Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan aset bangsa. Anak juga merupakan aset bangsa, namun
dalam pengertian yang lain. Pendidikan yang berkualitas akan membawa sebuah
bangsa semakin maju. Sama halnya dengan anak, semakin baik kualitas anak, akan
membawa sebuah bangsa semakin maju. Hal inilah yang menjadikan pendidikan dan
anak merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Anak merupakan
generasi penerus masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan anak
merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan karena didalamnya terdapat nasib
masa depan bangsa dan negara.
Namun, pada realitasnya, pendidikan anak sampai saat ini, di negara Indonesia
ini, belum merupakan sebuah prioritas bersama antara pemerintah, orang tua maupun
si anak itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah biaya
pendidikan yang semakin tinggi. Sekarang ini, pendidikan yang berkualitas sangat
erat dengan biaya yang tinggi, tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut
karena memang seperti itu keterkaitan antara kualitas dengan biaya. Namun, akan
menjadi salah jika pendidikan yang berkualitas hanya dapat dinikmati oleh
masyarakat kelas atas saja yang mampu membayarnya. Jika seperti ini terus, di masa
depan, jurang pemisah antara miskin dan kaya akan semakin jauh, karena masyarakat
miskin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Ingat bahwa
pendidikan merupakan salah satu solusi untuk menaikkan kelas sosial. Bukti lain
bahwa pendidikan belum menjadi prioritas bersama adalah pada setiap bergantinya
rezim pemerintahan, utamanya dengan bergantinya menteri pendidikan, selalui diikuti
dengan bergantinya kurikulum pendidikan. Dari sini tampak bahwa pemerintah masih
belum menemukan bentuk pengelolaan pendidikan yang tepat bagi anak-anak
kategori usia pendidikan dasar dan masih mencari-cari bentuk yang sesuai dengan

1
kondisi masyarakat Indonesia sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan seni. Oleh karena itu, negara (pemerintah) memiliki peran yang sangat
penting untuk mencegah kondisi diatas, untuk menjadikan pendidikan berkualitas
milik siapa saja, bukan hanya si kaya.
Di berbagai negara, tidak hanya di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan
merupakan beban tanggung jawab negara. Negara merupakan penyelenggara
pendidikan yang resmi. Negara kemudian menyerahkan beban tanggung jawab
tersebut kepada pemerintah sesuai dengan konstitusi. Namun, hal ini bukan berarti
beban tanggung jawab pendidikan semata-mata hanya ada di tangan negara.
Walaupun pendidikan merupakan tanggung jawab negara, namun tidak tertutup
kemungkinan adanya sektor privat yang turut serta melakukan penyelenggaraan
pendidikan.
Negara Indonesia telah memiliki berbagai instrumen hukum untuk mendukung
hak anak atas pendidikan. Mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28C, pasal 28E, pasal 31, dan pasal 34. Lalu,
ada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Bahkan
dibentuk komisi khusus untuk pemenuhan dan perlindungan hak anak yaitu Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor
77 Tahun 2003. Dan masih banyak lagi instrumen hukum mengenai hal tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai hak anak atas pendidikan pada


peraturan perundang-undangan?
2. Bagaimanakah tanggung jawab negara terhadap pendidikan Warga
Negara Indonesia khususnya anak-anak setelah Wajib Belajar 12 (dua belas)
tahun?

2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai hak anak atas pendidikan
pada peraturan perundang-undangan.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab negara terhadap pendidikan Warga
Negara Indonesia khususnya anak-anak setelah Wajib Belajar 12 (dua belas)
tahun.

3
BAB II
TEORI DAN DASAR HUKUM

A. Teori

Ada empat butir pengakuan masyarakat internasional atas hak-hak yang dimiliki
oleh anak, yakni:[10]
1.      Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights);
2.      Hak terhadap perlindungan (protection rights);
3.      Hak untuk tumbuh-kembang (development rights);
4.      Hak untuk berpartisipasi (participation rights).

Lalu ada juga empat prinsip dasar pada konvensi hak anak, yaitu:
1.      Non-diskriminasi;
2.      Kepentingan yang terbaik untuk anak;
3.      Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
4.      Penghargaan terhadap pendapat anak.

