebenaran, mis.
kecerdasan, tekad, dll
 Nilai-nilai Keagamaan:, nilai dalam agama. Sebagai contoh:
Kesucian keagungan Tuhan, dll.(Ui 2008, 39).

b. Nilai-Nilai Pancasila
1) Komitmen Para Pendiri Dalam Merumuskan Pancasila
Setelah disahkannya konstitusi pada tanggal 18 Agustus
1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (filsafat) negara,
pandangan hidup, ideologi nasional, dan pengikat (persatuan)
dalam konteks kehidupan, kebangsaan, dan kenegaraan
Indonesia. . Menurut Kementerian Kehakiman (2011: 41),
Pancasila adalah landasan statis yang mempersatukan dan
bintang pemandu dinamis yang membimbing bangsa untuk
mencapai tujuannya. Dalam posisi demikian, pancasila
merupakan dasar identitas, kepribadian, moralitas dan
kebijakan keamanan nasional. Secara singkat dan persuasif,
Sukarno menggambarkan urgensi Pancasila bagi bangsa
Indonesia sebagai berikut:
“Pancasila adalah pandangan dunia, landasan filosofis,
pancasila adalah alat pemersatu yang saya yakin masyarakat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanya dapat bersatu
atas dasar pancasila ini. Dan itu bukan hanya alat pemersatu

17
yang kita dari Republik Indonesia andalkan, tetapi juga alat
pemersatu yang mendasar dalam perjuangan kita untuk
menghilangkan semua penyakit yang telah kita perjuangkan
selama beberapa dekade, yaitu penyakit, terutama penyakit
imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan
imperialisme, perjuangan kemerdekaan, perjuangan bangsa
yang berkarakter. Tidak ada dua negara yang memiliki cara
bertarung yang sama. Setiap bangsa memiliki cara
bertarungnya sendiri, karakteristiknya sendiri. Pada dasarnya,
suatu bangsa sebagai individu memiliki kepribadiannya sendiri.
Kepribadian memanifestasikan dirinya dengan cara yang
berbeda, dalam budaya, ekonomi, karakter, dll. (Yudi Latif,
2011: 41). Dengan demikian, negara Indonesia memiliki
landasan moralitas dan arah nasional yang jelas dan visioner.
Sebuah titik tolak dan tujuan penting harapan bagi
kelangsungan dan kejayaan bangsa, yaitu Pancasila.
Dalam sidang pertama BPUPKI dari tanggal 29 Mei 1945
sampai dengan 1 Juni 1945 (4 hari), usulan konstitusi negara
diajukan oleh Muhammad Yamin dan Bung Karno (Ir.
Soekarno) dan Soepomo. Aliran atau pengertian negara
bukanlah dasar negara.
a) Mosi Muhammad Yamin, 29 Mei 1945 Hari Pertama
Sidang BPUPKI Pada tanggal 29 Mei 1945, Bapak Muhammad
Yamin mendapat kesempatan pertama untuk berpidato di
Pengadilan penuh kewenangan penyidikan. Pidato Muhammad
Yamini berjudul Asas dan Landasan Negara Kebangsaan
Republik Indonesia. Dalam sambutannya, beliau mengusulkan
kebijakan nasional untuk Indonesia merdeka, yang terdiri dari:
(1) Peri Nasional
(2) Peri Manusia
(3) Peri ilahi
(4) Peri Bangsa

18
(5) Kesejahteraan rakyat
Setelah sambutannya, Muhammad Yamin juga
mengusulkan secara tertulis lima prinsip dasar negara untuk
Indonesia merdeka dalam kata pengantar RUU, yang diringkas
sebagai berikut:
(1) Dewa tertinggi
(2) Federasi Nasional Indonesia
(3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
(4) Orang-orang dibimbing oleh kebijaksanaan
kebijaksanaan dalam berurusan dengan pengganti
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b) Usulan Soepomo, 31/5/1945 pada hari ketiga rapat
BPUPKI 31/5/1945 Soepomo mengajukan pembenaran bagi
negara berdasarkan tiga syarat mutlak adanya negara: Pertama,
harus ada wilayah yang berbatasan dengan Hindia Belanda,
kedua, harus ada rakyat sebagai warga negara, yaitu yang
berkewarganegaraan Indonesia, dan ketiga, harus ada
pemerintahan, dan pemerintahan yang berdaulat berdasarkan
prinsip-prinsip internasional. Hukum. Selain itu, Soepomo
mengusulkan syarat mutlak negara, yaitu:
Daerah, masyarakat dan pemerintah. Tiga pertanyaan
diajukan tentang prinsip-prinsip dasar negara Indonesia, yaitu
negara kesatuan, negara federal, negara federal, hubungan
antara negara dan agama, republik atau monarki.
Soepomo dalam (Heru Ismaya, 2009: 40-41) juga
berbicara tentang sekolah negeri, yang menurut Supomo ada
tiga sekolah, yaitu sekolah individualis, sekolah kolektif dan
sekolah integris. Ketiga aliran tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
(1) Aliran pemikiran individualis atau teori individu,
seperti Thomas Hobbes dan John Locke (abad ke-17), Jean
Jacques Rousseau (abad ke-18), Herbert Spencer (abad ke-19),

19
H.J. Kalkulator (Abad ke-20). Menurut cara berpikir ini, negara
adalah masyarakat hukum (legal society) berdasarkan
kesepakatan antara semua individu dalam masyarakat (kontrak
sosial). Susunan negara ini seperti negara-negara Eropa Barat
dan Amerika.
(2) Aliran pemikiran kolektif yang diajarkan oleh Marx,
Engels dan Lenin, atau teori kelompok atau kelas (class
theory), yang menurutnya negara merupakan alat kelompok
dengan posisi ekonomi terkuat untuk menekan kelompok lain.
yang berada dalam posisi lemah. Contoh negara-negara
tersebut adalah negara-negara komunis berdasarkan ajaran Karl
Marx.

(3) Aliran integralis yang diajarkan oleh Spinoza, Adam


Muller, Hegel dan lain-lain (abad 18 dan 19). Menurut mazhab
ini, negara adalah suatu struktur sosial yang kokoh, yang
sebagai suatu perkumpulan, menjamin kepentingan semua
orang. menghalangi kepentingan kelompok atau individu.
Dalam negara integralis, semua kelompok, semua bagian dan
semua anggota terkait erat dan membentuk kesatuan komunitas
organik.
Menurut Soepomo, negara kesatuan yang akan didirikan
harus berdasarkan pemikiran integralistik sesuai dengan
struktur sosial Indonesia sebagai ciptaan budaya bangsa
Indonesia, yaitu H. kehidupan didasarkan pada keharmonisan
dengan struktur spiritual bangsa Indonesia yang berjuang untuk
persatuan. , kesatuan Cavulo dan Gusti, antara dunia luar dan
dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara
manusia dan pemimpinnya. Selain itu, Soepomo juga
menyatakan bahwa dalam negara integralis tidak ada dualisme
antara negara dan individu, individu merupakan bagian organik
dari negara yang memiliki kedudukan dan tanggung jawab

