Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan,
sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tidak akan bisa maju selama belum
memperbaiki kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsadapat
meningkat jika ditunjang dengan sistem pendidikan yang mapan. Dengan
sistem pendidikan yang mapan, memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif, dan produktif.
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat
yang cerdas. Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar.
Masyarakat belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan danketerampilan
mendengar dan minat baca yang besar. Apabila membaca sudahmerupakan kebiasaan dan
membudaya dalam masyarakat, maka jelas buku tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari dan merupakan kebutuhan pokok yangharus dipenuhi. Pendidikan di Indonesia
adalah seluruh pendidikan yang diselenggarakan diIndonesia, baik itu secara terstruktur
maupun tidak terstruktur. Secara terstruktur, pendidikan di Indonesia menjadi tanggung
jawab Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Kemdiknas), dahulu
bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Depdikbud). Di
Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar
selama sembilan tahun, enamtahun disekolah dasar /madrasah ibtidaiyahdan tiga tahun
disekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah.Saat ini, pendidikan di Indonesia
diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Pendidikan merupakan hak setiap manusia di dunia karena pada dasarnya
pendidikan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Di
indonesia, hak manusia untuk memperoleh pendidikan dicantumkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 31 yang berbunyi pendidikan adalah hak bagi setiap warga
negara. Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menunjukkan bahwa negara mempunyai
kewajiban dan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pendidikan tiap-tiap warga
negara. Pendidikan diperlukan oleh manusia agar secara fungsional manusia diharapkan
mampu memiliki kecerdasan baik kecerdasan intelligence, spiritual maupun emotional

1
untuk menjalani kehidupannya dengan bertanggung jawab, baik secara pribadi, sosial
maupun profesional.
Menurut Undang-undang No.20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 yang
dimaksuddengan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri,kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Undang-undang No.20
Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 yang dimaksuddengan Pendidikan Nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila danUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar padanilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman.
Sistem pendidikan dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 2 tahun 1989 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Sisdiknas dapat
mencerminkan baik atau sistem pendidikan yang ada karena Undang-Undang Sisdiknas
berisi bagaimana tujuan, visi, misi, hingga mekanisme prosedural pendidikan diatur,
dengan tidak melepaskan konteks sosial politik saat itu dan masa depan. Pendidikan
nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokraris serta bertanggung
jawab.Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem pendidikan Indonesia yang telah di bagun dari dulu sampai sekarang ini,
teryata masih belum mampu sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan global
untuk masa yang akan datang, Program pemerataan dan peningkatan kulitas pendidikan
yang selama ini menjadi focus pembinaan masih menjadi masalah yang menonjol dalam
dunia pendidikan di Indonesia ini. Sementara itu jumlah penduduk usia pendidikan dasar
yang berada di luar dari sistem pendidikan nasional ini masih sangatlah banyak
jumlahnya, dunia pendidikan kita masih berhadapan dengan berbagai masalah internal

2
yang mendasar dan bersifat komplek, selain itu pula bangsa Indonesia ini masih
menghadapi sejumlah problematika yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan
mendasar sampai pendidikan tinggi.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh yang di harapkan, menurut hasil
penelitian The political and economic rick consultacy ( PERC ) medio September 2001,
dinyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia ini berada di urutan 12 dari 12 negara
di asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam, dan berdasarkan hasil pembangunan PBB (
UNDP ) pada tahun 2000, Kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 174
negara.
Undang-undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat (1) tentang hak setiap Warga Negara
Indonesia untuk memperoleh pendidikan, sesungguhnya telah mengamanatkan bahwa
segenap masyarakat Indonesia harus mendapat pendidikan yang merata dan adil.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Pendidikan No.20 tahun 2003, juga menyiratkan
bahwa pendidikan yang ada seharusnya mampu memanusiakan manusia Indonesia
menjadi manusia yang utuh, yakni masyarakat yang cerdas, berbudi luhur , berhaklak
mulia serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Antara Undang-undang 1945 dan Undang-Undang Pendidikan no. 20 tahun
2003 memiliki keterkaitan yang erat. Maka penting bagi Pemerintah untuk
memperhatikan aspek pendidikan bagi bangsa ini, agar rakyat Indonesia dapat maju,
berkembang dan kompetitif di tengah pesatnya laju peradaban dunia saat ini.
Pertanyaannya apakah antara cita-cita luhur yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar
tahun 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sudah dilaksanakan
dengan baik dan telah dinikmati oleh segenap rakyat Indonesia?
Ada banyak persoalan terkait dengan kualitas pendidikan bangsa Indonesia ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa maraknya demo yang bermunculan di tengah hiruk-pikuk
menurunnya rasa sosial dan moralitas bangsa kita ini, bertebarannya kritikan-kritikan
pedas yang lahir dari para praktisi dan elemen masyarakat yang peduli terhadap kualitas
pendidikan bangsa ini, menunjukkan betapa bobroknya kualitas pendidikan bangsa kita
ini. Pendidikan yang baik adalah saripati dari sebuah proses pencerdasan sebuah bangsa.
Namun tatkala terjadi distorsi di wilayah pendidikan, khususnya pendidikan nilai dan
moral, ini adalah indikasi mulai hancurnya peradaban sebuah bangsa. Dengan kata lain ini
adalah pratanda bahwa negeri yang sedemikian itu sudah tidak cerdas lagi dalam menata
dan mengelola bangsanya. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan Sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia, merasa prihatin dengan kondisi ini. Ada apa dengan pendidikan

3
Indonesia. Bagaimana sesungguhnya visi dan misi pendidikan kita ini? Mau diapakan
bangsa ini. Tetap apatis, berjalan di tempat, atau dibuat melangkah maju namun tanpa
arah dan tujuan yang jelas?
Para lulusan anak-anak bangsa ini, mulai celepotan. Setelah menamatkan tertentu,
mereka kebingungan mencari peluang kerja. Banyak yang mampu menamatkan
pendidikan, namun yang menganggur jauh lebih banyak. Apakah ini tujuan pendidikan
sesungguhnya?. Tentu tidak. Pendidikan bertujuan mengentaskan kemiskinan yang
berawal dari akumulasi keterbelakangan dan pengangguran yang salah satu
penyebabnya adalah rendahnya mutu pendidikan itu sendiri. Realitas Pendidikan
Indonesia saat ini benar-benar berada di ambang kebingungan. Para pemegang otoritas di
bidang pendidikan, khususnya Pemerintah, tampak tidak berdaya. Muncul euporia ganti
menteri ganti kebijakan. Persoalannya, siapa berani dan punya kemampuan untuk
merubah?

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini yaitu untuk:
1. Apakah sitem pendidikan?
2. Apakah isu- isu kritis dalam pendidikan?
3. Bagaimanakah solusi dalam menghadapi isu- isu kritis dalam pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa sistem pendidikan itu, dan bagaimana sistem pendidikan di
indonesia saat ini.
2. Untuk mengetahui apa isu-isu kritis dalam sistem pendidikan di indonesia saat ini.
3. Untuk mengetahui solusi yang harus di lakukan dalam sistem pendidikan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


