Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia untuk


mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga
negara yang berkualitas sesuai dengan cita-cita yang tercantum dalam pembukaan
UUD 1945. Adanya pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan kehidupan
dan taraf hidup seorang individu agar menjadi lebih baik, serta memiliki harkat dan
martabat yang tinggi sebagai manusia. Pendidikan adalah instrumen penting bagi
setiap bangsa untuk meningkatkan daya saing dalam percaturan politik, ekonomi,
hukum, budaya serta pertahanan pada tata kehidupan masyarakat dunia secara
global sehingga menyebabkan perubahan gaya hidup. Melalui proses pendidikan,
diharapkan terciptanya manusia Indonesia yang utuh, unggul, memiliki visi misi
jauh ke depan, ingin maju dan berkembang sehingga siap menanggung resiko,
mempunyai wawasan luas, mampu menerapkan ide-ide secara optimal, mampu
berkomunikasi, berkoordinasi dengan orang lain serta mempunyai semangat
kewirausahaan dalam menghadapi era globalisasi yang semakin menguat.
Pendidikan selain sebagai suatu pembentuk watak atau kepribadian juga
mempersiapkan sumber daya manusia yang handal serta dapat dipertanggung
jawabkan. Dahulu, era globalisasi merupakan kondisi yang tidak terelakkan oleh
semua bangsa di dunia bahkan oleh umat manusia di bumi ini. Globalisasi bukanlah
sesuatu yang kecil dan mampu ditangani serta terselesaikan secara langsung
maupun tidak langsung. Pendidikan berpengaruh terhadap kehidupan suatu bangsa
untuk masuk dan memperoleh dampak-dampak yang ditimbulkan arus globalisasi
tersebut. Dampak yang ditimbulkan arus globalisasi tersebut telah melanda di
bidang kehidupan masyarakat bangsa Indonesia pada khususnya, baik bidang
sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan dalam bidang pendidikan.
Dunia pendidikan di Indonesia juga mendapatkan pengaruh besar akibat
pesatnya digitalisasi yang berkembang saat ini. Salah satu pengaruhnya adalah
2

dalam hal peningkatan mutu dan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang
masih rendah. Bahkan dalam lingkup regional, bangsa Indonesia berada pada
peringkat 6 dari 10 negara ASEAN. Peringkat tersebut lebih rendah daripada
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand bahkan Filipina. Permasalahan
lain di bidang pendidikan saat ini tidak lain adalah sekolah masih bertumpu pada
semangat mulia dengan visi kerakyatan serta menjadikan dunia pendidikan sebagai
“ladang bisnis” untuk memperoleh keuntungan para penyelenggara pendidikan
sehingga hal tersebut bukan menjadi rahasia umum lagi.
Pendidikan sangat berperan penting dalam kehidupan manusia dan bahkan
tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kehidupan manusia. Dengan kata
lain, kebutuhan manusia terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan
pribadi, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Pengoptimalan sistem
pendidikan akan berdampak pada kemajuan pendidikan yang telah dicita-citakan
oleh bangsa Indonesia. Namun sebaliknya bila proses pendidikan yang dijalankan
tidak berjalan secara baik maka kemajuan tersebut tidak akan terealisasikan.
Betapapun terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap
pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak
sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat
bergantung pada kontibusinya pendidikan. Pendidikan merupakan usaha agar
manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau
cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat”. Namun didalam dunia
pendidikan sendiri banyak masalah-masalah pendidikan yang dihadapi di era
globalisasi ini. Baik itu masalah yang bersifat internal maupun eksternal.
Selama ini sering dikemukakan bahwa pendidikan merupakan hak asasi yang
dimiliki oleh setiap warga negara. Tidak kurang konstitusi, undang-undang bahkan
doktrin agama mengakui hal tersebut. Akan tetapi, kenyataan yang kita hadapi
sekarang ini menunjukkan hal sebaliknya. Untuk mencapai program wajib belajar
yang dicanangkan oleh pemerintah saja, yaitu sembilan tahun, masih banyak
masyarakat yang sangat kesulitan untuk merealisasikan hal tersebut. Bukan tanpa
alasan atas ketidak mampuan mereka akan hal itu. Ketidak mampuan masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan yang layak tersebut karena masih banyaknya
3