Beberapa jenjang pendidikan yang ada di berbagai sekolah di Indonesia yaitu:[11]

1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) - Usia: 0 - 6 tahun

Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD adalah jenjang pendidikan paling awal.
Jenjang pendidikan ini memang tidak wajib diikuti seorang anak, mengingat orang-
tua juga memiliki kemampuan penuh untuk melakukannya. Pada jenjang ini, anak
akan dibina agar siap memasuki pendidikan umum. Karena itu, pada jenjang ini lebih
ditekankan untuk merangsang pikiran anak dan perkembangan jasmani seorang anak.
         Contoh: Kelompok bermain (play group) dan Taman Kanak-kanak (TK)

4
2. Pendidikan Dasar - Usia: mulai usia 7 tahun

Pendidikan dasar adalah pendidikan yang wajib diikuti seorang anak selama dua belas
tahun. Pendidikan ini merupakan awal dari pendidikan seorang anak karena melatih
seorang anak untuk membaca dengan baik, mengasah kemampuan berhitung serta
berpikir. Pendidikan dasar mempersiapkan seorang anak untuk memasuki jenjang
pendidikan menengah. Pendidikan dasar umumnya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu 6
tahun pertama di kelas 1 sampai 6. Kemudian dilanjutkan tahap berikutnya pada kelas
7 sampai 9 selama 3 tahun.
         Contoh pendidikan dasar tahap pertama : Sekolah Dasar (SD), Madrasah
Ibtidaiyah (MI)
         Contoh pendidikan dasar tahap kedua : Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Madrasah Tsanawiyah (MT)

3. Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah


diselenggarakan selama 3 tahun. Beberapa jenis pendidikan menengah juga telah
mempersiapkan seseorang memiliki keterampilan tertentu untuk dipersiapkan
langsung ke lapangan kerja.
         Contoh: Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA)
         Contoh sekolah kejuruan: Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah
Kejuruan

4. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan lanjutan dari pendidikan menengah. Pendidikan tinggi


diselenggarakan bukan lagi di sekolah melainkan di perguruan tinggi.
         Contoh: Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, Universitas

5
B. Dasar Hukum

Adapun dasar hukum yang berkaitan dengan pendidikan anak adalah sebagai berikut;
         Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal
28C, pasal 28E, pasal 31, dan pasal 34.
         Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas)
         Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
         Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

6
BAB III
ISI

Saat ini, pendidikan di sekolah telah dapat dinikmati oleh berbagai kalangan dan
golongan. Berbagai sekolah didirikan untuk menjadi tempat atau sarana pendidikan
bagi anak. Berbagai kurikulum juga dikembangkan untuk sekolah agar dapat
membantu anak memiliki cara belajar yang baik dan bermutu. Bagi sebagian besar
masyarakat, mereka bisa mendapatkan pendidikan umum di sekolah dengan mudah.
Namun, ada sebagian masyarkaat kita yang juga belum bisa mendapatkan pendidikan
dengan baik dan mudah. Masalah pendidikan anak tidak semata-mata bisa dipandang
dari segi yuridis saja. Perlu juga pendekatan yang lebih luas yaitu dari segi ekonomi,
sosial, dan budaya.[12]
Pada peraturan perundang-undangan di Indonesia, pendidikan belum menjadi
prioritas bersama. Pendidikan pada peraturan perundang-undangan, terdapat pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal
28C, pasal 28E, pasal 31, dan pasal 34. Lalu, ada Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maupun Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dari seluruh peraturan perundangan diatas,
pendidikan dijelaskan merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia; termasuk
anak terlantar, anak jalanan, anak kurang mampu, dsb. Namun, pada kenyataannya,
kelompok tersebut belum mendapat akses pendidikan yang merata dan adil.
Alasannya karena keterbatasan biaya dari pemerintah.
Jelas ini bertentangan dengan apa yang telah di amanahkan UUD 1945 mengenai
hak setiap rakyat dalam mendapatkan pendidikan. Ditambah lagi, pendidikan sudah
menjadi komodifikasi yang berorientasi keuntungan materi. Dampak dari
komodifikasi pendidikan ini adalah semakin menjamurnya anak-anak putus sekolah,
bahkan anak-anak yang tidak bisa sekolah karena terbentur masalah biaya.