20
tersendiri untuk ikut serta dalam penyelenggaraan kehormatan
negara. Selain itu, juga dikatakan semuanya
Orang-orang, semua daerah memiliki keistimewaannya
masing-masing, mereka memiliki tempat dan statusnya sendiri
sebagai bagian organik dari seluruh negara (Heru Ismaya,
2009: 44).
Soepomo juga menegaskan bahwa jika orang Indonesia
mau Untuk mendirikan negara Indonesia yang mencerminkan
watak dan corak khas bangsa Indonesia, negara harus
berdasarkan pemikiran integralis, negara yang bersatu dengan
seluruh rakyatnya dan melampaui segala golongannya. Dalam
bidang apapun, kepala negara dan lembaga pemerintahan
lainnya harus menjadi pemimpin sejati, penuntun cita-cita luhur
yang dicita-citakan rakyat. Negara harus menjadi "organ
pemerintahan", badan legislatif yang lahir dari jantung seluruh
bangsa. Dalam pengertian dan teori ini, negara tidak lain adalah
seluruh masyarakat atau rakyat Indonesia sebagai suatu
kesatuan yang terorganisir dan terstruktur. Usulan Soepomo
pada dasarnya tidak mengusulkan pembentukan negara
merdeka, melainkan aliran negara merdeka, yaitu negara
berideologi integralis.
c) Usul Soekarno, 1 Juni 1945 Dalam sidang pertama
BPUPKI pada hari keempat, 1 Juni 1945, pidato Bung Karno
mengusulkan lima prinsip untuk Indonesia merdeka
berdasarkan Indonesia merdeka. Lima Asas dipimpin oleh
seorang ahli bahasa (Bapak Muhammad Yamin, kemudian
duduk di sebelah Ir. Soekarno) yang diberi nama Pancasila
(Noor Ms Bakry, 2010: 31). Lima prinsip yang dikemukakan
Bung Karno adalah:
(1) Kewarganegaraan Indonesia
(2) internasionalisme atau kemanusiaan
(3) konsensus atau demokrasi

21
(4) Bantuan Sosial
(5) Dewa yang dipuja
Selain itu, Bung Karno juga mengajukan usul alternatif,
dari lima bentuk kata tersebut diringkas menjadi tiga bentuk
yang disebut Tri-Sila, yaitu yang pertama Fundamental,
Nasionalisme dan Kemanusiaan (nasionalisme dan
internasionalisme), yang diringkas menjadi satu, jadi- disebut
nasionalisme sosialis. Basis lain, demokrasi dan kesejahteraan
dalam satu, disebut demokrasi sosial. Landasan ketiga,
keilahian yang beradab yang saling menghormati, disingkat
sebagai keilahian (Pengadilan, 2011: 39). Prinsip moral dan
kebijakan nasional

Menurut hakikat Pancasila seperti yang dijelaskan oleh


Yudilatif (2011): 42), yaitu:
Pertama, menurut fitrah pemikiran Pancasila, nilai-nilai
ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas
(yang bersifat transenden vertikal) dianggap sebagai landasan
etika yang penting dalam kehidupan bernegara. Dalam hal ini,
Indonesia bukanlah negara yang sangat sekuler yang
memisahkan "agama" dan "negara" dan mengklaim untuk
menangkap peran agama.
kamar pribadi/bersama. Menurut Pancasila, negara harus
melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama yang
merata; sementara agama diharapkan memainkan peran publik
dalam mempromosikan etika sosial. Pada saat yang sama,
Indonesia juga bukan "negara agama", yang hanya mewakili
satu (unsur) agama dan membiarkan agama mendikte negara.
Setiap negara Negara Indonesia, rumah bagi orang-orang multi-
agama dan multi-agama, harus dapat menjaga jarak yang sama
dari semua orang.

22
Agama/keyakinan melindungi semua agama/keyakinan
dan mereka harus mampu mengembangkan kebijakannya
sendiri tanpa memandang bias agama.
Kedua, menurut fitrah pemikiran Pancasila, nilai-nilai
kemanusiaan universal bersumber dari hukum Tuhan, hukum
alam, dan sifat sosial manusia. (yang bersifat horizontal)
dianggap sebagai landasan penting bagi kehidupan politik-etika
negara dalam hubungan dunia. Dikembangkan prinsip nasional
yang luas yang mengarah pada persaudaraan global
eksternalisasi dan internalisasi. Setelah kepergiannya, rakyat
Indonesia dengan bebas dan aktif menggunakan segala cara dan
sumber dayanya untuk "bersumbangsih dalam mewujudkan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial". Secara internal, bangsa Indonesia
mengakui dan memuji hak-hak dasar warga negara dan
penduduknya. Landasan etis dari persaudaraan universal ini
adalah "adil" dan "beradab". Komitmen bangsa Indonesia untuk
menghormati nilai-nilai kemanusiaan sangat visioner, sebelum
“Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, yang baru
dideklarasikan pada tahun 1948. Secara teori, jalur
eksternalisasi dan internalisasi mengembangkan kemanusiaan
dalam negara yang adil dan beradab. . cara untuk menempatkan
sudut pandang Indonesia dalam kombinasi perspektif teoritis
"idealisme politik" dan "realisme politik" yang berorientasi
pada kepentingan nasional dalam hubungan internasional.
Ketiga, karena hakikat pemikiran Pancasila, perwujudan
nilai-nilai etika kemanusiaan harus terlebih dahulu berlabuh
dalam lingkaran sosial nasional yang lebih sempit sebelum
menjangkau masyarakat dunia yang lebih jauh. Merangkul
nilai-nilai persaudaraan manusia, Indonesia adalah negara
kesatuan bangsa yang melampaui konsep kelompok dan
individu. Persatuan kebhinekaan bangsa Indonesia ditentukan

23
oleh konsep kebangsaan yang menyatakan kesatuan dalam
perbedaan dan kebhinekaan dalam persatuan yang tertuang
dalam semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika”. Di sisi lain,
ia memiliki visi kosmopolitanisme yang mencoba menemukan
dasar bersama untuk semua keragaman yang muncul di Negara
(Pancasila), Konstitusi dan semua turunan legislatifnya,
Amerika Serikat, bahasa persatuan. dan simbol negara lainnya.
Di sisi lain, ada realisasi pluralitas, yang menerima berbagai
perbedaan seperti perbedaan agama/pandangan, budaya dan
bahasa daerah dan beberapa entitas politik seperti tradisi
budaya dan menawarkan ruang hidup kepada mereka.

