Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

WAJIB BELAJAR DIHADAPKAN DENGAN PENDIDIKAN ELITIS DAN


PENDIDIKAN POPULIS
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Isu Kontemporer Pendidikan
Dosen Pengampu : Sukarsih

Disusun Oleh :
Achmad Miftakhul Huda (18.03.0724)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HUSAIN SYUBBANUL WATHAN


MAGELANG 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti
oleh warga Negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah
daerah.1 Bahwa sudah menjadi kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah
daerah untuk dapat menyelenggarakan program pendidikan wajib belajar yaitu
pendidikan di tingkat dasar dan pendidikan di tingkat pertama sesuai dengan
konstitusi negara Indonesia.
Hak untuk memperoleh pendidikan dasar adalah hak setiap warga
negara sebagaimana diatur dalam konstitusi, dan pemenuhan terhadap hak
tersebut adalah penghargaan besar bagi hak asasi manusia. Untuk itu sudah
sepatutnya pemerintah konsekuen dan konsisten dalam mengalokasikan
anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
sebagaimana diamanat konstitusi. Namun bila hak untuk memperoleh
pendidikan dasar tersebut tidak terpenuhi maka akan menambah panjang
deretan kebodohan di tanah air. Perlu kita pahami bahwa kebodohan adalah
sumber penindasan bagi umat manusia, jika sampai dengan saat ini negara
tidak melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi hak warga negaranya
untuk memperoleh pendidikan dasar, maka negara telah melakukan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan pelanggaran konstitusi.2
Pendidikan Nasional adalah salah satu sarana pemerintah untuk
mewujudakan cita-cita bangsa dan negara. Sebagai yang diamanatkan dalam
pembukaan Unadang-Undang Dasar 1945 yaitu : “… mencerdaskan kehidupan
dangsa”. Diamanatkan dalam Undang-Undang RI Pasal 31 yang berbunyi : 1)
Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, dan 2) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan suatu system pelajaran nasional, yang
diatur dengan Undang-Undang.3
Dramaningtyas mengatakan bahwa dinegara-negara maju seperti Amerika
Serikat, permasalahan muncul sebagai akibat besarnya subsidi yang
diperuntukkan oleh orang-orang miskin, sedangkan dinegara-negara miskin,
seperti Indonesia, permasalahannya terletak pada ketidak adilan dalam
1
Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, LN No. 78, TLN 4301.
2
https://media.neliti.com/media/publications/110344-ID-hak-warga-negara-dalam-memperoleh-
pendid.pdf diakses pada tanggal 7/11 (19.45 WIB)
3
H. Soedijarto, “Pendidikan Yang Mencerdasakan Kehiduopan Bangsa dan Memajukan
kehidupan Kebudayaan nasional Indonesia“, dalam A. Ferry T Indratno, Kurikulum Yang
Mencerdaskan: Visis 2030 dan pendidikan Alternatif (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2008),
hlm. 10-11
memperoleh akses pendidikan antara orang kaya dan orang miskin.
Realitasnya, biaya menyekolahkan anak kaya maupun miskin dalam sistem
pendidikan nasionalm itu sama, bahkan cenderung lebih mahal bagi kaum
miskin. Hal ini disebabkan sekolah-sekolah negeri, hampir 90 persen diduduki
oleh mayoritas anak-anak orang kaya (kelas menengah). Sebaliknya, anak-
anak buruh pabrik, buruh kasar, buruh banguanan, nelayan, pemulung, buruh
tani, petani, dan lain-lain justru sekolah di sekolah swasta kecil yang
pembiayaannya 90 persen ditanggung sendiri. Dengan demikian,orang-orang
kaya di Indonesia justru membayar pendidikan lebih kecil, sedangkan orang-
orang miskin harus membayar biaya pendidikan jauh lebih banyak.4
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Elitis?
2. Bagaiamana Pendidikan Elitis Di Indonesia?
3. Apa yang dikmaksud dengan Pendidikan Populis?
4. Bagaimana Pendidikan Populis Di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dan pengertian Pendidikan Elitis.
2. Untuk mengetahui Pendidikan Elitis di Indonesia.
3. Untuk mengetahui maksud dan pengertian Pendidikan Populis.
4. Untuk mengetahui Pendidikan Populis di Indonesia.