lembaga-lembaga pendidikan terutama lembaga pendidikan negeri yang masih


mahal dalam menerapkan biaya pendidikannya. Ditambah pungutan-pungutran liar
yang belakangan semakin marak di instansi-instansi pendidikan yang ada sekarang
ini. Hal ini harus segera diperhatikan secara khusus oleh pemerintah dan ada
penyelasaian yang jelas, terutama kementrian pendidikan dan kebudayaan.
Mengingat pentingnya akan hal tersebut demi menjadikan bangsa ini bangsa yang
maju dalam hal pendidikannya.
Reformasi di dunia pendidikan hanya sebatas perubahan, seperti contoh
pergantian nama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi Ujian Nasional (UN), tes
calon mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri yang dulu bernama SPMB
(Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) sekarang menjadi SNMPTN (Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) menjadi Kementrian Pendidikan Nasional dan perubahan nama yang
terdapat pada wilayah pendidikan dasar dan menengah seperti SLTP menjadi SMP,
SMU menjadi SMA. Indonesia memiliki sekitar 21.000 SLTP dan 9000 SMU (tidak
termasuk MTS dan MA) sehingga jika terjadi pergantian nama sekolah tersebut
masing-masing memerlukan biaya sekitar 2 juta (untuk membuat papan nama,
stempel, amplop dan kertas kop sekolah), maka diperlukan biaya 60 milyar.
Sehingga dengan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut cukup untuk
merehabilitasi 1.000 gedung SD yang terancam roboh.
Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya terjadi di dunia perguruan tinggi,
tetapi juga di sekolah dasar sampai sekolah menengah keatas. Walaupun sekarang
sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tetapi hal tersebut
masih belum mencukupi biaya pendidikan khususnya bagi masyarakat yang kurang
mampu. Biaya sekolah saat ini sudah mulai ikut menentukan siapa yang akan
sekolah dan kemana arah pendidikan khususnya masyarakat Indonesia hendak
melangkah. Tanpa adanya uang tidak mungkin seorang anak yang kurang mampu
dapat menikmati pendidikan sekolah. Uang sangat berperan dalam kehidupan
manusia yang paling dasar. Pendidikan di Indonesia masih merupakan investasi
yang mahal sehingga diperlukan perencanaan keuangan serta persiapan dana
pendidikan sejak dini. agar pendidikan anak terus berlanjut dan tidak putus sekolah.
4

Akibat tanggung jawab orang tua sangat berat terhadap pendidikan untuk
membiayai anak sejak lahir sampai menginjak ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi sesuai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, setiap warga negara
berhak mendapatkan dan mengikuti pendidikan dasar, maka pemerintah wajib
membiayainya. Hal ini tercantum dalam undang-undang sistem pendidikan
nasional atau biasa disebut dengan Sisdiknas yang menyebutkan bahwa “setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu”.
Setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib memberikan bantuan
pembiayaan, layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Harapan agar
pemerintah mampu memberikan kebijakan dan peduli terhadap pendidikan
masyarakat Indonesia untuk membiayainya apalagi dengan keadaan bangsa
Indonesia saat ini yang banyak mengalami problema rusaknya lembaga Pendidikan
seperti terjadinya komersialisasi dalam bidang pendidikan. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka makalah ini akan membahas lebih dalam tentang
“Komersialisasi Pendidikan”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Latar Belakang dan Konsep Komersialisasi Pendidikan ?
2. Aspek-aspek yang Memunculkan Komesialisasi Pendidikan ?
3. Bagaimana dampak komersialisasi Pendidikan ?
4. Bagaimana solusi untuk mengatasi komersialisasi Pendidikan ?
5. Bagaimana kaitannya dengan pasal 48 UU Sisdiknas yang dinyatakan bahwa
pengelolaan pembiayaan pendidikan harus menegakkan prinsip-prinsip
keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik ?
5