Keempat, sesuai dengan fitrah pemikiran Pancasila, nilai-


nilai ketuhanan, Ketika diwujudkan, nilai-nilai kemanusiaan
dan nilai-nilai dan cita-cita nasional harus menghargai hak
rakyat untuk menentukan nasib sendiri dalam semangat refleksi
yang dipimpin oleh kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi
deliberatif, demokrasi menemukan hakikatnya dalam
penegasan kedaulatan rakyat, ketika kebebasan politik dijalin
dengan kesetaraan ekonomi, menghidupkan kembali semangat
persaudaraan dalam kerangka “konsensus”. Dalam prinsip
musyawarah dan mufakat, keputusan tidak didikte oleh
kelompok mayoritas (majorocracy) atau elit politik dan
minoritas pengusaha (minorocracy), tetapi berpedoman pada
kearifan yang meningkatkan kekuatan rasionalitas reflektif dan
kearifan masing-masing. . warga negara tanpa diskriminasi.
Kelima, menurut hakikat pemikiran Pancasila, nilai-nilai
ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita-cita kebangsaan,
dan demokrasi permusyawaratan memiliki makna yang utuh
selama keadilan sosial dapat diwujudkan. Di sisi lain,
perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan persyaratan

24
etis dari empat perintah lainnya. Di sisi lain, otentisitas
pengalaman sila-sila Pancasila dapat diukur terwujudnya
keadilan sosial dalam kehidupan berbangsa. Visi keadilan
sosial Pancasila menghendaki adanya keseimbangan antara
pemuasan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara
peran manusia sebagai individu (yang dilembagakan dalam
pasar) dan peran manusia sebagai masyarakat. hakekat
(dilembagakan dalam negara) dan keseimbangan antara
pelaksanaan hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya. Dalam suasana kehidupan sosial ekonomi
yang ditandai dengan berbagai ketimpangan sosial, persaingan
ekonomi didasarkan pada persaingan berdasarkan asas
kekeluargaan; Area produksi yang penting secara nasional yang
mempengaruhi penghidupan masyarakat berada di bawah
kendali negara; Tanah dan air dan sumber daya alam yang
dikandungnya berada di bawah kendali pemerintah dan
digunakan untuk memaksimalkan kemakmuran manusia.
Dalam mewujudkan keadilan sosial, setiap pelaku ekonomi
diberi peran tertentu, yang secara keseluruhan menumbuhkan
semangat kekeluargaan. Peran individu (pasar) diperkuat,
sementara pada saat yang sama negara memperoleh posisi
penting dalam menyediakan kerangka hukum dan peraturan,
layanan, pasokan dan perencanaan sosial dan jaminan sosial.
Demikianlah para pendiri bangsa ini telah meninggalkan
kepada kita landasan filosofis dan kajian kehidupan bernegara,
yang memberi energi pada perumusan konstitusi yang visioner
dan langgeng. Landasan filosofis dengan landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis yang kuat yang bila dipahami
secara mendalam, diyakini teguh dan diamalkan secara
konsisten, dapat mendekati terwujudnya “keadaan yang utuh”
(Yudilatif, 2011:51).

25
2) Nilai Yang Terkandung Dalam Nilai Pancasila
Pancasila adalah landasan statis yang mempersatukan dan
bintang pemandu dinamis yang membimbing bangsa untuk
mencapai tujuannya. Dalam posisi demikian, Pancasila
merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan
ketahanan nasional (Yudi Latif, 2011: 41). Pada saat yang
sama, pancasila itu sendiri secara keseluruhan pada hakekatnya
adalah sebuah nilai (Kaelan, 2000: 12).
Bila pancasila ditelaah secara mendalam, diketahui bahwa
pancasila pada hakekatnya merupakan kesatuan utuh dari
prinsip-prinsip budi pekerti yang baik atau budi pekerti yang
berdasarkan fitrah manusia, yang dapat disebut akhlak
pancasila untuk membedakannya dengan nilai-nilai moral
lainnya untuk membedakan. Penetapan Pancasila sebagai dasar
falsafah negara juga berarti bahwa moralitas Pancasila, yaitu
moralitas bangsa Indonesia, menjadi moralitas negara Republik
Indonesia, yaitu moralitas yang mengikat negara.
sumber hukum dan ketertiban serta jiwa dari segala
kegiatan pemerintahan di semua lapisan masyarakat (Noor Ms
Bakry, 2010: 120). Pancasila adalah pandangan hidup yang
lahir dari pengakuan atas realitas sosial politik bangsa
Indonesia (Dikdik Baehaqi Arif, 2011: 4). Rumusan Pancasila
yang termuat dalam Bab IV Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri dari lima
ketentuan, akidah atau asas, yaitu:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusian Yang Adil Dan Beradan
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan Perwakilan
5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

26
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
Pancasila adalah sumber jati diri, kepribadian, moralitas dan
ketahanan nasional yang menganut nilai-nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab,
Pancasila Indonesia. Persatuan, demokrasi yang dipandu oleh
kebijaksanaan dalam perundingan perwakilan, dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai nilai yang mencakup nilai-nilai moral
atau spiritual juga mengakui adanya nilai-nilai material dan
nilai-nilai kehidupan. Hal ini bersumber dari landasan
pancasila, yaitu manusia memiliki komposisi kodrati sebagai
makhluk yang terdiri dari jiwa (spiritual) dan badan (materi).
Selain itu, sebagai sistem nilai, Pancasila juga secara sempurna
dan serasi mengakui nilai-nilai lain, yaitu nilai kebenaran
(epistemologis), nilai estetis, etis, dan religius. Bagi masyarakat
Indonesia, nilai-nilai Pancasila merupakan dasar, landasan dan
motivasi bagi segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-
hari dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
kehidupan bernegara, pembentukan nilai-nilai Pancasila harus
tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia. Semua produk hukum di Indonesia harus diisi
dengan nilai-nilai, dengan kata lain semua hukum di Indonesia
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Bagi bangsa Indonesia, nilai dijadikan landasan, alasan
atau Motivasi dalam segala tindakannya agar ada prinsip moral
dalam bertindak. Orang Indonesia lebih mengutamakan hal-hal
yang bersifat spiritual (spiritual) atau material, daripada hal-hal
yang bersifat sensual atau material. Memprioritaskan
kebebasan moral memberikan prioritas pada isu-isu bersama.
Ini terlepas dari kenyataan bahwa ada orang yang dengan sabar
melakukan sesuatu selain menghargai kesadaran karena alasan
lain. Secara jelas, tuntunan Pancasila adalah:

27
merupakan sistem nilai, artinya setiap peraturan memiliki
nilai, tetapi setiap peraturan saling berhubungan, saling
ketergantungan yang sistemik, dan terdapat lapisan-lapisan
antara sistem tersebut dengan nilai-nilai lainnya. Oleh karena
itu juga distratifikasi sesuai dengan nilai-nilai etika yang
terkandung dalam peraturan Pancasila. Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila adalah seperangkat nilai yang
bersumber dari prinsip-prinsip kehidupan dan perkembangan
nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut adalah nilai
agama, nilai adat budaya dan setelah disahkan menjadi dasar
negara yang mengandung nilai-nilai negara (Kaelan, 2002:
140).
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tergolong
nilai-nilai spiritual, namun nilai-nilai spiritual yang mengakui
adanya nilai-nilai material dan nilai-nilai kehidupan. Dengan
kata lain, tergolong sebagai nilai spiritual, Pancasila juga
memuat nilai-nilai lain secara sempurna dan harmonis, seperti
nilai material, nilai kehidupan, nilai kebenaran (logika), nilai
kebaikan (etika), nilai keindahan ( estetika), dan nilai. religius
(Noor Mbak Bakry, 2010: 303).

