BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dalam hal peningkatan mutu dan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang
masih rendah. Bahkan dalam lingkup regional, bangsa Indonesia berada pada
peringkat 6 dari 10 negara ASEAN. Peringkat tersebut lebih rendah daripada
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand bahkan Filipina. Permasalahan
lain di bidang pendidikan saat ini tidak lain adalah sekolah masih bertumpu pada
semangat mulia dengan visi kerakyatan serta menjadikan dunia pendidikan sebagai
“ladang bisnis” untuk memperoleh keuntungan para penyelenggara pendidikan
sehingga hal tersebut bukan menjadi rahasia umum lagi.
Pendidikan sangat berperan penting dalam kehidupan manusia dan bahkan
tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia. Dengan kata
lain, kebutuhan manusia terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan
pribadi, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Pengoptimalan sistem
pendidikan akan berdampak pada kemajuan pendidikan yang telah dicita-citakan
oleh bangsa Indonesia. Namun sebaliknya bila proses pendidikan yang dijalankan
tidak berjalan secara baik maka kemajuan tersebut tidak akan terealisasikan.
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap
pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak
sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat
bergantung pada kontibusinya pendidikan. Pendidikan merupakan usaha agar
manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau
cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”. Namun didalam dunia
pendidikan sendiri banyak masalah-masalah pendidikan yang dihadapi di era
globalisasi ini. Baik itu masalah yang bersifat internal maupun eksternal.
Selama ini sering dikemukakan bahwa pendidikan merupakan hak asasi yang
dimiliki oleh setiap warga negara. Tidak kurang konstitusi, undang-undang bahkan
doktrin agama mengakui hal tersebut. Akan tetapi, kenyataan yang kita hadapi
sekarang ini menunjukkan hal sebaliknya. Untuk mencapai program wajib belajar
yang dicanangkan oleh pemerintah saja, yaitu sembilan tahun, masih banyak
masyarakat yang sangat kesulitan untuk merealisasikan hal tersebut. Bukan tanpa
alasan atas ketidak mampuan mereka akan hal itu. Ketidak mampuan masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan yang layak tersebut karena masih banyaknya
3
Akibat tanggung jawab orang tua sangat berat terhadap pendidikan untuk
membiayai anak sejak lahir sampai menginjak ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi sesuai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, setiap warga negara
berhak mendapatkan dan mengikuti pendidikan dasar, maka pemerintah wajib
membiayainya. Hal ini tercantum dalam undang-undang sistem pendidikan
nasional atau biasa disebut dengan Sisdiknas yang menyebutkan bahwa “setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu”.
Setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib memberikan bantuan
pembiayaan, layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Harapan agar
pemerintah mampu memberikan kebijakan dan peduli terhadap pendidikan
masyarakat Indonesia untuk membiayainya apalagi dengan keadaan bangsa
Indonesia saat ini yang banyak mengalami problema rusaknya lembaga Pendidikan
seperti terjadinya komersialisasi dalam bidang pendidikan. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka makalah ini akan membahas lebih dalam tentang
“Komersialisasi Pendidikan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Latar Belakang dan Konsep Komersialisasi Pendidikan ?
2. Aspek-aspek yang Memunculkan Komesialisasi Pendidikan ?
3. Bagaimana dampak komersialisasi Pendidikan ?
4. Bagaimana solusi untuk mengatasi komersialisasi Pendidikan ?
5. Bagaimana kaitannya dengan pasal 48 UU Sisdiknas yang dinyatakan bahwa
pengelolaan pembiayaan pendidikan harus menegakkan prinsip-prinsip
keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik ?
5
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Latar Belakang dan Konsep Komersialisasi Pendidikan ?
2. Aspek-aspek yang Memunculkan Komesialisasi Pendidikan ?
3. Bagaimana dampak komersialisasi Pendidikan ?
4. Bagaimana solusi untuk mengatasi komersialisasi Pendidikan ?
5. Bagaimana kaitannya dengan pasal 48 UU Sisdiknas yang dinyatakan
bahwa pengelolaan pembiayaan pendidikan harus menegakkan prinsip-
prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik ?