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Latar Belakang dan Konsep Komersialisasi Pendidikan ?
2. Aspek-aspek yang Memunculkan Komesialisasi Pendidikan ?
3. Bagaimana dampak komersialisasi Pendidikan ?
4. Bagaimana solusi untuk mengatasi komersialisasi Pendidikan ?
5. Bagaimana kaitannya dengan pasal 48 UU Sisdiknas yang dinyatakan
bahwa pengelolaan pembiayaan pendidikan harus menegakkan prinsip-
prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik ?
6

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Komersialisasi Pendidikan

Dalam era pasar bebas dan bisnis yang serba kompetitif saat ini berlaku apa
yang diramalkan oleh Titus Maccius Plautaus (184 SM) bahwa “homo homini
lupus” atau setiap orang bakal tega memakan orang lain. Hal tersebut ternyata
menjadi sebuah kenyataan yang berlaku dalam dunia pendidikan terutama pada saat
tahun ajaran baru banyak perguruan tinggi bahkan sekolah-sekolah berlomba untuk
menarik berbagai tarif atau biaya pendidikan. Pendidikan dikomersilkan dengan
alasan karena mutu pendidikan memerlukan biaya pendidikan yang memadai.
Sehingga sekolah yang bermutu dianggap sebagai sekolah yang mahal dan hanya
dapat dinikmati oleh golongan orang the have atau golongan orang-orang berada.
Sesuai dalam filsafat materialisme Marx, yang menyatakan bahwa sepanjang
kehidupan manusia hidup dalam wilayah material yang nyata dalam rangka
melakukan aktualisasi kebutuhan ekonomi, bahwa uang adalah sesuatu yang
bernilai dan mewujudkan kualitas manusia.
Komersialisasi pendidikan mempunyai makna dalam memperdagangkan
pendidikan, menurut kamus kata komersial atau commercialize berarti
memperdagangkan. Dikemukakan oleh Milton Friedman dan Frederik Van Hayek
dalam Wibowo (2008 : 115) bahwa “komersialisasi pendidikan merupakan keadaan
pendidikan yang berpegang pada masyarakat industri dan selera pasar (market
society)”. Selain itu, juga diungkapkan oleh Habibie dalam Darmaningtyas (2005:
257), bahwa “komersialisasi pendidikan telah mengantarkan pendidikan sebagai
instrument untuk melahirkan buruh-buruh bagi sektor industri, bukan sebagai
proses pencerdasan dan pendewasaan masyarakat”. Adanya komersialisasi
pendidikan telah menggambarkan keadaan pendidikan saat ini bahwa pendidikan
lebih mengarah kepada praktik pendidikan layaknya lembaga penghasil mesin yang
siap mem-supplay pasar industri dan diukur secara ekonomis.
7

Sedangkan menurut pendapat Giroux dalam Wibowo (2008 : 115), “adanya


komersialisasi pendidikan telah mengubah institusi pendidikan yang berbasis
efisiensi ekonomis menjadi perusahaan penyedia elite masyarakat dan kuli kerja”.
Akibat komersialisasi pendidikan inilah, banyak lembaga pendidikan yang
kemudian menganut paradigma pendidikan yang bersifat ekonomis. Banyak
lembaga pendidikan yang akhirnya gagal mengimplikasikan bahwa proses
pembelajaran menjadi salah satu pilar utama dalam humanisasi hidup manusia.
Komersialisasi pendidikan secara tidak langsung juga telah menciptakan jurang
pemisah antara pihak yang mempunyai modal dan pihak yang mempunyai sedikit
modal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ivan lllich dalam Susanto (2005:
119), “komersialisasi pendidikan dianggap sebagai misi lembaga pendidikan
modern mengabdi kepada kepentingan pemilik modal dan bukan sebagai sarana
pembebasan bagi kaum tertindas”. Akibatnya pendidikan yang humanisasi tidak
tercapai dalam proses pendidikan karena adanya komersialisasi pendidikan
menurut Satriyo Brojonegoro hanya mampu dinikmati oleh pihak-pihak tertentu
yang memiliki modal untuk mengakses pendidikan (Darmaningtyas, 2005 :31).
Selain istilah komersialisasi pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli di
atas, komersialisasi pendidikan menurut Wibowo (2008: 111) juga mengacu pada
dua pengertian yang berbeda bahwa : komersialisasi hanya mengacu pada lembaga
pendidikan dengan program pendidikan serta perlengkapan yang serba mahal.
Selain itu, komersialisasi pendidikan juga mengacu pada lembaga-lembaga
pendidikan yang hanya mementingkan penarikan uang pendaftaran dan uang
sekolah saja, tetapi mengabaikan kewajiban yang harus diberikan kepada siswa.
Komersialisasi pendidikan yang mengacu pada lembaga pendidikan dengan
program pembiayaan sangat mahal. Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat
dinikmati oleh sekelompok masyarakat ekonomi kuat, sehingga lembaga tersebut
tidak dapat disebut dengan istilah komersialisasi karena mereka memang tidak
memperdagangkan pendidikan, tetapi uang pembayaran sekolah sangat mahal.
Pemungutan biaya tinggi hanya untuk memfasilitasi jasa pendidikan serta
menyediakan infrastruktur pendidikan bermutu, seperti menyediakan fasilitas
teknologi informasi, laboratorium dan perpustakaan yang baik serta memberikan
8