3) Pembelajaran Nilai Nilai Pancasila Dalam Pembelajaran


PPKN
Nilai-nilai yang terkandung dalam Sila Pancasila adalah
seperangkat nilai luhur yang diyakini kebenarannya atau
dinyatakan benar, yang kemudian dijabarkan dalam Ajaran
Pengalaman Pancasila. Martabat Tuhan Yang Maha Esa
memberikan kebebasan berkeyakinan kepada pemeluk agama,
tidak ada paksaan, dan pemeluk agama yang berbeda harus
saling menghormati dan bekerja sama untuk menciptakan
kehidupan yang harmonis dan Indonesia yang sejahtera. Negara

28
ini juga menjamin kebebasan beragama dalam Pasal 29 (2)
UUD 1945, yang menyatakan:
Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk
menerima agamanya sendiri dan beribadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya. Negara harus menyampaikan atau
memahami kesadaran toleransi dan kebebasan beragama umat
beragama ini kepada warganya sejak dini, sehingga mereka
dapat segera menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Perintah ini, perintah kedua dari kemanusiaan yang adil
dan beradab, mencakup pentingnya menyadari sikap dan
perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral ketika mereka
hidup bersama, berdasarkan tuntutan hati nurani yang mutlak
dan menghadapi hal-hal sebagaimana mestinya. Ketika nilai-
nilai luhur dalam perintah-perintah ini diamalkan, maka
lahirlah sikap gotong royong, sikap toleran, dan sikap tolong
menolong. Setiap orang, tanpa memandang asal usulnya, harus
diakui sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
diperlakukan dengan bermartabat, dan hak asasinya harus
dihormati.
Prinsip persatuan Indonesia yang ketiga berarti Bhinneka
Tunggal Ika. Penting untuk menghargai perbedaan yang ada
melalui moralitas dan membangun karakter, tidak sama itu
baik, terkadang perbedaan membuat seseorang melihat sesuatu
dari perspektif yang berbeda yang memperkaya pandangan
mereka tentang masalah tersebut dan dengan perbedaan kita
juga dapat menghubungkannya.
Budaya refleksi untuk mencapai mufakat merupakan
bagian dari nilai-nilai Pancasila. Masyarakat memecahkan
masalah dengan pemikiran, bukan dengan kekerasan. Saling
menghormati dan saling menghormati adalah kunci terpenting
untuk saling memahami. Dalam musyawarah harus memiliki

29
akhlak yang kuat dan bijaksana, jujur, berakhlakul karimah,
agar hasil mufakat memiliki isi, bobot dan gagasan yang
berkualitas. Inilah nilai-nilai sila keempat Pancasila.
Pancasila kelima adalah masyarakat yang adil dan
makmur, sejahtera lahir dan batin, dimana setiap warga negara
menerima apa saja yang menjadi haknya menurut hakikat
keadilan dan peradaban. Pengembangan nilai dapat dicapai
melalui Pembelajaran Nilai, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Bab IV tentang Standar
Proses Pasal 19
(1) mendefinisikan pembelajaran sebagai berikut: Proses
pembelajaran satuan pendidikan bersifat interaktif, inspiratif,
menghibur, menantang, mendorong partisipasi aktif dan,
tergantung pada keterampilan, minat, dan perkembangan fisik,
tersedia ruang yang cukup untuk prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian. dan perkembangan intelektual siswa. Tabrakan
(2011: 4) mengemukakan bahwa pada umumnya kegiatan
pembelajaran yang berpotensi mengembangkan karakter siswa
harus memenuhi prinsip atau kriteria tertentu. Demikian juga
dalam mengembangkan nilai-nilai Pancasila, prinsip-prinsip
berikut harus diikuti:
a) Tujuan Dalam arti tujuan, kegiatan pembelajaran
menambah nilai jika tujuan kegiatan tersebut tidak hanya
didasarkan pada pengetahuan tetapi juga pada sikap. Oleh
karena itu, guru harus meningkatkan orientasi tujuan dari setiap
atau beberapa kegiatan pembelajaran untuk mencapai sikap
atau nilai tertentu seperti kejujuran, percaya diri, kerja keras,
saling menghargai, dan lain-lain.
b) Masukan Masukan dapat diartikan sebagai
bahan/referensi sebagai titik tolak pelaksanaan kegiatan belajar
siswa. Input dapat berupa teks lisan atau tulisan, grafik,
diagram, gambar, model, diagram, objek nyata, film, dll. Nilai

30
dapat diberikan oleh input yang tidak hanya mewakili
materi/informasi, tetapi juga menggambarkan nilai yang terkait
dengan materi/informasi tersebut.
c. Aktivitas Aktivitas pembelajaran adalah apa yang
dilakukan siswa (dengan dan/atau tanpa guru) dengan input
pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kegiatan
pembelajaran yang dapat membantu siswa
menginternalisasikan nilai-nilai adalah kegiatan belajar aktif
yang antara lain mendorong belajar mandiri dan berpusat pada
siswa. Pembelajaran yang memfasilitasi pembelajaran mandiri
dan berpusat pada siswa membantu siswa secara otomatis
mendapatkan nilai bagus. Contoh kegiatan pembelajaran
dengan karakteristik tersebut adalah diskusi, tes,
observasi/pengamatan, debat, presentasi siswa dan
mengerjakan proyek.
d. yaitu Pengaturan Pengaturan pembelajaran mengacu
pada kapan dan di mana kegiatan dilakukan, untuk berapa
lama, baik secara individu, berpasangan atau dalam kelompok.
Setiap pengaturan memengaruhi nilai yang dilatih. Misalnya,
jika Anda menetapkan waktu penyelesaian tugas yang singkat
(rendah), siswa terbiasa bekerja dengan cepat sehingga mereka
memiliki perkiraan waktu yang baik. Pada saat yang sama,
kerja tim dapat menyebabkan siswa bekerja sama dan
menghormati satu sama lain dan orang lain.
e. Peran guru Peran guru dalam kegiatan pembelajaran
biasanya tidak disebutkan secara jelas dalam buku teks.
Ungkapan yang jelas tentang peran guru secara umum tertulis
di buku pedoman guru. Karena hal ini biasanya diungkapkan
secara implisit, dalam sebagian besar kegiatan pembelajaran
guru harus membuat kesimpulan tentang peran guru ketika
tidak ada buku teks yang tersedia. Peran guru dalam