1. Pengertian Sistem Pendidikan Nasional
Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan nasional, Pendidikan nasional masing-
masing bangsa berdasarkan pada kondisinya dan dijiwai oleh kebudayannya.
Kebudayannya tersebut sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui
sejarah sehingga mewarnai seluruh gerak hidup suatu bangsa. Istilah sistem berasal dari
bahasa systema, yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling
berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan istilah, sistem dipakai
untuk menujukkan beberapa pengertian, salah satunya adalah sistem dapat di pakai untuk
menunjukkan sehimpunan gagasan atau ide yang tersusun dan terorganisasi sehingga
membentuk suatu kesatuan yang logis. Sistem adalah suatu kesatuan yang terdiri atas
komponen-komponen atau elemen-elemen atau unsur-unsur sebagai sumber-sumber yang
mempunyai hubungan fungsional yang teratur tidak sekedar acak, yang saling membantu
untuk mencapai suatu hasil (product ) (zaharo idris 1987).
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional disusun sedemikian rupa, meskipun
secara garis besar ada persamaan dengan sistem pendidikan nasional bangsa lain,
sehingga sesuai dengan kebutuhan akan pendidikan dari bangsa Indonesia yang secara
geografis, historis, dan kultural berciri khas. Sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional (Pasal 1 butir 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional) Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Pasal 1 butir 1). Istilah kecerdasan
yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah kecerdasan intelektual, karena kecerdasan
spiritual telah disebutkan secara eksplisit sebagai kekuatan spiritual keagamaan.
Sementara itu, pengendalian diri dalam pasal ini tentu dapat dijelaskan sebagai
kecerdasan emosional. Untuk mencapai tujuan akan disajikan materi yang meliputi: jalur,
jenjang, dan jenis program sistem pendidikan nasional, pengelolaan jalur pendidikan

5
persekolahan dan jalur pendidikan luar sekolah, serta upaya pembaruan sistem
pendidikan nasional.
Pendidikan nasional adalah suatu sistem pendidikan yang berdiri diatas landasan
dan dijiwai oleh falsafah hidup suatu bangsa dan tujuannya bersifat mengabdi kepada
kepentingan dan cita-cita nasional bangsa tersebut (menurut Sunarya 1969). Sedangkan
menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pendidikan nasional adalah suatu
usaha untuk membimbing para warga negara Indonesia menjadi Pacasila, yang
berpribadi, berdasarkan akan Ketuhanan berkesadaran masyarakat dan mampu
membudayakan alam sekitar.Tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, agar berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi sistem pendidikan nasional: untuk mengembangkan kemampuan serta
meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya
mewujudkan tujuan nasional. Pendidikan nasional itu mempunyai visi yaitu terwujudnya
sistem pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang
berkualitas, sehingga mampu dan prokatif memjawab tantangan zaman yang selalu
berubah. Pendidikan merupakan sektor sangat menentukan kualitas suatu bangsa.
Kegagalan pendidikan berimplikasi pada gagalnya suatu bangsa, keberhasilan pendidikan
juga secara otomatis membawa keberhasilan sebuah bangsa. Pada dunia pendidikan,
hendaknya memperhatikan unsur pendidikan, yang diantaranya: peserta didik, pendidik,
software, manajemen, sarana dan prasarana dan stake holder. Aset yang diperlukan dalam
pendidikan adalah sumber daya manusia yang bekualitas. Sumber daya yang berkualitas
dapat berupa dari siswa, masyarakat, maupun dari pendidik. Pelaksanaan suatu
pendidikan mempunyai fungsi, antara lain: inisiasi, inovasi, dan konservasi. Inisiasi
merupakan fungsi pendidikan untuk memulai suatu perubahan. Inovasi merupakan
wahana untuk mencapai perubahan.
2) Komponen-Komponen Sistem Pendidikan Nasional

Lepas dari sega1a variasi rumusan tujuan pendidikan yang telah dike-mukakan di
atas, pendidikan nasional merupakan suatu proses yang di-maksudkan untuk membentuk
sejumlah kemampuan manusia Indonesia dari berbagai tingkat usia dan golongan yang

6
meliputi: kemampaun kepribadian dan moralitas, kemam-puan inte1ektua1, kemampuan
sosial kemasyarakatan, kemampuan vokasional, kemampuan jasmani dan kemampuan-
kemampuan lainnya. Untuk mewujudkan tujuan yang beraneka ragam tersebut diperlukan
satuan-satuan dan jalur-jalur pen-didikan yang merupakan komponen-komponen sistem
pendidikan nasional. Komponen-komponen sistem pendidikan nasional tersebut dapat
dibagi dalam dua go1ongan besar yaitu: (1) Satuan Pendidikan Sekolah dan (2) Satuan
Pendidikan Luar Sekolah.

Satuan Pendidikan Sekolah merupakan bagian dari sistem pendi-dikan yang


bersifat formal, berjenjang dan berkesinambungan, Dilihat dari jenjangnya, pendidikan
sekolah dapat dibagi menjadi Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan
Menengah dan Pendidikan Tinggi. Dilihat dari sifatnya, pendidikan sekolah dapat
diklasifikasikan lagi menjadi pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar
biasa, pendidikan kedinasan, pendjdikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan
profesional. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi: pendidikan dalam keluar-ga,
pendidikan melalui kelompok-kelompok belajar, kursus-kursus, dan satuan-satuan
pendidikan lain yang sejenis. Pendidikan pada satuan pendidikan ini bisa bersifat informal,
formal, maupun formal. Sebenarnya masih ada lagi jenis pendidikan lain yang mempunyai
potensi untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia. Jenis pendidikan tersebut
adalah pendidikan oleh dan untuk diri sendiri atau pendidikan yang diperoleh secara
otodidak melalui membaca, memper-hatikan, bertanya, mencari tahu serta bentuk-bentuk
pendidikan informal lain yang dipero1eh dari berbagai media massa dan sumber belajar
1ainnya.

Dalam usaha untuk menyediakan kesempatan belajar yang se1uas-1uasnya bagi


setiap warga negara serta mendorong terwujudnya masya-rakat belajar melalui proses
belajar yang berlangsung seumur hidup, maka semua komponen atau satuan pendidikan
harus tersedia dan terbuka bagi semua warganegara yang memerlukan dan siap
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Begitu juga, semua satuan pendidikan harus
bekerja secara seimbang dan berinteraksi satu sama lain dalam suatu kesatuan sistenm
yang merupakan suatu kebulatan. Misalnya, di negara kita pendidikan dalam keluarga
belum memainkan peranan yang berarti. Padaha1 Iandasan yang ditanamkan dalam
keluarga sangat besar penga-ruhnya bagi proses pendidikan anak se1anjutnya. 0leh karena
itu partisipasi keluarga dalam proses pendidikan per1u ditingkatkan. Keberhasilan
komponen-komponen sistem pendidikan dalam menunaikan fungsinya juga tergantung

7
pada adanya beberapa sarana penunjang yang ikut membantu berfungsinya komponen-
kornponen atau satuan-satuan pendidikan tersebut. Beberapa di antara sarana penunjang
dalam sistem pendidikan kita ada1ah: kurikulum, tenaga kependidikan, sumberdaya
pendidikan dan pengelolaan.

3) Proses Sistem Pendidikan Nasional

Yang dimaksud proses dalam sistem pendidikan nasional adalah mekanisme kerja
dalam bentuk berbagai ketentuan, aturan, maupun prosedur yang memungkinkan seluruh
komponen sistem pendidikan (pendidikan luar sekolah dan pendidikan. sekolah untuk
berbagai jenis dan jenjang) bekerja dan menunaikan fungsi untuk mencapai tujuan yang
te1ah ditetapkan. Aturan-aturan tersebut meliputi aturan-aturan mengenai persyaratan
masuk ke dalam suatu jenjang dan/atau jenis pendidikan, mata ajaran yang dipelajari dan
untuk berapa lama dipelajari, buku-buku yang dipergunakan, prosedur dan tata cara
penyelenggaraan pengajaran termasuk metode mengajar dan sistem evaluasi yang
dipergunakan, banyaknya pertemuan dalam satu minggu, serta sejumlah aturan lain yang
menyangkut pelaksanaan proses pendidikan dan pengajaran.