kepada para guru atau dosen gaji menurut standar. Sedangkan untuk sisa anggaran
yang diperoleh, digunakan untuk menanamkan kembali bentuk infrastruktur
pendidikan. Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme
pendidikan nasional atau idealisme Pancasila, tetapi dapat menimbulkan
diskriminasi dalam pendidikan nasional.
Komersialisasi pendidikan yang mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan
yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang kuliah, tetapi mengabaikan
kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasa dilakukan
oleh lembaga atau sekolah-sekolah yang menjanjikan pelayanan pendidikan, tetapi
tidak sepadan dengan uang yang pungut. Laba atau selisih anggaran yang diperoleh
oleh lembaga pendidikan atau sekolah tersebut biasanya tidak ditanam kembali ke
dalam infrastruktur pendidikan, tetapi dipergunakan untuk memperkaya atau
menghidupi pihak-pihak yang tidak secara langsung bekerja menyajikan pelayanan
di lembaga tersebut. Pihak-pihak tersebut adalah anggota yayasan atau badan amal
pendidikan yang menguasai lembaga pendidikan. Komersialisasi jenis ini
melaksanakan praktik pendidikan dengan maksud memperoleh gelar akademik
tanpa melalui proses serta mutu yang telah ditentukan sehingga dapat membunuh
idealisme pendidikan Pancasila. Hal tersebut jelas tercantum di dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab 1 pasal
1 yang berbunyi bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak yang mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara
Komersialisasi pendidikan dan privatisasi pendidikan sebenarnya merupakan dua
hal yang berbeda. Privatisasi berarti keinginan untuk mencari keuntungan yang
hampir mempunyai kesamaaan dengan komersialisasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi diartikan: Perbuatan
menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Merujuk pada arti itu, komersialisasi
pendidikan dapat diartikan: Menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan.
Komersialisasi pendidikan atau mengomersialisasikan pendidikan kerap
9