BAB II
4
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, (Yogyakarta : LkiS, 2009) Cet, IV, hlm. 326
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Elite
Arti kata elitis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah eli.tis (1) terpilih; terpandang (tt kelompok dl masyarakat); (2)
berhubungan dng kelompok elite dl masyarakat: komunikasi merupakan syarat
esensial bagi terciptanya prasyarat tumbuhnya kegiatan bersama yg terbuka, yg
tidak bersifat.5 Dalam sudut pandang orang, kata elitis menjadi sebuah paham
yaitu elitisme. Elitisme adalah sebuah konsep yang berasal dari kata “elite” yang
berarti “kelompok kecil orang-orang yang mempunyai derajat tinggi, orang-orang
terhormat; orang-orang terbaik; sesuatu yang dianggap paling baik atau mewah
(tentang sesuatu benda atau barang)”.6
Secara umum Elitisme adalah keyakinan atau sikap yang beberapa
individu, yang merupakan-elit kelompok memilih orang dengan keturunan
tertentu, kualitas intrinsik atau nilai, kecerdasan yang lebih tinggi, kekayaan,
pelatihan atau pengalaman khusus, atau khusus lainnya atribut-adalah mereka
yang mempengaruhi atau otoritas lebih besar daripada orang lain, yang
pandangan mengenai suatu hal yang harus diambil paling serius atau membawa
paling berat, yang pandangan atau tindakan yang paling mungkin untuk menjadi
konstruktif bagi masyarakat secara keseluruhan, atau yang luar biasa
keterampilan, kemampuan, atau kebijaksanaan membuat mereka terutama cocok
untuk memerintah.
Pendidikan elitis merupakan pendidikan yang hanya diperuntukan kepada
orang-orang menengah keatas, dalam artia memiliki kemampuan untuk
menyekolahkan anaknya di sekolah negeri yang ternama. Berdasarkan UUD,
Pendidikan tidak hanya bagi kaum elit saja tetapi pendidikan seharusnya bisa
merata bagi seluruh seluruh aspek masyarakat. Untuk itu pemerintah daerah dan
pusat agar memperhatikan siswa yang tidak mampu, kususnya dari segi
perekonomian. Pemerintah hendaknya tidak menyamaratakan  bantuan kepada
seluruh siswa tetapi memberikan skala prioritas sebagai siswa yang benar-benar
membutuhkan.
B. Pendidikan Elitis Sekolah Di Indonesia
Sekolah/madrasah unggulan muncul berangkat dari keinginan untuk
menciptakan madrasah yang menjadi center of exellence (pusat keunggulan)
untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap pakai di masa depan
Hal ini dikarenakan, selama ini tampak bahwa mutu pendidikan nasional belum
merata. Adanya madrasah unggulan, kata (Maimun dan Fitri), dapat membekali
peserta didik dengan pengalaman belajar yang berkualitas, dengan sendirinya

5
https://cekpajak.co.id/blog/arti-kata-elitis-adalah/
6
https://seputarpengertian.blogspot.com/2018/10/pengertian-elitisme.html
mereka mempunyai peluang yang lebih besar untuk memasuki jenjang
pendidikan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihannya.7
Maemun dan Fitri juga menyatakan bahwa, sekolah/madrasah unggulan
dipandang memiliki peluang besar untuk memenuhi tuntutan masyarakat dengan
beberapa alasan sebagai berikut:
1. Pertama, terjadinya mobilitas sosial (yakni munculnya masyarakat menengah
baru terutama kaum intelektual yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan
pesat),
2. Kedua, munculnya kesadaran baru dalam beragama (santrinisasi), terutama
pada masyarakat perkotaan kelompok menengah atas, sebagai akibat dari
proses re-islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi
keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang dilakukan secara perorangan,
dan ketiga, yaitu arus globalisasi dan modernisasi yang demikian cepat perlu
disikapi secara arif.8
Perkembangan sekolah/madrasah unggulan ini tentunya tidak bisa
dipisahkan dari program sekolah/madrasah berstandar internasional yang
dicanangkan pemerintah. Seperti diungkapkan oleh Zainal Aqib bahwa
penyelenggaraan pendidikan yang berstandar internasional pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah selanjutnya disebut dengan Sekolah Berstandar
Internasional (SBI) dilatar belakangi oleh alasan-alasan sebagai berikut:9
1. Pertama, era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam
teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia;
2. Kedua, dalam upaya peningkatan mutu, efisiensi, relevansi, dan daya saing
yang kuat, pemerintah dalam penyelenggaraan SBI memberikan beberapa
landasan yang kuat, yaitu :
a. UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa
“pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-
kurangnya satu satuan pendidikan. Pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi pendidikan berstandar internasional.”,
b. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP),
c. UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional Tahun
2008- 2025 yang menetapkan tahapan skala prioritas utama dalam Rencana