Sebagian dari aturan-aturan ini ditetapkan dalam bentuk Undang-undang,


Peraturan-peraturan Pemerintah, instruksi dari pejabat pendidikan pada berbagai tingkatan
dan ketentuan-ketentuan yang dikembangkan sendiri oleh suatu satuan pendidikan baik
yang dinyatakan secara tertulis maupun tidak tertulis. Kerapkali komponen-komponen
sistem pendidikan yang ada tidak mampu menunaikan fungsinya dengan baik karena tidak
ada aturan yang menuntun proses kerjanya, atau karena aturan-aturan yang ada kurang
memadai atau seringkali berubah-ubah. Oleh karena itu, aturan-aturan yang bersifat
fundamental perlu ditetapkan dalam bentuk ketetapan yang lebih permanen sifatnya
seperti undang-undang atau peraturun-peraturan pemerintah. Tidak semua aturan
yang menuntun proses penyelenggaraan pendidikan harus diatur melalui undang-
undang atau peraturan pemerintah. Aturan-aturan yang bersifat lebih dinamis dan mudah
berubah sebaiknya ditetapkan dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang dapat diubah
dengan cepat.

B. Isu- isu Kritis dalam Sistem Pendidikan Nasional


Salah satunya mengenai isu strategis pendidikan nasional yang bersifat penting,
mendasar, mendesak, berjangka panjang, dan menentukan pencapaian tujuan
pembangunan nasional. Sedangkan isu strategis pendidikan nasional adalah masalah

8
pendidikan yang harus menjadi perhatian. Disini ada dua isu strategis yaitu, dari
pemerintah yang dikemukakan pada kurun waktu yang berbeda, yaitu pada 1970 (melalui
proyek penilaian nasional pendidikan (PPNP) dan tahun 2005 (Restra Depdiknas 2005-
2009), dan ahli senior di bidang pendidikan. Pertama, versi pemerintah pada tahun
1969/1970 dibentuk melalui proyek penilaian nasional pendidikan (PPNP) yang
merumuskan masalah pokok pendidikan Indonesia dan menemukan empat masalah
pokok: pemerataan, mutu, relevansi dan efiensi pendidikan.
Pada saat ini, pemerintah melalui Depdiknas mengedapankan tiga masalah pokok
atau isu strategis pendidikan nasional Indonesia, yaitu berkenaan dengan masalah:
pemerataan dan perluasaan pendidikan, mutu dan relevansi pendidikan, dan akuntabilitas.
Kedua, versi para pakar. Sejumlah ahli pendidikan tinggi yang senior di Indonesia
mempunyai pandangan tentang masalah strategis bagi pendidikan nasional Indonesia.
Sedangkan Tila'ar berpendapat bahwa, ada delapan masalah pendidikan yang harus
menjadi perhatian. Kedelapan masalah itu menyangkut kebijakan pendidikan,
perkembangan anak Indonesia, guru, relevansi pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan,
manajemen pendidikan, dan pembiayaan pendidikan. Menurutnya, permasalahan tersebut
sebetulnya telah terindentifikasi data skala berbeda dalam penelitian nasional pendidikan
(PNP) pada tahun 1969 saat sekitar 100 pakar pendidikan dari seluruh Indonesia
berkumpul di Cipayung. Namun, setelah lebih dari 30 tahun berlalu, perubahan belum
banyak. Dengan pandangan tersebut, bahwa isu-isu strategis dapat dikelompokkan
menjadi tiga bagian, yaitu pemerataan pendidikan, mutu pendidikan (termasuk
didalamnya perkembangan anak guru, relevansi), dan manajemen pendidikan (termasuk
kebijakan pendidikan, efisiensi pendidikan dan pembiayaan pendidikan). Sementara
"filsafat pendidikan" dikelompokkan bukan sebagai isu, namun sebagai pondasi dari
penanganan isu-isu strategis tersebut, karena filsafat merupakan dasar pijakan yang
dipilih untuk menentukan pilihan-pilihan mulai dari politis, strategis dan praktis.
Pemerataan pendidikan telah berkenan dengan seberapa luas pendidikan telah
menjangkau seluruh warga Negara? Mutu pendidikan berkenan dengan seberapa
mendalam pendidikan memberikan nilai tambah kepada para peserta didik? khususnya
guru dan murid. Manajemen pendidikan berkenan dengan pengelolaan institusi
pendidikan sehingga pencapaian tujuan kelembagaan. Pemerataan berkenaan dengan
pertanyaan siapa yang memperoleh, apakah semua sudah mendapatkannya, mutu
berkenaan dengan apa yang diberikan sehingga memberikan nilai, dan manajemen
berkenaan dengan pertanyaan bagaimana dikelola sehingga mencapai hasil? Ada

9
pernyataan umum bahwa, pendidikan nasional tidak mewakili prestasi yang berkualitas
pada tingkat internasional terutama pada tingkat Negara Asian bahkan urutan pendidikan
bangsa kita memasuki ranking yang sangat memperhatinkan. Dengan demikian, sumber
daya manusia didalam dunia pendidikan jauh ketinggalan dengan pendidikan Negara-
negara tetangga, maka dengan analisis tersebut perlu adanya reformasi pendidikan untuk
meningkatkan kembali terhadap kualitas pendidikan nasional secara kritis dan
transformatif. Ini bisa dilihat mulai sejak pergantian kebijakan kementerian dari tahun
ketahun pendidikan selalu mengalami penurunan. Apa yang menjadi penyebab dari
menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Ada tiga indikasi dan alasan yang mengakibatkan penurunnya kualitas pendidikan
nasional. Pertama, kebijakan pendidikan Indonesia tidak mempunyai visi yang jelas.
Pergantian kurikulum sebanyak enam kali, yaitu kurikulum pada menteri-menteri
pendidikan mulai sejak Suwandi (1947), Mashuri (1968), Syarif Thajeb (1975), Nogroho
Notosusanto (1984), Wardiman Djojonegoro (1994), dan Malik Fajdar (2004). Dengan
alasan ini, kurikulum nasional tidak memberikan prestasi pendidikan nasional yang
tinggi. Sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh majalah kompas bahwa: "Praksis
pendidikan di Negeri ini tidak pernah lekang dari uji coba. Kebijakan dan kebijaksanaan
gampang berubah. Kurikulum yang seharusnya tidak gampang berubah tanpa menisbikan
faktor fleksibilitas sebagai keharusan perlu diakui praksis pendidikan selama ini minus
visi. Akibat berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan seolah-olah sebagai kebijakan
instan dan kurang disadari atas pertimbangan pedagogis-edukatif". Kedua, pendidikan
Indonesia menuju bentuk yang involutif, atau "jalan ditempat", ilmplikasinya prestasi
pendidikan bangsa Indonesia tidak bisa meningkat dari 60 tahun usia Indonesia merdeka
masih rendah dibandingkan dengan Negara-negara tetangga. Walaupun terdapat putra
Indonesia yang menjadi putra olimpiade ilmu pengetahuan dunia, namun indeks
pembangunan manusia Indonesia (HDI) Indonesia masih berada pada ranking 111 dari
177 negara anggota PBB. Menurut laporan dari International Association For The
Evaluation or Educational Achievement (IEA) yang berdasarkan hasil studi Trends In
Internastional Mathematic And Science Study (TIMSS) pendidikan nasional
menunjukkan bahwa untuk bidang matematika, siswa sekolah menengah pertama kelas II
di Indonesia berada pada peringkat ke-34 dari 45 negara. Ketiga, kondisi sarana
pendukung infrastruktur pendidikan yang bermutu memperhatinkan. Pada tahun 2008
dilaporkan 202.607 ruang kelas SD di Indonesia rusak berat, 8.819 ruang kelas SMA di
Indonesia rusak berat, 1.195 ruang kelas SD di Indonesia rusak berat, 734 ruang kelas