6
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam era pasar bebas dan bisnis yang serba kompetitif saat ini berlaku apa
yang diramalkan oleh Titus Maccius Plautaus (184 SM) bahwa “homo homini
lupus” atau setiap orang bakal tega memakan orang lain. Hal tersebut ternyata
menjadi sebuah kenyataan yang berlaku dalam dunia pendidikan terutama pada saat
tahun ajaran baru banyak perguruan tinggi bahkan sekolah-sekolah berlomba untuk
menarik berbagai tarif atau biaya pendidikan. Pendidikan dikomersilkan dengan
alasan karena mutu pendidikan memerlukan biaya pendidikan yang memadai.
Sehingga sekolah yang bermutu dianggap sebagai sekolah yang mahal dan hanya
dapat dinikmati oleh golongan orang the have atau golongan orang-orang berada.
Sesuai dalam filsafat materialisme Marx, yang menyatakan bahwa sepanjang
kehidupan manusia hidup dalam wilayah material yang nyata dalam rangka
melakukan aktualisasi kebutuhan ekonomi, bahwa uang adalah sesuatu yang
bernilai dan mewujudkan kualitas manusia.
Komersialisasi pendidikan mempunyai makna dalam memperdagangkan
pendidikan, menurut kamus kata komersial atau commercialize berarti
memperdagangkan. Dikemukakan oleh Milton Friedman dan Frederik Van Hayek
dalam Wibowo (2008 : 115) bahwa “komersialisasi pendidikan merupakan keadaan
pendidikan yang berpegang pada masyarakat industri dan selera pasar (market
society)”. Selain itu, juga diungkapkan oleh Habibie dalam Darmaningtyas (2005:
257), bahwa “komersialisasi pendidikan telah mengantarkan pendidikan sebagai
instrument untuk melahirkan buruh-buruh bagi sektor industri, bukan sebagai
proses pencerdasan dan pendewasaan masyarakat”. Adanya komersialisasi
pendidikan telah menggambarkan keadaan pendidikan saat ini bahwa pendidikan
lebih mengarah kepada praktik pendidikan layaknya lembaga penghasil mesin yang
siap mem-supplay pasar industri dan diukur secara ekonomis.
7
kepada para guru atau dosen gaji menurut standar. Sedangkan untuk sisa anggaran
yang diperoleh, digunakan untuk menanamkan kembali bentuk infrastruktur
pendidikan. Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme
pendidikan nasional atau idealisme Pancasila, tetapi dapat menimbulkan
diskriminasi dalam pendidikan nasional.
Komersialisasi pendidikan yang mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan
yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang kuliah, tetapi mengabaikan
kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasa dilakukan
oleh lembaga atau sekolah-sekolah yang menjanjikan pelayanan pendidikan, tetapi
tidak sepadan dengan uang yang pungut. Laba atau selisih anggaran yang diperoleh
oleh lembaga pendidikan atau sekolah tersebut biasanya tidak ditanam kembali ke
dalam infrastruktur pendidikan, tetapi dipergunakan untuk memperkaya atau
menghidupi pihak-pihak yang tidak secara langsung bekerja menyajikan pelayanan
di lembaga tersebut. Pihak-pihak tersebut adalah anggota yayasan atau badan amal
pendidikan yang menguasai lembaga pendidikan. Komersialisasi jenis ini
melaksanakan praktik pendidikan dengan maksud memperoleh gelar akademik
tanpa melalui proses serta mutu yang telah ditentukan sehingga dapat membunuh
idealisme pendidikan Pancasila. Hal tersebut jelas tercantum di dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab 1 pasal
1 yang berbunyi bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak yang mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara
Komersialisasi pendidikan dan privatisasi pendidikan sebenarnya merupakan dua
hal yang berbeda. Privatisasi berarti keinginan untuk mencari keuntungan yang
hampir mempunyai kesamaaan dengan komersialisasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi diartikan: Perbuatan
menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Merujuk pada arti itu, komersialisasi
pendidikan dapat diartikan: Menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan.