31
mendorong internalisasi nilai dalam diri siswa meliputi guru
sebagai fasilitator, motivator, partisipan dan pemberi saran.
f. Peran siswa Seperti peran guru dalam buku teks, peran
siswa biasanya tidak disebutkan dengan jelas. Pernyataan yang
jelas tentang peran siswa biasanya disertakan dalam buku
pedoman guru. Karena hal ini biasanya diungkapkan secara
implisit, sebagian besar kegiatan pembelajaran mengharuskan
guru untuk membuat kesimpulan tentang peran siswa. Untuk
memudahkan siswa dalam mengenal, mengajarkan dan
menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, siswa harus diberikan
peran aktif dalam pembelajaran. Peran tersebut antara lain
panelis, peneliti, moderator diskusi dan hasil eksperimen,
pelaksana proyek, dll. Tambahkan Kolisin (2011: 6)
Menjelaskan strategi untuk mengembangkan nilai-nilai, dalam
hal ini nilai-nilai Pancasila, yaitu sebagai berikut: Tambahkan
Kolisin (2011: 6) Menjelaskan strategi untuk mengembangkan
nilai-nilai, dalam hal ini nilai-nilai Pancasila, yaitu sebagai
berikut:

a) Adaptasi penuh sebelum pelaksanaan pembelajaran


Dalam adaptasi jenis ini, tiga aspek diperiksa sekaligus, yaitu
isi bahan ajar, kegiatan pembelajaran, dan teknik penilaian.
Revisi (misalnya penambahan isi, pemformatan ulang dan/atau
penambahan kegiatan pembelajaran, penambahan dan/atau
perubahan teknik penilaian) akan dilakukan secara tertulis pada
kurikulum yang direvisi. Setelah review selesai, bahan ajar
akan dicetak dan diberikan kepada siswa.
b. Adaptasi Parsial/Sebagian Sebelum Pembelajaran Jenis
adaptasi ini melibatkan pemeriksaan satu atau dua dari tiga
aspek berikut: Isi, kegiatan pembelajaran dan evaluasi bahan
ajar. Guru melakukan beberapa penyesuaian (misalnya

32
menambah isi, mengubah atau menyelesaikan tugas
pembelajaran, menambah atau mengubah metode penilaian)
secara tertulis, tetapi pada lembar tersendiri yang tidak
diintegrasikan ke dalam bahan ajar. Guru menggunakan catatan
pada lembar terpisah sepanjang waktu proses pembelajaran.
c. Adaptasi sebagian/sebagian sebelum pembelajaran
(terutama pada lampiran) Jenis adaptasi ini mengendalikan satu
atau dua dari tiga aspek berikut: Isi, kegiatan pembelajaran dan
evaluasi bahan ajar. Revisi (misalnya penambahan isi atau
pembaharuan dan/atau penambahan kegiatan pembelajaran,
penambahan dan/atau perubahan teknik penilaian) akan ditulis
pada kurikulum yang direvisi. Setelah review selesai, bahan
ajar akan dicetak dan diberikan kepada siswa. Menyesuaikan
dengan kegiatan pembelajaran, penonjolan nilai-nilai Pancasila
dapat mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang termasuk dalam standar isi. Adaptasi dengan kegiatan
belajar, pendidikan
Nilai-nilai Pancasila dapat dikaitkan dengan kompetensi
inti yang tertuang dalam standar kompetensi dan standar isi.
Sesuai dengan perkembangan nilai-nilai pancasila peserta
didik, pembelajaran kewarganegaraan memerlukan
pembelajaran aktif dari guru. Pelaksanaan kegiatan
pembelajaran tingkat kegiatan pra, inti dan akhir dipilih dan
dilaksanakan agar peserta didik mengamalkan nilai-nilai
Pancasila yang diinginkan. Pembelajaran aktif
kewarganegaraan dilakukan misalnya melalui kegiatan sebagai
berikut (Cholisin, 2011: 6):
a. Mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku
teks, surat kabar, majalah, tokoh masyarakat. Nilai-nilai
Pancasila yang dapat dikembangkan dengan pembelajaran ini,
misalnya. Religiusitas, kejujuran, kemandirian, ketekunan,
disiplin, rasa ingin tahu, haus akan ilmu pengetahuan.

33
b. Membaca dan belajar (kerja perpustakaan). Nilai-nilai
Pancasila yang dapat dikembangkan dengan pembelajaran ini,
misalnya. Religiusitas, rasa ingin tahu, haus akan ilmu.
c. Perdebatan. Nilai-nilai Pancasila yang dapat
dikembangkan dengan pembelajaran ini, misalnya. religius,
cerdas, demokratis, logis, kritis, kreatif dan inovatif;
Kesopanan, menghormati keragaman Kesadaran akan hak dan
tanggung jawab diri sendiri dan orang lain.
d. Pengantar. nilai-nilai pancasila yang bisa Bacaan yang
dikembangkan melalui pembelajaran ini meliputi:
Kemandirian, kemandirian, tanggung jawab, demokrasi, sopan
santun, kejujuran.
e. Berikan umpan balik. Nilai-nilai Pancasila yang dapat
dikembangkan dengan pembelajaran ini, misalnya. Religiusitas,
kecerdasan, keteguhan hati, demokrasi, menghargai keragaman,
kejujuran, menghargai keragaman, kemandirian, kesadaran
akan hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain.
f. Menyelesaikan masalah atau kejadian. Nilai-nilai
Pancasila yang dapat dikembangkan dengan pembelajaran ini,
misalnya. Religiusitas, kecerdasan, berpikir logis, kritis, kreatif
dan inovatif, ketaatan pada aturan sosial, keuletan,
nasionalisme, kemandirian, kesadaran akan hak dan kewajiban
untuk menjaga diri sendiri dan orang lain.
G. observasi/pengamatan. nilai-nilai pancasila yang bisa
Bacaan yang dikembangkan melalui pembelajaran ini meliputi:
kerja keras, rasa ingin tahu, sopan santun, kemandirian,
kesadaran akan hak dan tanggung jawab diri sendiri dan orang
lain dengan tetap menghargai keberagaman, kejujuran.
h. Simulasikan Nilai-nilai Pancasila harus dikembangkan
Kegiatan belajar tersebut antara lain: Demokrasi, Kejujuran,
Nasionalisme, Kepedulian, Fleksibilitas, Kesadaran akan hak

34
dan tanggung jawab diri sendiri dan orang lain dengan tetap
menghormati keragaman, Menghormati aturan sosial,
i. Nilai-nilai Pancasila yang dapat dikembangkan melalui
pembelajaran ini adalah nasionalisme, kesadaran akan hak dan
tanggung jawab diri sendiri dan orang lain, demokrasi,
kejujuran, menghargai keragaman.
j. Berikan contoh. Nilai-nilai Pancasila yang dapat
dikembangkan dengan pembelajaran ini, misalnya.
Nasionalisme, Demokrasi, Kejujuran, Menghargai keragaman,
Kesadaran akan hak dan tanggung jawab diri sendiri dan orang
lain.
k. Pelatihan/Aplikasi. nilai-nilai pancasila yang bisa
Bacaan yang dikembangkan melalui pembelajaran ini meliputi:
Demokrasi, nasionalisme, kesadaran akan hak dan kewajiban
diri sendiri dan orang lain orang lain, menurut aturan sosial,
Menghormati keragaman (Cholisin, 2011: 6). Berdasarkan
uraian di atas, menunjukkan bahwa dalam mengembangkan
nilai-nilai Pancasila, prinsip-prinsip tujuan, kontribusi,
kegiatan, sikap, peran guru dan siswa harus dipatuhi. Selain itu,
pembelajaran aktif oleh guru diperlukan untuk
mengembangkan nilai-nilai Pancasila dalam pembelajaran
kewarganegaraan.(Ui 2008, 69)

BAB II
KONSEP DASAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang mengingatkan warga


akan pentingnya nilai-nilai hak dan kewajiban, agar segala sesuatu yang dilakukan
sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa serta tidak melenceng dari harapan.
Karena pentingnya pendidikan ini diterapkan sejak kecil di semua bidang
pendidikan, dari pendidikan paling awal hingga pendidikan tinggi, agar keturunan
bangsa menjadi cakap dan siap menghayati kehidupan berbangsa dan bernegara.