10
SMK di Indonesia rusak berat. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan anggaran dalam
meningkatkan pendidikan semaksimal mungkin sebanyak 20% total dari APBN yang
telah diamanatkan dalam undang-undang 1945. kondisi ini sangat temporal akan
terjadinya kerusakan sarana pendidikan lembaga formal untuk meningkatkan lebih seriuas
yang harus ditangani oleh pemerintah daerah setempat. Sehingga proses pembelajaran
pendidikan berjalan secara langsung sebagaimana mestinya. Dengan kebijakan
pendidikan nasional selalu intervensi dengan politik pendidikan penguasa, maka akan
melahirkan kebijakan yang tidak jelas arah dan oreintasinya. Salah satu bukti perubahan
kebijakan pendidikan adalah perubahan kurikulum dari CBSA, KBK dan sampai KTSP
yang tidak prospektif. Mestinya kurikulum nasional merupakan acuan dasar didalam
menguraikan peningkatan kualitas standar pendidikan nasional sehingga berimplikasi
terhadap pelaksanaan pembelajaran pendidikan baik dari guru dengan siswa secara efektif
untuk dijalankan kedalam satuan jenjang pendidikan secara nasional.
Sistem pendidikan yang telah berlangsung saat ini masih cenderung
mengeksploitasi peserta didik, indikator yang digunakanpun cenderung menggunakan
indikator kepintaran, sehingga secara secara nilai dirapot maupun izasa tidak serta merta
menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tegah gencarnya
industrialisasi yang berlangsung saat ini. Nah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia
menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup yang
krisis sumber sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan
dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditunjukan agar terjadi keseimbangan
terhadap ketersediaan sumber daya alam serta kepentingan kepentingan ekonomi
dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa
indonesia.
Padasarnya sebuah sistem pendidikan dibuat untuk mempermudah pendidikan itu
sendiri, Tapi kenyataannya sekarang sistem yang ada saat ini terkesan ada indikasi sedikit
mempersulit keadan. Indikasi itu muncul bukan hanya karena system pendidikan yang
ada saat ini tidak baik,melainkan oknum-oknum yang menjalankan system tersebut yang
kualitasnya belum merata dan sama baiknya. Jadi seharusnya sistem pendidikan di
Indonesia itu Sistem yang bersifat objekti Kemudian setelah system itu dibuat secara
objektif Oran orang yang menjalankan system itu haruslah berkualitas dalam berbagai
aspek (dalam hal ini adalah sitem pendidikan di Indonesia) Sehingga terciptalah sebuah
system yang berjalan dengan baik Dan kemudian menciptakan kondisi yang baik pula.

11
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia,
menghasilkan manusia robot. Kami katakan demikian karena pendidikan yang
diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata
mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan
perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang,
yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang
sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam
kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan
sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai
sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering
digembar-gemborkan sebagai pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan
siap pakai di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti
bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan
mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan
kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan
antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau
kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin)
adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena
para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru
sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa
isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak
murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer
kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal
diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Jadi
hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini
tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam
pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh
mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak
mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan
pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap

12
kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi)
merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi,
menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia).
Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu
gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di
Indonesia harus terlebur dalam strategi kebudayaan Asia, sebab Asia kini telah
berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi,
sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini
penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat
kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita
menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk
manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya
sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi
masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi
sangat relevan untuk direnungkan.
Banyak kebijakan yang sudah dibuat dan program-program yang sedang
dilaksanakan dalam rangka memuaskan masyarakat akan kebutuhan pendidikan. Tetapi
kenyataan itu belum menyentuh akar permasalahan secara menyeluruh. Bahkan muncul
embrio-embrio permasalahan pendidikan yang sifatnya sensitif dalam kafasitas resiko
yang besar dan jangkauan yang luas. Permasalahan pendidikan itu menjadi isu yang
nyaring terdengar dimana-mana.
1. Budaya Mogok Kerja bagi Guru
Dari segi etika dan moral, kita memandang pemogokan guru-guru tidak
menunjukan posisi guru sebagai masyarakat terpelajar yang lebih mengedepankan
pengabdian dan loyalitas. Kita juga sulit untuk menuduh guru tidak loyal dan kurang
pengabdiannya kita juga menyaksiakan bagai mana posisi guru saat ini terus menjadi
korban pemerasan pihak penguasa. Contoh, pemotongan gaji, keterlambatan
pembayaran gaji, bahkan tidak di bayar pula haknya. Tentu tidak mungkin terus menahan
penderitaan, sementara mereka memiliki pengetahuan. Guru bangkit menyuarakan
kebenaran dan menumpas pemerasan olehpejabat yang tidak bertanggung jawab. Bila ini
dibiarkan terus bergejolak dalam eskalasi besar citra guru semakin turun dan proses
pendidikan terganggu. Isu-isu kritis pengembangan dan pembinaan profesi guru dan
tenaga kependidikan juga mempengaruhi kurangnya mutu pendidikan di Indonesia.

13
Sebelumnya, membuka kuliah umum ini, Ir. Maruli Gultom, rektor Universitas Kristen
Indonesia Jakarta, menyampaikan bahwa pendidikan di daerah terpencil harus
diperhatikan oleh pemerintah. Beliau menyampaikan bagaimana FKIP UKI pernah
melakukan kerjasama dengan PT. Astra Tbk., untuk mengadakan survey dan assessment
sekolah-sekolah binaan Astra, dan dari hasil assessment, FKIP UKI melakukan tindakan
nyata dengan malakukan pelatihan soft skill dan hardskill guru-guru di sekolah-sekolah
binaan. Hasil dari pelatihan tersebut, sekarang sekolah-sekolah binaan tersebut menjadi
sekolah unggulan di daerahnya.
Isu-isu kritis tersebut diantaranya menyinggung otonomi daerah, kualifikasi dan
penilaian kinerja guru, pembinaan karir guru. Sekarang ini pengelolaan guru
desentralisasi karena otonomi daerah. Hal ini menjadi kendala dalam distribusi guru dan
kebijakan-kebijakan yang lain dalam hal pemerataan baik secara kualitas apalagi secara
kwantitas dan matapelajaran. Apakah perlu disentralisiskan? Kemungkinan lebih baik,
tapi harus adanya Peraturan Pemerintah atau Revisi UU No. 32 tentang Otomoni daerah.
Kualifikasi guru juga salah satu isu penting yang harus segera diperhatikan pemerintah.
Data sekarang, 48.69% guru belum S1/D4, dan banyak yang belum linier, serta sebanyak
70% guru juga belum memiliki sertifikat pendidik. Ditambah lagi Penilaian Kinerja Guru
(PKG) belum jelas pemetaan peran tentang pelaksanaan dan sistem pengendaliannya. Hal
ini menyebabkan tidak bisa berlanjutnya Penilaian Kinerja Berkelanjutan karena belum
ada database berbasis sistem informasi dan kurikulum untuk setiap jenjang kepangkatan.
Selain itu, pelaksanaan pembinaan dan system kenaikan pangkat dilakukan secara
manual dan konvensional, bahkan pengangkatan kepala sekolah belum berdasarkan karir.
Belum lagi sistem perlindungan terhadap profesi guru masih sangat minim, terutama di
sekolah swasta. Tunjangan guru juga perlu diperhatikan mengingat yang terjadi sekarang
adalah masih menjadi masalah pada mekanisme pembayaran, komitmen daerah untuk
pembayaran, dukungan data base lemah, juga terjadi kelemahan pada pengawasandan
pengendalian, dan tunjangan yang seharusnya berdampak pada peningkatan kinerja belum
tampak. Isu strategis yang lain adalah peningkatan pendidikan di daerah khusus, yaitu
daerah-daerah yang masih belum tersentuh pendidikan yang layak. Hal ini menjadi
perhatian karena sekarang ini belum ada kriteria daerah khusus yang menyebabkan
kualifikasi dan kompetensi guru sangatlah lemah.
Yang perlu diperhatikan lagi adalah mengenai guru honor (Guru Bantu, HONDA,
GYT, dan GTT) dan asosiasi profesi guru karena belum adanya regulasi guru honor dan
pendirian asosiasi profesi yang menyebabkan tidak optimalnya pembinaan profesi.