Komersialisasi pendidikan atau mengomersialisasikan pendidikan kerap
9
kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan. Dalam Pembukaan
UUD 45 pada alinea ke-4, hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan
kehidupan bangsa. Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan
setiap kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi dalam
kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999
tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah
memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan
lembaganya termasuk pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Apabila
pendidikan tetap mahal dan dikomersialisasikan, masyarakat yang kurang mampu
tidak akan dapat meningkatkan status sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi
pendidikan ini didukung oleh tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat.
2. Aspek Budaya
Bangsa kita mengagungkan gelar akademis dan sebagai contoh dihampir
setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan selalu terpajang foto wisuda
anggota keluarga lulusan dari universitas manapun. Hal ini menunjukkan bahwa
bangsa kita masih menganut budaya yang degree minded. Budaya berburu gelar ini
berkembang pada lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan
pegawai yang memiliki gelar sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites
kemampuan akademik mereka. Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak
diminati oleh pejabat-pejabat.
3. Aspek Ekonomi
Ekonomi sudah pasti kita akan membicarakan aspek ekonomi terkait dengan
masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab
pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UUNo. 20 Tahun 2003 pada bab XIV
pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan
memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan
ketidakmampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional, khususnya
pendidikan tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak 75% dan
25% lagi berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP.
12
4. Aspek Sosial
Pendidikan sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang, yaitu
semakin tinggi pendidikan seseorang, akan semakin meningkat pula strata
sosialnya, begitu juga sebaliknya. Tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf
kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara
yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat mencapai pendidikan tinggi
apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati oleh
masyarakat golongan ekonomi mapan saja. lantas bagaimana dengan masyarakat
golongan ekonomi lemah.
5. Aspek Teknologi
Dengan berkembang pesatnya teknologi maka semakin menuntut sekolah-
sekolah untuk menunjang berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan belajar
mengajar. Tapi, tak jarang lembaga pendidikan menjadikannya sebagai tameng
untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Biasanya lembaga pendidikan berujar,
“Ini dilakukan agar para peserta didik bisa mengikuti perkembangan teknologi yang
dari hari ke hari semakin maju. “Oleh karena, uang masuk ataupun SPP di sekolah
ataupun perguruan tinggi semakin mahal, implikasinya peserta didik yang berasal
dari ekonomi menengah ke bawah tidak bisa menyanggupinya. Ujung-ujungnya,
mereka ketinggalan dalam hal teknologi. Padahal dengan perkembangan teknologi
bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kesejahteraan, dan kehidupan
bangsa.
komersialisasi tersebut lambat laun akan terasa dalam proses tata kelola pendidikan
tinggi. Hal ini secara gamblang disampaikan oleh Derek Bok yang secara khusus
menyebut beberapa kerugian yang harus dibayar atas pilihan menjalankan
komersialisasi pendidikan. Kerugian tersebut antara lain: komersialisasi dapat
merongrong standar akademik, komersialisasi dapat meronrong semangat
kolegialitas dan kepercayaan di antara anggota komunitas akademik, dan
komersialisasi dapat merusak citra universitas di mata publik. Pertama,
komersialisasi dapat merongrong standar akademik. Contoh nyata dalam masalah
ini terdapat pada pola perekrutan dosen. Calon yang lebih diutamakan adalah calon
yang mempunyai koneksi dengan dunia bisnis dan kemungkinan besar dapat
mendatangkan proyek kerjasama yang secara finansial menguntungkan tanpa
memperhatikan kualifikasinya sebagai tenaga pengajar dan pendidik, standar
akademik universitas itu cepat atau lambat akan merosot. Demikian juga kalau
dalam merekrut dosen pertimbangan utamanya adalah mana yang jenis
penelitiannya akan mendatangkan hak paten yang menunjang kepentingan bisnis,
tetapi tidak memperhatikan kemampuannya dalam mengajar dan membimbing
mahasiswa melakukan penelitian yang baik, rekrutmen seperti itu juga akan
memerosotkan standar akademik. Hal ini telah banyak terlihat di pendidikan tinggi
di Indonesia. Maraknya perekrutan dengan atas pertimbangan menambah kapitral
dapat mengakibatkan tenaga pendidikan tersebut diragukan dan tidak berkualifikasi
terhadap bidang yang digelutinya.
