undangan yang menjadi titik tolak sistem pendidikan Indonesia, yang menurut
Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah pengganti
undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden peraturan
pelaksanaan lainnya, seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lain.
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan
77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan
reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang
dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain
adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat,
tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan
peserta didik.
Namun demikian dengan amandemen UUD 1945, pasal 31 ayat (2), dan
Undang-Undang Sisdiknas pasal (1) bahwa sampai dengan pendidikan dasar,
pendidikan tidak hanya merupakan hak tapi sekaligus merupakan kewajiban
warga negara. Hal tersebut logis dan dapat dipahami sebab keberhasilan proses
pendidikan tidak hanya ditentukan oleh pemerintah tapi juga warga masyarakat.
Pendidikan dasar merupakan hak dan sekaligus kewajiban warga negara, maka
kebijakan pemerintah tentang wajib belajar disertai dengan program-program
pendukungnya seperti pemerataan kesempatan pendidikan dengan
membangun sekolah-sekolah dengan berbagai model adalah kebijakan yang
bagus yang berlu didukung oleh semua pihak.
1. Pendanaan Pendidikan
Walaupun dalam amandemen UUD RI 1945 pasal 31 ayat (4) telah
menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan akantetapi dengan berbagai alasan dan
pertimbangan sampai saat ini APBN kita belum mencapai 20%.
Di daerah alokasi dana pendidikan yang masuk dalam APBD sangat bervariatif,
tetapi kebanyakan belum sampai 20% dari APBD. Yang memprihatinkan ada
beberapa daerah yang menggratiskan biaya pendidikan namun tidak diberangi
dengan penambahan anggaran di APBD dengan cukup. Menurut Sutjipto
(2008:2) keadaan seperti ini akan memperlebar disparitas mutu pendidikan
antara daerah yang satu dengan daerah yang lain sehingga menjadi tempat
persemaian yang subur dari masalah-masalah sosial di masa depan.
Pasal inilah yang sampai sekarangterus diperjuangkan oleh banyak pihak agar
pemerintah dan pemerintah daerah segera merealisasikannya.
Justru yang terjadi di hampir mayoritas pemerintah daerah berlomba-lomba
untuk memperjuangkan wacana pendidikan gratis. Namun dengan masuknya
ranah politik dalam dunia pendidikan nampaknya wacana itu menjadi nilai tawar
dalam realisasinya antara warga masyarakat dengan penguasa pemerintah
daerah. Mestinya kebijakan pendidikan gratis tidak hanya sekedar retorika politik
guna melanggengkan kekuasaan, akan tetapi perlu didukung dengan reliasasi
anggaran pendidikan sesuai dengan amanat undang-undang dasar yaitu
minimal 20% dari APBN/APBD.
Guru sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan dalam
kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal
proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang danstatus hukum. Oleh
karena itu secara logis muncul pula harapan dan keinginan agar terjadi
penguatan serupa dalam posisi internal profesi guru, dimana peningkatan
kualifikasi dan kompetensi guru bisa menjamin mutu pendidikan.
Hal lain yang tak kalah penting untuk dikaji adalah pengakuan eksistensi
konselor. Meskipun secara yuridis keberadaan konselor dalam sistem
pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar
dengan kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor pamong belajar, widyaiswara,
instruktur sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 6 UU Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Juga tercantum PP Nomor 28 Tahun
1990 pasal 27 ayat (2) dengan sebutan guru pembimbing.