14
Seharusnya ada regulasi bagi guru honor dan perlindungan dan pembinaan profesi.
Isu isu kritis ini perlu diperhatikan pemerintah dalam membuat undang-udang dan
kebijakan-kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Dihimbau juga
kepada para peneliti atau praktisi pendidikan agar melakukan penelitian tentang isu-isu
tersebut sehingga tersedianya data yang memberikan kontribusi bagi kebijakan
pemerintah.
Sudah saatnya, di era pembebasan ini, bangsa ini menempatkan guru pada profesi
yang semestinya, tanpa embel-embel pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan, kelak guru
pun berhak menjadi menteri yang kesehariannya ber-Volvo ria. Sebab, profesi guru
memang profesional, bukan sekadar pengabdian. Dengan demikian, masyarakat, bersama-
sama orangtua/ wali murid harus mendukung upaya para guru mendapatkan hak-haknya.
Bila hak-hak guru tak tersampaikan, justru anak didik yang dirugikan. Proses
pembelajaran yang dirancang secara canggih menjadi tak berarti ketika guru ogah
mengajar.
2. Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi yang Komersial
Hal ini bisa kita lihat kenyataan di lapangan banyak perguruan tinggi fiktif yang
memiliki akreditasi baik. Apa dasar hukum dan bagaimana kriteria pengukurannya
sampai saat ini masih tidak jelas sehingga legitimasi itu dikormesialkan kembali untuk
mengelabui calon mahasiswa. Siklus ini berantai dan menghasilkan mahsiswa yang tidak
berkualitas. Pendidikan tinggi harus bebas dari penyakit nepotisme dan mencari
keuntungan sesaat. Pelaksanaan akreditasi harus dilakukan oleh orang-orang yang tidak
cacat moral. Prosedur pelaksanaan bersifat silang dan terbuka. Sehingga hasilnya
memang bisa dipertanggung jawabkan kepada publik yang akan menilai kinerjanya.
3. Sistem Evaluasi yang Tidak Akomoditif
Hal ini di dasari oleh beberapa pertimbangan, (1) banyak masyarakat yang
mengeluh evaluasi belajar tahap akhir tidak banyak memberikan kontribusi terhadap
pendidikan di atasnya. (2) sistem ujian masuk perguruan tinggi negri tidak ada
konstelasinya dengan perguruan tinggi yang dituju. Sistem ini membatasi bagi anak di
daerah untuk mendapatkan pendidikan tinggi secara merata.
4. Investasi Asing dalam Bidang Pendidikan
Sudah saatnya kita melihat secara objektif dan rasional bahwa pendidikan itu
merupakan sektor industri yang dapat menghasilakan devisa negara dan menjadi objek
pajak. Ketakutan pemerintah akan adanya investasi asing dalam dunia pendidikan,

15
merupakan asumsi, preseden murahan yang tidak melihat secara jauh ke depan. Barang
kali denagan wacana ini akan lebih memungkinkan terjadinya kompetisi yang sehat bagi
dunia pendidikan lokal sejajar dengan lembaga pendidikan asing yang ada di indonesia.
Yang dipersiapkan adalah aturan hukum dan kurikulum yang harus diajarkan kepada
mahasiswa.
5. Kewenangan Penyelenggaraan Pendidikan bagi Daerah
Pemberlakuan UU No 2 Tahun 1999 memberikan kewenangan bagi daerah
kabupaten/kota untuk mengelola pendidikan sendiri. Kewenangan pengelola pendidikan
bagi daerah juga menimbulkan permasalahan yakni bertambahnya beban pemerintah
derah mengurus status guru di daerahnya
6. Kemampuan Guru dalam Menguasi Materi Ajar
Penelitian yang dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Umum
memperlihatkan bahwa hanya 40% materi yang dikuasai guru sebelum mengajar. Hal ini
mwnjelaskan bahwa kemampuan guru-guru dbawah yang diharapkan.
7. Institusi Pendidikan Kontributor Pengangguran Terdidik
Lembaga pendidikan melaksanaan program sesuai dengan perkiraan sendiri tanpa
koordinasi dengan dunia usaha. Sehingga banyak program lembaga pendidikan itu sama
sekali tidak dibutuhkan, sedangkan yang dibutuhkan dunia usaha tidak dalam program.
Akhirnya, lulusan lembaga pendidikan itu menjadi pengangguran terdidik semakin besar
jumlahnya.
8. Materialisme, Keserakahan dan Egoisme Sektoral Ilmuan
Budaya materialisme, keserakahan dan egoisme sektoral menjadi tren lembaga
pendidikan kita. Banyak ilmuan terjebak mengukur ram input-nya berdasarkan setatus
sosial, sehingga pelayanan terhadap merekapun berbeda. Ini menunjukan dunia
pendidikan kita sedang mengalami perubahan karakter diri. Ada yang sedang berperang
melawan arus itu, ada yang terjebak dalam arus itu. Bagi mereka yang sudah terjebak
biasanya pandangannya tidak lagi objektif. Egoisme sektoralpun menjadi kiblat
pemikirannya sehingga tidak fleksibel, kaku, serta menganggap mahasiswa itu adalah
objek yang belum tahu. Dengan arti kata posisinya harus dibawah mereka.
9. Pendidikan sebagai Ajang Bisnis Murah
Pejabat, politisi, akademisi, dan praktisi kita ada sebagian darinya dengan bangga
menggunakan gelar akademik yang diraihnya tanpa mengikuti perkuliahan yang wajar.
Ini merupakan sebuah gejala yang mempunyai hubungan psikologis bahwa pendidikan itu

16
bisa didapatkan dengan murah, mudah tanpa proses yang resmi diikuti. Lembaga
pendidikan yamn menyediakan gelar pendidikan seperti ini telah menjadikan pendidikan
bisnis murahan.
10.Pendidikan hanya Penguasaan Materi Ajar bukan Pembinaan Perilaku
dan Moral
Budaya kekerasan, prilaku menyimpang dan tidak bermoral merupakan kekurangan
dari pendidikan. Seharusnya pendidikan memberi semacam penanaman nilai-nilai
kebersamaan, perilaku yang baik, penuh moralitas tidak berbuat sesuka hatinya saja.
Disamping hak kita berdampingan hak orang lain. Konsep-konsep seperti itu hendaknya
menjadi materi pendidikan.
11.Pajak untuk Pendidikan
Sungguh ironis jika anggar pendidikan kita yang kecil saat ini disebabkan oleh
kemampuan pemerintah untuk membiayai sektor pendidikan sangat terbatas. Konsekuensi
ini jelas bukan terletak oleh pemerintah untuk membiayai sektor pendidikan yang tidak
ada, melainkan kesungguh dan komitmen para birokrat untuk mencerdaskan anak bangsa
ini yang tidak jelas. Ketidak berpihakan penguasa menunjukan cara berpikir mereka yang
tidak maju.
12. Rekomendasi
Ada beberapa rekomendasi yang disarankan sesuai dengan isu-isu kontemporer
yang terus menggelinding di dunia pendidikan kita. Untuk mengatasi guru mogok kerja,
perlu adanya koordinasi yang lebih erat antara pemerintah dan organisasi profesi guru
(PGRI). Dalam hal ini dibahas permasalahan dan jalan keluarnya. Akreditasi perlu terus
dilakukan, namun orang yang yang melakuakn itu harus tidak cacat moral, dilakukan
secara silang dan transparan. Kemiskinan dan ketidak beruntungan pendidikan
Kemiskinan adalah isu yang signifikan pada agenda kebijakan pendidikan hingga tahun
1960an. Mengapa demikian, untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu memahami
sejarah perkembamgan sekolah rakyat. Kemiskinan mejadi isu pendidikan pada negara
maju pada tahun 1960an. Perempuan dan persamaan gender merupakan isu yang muncul
serta mendapat perhatian di seluruh dunia. Perempuan memiliki peluang dan hak yang
sama untuk memperoleh pengakuan, pekerjaan dan keadilan dalam bermasyarakat dan
berpendidikan. isu-isu kritis pengembangan dan pembinaan profesi guru dan tenaga
kependidikan juga mempengaruhi kurangnya mutu pendidikan di Indonesia. Sebelumnya,
membuka kuliah umum ini, Ir. Maruli Gultom, rektor Universitas Kristen Indonesia