7
Padahal kita ketahui, Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan negara
berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanah konstitusi itu juga
menyatakan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasar, yakni mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, dan budaya, untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Namun nyatanya dalam
kehidupan sehari-hari masalah pendidikan tetap menyisakan isu pelik. Angka anak
putus sekolah masih tinggi dan menjadi momok menakutkan yang membayang-
bayangi dunia pendidikan nasional. Di sinilah fungsi pemerintah sebagai pelaksana
konstitusi dipertanyakan kinerjanya. Idealnya fungsi pemerintah sebagai pengayom
masyarakat yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Padahal jika kita merujuk pendapatnya Plato, idealnya suatu negara adalah yang
dapat memberikan keadilan bagi rakyatnya, termasuk pendidikan. Namun apa daya,
tembok-tembok akses dunia pendidikan semakin tinggi. Dengan kata lain, hubungan
masalah sosial dalam kasus ini disebabkan karena ketidakberfungsian lembaga
pemerintah sebagai pelaksana konstitusi yang telah di amanahkan kepada lembaga
pemerintah ini.
Berdasarkan konvensi hak anak, terdapat empat prinsip dasar hak anak yaitu:
1.      Non-diskriminasi;
2.      Kepentingan yang terbaik untuk anak;
3.      Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
4.      Penghargaan terhadap pendapat anak.

Untuk memenuhi amanah dari konstitusi, pemerintah menyelenggarakan program


Wajib Belajar. Dahulu program ini hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP)
atau Wajib Belajar 9 Tahun. Namun, pada perkembangannya program ini telah
berkembang menjadi Wajib Belajar 12 Tahun. Program ini belum akan diterapkan
secara nasional karena beban anggaran pendidikan yang belum cukup. Pemerintah
memilih untuk lebih bekonsentrasi meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan
menengah.[13]Lalu, bagaimana dengan nasib anak yang ingin melanjutkan
pendidikan ke jenjang pendidikan Perguruan Tinggi? Belum ada kepastian hukum

8
mengenai hal ini. Wajib Belajar 12 Tahun saja belum diterapkan secara nasional,
apalagi ke Perguruan Tinggi. Pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan cukup memberikan angin segar untuk dunia pendidikan Indonesia.
Pasalnya, pembatalan tersebut menjadi secercah harapan bagi masyarakat untuk dapat
mengakses pendidikan dengan biaya yang terjangkau.
Sebenarnya, anggaran pendidikan sudah secara khusus tercantum pada Undang-
Undang Dasar 1945 sebesar 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Namun, wacana penganggaran ini harus bahwa hal itu
bukanlah masalah substansial jika dibandingkan dengan kerja-kerja konkret
memantapkan basis pembangunan nasional secara menyeluruh di bidang pendidikan.
[14]

9
BAB IV
KASUS

Pada kasus, Muhamad Muar (19) merupakan siswa miskin yang bersekolah di
Yayasan Bina Insan Mandiri Kota Depok. Ia terancam dicoret dari daftar mahasiswa
yang lolos Ujian Masuk Bersama (UMB) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Biaya
untuk setiap calon mahasiswa baru adalah tujuh juta rupiah, uang yang sebenarnya
cukup murah untuk sebuah pendidikan di Perguruan Tinggi di Jakarta. Namun, tidak
untuk Muar. Ia tidak punya cukup uang untuk membayar uang masuk tersebut.
Sungguh sangat ironis karena setelah program Wajib Belajar dua belas tahun yang
biayanya dijamin oleh pemerintah alias gratis, lalu tidak ada jaminan lagi kepada
seorang anak atau seorang warga negara untuk melanjutkan pendidikan. Seolah-olah
mereka dipaksa untuk bekerja, padahal lapangan pekerjaan tidak banyak, dan dengan
bekal pendidikan yang hanya sampai Sekolah Menengah Umum (SMU) atau Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) sulit sekali bagi Muar dan kawan-kawannya yang
senasib untuk memperoleh bantuan pinjaman modal dari bank maupun lembaga
lainnya. Harapan terakhir adalah beasiswa, namun nampaknya akan sulit bagi seorang
mantan penjual kantong plastik yang lulus dari sekolah Yayasan Bina Insan Mandiri
dengan predikat prestasi ’hanya’ memuaskan untuk mendapat beasiswa dari sebuah
Yayasan maupun Lembaga pendidikan lainnya. Hanya tinggal menunggu belas
kasihan atau keajaiban.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 34 sebagai dasar hukum bagi program Wajib Belajar dua belas tahun, tidak
mengatur mekanisme penyelenggaraan pendidikan gratis setelah dua belas tahun atau
setelah Sekolah Menengah Umum (SMU) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
walaupun pada pasal 31 UUD NRI 1945 dikatakan bahwa ”Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan” dan pada pasal 34 UUD NRI 1945 dikatakan juga
bahwa ”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