7
Agus Maimun dan Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan: Lembaga Pendidikan Alternatif di
Era Kompetitif, hlm. 10-11
8
Ibid., hlm. 11-12
9
Zainal Aqib, Membangun Prestise Sekolah Berstandar Nasional (SSN) dan Sekolah Berstandar
Internasional (SBI) (Bandung: Yrama Widya, 2010), hlm.74-78
Pembangunan Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 yaitu untuk
meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap layanan pendidikan.
3. Ketiga, penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan
esensialisme (fungsionalisme).
4. Keempat, Direktorat PSMP mengelompokkan SMP menjadi empat kelompok,
yaitu sekolah rintisan, sekolah potensial, skolah standar nasional, dan sekolah
berstandar internasional.
5. Kelima, sejak tahun 2004 Direktorat PSMP telah menetapkan beberapa SMP
sebagai sekolah koalisi27 di setiap Provinsi. Dan,
6. Keenam, pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan beberapa siswa
Indonesia mampu bersaing dalam lomba bidang matematika, sains serta
bidangbidang non-akademik tingkat internasional.
Sekolah/madrasah unggulan berstandar internasional diharapkan dapat
memperbaiki mutu pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Maka, sejak 2006,
mulailah tampak berdiri RSBI di beberapa kota/kabupaten. Hingga saat ini,
menurut catatan Triwiyanto dan Sobri, sekolah RSBI di Indonesia (tahun 2010)
berjumlah 1.110 sekolah. Jumlah ini terdiri dari 997 sekolah negeri dan 113
sekolah swasta. Dari jumlah tersebut, jumlah SD RSBI tercatat sebanyak 195
sekolah, SMP RSBI sebanyak 299 sekolah, SMA RSBI sebanyak 321 sekolah,
dan SMK RSBI sebanya 295 sekolah.
Selain itu sebagai dampak beban akreditasi SBI ini, terutama dari segi
pembiayaannya menjadikan sekolah mencari jalan pintas, yaitu menarik biaya
pendidikan lebih tinggi kepada orangtua peserta didik. Padahal, tingginya biaya
pendidikan mungkin saja tidak sebanding dengan manfaat yang diterima oleh
peserta didik, baik itu manfaat sosial maupun manfaat ekonomi. Manfaat sosial,
contohnya perilaku kehidupan peserta didik setelah menyelesaikan
pembelajarannya, sementara manfaat ekonomi dapat dilihat sebanding atau tidak
dengan pendapatan yang diterima seseorang setelah lulus dari sebuah jenjang
pendidikan dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk
menyelesaikannya.10
Karena itu, maka sekolah/madrasah unggulan menjadi lembaga
pendidikan yang mahal. Sekolah/madrasah unggulan menjadi sebuah pranata
sosial yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir manusia yang berkantong tebal
dan berotak “Habibie”. Mereka (anak-anak) yang kantongnya tipis, tidak
didukung oleh finansial yang memadai, kecerdasan yang pas-pasan, dan motivasi
yang lemah semakin tertinggal jauh dari pendidikan yang bermutu. Alhasil,
agenda pendidikan nasional untuk peningkatan kualitas pendidikan melalui
10
Teguh Triwiyanto dan Ahmad Yusuf Sobri, Panduan Mengelola Sekolah Berstandar
Internasional, hlm. 56
Standar Nasional Pendidikan hanya akan menjadi isapan jempol belaka, bagi
masyarakat kecil.
C. Pengertian Pendidikan Populis
Berawal dari Bahasa Romania “Populis” yang artinya adalah Rakyat, serta
Bahasa latinnya adalah Pous yang sama artinya dengan Populis. Arti kata populis
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah po.pu.lis artinya penganut
paham populisme.11
Populisme adalah sejumlah pendekatan politik yang dengan sengaja
menyebut kepentingan "rakyat" yang sering kali dilawankan dengan kepentingan
suatu kelompok yang disebut "elit". Populisme memiliki berbagai macam
definisi, dan istilah ini sendiri berkembang pada abad ke-19 dan semenjak itu
maknanya berubah-ubah. Dengan kata lain populisme merupakan paham yang
lebih mementingkat dan menjunjung kepentingan rakyat kecil.
Populisme pada dasarnya adalah variasi metode pendekatan politik yang
bertujuan untuk menarik dukungan dari masyarakat yang merasa aspirasinya
tidak diperhatikan oleh pemerintah saat itu. Dalam ilmu politik, populisme
menggambarkan suatu masyarakat yang terbagi menjadi dua kelompok: “the
pure people” (the good) dan “the corrupt elite” (the bad). Istilah ini sebenarnya
jarang sekali digunakan pada abad ke-20 dan baru diteliti dengan aktif pada tahun
1990 an. Hanya setelah Donald Trump menjadi populer di tengah
kampanyenyalah istilah ini marak digunakan di diskusi keseharian. Statistik
Google Trend menunjukan bulan Januari 2017, saat pelantikkan berlangsung,
adalah periode dimana pencarian kata ‘populisme’ tertinggi sampai hari ini.12
Pendidikan populis merupakan pendidikan yang lebih mementingkan
rakyat kecil, biasanya rakyat yang tergolong tidak mampu mereka akan mendapat
pendidikan dengan biaya lebih murah.
D. Pendidikan Populis Di Indonesia
Arus pemikiran ke-3, kerakyatan/populisme, yang sebenarnya
diamanatkan kuat sekali dalam Pasal 33 UUD 1945 (dan pasal 22 UUD 2002),
dan ideology Pancasila, selalu kurang bergema karena kurang LSM di Indonesia
dan dominannya ternoktrat ekonomi sejak masa Orde Baru. Sejak Reformasi
yang menghancurkan Orde Baru, yang dapat dikatakan belum berhasil, arus
kerakyatan pemikiran/populisme semakin kuat dan secara eksplisit ditegaskan
dalam Tap-Tap MPR dan UU tentang Propenas, yaitu sistem ekonomi
kerakyatan.