17
Jakarta, menyampaikan bahwa pendidikan di daerah terpencil harus diperhatikan oleh
pemerintah. Beliau menyampaikan bagaimana FKIP UKI pernah melakukan kerjasama
dengan PT. Astra Tbk., untuk mengadakan survey dan assessment sekolah-sekolah binaan
Astra, dan dari hasil assessment, FKIP UKI melakukan tindakan nyata dengan malakukan
pelatihan soft skill dan hardskill guru-guru di sekolah-sekolah binaan. Hasil dari pelatihan
tersebut, sekarang sekolah-sekolah binaan tersebut menjadi sekolah unggulan di
daerahnya. Isu-isu kritis tersebut diantaranya menyinggung otonomi daerah, kualifikasi
dan penilaian kinerja guru, pembinaan karir guru. Sekarang ini pengelolaan guru
desentralisasi karena otonomi daerah. Hal ini menjadi kendala dalam distribusi guru dan
kebijakan-kebijakan yang lain dalam hal pemerataan baik secara kualitas apalagi secara
kwantitas dan matapelajaran. Apakah perlu disentralisiskan? Kemungkinan lebih baik,
tapi harus adanya Peraturan Pemerintah atau Revisi UU No. 32 tentang Otomoni daerah.
Kualifikasi guru juga salah satu isu penting yang harus segera diperhatikan
pemerintah. Data sekarang, 48.69% guru belum S1/D4, dan banyak yang belum linier,
serta sebanyak 70% guru juga belum memiliki sertifikat pendidik. Ditambah lagi
Penilaian Kinerja Guru (PKG) belum jelas pemetaan peran tentang pelaksanaan dan
sistem pengendaliannya. Hal ini menyebabkan tidak bisa berlanjutnya Penilaian Kinerja
Berkelanjutan karena belum ada database berbasis sistem informasi dan kurikulum untuk
setiap jenjang kepangkatan. Selain itu, pelaksanaan pembinaan dan system kenaikan
pangkat dilakukan secara manual dan konvensional, bahkan pengangkatan kepala sekolah
belum berdasarkan karir. Belum lagi sistem perlindungan terhadap profesi guru masih
sangat minim, terutama di sekolah swasta. Tunjangan guru juga perlu diperhatikan
mengingat yang terjadi sekarang adalah masih menjadi masalah pada mekanisme
pembayaran, komitmen daerah untuk pembayaran, dukungan data base lemah, juga
terjadi kelemahan pada pengawasandan pengendalian, dan tunjangan yang seharusnya
berdampak pada peningkatan kinerja belum tampak.
Isu strategis yang lain adalah peningkatan pendidikan di daerah khusus, yaitu
daerah-daerah yang masih belum tersentuh pendidikan yang layak. Hal ini menjadi
perhatian karena sekarang ini belum ada kriteria daerah khusus yang menyebabkan
kualifikasi dan kompetensi guru sangatlah lemah. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
mengenai guru honor (Guru Bantu, HONDA, GYT, dan GTT) dan asosiasi profesi guru
karena belum adanya regulasi guru honor dan pendirian asosiasi profesi yang
menyebabkan tidak optimalnya pembinaan profesi. Seharusnya ada regulasi bagi guru
honor dan perlindungan dan pembinaan profesi. Isu isu kritis ini perlu diperhatikan

18
pemerintah dalam membuat undang-udang dan kebijakan-kebijakan untuk peningkatan
mutu pendidikan Indonesia. Dihimbau juga kepada para peneliti atau praktisi pendidikan
agar melakukan penelitian tentang isu-isu tersebut sehingga tersedianya data yang
memberikan kontribusi bagi kebijakan pemerintah.
C. Upayah dalam Mengadapi Isu-isu Kritis Sistem Pendidikan
Di antara kompetensi-kompetensi yang diperlukan sebagai pendidik profesional
antara lain. Pertama, mengenal peserta didik secara mendalam. Kedua, menguasai bidang
studi. Ketiga, menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik. Keempat, meningkatkan
profesionalitas secara keberlanjutan dan. Kelima, meningkatkan profesionalitas
pelaksanaan tugas sebagai pendidik (kepribadian, pembelajaran, dan komunikasi).
Sementara menurut Mulyasa, bahwa guru sebagai pendidik yang profesional diidealkan
mampu menjadi agen pembelajaran yang edukatif, yaitu dapat menjadi fasilitator,
pemacu, perekayasa, dan inspirator. Sedangkan guru mempunyai konsepsional secara
ideal yang harus diamalkan oleh guru baik guru dibawah naungan Depdiknas maupun
dibawah naungan kementerian agama untuk mengembangkan kriteria pembelajaran
edukatif sebagai berikut: Sementara Guru sebagai fasilitator pembelajaran, berarti
pendidik: pertama membantu memudahkan dan membantu peserta didik dalam belajar.
Kedua tidak berperan sebagi satu-satunya sumber belajar, melainkan berperanan sebagai
salah satu sumber belajar. Ketiga, berupaya memberdayakan sumber daya peserta didik
sehingga mereka dapat berkembang optimal. Kemudian, Prinsip-prinsip (a) guru sebagai
fasilitor pembelajaran, berarti pendidik sebagai; guru membantu memudahkan dan
membantu peserta didik dalam belajar dan guru tidak berperan sebagai satu-satunya
sumber belajar, melainkan berperanan sebagai salah satu sumber belajar. Kemudian guru
berupaya memberdayakan sumber daya peserta didik sehingga mereka dapat berkembang
optimal. Sedangkan langkah-langkah guru sebagai motivator pembelajaran, berarti
pendidik sebagai; mendorong dan menggerakkan peserta didik agar mereka semakin giat
dalam belajar. Memiliki kemampuan membangkitkan semangat dan kesadaran diri
peserta didik sehingga mereka terbiasa belajar. Guru harus dapat menggunakan prinsip-
prinsip Selanjutnya (b) guru sebagai pemicu pembelajaran, berarti guru sebagai berikut;
guru dituntut memiliki kemampuan mengoptimalkan berbagai kondisi prima dan semakin
giat dalam belajar. Dituntut selalu berada di sekitar peserta didik dan memahami sebagai
kelebihan dan kelemahan paserta didiknya. Menegtahui kapan peserta didik harus belajar
dan kapan peserta didik harus beristirahat. (c) Guru sebagai perekayasa pembelajaran,
berarti guru sebagai berikut; Mampu merancang, mengembangkan, melaksanakan,