35
Tujuan utama Pendidikan Kewarganegaraan adalah membina dalam diri
para penerus bangsa yang mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan,
wawasan dan kesadaran bernegara, sikap dan perilaku yang cinta tanah air dan
budaya bangsa, Visi Pembangunan . negara kepulauan dan ketahanan nasional.
Pengetahuan dan Keterampilan Teknologi dan Seni. Selain itu, pendidikan
kewarganegaraan bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang
berbudi luhur, simpatik, mandiri, maju, tangguh, profesional, bertanggung jawab
dan produktif, serta sehat jasmani dan rohani.
Dalam percakapan pertama ini, Anda akan membahas urgensi pendidikan
kewarganegaraan di perguruan tinggi. Pembahasan ini akan dibagi menjadi empat
topik utama, yaitu: urgensi pendidikan kewarganegaraan dalam kehidupan
spiritual masyarakat; Sumber sejarah, sosiologis dan politik kewarganegaraan
Indonesia; dinamika dan tantangan pendidikan politik; Sifat dan urgensi
pendidikan politik masa depan.

A. Urgensi Pendidikan Kwarganegaraan Dalam Mencerdaskan Kehidupan


Bangsa
Perwujudan cita-cita nasional harus didukung oleh profesionalisme
dan keterampilan masyarakat Indonesia yang maju. “Dwiwarna purwa, ulama
Wasana” yang tercermin dari keinginan Ki Hajar Dewantara untuk
membangun bangsa Indonesia yang memiliki sikap moral kebangsaan, cinta
tanah air, sadar akan hak dan kewajibannya, serta profesional. Sikap ini dapat
menjadi pedoman, jaminan bahwa upaya pembangunan tetap berada pada jalur
yang benar, yaitu pada jalur nasional Indonesia. Perilaku warga negara yang
cinta tanah air dan sadar akan hak dan kewajibannya, salah satunya adalah
pendidikan kewarganegaraan, yang merupakan bagian integral dari
pembangunan sumber daya manusia (Rahayu, 2007 2).
Mengapa pendidikan kewarganegaraan penting untuk
mengembangkan keterampilan siswa atau profesional? Pernahkah Anda
berpikir atau bermimpi menjadi seorang peneliti atau profesional? Bagaimana
seorang peneliti atau profesional? Sebelum menjawab semua pertanyaan
tersebut, terlebih dahulu Anda harus mengetahui apa itu pendidikan dan

36
pelatihan serta apa yang dimaksud dengan pendidikan kewarganegaraan dan
kewarganegaraan.
Menurut Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012
Republik Indonesia, program sarjana adalah jenjang pendidikan akademik
bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan menengah atau pendidikan
sederajat dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui
pengajaran ilmiah. Lulusan sarjana
Pendidikan diharapkan berkembang menjadi intelektual budaya
dan/atau sarjana yang dapat mengakses dan/atau menciptakan lapangan kerja
dan berkembang menjadi profesional. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen Republik Indonesia menyatakan bahwa
profesionalisme adalah setiap pekerjaan atau kegiatan yang dapat memberikan
sumber penghasilan, memerlukan keahlian, keterampilan atau kemampuan,
memiliki standar dan standar mutu dan tercapai. melalui pelatihan profesional.
Anda harus tahu bahwa terlepas dari status Anda, peneliti atau profesional,
dalam kehidupan nasional dan pemerintahan, jika Anda memenuhi persyaratan
undang-undang dan peraturan, Anda memiliki status warga negara.
Adalah warga negara dan siapa warga negara Indonesia? Kata warga
negara berasal dari bahasa Inggris citizen yang berarti warga negara, atau
dapat diartikan sebagai penduduk negara dan seseorang. Secara umum, konsep
warga negara mengacu pada semua orang yang tinggal di suatu negara atau
bangsa berdasarkan keturunan, tempat lahir, dll, yang memiliki semua hak dan
kewajiban sebagai warga negara itu. Pada dasarnya, warga suatu negara tidak
selalu merupakan penduduk negara itu. Menurut Pasal 26 (1) Undang-Undang
Kebangsaan 1945, pengertian warga negara Indonesia dapat dibedakan
menjadi dua golongan, yaitu:
 Aborigin (pribumi), yaitu masyarakat adat suatu negara. Misalnya di
Indonesia, keturunan Jawa, Batak, Papua, Bug, Minang, Dayak dan
etnis yang telah menjadi warga negara Indonesia sejak lahir.
 Warga Negara Pribumi (Vreedeling), yaitu mereka yang berasal dari
suku bangsa yang bukan penduduk asli Indonesia, seperti orang Eropa,

37
Arab, India, Tionghoa dan lain-lain yang telah disahkan sebagai warga
negara Indonesia oleh undang-undang.
Apa itu pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan
kewarganegaraan? Kata Latin untuk kewarganegaraan adalah civicus. Kata
civicus bertransisi ke dalam kata bahasa Inggris civic, yang berarti warga
negara atau kewarganegaraan. Kata kewarganegaraan menghasilkan dua kata
Civico yang berarti civico dan civico, yaitu warga negara. Kewarganegaraan
telah dikenal sebagai kewarganegaraan di Indonesia sejak zaman penjajahan
Belanda. Sementara itu, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan
kewarganegaraan Indonesia secara hukum dapat dipahami dalam undang-
undang berikut: “Kewarganegaraan adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh
warga negara”. (UU RI No. 12 Tahun 2006, Pasal 1 Ayat 2) Tujuan
pendidikan kewarganegaraan adalah menjadikan peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air (UU RI No. 20
Tahun 2003, Penjelasan Pasal 37 ) ”.
Secara paradigma dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan
kewarganegaraan terdiri dari tiga bagian: (a) penelitian ilmiah tentang
pendidikan kewarganegaraan; (b) kurikulum kewarganegaraan; dan (c)
gerakan sosiokultural kewarganegaraan yang senantiasa menyimpang dari
esensinya dan mengarah pada upaya pengembangan pengetahuan, nilai dan
sikap kewarganegaraan, serta keterampilan kewarganegaraan. Secara filosofis,
sosio-politik, dan psikopedagogik, pendidikan politik mengemban misi suci
(holy mission), membentuk karakter dan peradaban bangsa yang bernilai,
mencerdaskan kehidupan masyarakat, dan menjadikan masyarakat warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Winataputra) dan
Budimansyah, 2007. :156).
Menurut para ahli, apa definisi dari pendidikan kewarganegaraan?
Pendidikan kewarganegaraan, menurut Soedijarto, adalah pendidikan
kewarganegaraan yang bertujuan membantu peserta didik tumbuh menjadi
warga negara yang memiliki pengetahuan politik yang matang yang dapat
berpartisipasi dalam membangun sistem politik yang demokratis. Sedangkan
menurut Soemantri (2001: 154) menegaskan bahwa pendidikan