11
https://cekpajak.co.id/blog/arti-kata-populis-adalah/
12
Mudde, Cas. (2018, November 22). How populism became the concept that defines our age.
The Guardian. Diakses dari https://www.theguardian.com/commentisfree/2018/nov/22/populism-
concept-defines-our-age
Pendidikan populis yang memiliki makna kerakyatan sangat penting
untuk ditanamkan pada diri masyarakat Indonesia. Dengan tidak terlepas dari
Pancasila sebagai ideology dasar negara yang memiliki nilai-nilai
instrumentaldan berlandaskan kebudayaan Indonesia, diharapkan dapat terus
mementingkan keadaan rakyat kecil untuk kemajuan dan kesejahteraan Republik
Indonesia.
Banyak negara berusaha melaksanakan program pembangunan, termasuk
pendidikan, dengan arah dan sasaran yang beragam. David C. Korten
menjelaskan bahwa melalui perspektif People Centered Development (PCD) arah
dan sasaran pembangunan pendidikan untuk mendukung pemerataan dan
pertumbuhan dalam rangka kelangsungan pembangunan, sehingga yang lebih
penting dalam pembangunan pendidikan adalah segi transformasi kelembagaan,
nilai, teknologi, perilaku manusia yang konsisten terhadap kualiatas kehidupan
sosial dan lingkungannya. Maka aktivitas yang menjadi andalannya adalah: social
service, social learning, empowerment, capacity and institutional building. Upaya
pembangunan sosial, pengembangan kelembagaan dan pendidikan sosial dalam
rangka menumbuhkan partisipasi, kemandirian, etos kerja, sangat konsisten bagi
pembangunan yang berwawasan kualitas sumberdaya manusia adalah menjadi
sangat penting.
Mengingat Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemiskinan yang
tinggi, maka hubungan pendidikan populis dengan wajib belajar menjadi sebuah
kecocokan jika pemerintah menyadari akan pentingnya tuntutan belajar bagi
selaruh masyarakat Indonesia, karena dengan pendidikan populis / pendidikan
yang memasyarakat, masyarakat kecil dapat melanjutkan hingga jenjang yang
telah diatur oleh pemerintah. Banyak sekolah swasta di Indonesia yang sadar
akan hal tersebut, sehingga bersyukur masih banya anak-anak dari golongan
menegah kebawah yang pantas mendapat pendidikan lebih layak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan elitis merupakan pendidikan yang hanya diperuntukan kepada
orang-orang menengah keatas, dalam artia memiliki kemampuan untuk
menyekolahkan anaknya di sekolah negeri yang ternama. Berdasarkan UUD,
Pendidikan tidak hanya bagi kaum elit saja tetapi pendidikan seharusnya bisa
merata bagi seluruh seluruh aspek masyarakat. Untuk itu pemerintah daerah dan
pusat agar memperhatikan siswa yang tidak mampu, kususnya dari segi
perekonomian. Pemerintah hendaknya tidak menyamaratakan  bantuan kepada
seluruh siswa tetapi memberikan skala prioritas sebagai siswa yang benar-benar
membutuhkan.
Dampak beban akreditasi SBI ini, terutama dari segi pembiayaannya
menjadikan sekolah mencari jalan pintas, yaitu menarik biaya pendidikan lebih
tinggi kepada orangtua peserta didik. Padahal, tingginya biaya pendidikan