19
mengevaluasi, dan menyempurnakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan
peserta didik dan masyarakat. Tidak memandang kegiatan pembelajaran sebagai kegiatan
yang dinamis dan inovatif yang perlu dikembangkan dan dimutakhirkan secara terus
menrus sesuai kebutuhan peserta didik. (d) Guru sebagai inspirator pembelajaran, berarti
guru sebagai berikut; Dituntut memiliki peranan sebagai pemberi pembelajaran kepada
peserta didik. Wajib mengemukakan berbagai gagasan, kegiatan dan tugas pembelajaran
yang dapat menyebabkan peserta didik belajar. Wajib memperkarsai kegiatan belajar
paserta didik. Mengetahui kemana dan kegiatan-kegiatan belajar apa saja yang akan
dilakukan peserta didik. Pendidik transformatif memandang proses pedagogis tidak
sekedar diarahkan untuk membantu peserta didik memperoleh tingkat ketrampilan
kognitif yang tinggi agar dapat menguasai ketrampilan-ketrampilan teknis yang
diperlukan dalam dunia kerja. Ini adalah kecendrungan utama pendidikan saat ini. Proses
edukatif dan pedagogis saat ini lebih diarahkan untu mengorientasikan peserta didik dapat
sukses di tengan kompetensi dunia kerja yang keras. Manyoritas publikpun juga
beranggapan bahwa sukses akademik identik dengan sukses dengan dunia kerja dan
menjadi pekerja yang produktif. Pendidikan transformatif memandang sukses akademik
tidak hanya diukur oleh indikator-ndikator keseksesan kerja, tetapi juga sejauhmana
pesrta didik mampu menjadi warga yang kritis, aktif, dan bertanggung jawab. Pendidik
trasformatif menyakini peserta didik untuk berpartisipasi dalam penciptaan sejarah
manusia. Pendidik transformatif memandang perlu dikembangkan language of critique
dan language of possibility dalam pendidikan. artinya, pendidikan seharusnya menjadi
media kritik atas realitas sosial dan sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-
kemungkinan dikembangkannya wilayah publik yang demokratis. Jika kosa kata ini telah
menjadi bagian dari pendidikan bisa di posisikan sebagai kritik ideologi yang punya
kekuatan aktif dan potensi untuk melakukan kritik sosial dan membangun pandangan
yang kritis terhadap dunia, bukan sebagai pemelihara status quo. Jika diposisikan sebagai
ideologi kritik, pendidikan mempunyai kekuatan untuk mendefinisikan, memproduksi dan
mengubah habitus sosial. Sayangnya, language of critique dan language of possibility,
semakin lama semakin hilang akibat derasnya arus pragmatisme pendidikan. Saat ini
dunia pendidikan di hadapkan pada persoalan serius, yaitu semakin dominannya
corporate values dalam pendidikan nasional. Di beberapa institusi pendidikan nilai
korporasi telah menjadi corporate values mengalahkan academic values, yang seharusnya
selalu menjadi basis institusi pendidikan. jika kecendrungan seperti ini terus berlangsung
maka pendidikan disanksikan mempunyai peran yang signifikan dalam membentuk

20
pendidikan publik, politik, dan kultural. Justeru yang terjadi sabaliknya, pndidikan akan
dibentuk oleh dunia pasar. Akibatnya, yang ditekankan dalam proses pembelajaran adalah
bagaimana beradaptasi dengan dunia industri. Ilmu yang diajarkan lebih mengarah
kepada ilmu-ilmu teknis-praktis. Pendidikan transformatif berupanya untuk membentengi
dunia pendidikan dari cengkraman nilai-nilai korporasi. Kesimpulan Sampai saat ini,
pendidikan nasional tdak menjadikan tolak ukur prestasi secara internasional, karena
kualitas dan sumber daya manusia mengalami penurunan sehingga pendidikan nasional
setiap tahunnya selalu ketinggalan dengan Negara-negara tetangga. Salah satu
penyebabnya adalah kurangnya semangat untuk memperhatikan perkembangan
pendidikan bangsa terutama pengontoran evaluasi pemerintah pusat dan pemerintah
daerah secara intergralitas. Pendidikan semacam ini juga melahirkan perubahan baru yang
disebut dengan otonomi pendidikan daerah yang harus dikelolah oleh pemerintah daerah
masing-masing. Baik berhubungan denga Perencanaan Pendidikan, Manajemen
Pendidikan dan Infrastruktur pendidikan secara umum. Dengan dasar otonomi pendidikan
daerah, maka pendidikan sangat urgenstif untuk membuka peluang kesadaran baru yang
sangat kritis transformatif didalam memajukan pendidikan daerah masing-masing. Akan
tetapi pada perkembangan pendidikan nasional yang terdesentralisasi mengalami kendala
serius yaitu adanya raja-raja kecil saling mempertahankan kepentingan pemerintah daerah
setempat sehingga akan mempuruk perkembangan kualitas pendidikan bangsa.
Sedangkan guru sebagai sarana pewaris dari ilmuan-ilmuan sebelumnya untuk
memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia, guna bangsa kita akan menjadi manusia
berpikir alias berpikir berpikir sesuai dengan undang-undang dasar Negara 1945.
Sementara guru merupakan kewajiban sebagai pendidik yang profesional yang telah
diatur oleh undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Oleh karenanya, guru tidak hanya mandek didunia pembelajaran, akan tetapi guru
juga mampu menjadi pelopor untuk mengembangkan sayap kritis transformatif untuk
melakukan perubahan realitas sesuai dengan situasi dan kondisi. Sehingga guru
mempunyai kesan yang baik terhadap masyarakat, karena guru merupakan perwakilan
orang Tua yang ada dirumah, maka peserta didik harus berposisi subyek bukan obyek
didalam dunia pendidikan.
Sistem evaluasi perlu ditinjau untuk melihat efeksitivitasnya. Begitu juga perlu
dipikirkanbagai mana menerapkan unsur pemberian kesempatan yang sama bagi setiap
daerah untuk mendapatkan pendidikan berkualitas dilembaga pendidikan tinggi yang
berkualitas pula. Investasi asing dibidang pendidikan saat ini perlu dijamin dalam artian

21
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika ini terlaksana maka kompetisi antar lembaga
pendidikan kita akan terjadi dengan baik dan ketat. Pemerintah pusat seharusnya memberi
kepercayaan penuh bagi masyarakat di daerah untuk menyelenggarakan pendidikan
sesuai dengan potensi yang dimiliki. Begitu juga perlu disiapkan kurikulum nasional yang
lebih akomodasi dengan nilai-nilai nasionalisme. Guru harus belajar secara terus menerus
supaya pengetahuannya tetap terjaga dan bertambah. Tidak mungkin guru yang hanya
menguasai 40% ajaran untuk mengajar.
Perlunya jalinan keja sama antar lembaga pendidikan dengan dunia usaha tidak bisa
dielakan lagi. Lembaga pendidikan harus mampu melihat kebutuhan dunia usaha kedepan
sehingga mampu menyesuaikan keterampilan dasar yang harus dimiliki lulusannya nanti.
Kepribadian pihak pengelola pendidikan harus bersifat lebih obyektif, rendah hati, dan
tidak serakah. Hal ini jelas akan merusak citranya sebagai masyarakat yang digugu dan
ditiru. Tidak ada kejelasan status lembaga pendidikan yang memberikan gelar semakin
membuat lembaga pendidikan lainnya leluasa menyelenggaran pendidikan tanpa
pemenuhan target proses pendidikan sebagaimana mestinya. Yang paling mendesak
dalam pembinaan moral dan kepribadian anak adalah penanaman nilai-nilai yang baik,
kebersamaan melalui budi pekerti. Barang kali sudah saatnya dilakukan pajak untuk
pendidikan, apakah melalui pajak progresif atau pajak istemewa lainnya. Semua bisa
diatur pemerintah daerah untuk mendanai kegiatan pendidikan di daerahnya masing-
masing.
Pertama, sejauh manakah guru, aparat birokrasi di Kanwil dan Kandep P dan K, serta
Kabupaten/ kota memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah otonomi daerah?
Seberapa banyak diantara kita telah membaca apalagi mendiskusikan isi UU No. 22/1999
serta peraturan-peraturan lain yang terkait dengan otonomi daerah, terutama menyangkut
pendidikan. Bagi praktis pendidikan, paling tidak harus mendiskusikan kembali terhadap
pendidikan yang berkaitan dengan isi undang-undang tersebut untuk mengkritisinya.
Kedua, bentuk-bentuk respon macam apakah yang telah diberikan oleh masing-masing
pihak (guru maupun birokrasi pemda dati II ) dalam menghadapi pelaksanaan otonomi
daerah itu. Tampaknya dalam hal respon ini masing-masing pihak cenderung tidak acuh.
Aparat kanwil p dan k pusing terhadap dirinya sendiri karena institusinya akan
dihapuskan, sedangkan pemda dati II sibuk dengan usaha meningkatkan pendapatan asli
daerah dan menganggap pendidikan bukan urusannya, sedangkan guru menganggap
otonomi daerah itu urusannya orang-orang besar. Tugas saya adalah mengajar. Ketiga,
seberapa besar otonomi daerah tercakup otonomi pendidikan, mampu menciptakan