38
kewarganegaraan adalah suatu karya untuk membekali peserta didik dengan
pengetahuan dan keterampilan tentang hubungan pendidikan dasar antara
warga negara dan negara, serta pendidikan awal untuk bela negara sebagai
bentuk kegiatan bela negara berdasarkan UUD 1945 dan juga Pancasila. Pada
dasarnya tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah membentuk warga
negara yang baik. Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah menghasilkan
warga negara yang sadar bela negara berdasarkan pemahaman politik
kebangsaan dan kepekaan terhadap pengembangan jati diri bangsa dan
moralitas dalam kehidupan berbangsa. Dalam konteks Indonesia, pendidikan
kewarganegaraan mencakup antara lain pluralisme, yaitu sifat menghargai
agama, pembelajaran kolaboratif, dan kreativitas. Pendidikan menyampaikan
nilai-nilai kewarganegaraan dalam kerangka jati diri bangsa. Jadi pendidikan
kewarganegaraan sangat penting untuk mencerdaskan anak bangsa kita
sendiri. Pendidikan politik tidak hanya diajarkan, tetapi juga dilaksanakan,
karena pendidikan kewarganegaraan juga mencakup ajaran Pancasila, yang
juga harus kita amalkan dalam tindakan dan segala macam.

B. Sumber Historis, Sosiologis, Dan Politik Tentang Pendidikan


Kwarganegaraan Di Indonesia
Penelitian sejarah, sosiologis dan politik dapat digunakan untuk
memahami kewarganegaraan Indonesia. Secara historis, pendidikan
kewarganegaraan dimulai jauh sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai
negara merdeka. Bangsa Indonesia telah menghadapi berbagai tantangan
untuk menjadi negara yang diakui dunia. Kolonialisme membuat masyarakat
Indonesia yang tinggal di Nusantara menjadi bodoh, hina dan miskin. Di balik
itu, kolonialisme juga menjadi pelajaran dalam demokrasi, ilmu pengetahuan
dan teknologi, dan ekonomi bagi rakyat Indonesia. Identitas nasional
Indonesia menonjol ketika kesadaran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
dijajah oleh bangsa asing muncul pada tahun 1908, yang dikenal dengan
Kebangkitan Nasional (Budi Utomo). Keberhasilan gerakan ini memunculkan
sikap berani dan teguh pemuda Indonesia terhadap Revolusi Pemuda (28
Oktober 1928). Janji Pemuda mencerminkan visi geografis (tanah air), visi

39
nasional (bangsa), visi budaya (bahasa), yang pada dasarnya merupakan awal
tumbuhnya visi nasional Indonesia. Pada tahun 1930-an, selama musim hujan,
muncul organisasi-organisasi nasional yang berjuang secara terbuka dan
sembunyi-sembunyi di dalam dan luar negeri. Organisasi-organisasi ini aktif
dan berusaha membangun rasa kebangsaan dan memperjuangkan Indonesia
yang merdeka. Keberanian para pemuda Indonesia untuk berjuang tanpa kenal
lelah dan penuh semangat akhirnya membawa bangsa Indonesia pada
kemerdekaan bangsanya, yang bersumpah merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945 dan menyatakan keberadaan bangsa Indonesia sebagai faktor penentu.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, bangsa Indonesia
terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya ketika menjadi jelas
bahwa penjajah tidak mengakui kemerdekaan dan tidak ingin melepaskan
Indonesia sebagai jajahannya. Oleh karena itu, sejak masa pasca-Indonesia
1945 sampai sekarang, bangsa Indonesia telah berusaha melakukan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui berbagai cara, baik secara
fisik maupun diplomatik. Meski perjuangan kemerdekaan telah usai, tantangan
untuk mempertahankan dan mempertahankan kemerdekaan sejati belum usai.
Profesor Nina Lubis (2008), sejarawan mengatakan: "... di masa lalu
musuh sudah jelas: penjajah, yang tidak memberikan tempat untuk
memperoleh keadilan, kemanusiaan, yang sama bagi warga, sekarang musuh
datang bukan dari luar tetapi dari dalam negeri itu sendiri: korupsi yang
merajalela, ketidakadilan, pelanggaran HAM, kemiskinan, ketimpangan
ekonomi, penyalahgunaan kekuasaan, pendidikan, pengabaian martabat orang
lain, suap, dll. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa perjuangan eksistensi
negara bangsa, demi tercapainya tujuan nasional yang sesuai dengan cita-cita
para pendiri negara bangsa, belum berakhir tetapi masih panjang. Oleh karena
itu, diperlukan proses pendidikan dan pembelajaran bagi warga negara yang
dapat menjaga semangat perjuangan kemerdekaan, kebangsaan dan cinta tanah
air.
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia memiliki budaya yang
beragam dan multikultural berdasarkan suku dan bahasa. Orang Indonesia
mengakui dan menghormati litani budaya, sekecil apa pun. Perbedaan ini

40
harus dilihat sebagai potensi kekuatan bangsa. Dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, kebhinekaan ini terkait dengan norma dan aturan untuk
menjaga keharmonisan hidup, untuk mewujudkan kesadaran moral dan
hukum.
Arus informasi yang berdampak pada destabilisasi jati diri bangsa
memerlukan komitmen nasional terhadap terwujudnya patriotisme, kesadaran
bela negara, persatuan bangsa dalam suasana saling menghargai keragaman.
Kesatuan dan keragaman budaya, adat, dan tradisi harus dibina dan
ditingkatkan secara demokratis, keteladanan, dan langgeng.
Dari segi politik, pendidikan politik mulai dikenal di sekolah-sekolah,
yang dapat dilihat dalam dokumen kurikulum sejak tahun 1957. Somantri
(1972) menyatakan bahwa pada masa Orde Lama konsep kewarganegaraan
(1957), kewarganegaraan (1962), dan pendidikan kewarganegaraan (1968)
dikenal. Pada masa-masa awal orde lama, sekitar tahun 1957, masalah
kewarganegaraan adalah tentang perolehan dan hilangnya kewarganegaraan,
sedangkan civico (1961) lebih mementingkan sejarah kebangkitan nasional,
konstitusi, pidato-pidato politik negara. , yang terutama bertujuan untuk
"membangun bangsa dan karakter". “Bangsa Indonesia.
Nama kurikulum sekolah yang berlaku pada awal pemerintahan Orde
Baru adalah Kurikulum 1968. Kurikulum tersebut memasukkan mata
pelajaran kewarganegaraan. Dalam mata pelajaran tersebut, bahan dan metode
yang diindoktrinasi dihilangkan dan diganti dengan bahan dan metode
pengajaran baru, yang dikelompokkan dalam Kelompok Pembinaan Jiwa
Pancasila, sebagaimana ditentukan dalam kurikulum sekolah dasar tahun
1968. Kurikulum pendidikan kewarganegaraan meliputi sejarah Indonesia,
ilmu bumi dan informasi yang diajarkan selama periode enam tahun studi.
Sementara itu, pendidikan kewarganegaraan negara dalam kurikulum sekolah
menengah atas meliputi Pancasila 1968 dan UUD 1945, peraturan MPRS
1966, dan kemudian Informasi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam
kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib di
pendidikan menengah atas.Metode pembelajaran yang digunakan adalah
pendekatan kolaboratif, artinya mata pelajaran PKn dikorelasikan dengan mata