10
Berkaitan dengan kasus, pemerintah sebagai pelaksana konstitusi dan peraturan
perundang-undangan perlu bekerja keras dan berusaha untuk menjamin masa depan
pendidikan anak di Indonesia ini.

11
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah pendidikan anak tidak semata-mata bisa dipandang dari segi yuridis saja.
Perlu juga pendekatan yang lebih luas yaitu dari segi ekonomi, sosial, dan budaya.
Seharusnya pendidikan adalah hak setiap rakyat Indonesia. Berdasarkan berbagai
peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, termasuk konstitusi, pendidikan
dijelaskan merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia; termasuk anak
terlantar, anak jalanan, anak kurang mampu, dsb. Namun, pada kenyataannya,
kelompok tersebut belum mendapat akses pendidikan yang merata dan adil. Justru
kenyataannya tidak semua dari mereka dapat mengakses hak mereka. Alasannya
karena keterbatasan biaya dari pemerintah. Hal ini tentu kontradiktif dengan amanah
yang tercantum dalam UUD 1945 mengenai hak setiap rakyat dalam mendapatkan
pendidikan. Kasus putus sekolah memang menjadi masalah yang serius, padahal kita
ketahui pendidikan sebagaimana Herbison dan Myers ungkapkan, jika suatu negara
tidak dapat mengembangkan sumber daya manusianya melalui pendidikan, maka
negara tersebut tidak dapat mengembangkan apa pun, baik sistem politik serta
kesatuan bangsa dan kemakmuran rakyatnya. Artinya, kegagalan suatu bangsa dan
hancurnya peradaban adalah kegagalan dunia pendidikannya. Nasib bangsa kita di
masa depan, akan terlihat dari bagaimana mengembangkan pendidikan bagi generasi
dan anak-anak bangsa itu sendiri.
Program Wajib Belajar 12 Tahun belum akan diterapkan secara nasional karena
beban anggaran pendidikan yang belum cukup. Pemerintah memilih untuk lebih
bekonsentrasi meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah. setelah
program Wajib Belajar dua belas tahun yang biayanya dijamin oleh pemerintah alias
gratis, lalu tidak ada jaminan lagi kepada seorang anak atau seorang warga negara
untuk melanjutkan pendidikan. Seolah-olah mereka dipaksa untuk bekerja, padahal

12
lapangan pekerjaan tidak banyak. Belum ada kepastian hukum mengenai hal ini.
Wajib Belajar 12 Tahun saja belum diterapkan secara nasional, apalagi ke Perguruan
Tinggi.

B. Saran

Adapun saran yang diajukan adalah sebagai berikut:


         Mewajibkan kepada Perguruan Tinggi Negeri untuk meringankan biaya bahkan
membebaskan biaya kepada calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu.
         Memberikan sanksi tegas kepada Perguruan Tinggi yang tidak memberikan akses
kepada para calon mahasiswanya yang tidak mampu.

DAFTAR PUSTAKA

13
Mamudji, Sri, et. al.Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Hakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Muhtaj, Majda El. Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonmi, Sosial dan Budaya.
Ed. 1. Jakarta: Rajawali Pers. 2008.
Nusantara, Abdul Hakim. “Prospek Perlindungan Anak”, dalam Mulyana W. Kusumah
(Peny.), Hukum dan Hak-hak Anak. Jakarta: YLBHI bekerja sama dengan CV
Rajawali, 1986.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), 1986.
________________ dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan
Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
________, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,  UU No. 20 Tahun 2003
________, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002,
________, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979,
http://edukasi.kompas.com/read/2009/10/29/1920052/wajib.belajar.12.tahun.dirasa.masi
h.berat
http://kumpulan.info/keluarga/anak/40-anak/192-pendidikan-yang-baik-untuk-anak.html

14

Anda mungkin juga menyukai