22
pengelolaan pendidikan yang lebih efektif, efisien, serta mampu meningkatkan
profesionalisme para guru. Hal itu mengingat salah satu tujuan dari pelaksanaan otonomi
itu, adalah terciptanya suatu tatanan birokrasi yang lebih efektif dan efisien, sehingga
dalam malayani masyarakat bisa lebih profesional. Bila kelak akhirnya birokrasi tidak
bertambah efektif, efisien, dan profesional, maka pelaksanaan otonomi perlu
mendapatkan koreksi serius. Keempat, seberapa besar tingkat apresiasi birokrasi di daerah
terhadap perubahan-perubahan tatanan dalam bidang pendidikan, serta terhadap berbagai
model pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat. Komitmen daerah itu akan
terlihat sekaligus ditentukan dari seberapa besar anggaran keuangan daerah yang
dialokasikan bagi pengembangan pendidikan. Kelima, bagaimana menggali sumber-
sumber dana untuk pengembangan pendidikan, agar disatu pihak, tidak menghambat
peningkatan profesionalitas guru tapi dipihak lain tidak membebani masyarakat atau
murid. Pertanyaan ini penting dikemukakan di sini; mengingat salah satu ciri khas
mentalitas birokrat pemda yang diwariskan oleh orde baru adalah dalam bentuk suatu
instansi baru di pemda, pada dasarnya adalah harus ada sumber pungutannya. Artinya,
ikatan suatu bentuk Dinas baru, bila Dinas itu diketahui jelas memiliki sumber pungutan
sebagai pembiayaanya. Jika tidak, mereka akan bertanya, dari mana sumber
pembiayaannya. Hal itu juga bisa berlaku pada pembentukan Dinas pendidikan di daerah.
Jangan-jangan pembentukan Dinas itu tidak dimaksudkan untuk mengembangkan
pendidikan di daerah, tapi karena dipandang disektor pendidikan banyak hal yang banyak
dipungut. Ini berbahaya sekali, karena pasti akan menjadikan pendidikan sebagai
komoditas. Keenam, bagaimana menciptakan suatu sistem pendidikan yang lentur agar
pendidikan pasca otonomi tidak menanamkan pandangan yang lokal-sentris, sehingga
pendidikan pasca otonomi tidak menyumbang terjadinya konflik horizontal yang makin
luas. Kecenderungan yang muncul sekarang adalah pendaerahan semua jabatan sehingga
memicu timbulnya konflik horizontal. Praktek pendidikan pasca otonomi mestinya
mampu mengembangkan sistem berfikir terbuka sehingga tidak melahirkan orang-orang
yang kerdil kedaerahan. Ketujuh, bagaimana memaknai konsep profesionalisme guru
dimasa mendatang. Hal ini terkait dengan otonomi daerah itu sendiri yang menuntut
peran guru lebih luas lagi. Tidak sekedar menjadi tenaga pengajar di kelas, tapi juga
memiliki kemampuan menyusun kurikulum loka, modul pembelajar, melakukan lobi dan
negosiasi kepada legislative maupun eksekutif untuk menggolkan rancangan kebijakan
pendidikan yang lebih menjawab kebutuhan masyarakat

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.


Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya
sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya
kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya
pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar
dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang
menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah
manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis
terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan
mesyarakat untuk mengatasi segala perSistem pendidikan merupakan jumlah keseluruhan
dari bagian-bagiannya yang saling bekerjasama untuk mencapai hasil yang diharapakan
berdasarkan atas kebutuhan yang telah ditentukan. Setiap sistem pasti mempunyai tujuan,
dan semua kegiatan dari semua komponen atau bagian-bagiannya adalah diarahkan untuk
tercapainya tujuan terebut. Pendidikan merupakan suatu sistem yang mempunyai unsur-
unsur tujuan/sasaran pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur atau
jenjang, kurikulum dan peralatan/fasilitas.

Pendidikan nasional merupakan suatu usaha untuk membimbing para warga negara
Indonesia menjadi pacasila, yang berpribadi, berdasarkan akan Ketuhanan berkesadaran
masyarakat dan mampu membudayakan alam sekitar. Serta tujuan dari pendidikan
nasional itu yakni membangun kualitas manusia yang bertakwa kpada Tuhan yang Maha
Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan dengan-Nya sebagai warga negara yang
berjiwa pancasila mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti yang
luhur dan berkribadian yang kuat, cerdas, terampil, dapat mengembangkan dan
menyuburkan sikf domokrasi, dapat memelihara hubungan yang baik antara sesama
manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu mengembangkan daya estetik,
berkesanggupan untuk membangun diri dan masyarakatnya.

24
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap
kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati
peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada
level 14 dari 14 negara berkembang. Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik
seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan
bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah
menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan
kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman
dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan
kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya
berfikir anak tidak bisa diarahkan. Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam
membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin
buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan
kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan
yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di
masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa
menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas.
Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan
pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir
dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini
dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk
kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di
dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara
berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas
pendidikanmasalahan pendidikan di Indonesia.

Berbagai solusi untuk mengatasi maslaah sistem pendidikan di indonesia Solusi


sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan
sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem
ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam
konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk

25
pendanaan pendidikan. Serta penataan kembali Undang-Undang yang telah ada, sehingga
sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Standar pendidikan nasional harus
diterapkan bebas nilai, bukan dengan memuat muatan politik praktis melalui pemberian
wewenang yang jelas dan ke pada elemen pendidikan yang tepat. Solusi untuk masalah-
masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas
sistem pendidikan. Seperti mutu guru, sarana fisik yang kurang memadai, misalnya, diberi
solusi dengan pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan guna menunjang kegiatan
belajar dan mengajar. Apabila Standar Nasional Pendidikan harus diterapkan secara total
dan benar sesuai konsep. Maka harus melalui strategi advokasi yang tajam dan komitmen
stakeholder secara menyeluruh. Selain itu juga dilakukan sosialisasi bagi komponen
pendidikan dari tingkat nasional, propinsi hingga daerah kabupaten/kota, Lembaga
swadaya masyarakat dan masyarakat.

B. Saran :

Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan agar dapat
mencapai standar pendidikan nasional, dua agenda di bawah ini mungkin perlu dipikirkan.

1. Pelaksanaan desentralisasi politik pendanaan sampai ke tingkat sekolah yang telah


meningkatkan partisipasi finansial masyarakat sudah waktunya diimbangi
pelaksanaan desentralisasi politik pendidikan sampai ke tingkat masyarakat sesuai UU
Sisdiknas (pasal 9), melalui komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.

2. Kebijakan yang selama ini lebih menekankan in-put sudah saatnya diimbangi secara
bertahap dengan kebijakan yang menekankan juga out-put dan efisiensi eksternal
melalui upaya perbaikan, mutu guru dan pembentukan sistem evaluasi dengan
melibatkan lembaga independen yang mewakili publik (sesuai pasal 11) yang
mendesak untuk segera dibentuk sehingga perbaikan kurikulum berjalan selaras
dengan azas manajemen mutu.

26
DAFTAR PUSTAKA

Darmaningtyas, dkk. 2004. Membongkar Ideologi Pendidikan. Yogyakarta : Resolusi Press.


H. Fuad Hasan. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Hasbullah. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Mastuhu. 2003. Mentata Ulang Pemikiran Sistem pendidikan Nasional dalam Abad 21.
Yogyakarta :
Safiria Insania Press. Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang:
Unnes Press. Umar Tirtarahardja. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

27

Anda mungkin juga menyukai