41
pelajaran lain seperti sejarah Indonesia, geografi Indonesia, hak asasi manusia
dan ekonomi.
Kemudian kurikulum diubah menjadi kurikulum sekolah pada tahun
1975. Nama mata pelajaran diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila
dengan kajian khusus materi tentang Pancasila dan UUD (1945) dipisahkan
dari mata pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi. Mata pelajaran yang
berhubungan dengan Pancasila dan Konstitusi (1945) berdiri sendiri dengan
nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sedangkan mata pelajaran gabungan
Sejarah, Geografi, dan Ekonomi adalah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pada
masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP berusaha membentuk
masyarakat Pancasila. Tujuan ini bukan hanya tanggung jawab metaclass
PMP. Sesuai dengan Ketetapan MPR, pemerintah menyatakan bahwa tujuan
P4 adalah membentuk Bangsa Indonesia Pancasila. Saat itu, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) menerbitkan Penjelasan Singkat
Pendidikan Moral Pancasila (Depdikbud, 1982) dan mengangkat beberapa
poin penting. “Pendidikan Moral Pancasila (PMP) secara konstitusional
dikenal sebagai TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang Kebijakan Negara dan
Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Kebijakan Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Melalui berlakunya MPR No. II/MPR/1978
tentang Pedoman Penilaian dan Praktik Paneasil (P4), materi PMP
berpedoman pada isi P4. Oleh karena itu, TAP MPR No. II/MPR/1978
merupakan pedoman dan pedoman hidup bagi sikap dan perilaku setiap orang
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, TAP
MPR No. II/MPR? 1978 digunakan sebagai sumber, platform, isi dan rating
PMP. Oleh karena itu, inti dari PMP tidak lain adalah terwujudnya P4 melalui
pendidikan formal. Selain PMP yang dilakukan di sekolah-sekolah, sosialisasi
P4 juga aktif dilakukan di masyarakat umum melalui berbagai kegiatan
pemutakhiran. "... sesuaikan kurikulum 1975 dengan P4 dan GBHN 1978, ...
coba dapatkan buku pedoman siswa dan guru dari siswa dan guru sekolah
dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah
(SMA) ... perusahaan yang menghasilkan buku paket PMP..."

42
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa P4 merupakan
sumber dan sudut pandang baik isi maupun metode evaluasi mata pelajaran
PMP melalui standarisasi kurikulum (1975); Panduan Pendidikan
Kewarganegaraan Nasional Manusia dan Masyarakat Indonesia Baru (PKn)
terus menerus dicabut dari buku paket PMP untuk semua jenjang pendidikan
sekolah. P4 diterapkan tidak hanya di sekolah tetapi juga di masyarakat pada
umumnya melalui berbagai fasilitator P4.
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
tuntutan dan kebutuhan masyarakat, kurikulum sekolah diubah menjadi
kurikulum 1994. Nama mata pelajaran PMP diubah menjadi Pelatihan
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), terutama karena
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 2 undang-undang tersebut menyatakan bahwa muatan kurikulum setiap
jenis pendidikan, cabang dan jenjang adalah wajib.
Setelah orde baru, nama subjek Pendidikan politik telah berubah lagi.
Perubahan tersebut dapat diidentifikasi dari dokumen isu PKn (2006) tentang
isu PKn (2013).(Dr. Drs. Ismail, M.Si Dra. Sri Hartati 2019).

KESIMPULAN

43
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada hakikatnya adalah
pembelajaran bahasa Indonesia, pembelajaran menjadi pribadi yang
berkepribadian Indonesia, membangun rasa kebangsaan dan cinta tanah air
Indonesia. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang
terpelajar, seorang peneliti atau profesional harus memahami Indonesia,
berkepribadian Indonesia, mengenal kebangsaan Indonesia, dan mencintai tanah
air Indonesia. Dengan demikian ia menjadi warga negara yang cerdas dan baik
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
Mengapa pendidikan kewarganegaraan merupakan kriteria untuk
mengembangkan keterampilan sarjana atau profesional yang komprehensif?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pada Bab I Anda akan mengkaji tentang identitas
pendidikan kewarganegaraan. Sesuai dengan kaidah pembelajaran saintifik dan
aktif, lakukan hal-hal sebagai berikut:
(1) menggali konsep dan urgensi pendidikan kewarganegaraan dalam
kehidupan spiritual masyarakat; (2) menanyakan mengapa pendidikan
kewarganegaraan diperlukan; (3) Mempelajari sumber sejarah, sosiologis dan
politik masyarakat Indonesia; (4) membangun argumentasi tentang dinamika dan
tantangan pendidikan kewarganegaraan; (5) mendeskripsikan sifat dan urgensi
pendidikan kewarganegaraan untuk masa depan; (6) ringkasan sifat dan
pentingnya pendidikan kewarganegaraan; dan (7) akhirnya, untuk memperdalam
dan memperkaya pemahaman bab di atas, ditawarkan praktik kewarganegaraan.
Setelah menyelesaikan studi Anda, Anda diharapkan sebagai mahasiswa dan
profesional untuk: bersikap positif terhadap tugas dan peran pendidikan
kewarganegaraan dalam memperkuat jati diri peneliti dan profesional Indonesia;
dapat menjelaskan tujuan dan fungsi pendidikan kewarganegaraan dalam
pengembangan keterampilan sarjana atau profesional secara utuh; serta mampu
menyampaikan argumentasi konseptual dan empiris tentang misi dan peran
pendidikan kewarganegaraan dalam memperkuat identitas sarjana dan profesional
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

44
Trisiana, Anita, Sugiaryo Sugiaryo, dan Rispantyo Rispantyo. “Model desain
Pendidikan Kewarganegaraan di era media digital sebagai pendukung
implementasi pendidikan karakter.” Jurnal Civics: Media Kajian
Kewarganegaraan 16, no. 2 (2019): 154–164.
Zulfikar, Muhamad Fikri, dan Dinie Anggraeni Dewi. “Pentingnya Pendidikan
Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa.” JURNAL PEKAN :
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan 6, no. 1 (2021): 104–115.
Ui, F I B. “Dasar Ilmu Kwarganegaraan” (2008): 11–49.
Dr. Drs. Ismail, M.Si Dra. Sri Hartati, M. Si. Konsep Dasar Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara di Indonesia, 2019.
Cohlisin. “Konsep Ilmu Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewarganegaraan.”
Modul (2016): 1–50.
Zulfikar, Muhamad Fikri, dan Dinie Anggraeni Dewi. “Pentingnya Pendidikan
Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa.” JURNAL PEKAN :
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan 6, no. 1 (2021): 104–115.
Ihsan. “Kecenderungan Global Dalam Proses Pembelajaran Pendidikan Pancasila
Dan Kewarganegaraan Di Sekolah.” Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan 2, no. 2 (2017): 49–58.
Kosanke, Robert M. “Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Kehidupan
Bersosialisasi Dan Membangun Karakter Bangsa Pada Siswa Sekolah Dasar”
13, No. 1 (2019): 105–113.

45

Anda mungkin juga menyukai