Komersialisasi dapat mengancam prinsip kependidikan karena motif mencari
untung dapat menggeser fokus dari menyediakan sarana pembelajaran yang terbaik
yang secara optimal dapat diberikan berdasarkan sumber daya yang ada, ke upaya
menaikkan pendapatan sebesar-besarnya dengan mengurangi biaya sampai sekecil
mungkin tanpa kehilangan pelanggan. Universitas yang sudah ternama memungut
biaya pendidikan yang amat mahal, tetapi tidak mengimbangi dengan mutu layanan
yang memadai. Para dosen seniornya jarang mengajar, sehingga para mahasiswa
lebih sering diajar oleh asisten dosen.
Motif mengejar untung dapat mengakibatkan universitas dapat mengurangi
luas layanan yang seharusnya guna memperoleh surplus yang lebih besar. Misalnya
16
program studi MBA hanya buka untuk kelas eksekutif dengan bayaran mahal,
sehingga hanya para manajer dari perusahaan yang besar saja yang dapat masuk
sedangkan para manajer dari perusahaan yang kecil yang sebenarnya potensial tidak
mendapatkan akses. Penelitian ilmiah yang disponsori suatu perusahaan, hasilnya
tidak jarang tidak boleh dipublikasikan secara umum karena akan menguntungkan
perusahaan pesaing dan merugikan perusahaan pemasok dana. Tetapi kerahasiaan
hasil penelitian ilmiah ini mengurangi luas layanan yang seharusnya diberikan oleh
universitas.
Komersialisasi pendidikan juga dapat menimbulkan kerugian moral berupa
sikap sinis para mahasiswa terhadap prinsip-prinsip moral yang ingin
diperjuangkan oleh lembaga karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana prinsip-prinsip yang digariskan dalam kode etik perguruan tinggi dan
diajarkan di kelas itu terang-terangan dikhianati oleh lembaga tempat mereka
belajar. Misalnya kalau di kampus terjadi jual beli nilai atau soal ujian hanya karena
para dosennya cenderung mata duitan, nilai kejujuran akademik dan disiplin kerja
keras di kampus itu akan merosot. Kesetiaan dan kepatuhan pada aturan main
akademik dalam melakukan penelitian ilmiah juga akan tidak terjadi. Kalau
pimpinan Perguruan Tinggi mau menerima sejumlah uang dari suatu perusahaan
sebagai pelicin ijin untuk menggunakan kampus untuk tempat jualan produknya,
kiranya secara moral akan mengalami kesulitan untuk melarang mahasiswanya
yang menerima beasiswa dari sebuah perusahaan dengan syarat dia menjadi “sales
promotion girl” untuk produk perusahaan tersebut di kampusnya (Bok, 2008: 108-
113)
Kedua, komersialisasi dapat meronrong semangat kolegialitas dan
kepercayaan di antara civitas akademika dengan menciptakan pemisahan dan
ketegangan yang sebelumnya tidak ada di antara civitas akademika.6 Misalnya,
dosen yang sebelumnya kerja keras dengan melaksanakan tugas-tugas
akademiknya secara setia, akan menjadi tidak suka terhadap koleganya yang
sebenarnya juga dosen tetap tetapi dalam praktek menjadi dosen luar biasa (atau
lebih tepat disebut biasa di luar) karena sibuk berbisnis atau memberi konsultasi
sana sini. Para dosen ilmu-imu kemanusiaan dan budaya akan merasa kurang
17
nasional. Namun pada kenyataanya, saat ini masih belum semua lembaga
pendidikan menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Seperti yang ditulis dalam
kompas.com bahwa penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia terhadap 3.600
orang tua siswa dari 720 sekolah disejumlah tanah air, hasilnya adalah 71,61 persen
orang tua tidak mengetahui laporan BOS dan 92,65 persen tidak melihat papan
pengumuman sekolah tentang penggunaan BOS. Selain itu, 89,58 persen orang tua
tidak berpartisipasi dalam perencanaan BOS dan memberikan saran kepada
sekolah.