mungkin saja tidak sebanding dengan manfaat yang diterima oleh peserta didik,
baik itu manfaat sosial maupun manfaat ekonomi. Manfaat sosial, contohnya
perilaku kehidupan peserta didik setelah menyelesaikan pembelajarannya,
sementara manfaat ekonomi dapat dilihat sebanding atau tidak dengan
pendapatan yang diterima seseorang setelah lulus dari sebuah jenjang pendidikan
dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikannya.
Populisme adalah sejumlah pendekatan politik yang dengan sengaja
menyebut kepentingan "rakyat" yang sering kali dilawankan dengan kepentingan
suatu kelompok yang disebut "elit". Populisme memiliki berbagai macam
definisi, dan istilah ini sendiri berkembang pada abad ke-19 dan semenjak itu
maknanya berubah-ubah. Dengan kata lain populisme merupakan paham yang
lebih mementingkat dan menjunjung kepentingan rakyat kecil. Pendidikan
populis merupakan pendidikan yang lebih mementingkan rakyat kecil, biasanya
rakyat yang tergolong tidak mampu, mereka akan mendapat pendidikan dengan
biaya lebih murah.
Mengingat Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemiskinan yang
tinggi, maka hubungan pendidikan populis dengan wajib belajar menjadi sebuah
kecocokan jika pemerintah menyadari akan pentingnya tuntutan belajar bagi
selaruh masyarakat Indonesia, karena dengan pendidikan populis / pendidikan
yang memasyarakat, masyarakat kecil dapat melanjutkan hingga jenjang yang
telah diatur oleh pemerintah. Banyak sekolah swasta di Indonesia yang sadar
akan hal tersebut, sehingga bersyukur masih banya anak-anak dari golongan
menegah kebawah yang pantas mendapat pendidikan lebih layak.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, LN No. 78, TLN 4301.
https://media.neliti.com/media/publications/110344-ID-hak-warga-negara-dalam-
memperoleh-pendid.pdf diakses pada tanggal 7/11 (19.45 WIB)
H. Soedijarto, “Pendidikan Yang Mencerdasakan Kehiduopan Bangsa dan
Memajukan kehidupan Kebudayaan nasional Indonesia“, dalam A. Ferry
T Indratno, Kurikulum Yang Mencerdaskan: Visis 2030 dan pendidikan
Alternatif (Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2008), hlm. 10-11
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, (Yogyakarta : LkiS, 2009) Cet, IV,
hlm. 326
https://cekpajak.co.id/blog/arti-kata-elitis-adalah/
https://seputarpengertian.blogspot.com/2018/10/pengertian-elitisme.html
Agus Maimun dan Agus Zaenul Fitri, Madrasah Unggulan: Lembaga Pendidikan
Alternatif di Era Kompetitif, hlm. 10-12
Zainal Aqib, Membangun Prestise Sekolah Berstandar Nasional (SSN) dan
Sekolah Berstandar Internasional (SBI) (Bandung: Yrama Widya, 2010),
hlm.74-78
Teguh Triwiyanto dan Ahmad Yusuf Sobri, Panduan Mengelola Sekolah
Berstandar Internasional, hlm. 56
https://cekpajak.co.id/blog/arti-kata-populis-adalah/
Mudde, Cas. (2018, November 22). How populism became the concept that
defines our age. The Guardian. Diakses dari
https://www.theguardian.com/commentisfree/2018/nov/22/populism-
concept-defines-our-age

Anda mungkin juga menyukai