Dari data dan berita yang ada pengelolaan dana pendidikan dinilai masih
menjadi permasalahan yang besar. Kurangnya kesadaran dan keterlibatan para
pemangku kepentingan pendidikan masih cukup rendah. Selain hal tersebut
dikarenakan pihak sekolah dirasa kurang transparan dan akuntabel dalam
memberikan data dan informasi yang dikelola kepada semua pihak yang terkait
(stakeholders). Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2008 pasal 2
telah dinyatakan bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses
oleh setiap pengguna informasi publik. Berdasarkan Undang-Undang tersebut,
sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan harus memberikan pelayanan
dan informasi yang lebih baik. Artinya sekolah memberikan hak dan kemudahan
akses kepada semua pihak yang berkepentingan dan terkait (stakeholder) untuk
memperoleh informasi yang transparan dan akuntabel.
Transparansi dan akuntabilitas merupakan prinsip yang harus diupayakan dan
diterapkan oleh sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Penerapan
prinsip-prinsip tersebut akan membawa efek positif kepada semua publik dan pihak
yang terkait (stakeholders). Sehingga persepsi yang ditimbulkan oleh publik dan
pihak yang terkait (stakeholders) adalah bahwa sekolah merupakan lembaga
penyelenggara pendidikan yang bersih dan berwibawa. Sekolah yang bersih dan
berwibawa artinya sekolah tersebut tidak KKN dan profesional. Pengelolaan dana
merupakan pokok penting yang berkaitan dengan profesionalitas sekolah. Oleh
karena itu sekolah harus melibatkan semua komponen pendidikan yang ada, baik
itu komite dan pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan (stakeholders).
21
Biaya (cost) merupakan istilah yang secara umum berkaitan erat dengan
administrasi keuangan. Biaya pendidikan merupakan komponen yang dianggap
penting dalam menunjang proses keberlangsungan kegiatan pendidikan. Anggapan
penting tersebut terkait dengan kegiatan pendidikan di sekolah seperti kegiatan
akademik, kegiatan kesiswaan dan kegiatan lainnya. Kegiatankegiatan tersebut
tentunya selalu membutuhkan biaya dalam prosses keberlangsungannya, agar
kegiatan-kegiatan tersebut tecapai secara optimal. Biaya merupakan sejumlah uang
yang disediakan atau dialokasikan dan digunakan atau dibelanjakan untuk
terlaksananya berbagai fungsi atau kegiatan guna mencapai suatu tujuan dan
sasaran-sasaran dalam rangka proses manajemen (Hidayati, 2012). biaya dalam
pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (inderect
cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat
pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh
pemerintah, orang tua maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung
berupa keuntungan yang hilang (earning forgone) dalam bentuk biaya kesempatan
yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar
(Fattah,2009).
Pengelolaan dana pendidikan merupakan bagian dari konsep manajemen
keuangan sekolah yang harus direncanakan dan diatur dengan baik dan benar.
Perencanaan tersebut memiliki peranan yang sangat penting sebagai langkah dalam
menyusun dan merumuskan pengelolaan dana pendidikan di sekolah. Keberhasilan
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas juga tidak lepas dari
perencanaan anggaran pendidikan yang mantap serta pengalokasian dana
pendidikan yang tepat sasaran dan efektif (Hidayati, 2012). Ketersedian dan
penggunaan dana pendidikan adalah bagian terpenting dalam pengelolaan dana
pendidikan. Penggunaan dana pendidikan harus tepat sasaran, sehingga
penggunaan dana pendidikan yang ada akan efektif dan efisien.
Dengan demikian, tujuan dan pencapaian pendidikan akan terwujud
sebagaimana mestinya. Penyusunan dan perumusan anggaran maupun dana
pendidikan disekolah harus berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan dana
22
pendidikan yang ada. Hal tersebut terkait dengan dari mana sumber keuangan
berasal dan penggunaan keuangan atau pengeluaran keuangan dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Adapun prinsip-prinsip pengelolaan
keuangan pendidikan seperti yang dikemukakan oleh (Sutedjo, 2009) sebagai
berikut: (1) Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang
disyaratkan, (2) Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan,
(3) Terbuka dan transparan, dalam pengertian dari dan untuk apa keuangan lembaga
tersebut perlu dicatat dan dipertanggungjawabkan serta disertai bukti
penggunaannya, (4) Sedapat mungkin menggunakan kemampuan/hasil produksi
dalam negeri sejauh hal ini dimungkinkan.
Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana
pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat
penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi,
akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
1. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menurut PP No. 48 Tahun 2008 merupakan pemberian akses
pelayanan pendidikan yang seluas-luasnya dan merata kepada peserta didik atau
calon peserta didik, tanpa membedakan latar belakang suku, ras, agama, jenis
kelamin, dan kemampuan atau status sosial-ekonomi. Prinsip keadilan dalam
pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal 50 bab V PP 48
tahun 2008 berarti bahwa besarnya pendanaan pendidikan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat disesuaikan dengan kemampuan masing-
masing Sedangkan Raeni (2014) menyimpulkan, prinsip keadilan merupakan
landasan dalam pengelola keuangan sekolah yang mendasari penerimaan dan
alokasi keuangan sekolah serta akses pelayanan pendidikan sesuai dengan
kebutuhan dari masing-masing komponen di sekolah. Komponen tersebut meliputi,
siswa, guru, karyawan sekolah, dan sarana yang menunjang pencapaian tujuan dari
sekolah.
23
masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan
orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah
(RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang
tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan
mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang
yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu.
Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi
setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan,
yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta
hasil-hasil yang dicapai (Sutedjo, 2009). Transparansi sekolah adalah keadaan
dimana setiap orang yang terkait dengan kepentingan pendidikan dapat mengetahui
proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah (BAN-SM, 2009).
Istilah transparansi haruslah jelas dan tanpa adanya sedikitpun suatu rekayasa yang
dikerjakan oleh sekolah. Sekolah harus memberikan informasi yang benar adanya
dan dapat dipercaya kepada publik. Transparansi akan membawa dampak dan
konsekuensi adanya kontrol yang berlebihan dari publik dan pihak yang terkait
dengan pendidikan (stakeholders). Dengan demikian transparansi tidak sepenuhnya
harus terbuka dan dapat diketahui oleh publik. Prinsip transparansi paling tidak
dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti: (1) Penyediaan informasi yang
jelas tentang prosedur-prosedur, biaya-biaya dan tanggung jawab, (2) Kemudahan
akses informasi , (3) Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan
yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap, (4) Meningkatkan arus
informasi melalui kerja sama dengan media massa dan lembaga non pemerintahan
(Krina, 2003).
3. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena
kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang
25
sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, dan sesuai dengan
prinsip-prinsip administrasi yang benar, (2) Akurasi dan kelengkapan informasi
yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program, (3) Kejelasan
dari sasaran kebijakan yang telah diambil dan dikomunikasikan, (4) Kelayakan dan
konsistensi dari target operasional maupun prioritas, (5) Penyebarluasan informasi
mengenai suatu keputusan melalui media massa, (6) Akses publik pada informasi
atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan
masyarakat, (7) Sistem informasi manajemen dan monitoring hasil (Krina, 2003).
3. Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Garner (2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena
sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada
kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness
”characterized by qualitative outcomes”. Efektivitas lebih menekankan pada
kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas
kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas
dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-
nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4. Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency
”characterized by quantitative outputs” (Garner, 2004). Efisiensi adalah
perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau
antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya.
Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:
a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya:
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya
yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan. Ragam efisiensi dapat
dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil
yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
27
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang
diperoleh
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Krina, L. 2003. Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan
Partisipasi. Sekretariat Good Publik Governance. Jakarta: Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
32
Penelitian Bank Dunia. 2010. Transparansi Dana BOS Rendah. Diunduh dari
http://edukasi.kompas.com /read/2010/08/11/09530331/Transparans i-Dana-
Bos-Rendah. Pada tanggal 10 Juni 2019
Ritzer, George. 2005. Teori Sosial Post Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2005.