ditimpakan kepada kebijakan atau langkah-langkah yang menempatkan pendidikan


sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.. Selain itu, juga diungkapkan oleh
Habibie (2005: 257), bahwa “komersialisasi pendidikan telah mengantarkan
pendidikan sebagai instrument untuk melahirkan buruh-buruh bagi sektor industri,
bukan sebagai proses pencerdasan dan pendewasaan masyarakat”. Adanya
komersialisasi pendidikan telah menggambarkan keadaan pendidikan saat ini
bahwa pendidikan lebih mengarah kepada praktik pendidikan layaknya lembaga
penghasil mesin yang siap mem-supplay pasar industri dan diukur secara ekonomis
(Hartini, 2011 : 16).
Akibat komersialisasi pendidikan inilah, banyak lembaga pendidikan yang
kemudian menganut paradigma pendidikan yang bersifat ekonomis. Banyak
lembaga pendidikan yang akhirnya gagal mengimplikasikan bahwa proses
pembelajaran menjadi salah satu pilar utama dalam humanisasi hidup manusia
(Hartini, 2011: 16). Komersialisasi pendidikan secara tidak langsung juga telah
menciptakan jurang pemisah antara pihak yang mempunyai modal dan pihak yang
mempunyai sedikit modal. Akibatnya pendidikan yang humanisasi tidak tercapai
dalam proses pendidikan karena adanya komersialisasi pendidikan menurut Satriyo
Brojonegoro hanya mampu dinikmati oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki
modal untuk mengakses pendidikan (Hartini, 2011 : 16).
Dengan demikian, dari pengertian komersialisasi pendidikan menurut para
ahli di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa komersialisasi pendidikan
merupakan suatu keadaan atau situasi di dunia pendidikan yang lebih
mengutamakan paradigma pendidikan dalam hal ekonomis (keuntungan) sehingga
pengukuran keberhasilan pendidikan dalam proses humanisasi tidak tercapai.
Akibatnya individu yang berasal dari kelas sosial rendah tidak mempunyai
kesempatan untuk memperoleh akses pendidikan yang layak dan berkualitas seperti
individu yang yang berasal dari kelas sosial atas.
10

B. Aspek-aspek yang Memunculkan Komesialisasi Pendidikan

Berikut beberapa alasan penyebab terjadinya komersialisasi pendidikan yaitu:

1. Swastanisasi pendidikan sebagai bagian dari liberalisme yang semakin


mengglobal dan menyentuh berbagai bidang pendidikan. Menurut Ritzer
(2005: 564-565), privatisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari
“McDonalsasi Masyarakat” (McDonaldization Of Society) yang menjunjung
prinsip kuantifikasi, efisiensi, terprediksi dan teknologisasi dalam setiap sendi
kehidupan. Seperti halnya barang-barang konsumsi, pendidikan tidak lagi
dipandang sebagai public good, tetapi private good yang tidak lagi harus
disediakan oleh pemerintah secara massal untuk menjamin harga murah.
2. Pemerintah kurang atau tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai
sektor pendidikan. Sebagai contoh mengalami kesulitan dana akibat krisis
ekonomi. Keadaan tersebut dapat menjadi sebuah kebenaran, tetapi dapat juga
menjadi sebuah kebohongan. Artinya, pemerintah bukan dikatakan tidak
mampu, tetapi tidak memiliki visi untuk berinvestasi di bidang pendidikan.
3. Pemerintah tidak mampu mengelola pendidikan sebagai sektor publik dengan
baik. Sehingga lembaga pendidikan menjadi tidak efisien (mahal dan tidak
sesuai dengan biaya yang dikeluarkan), tidak kompetitif (tidak termotivasi
untuk bersaing meningkatkan mutu) dan tidak berkembang sebab swastanisasi
merupakan cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
4. Lembaga pendidikan kurang memiliki kreativitas dan inovasi dalam melakukan
“fund raising”, sehingga hanya mengandalkan siswa dan orangtua sebagai
target utama perolehan dana.

Selain itu ada beberapa Berikut beberapa aspek yang memunculkan


komersialisasi pendidikan :
1. Aspek Politik
Pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar manusia dan yang harus
dipenuhi oleh setiap manusia juga memiliki aspek politik karena dalam pengelolaan
harus berdasarkan ideologi yang dianut negara. Adapun ideologi pendidikan kita
adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat
11

kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan. Dalam Pembukaan
UUD 45 pada alinea ke-4, hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan
kehidupan bangsa. Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan
setiap kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi dalam
kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999
tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah
memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan
lembaganya termasuk pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Apabila
pendidikan tetap mahal dan dikomersialisasikan, masyarakat yang kurang mampu
tidak akan dapat meningkatkan status sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi
pendidikan ini didukung oleh tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat.

2. Aspek Budaya
Bangsa kita mengagungkan gelar akademis dan sebagai contoh dihampir
setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan selalu terpajang foto wisuda
anggota keluarga lulusan dari universitas manapun. Hal ini menunjukkan bahwa
bangsa kita masih menganut budaya yang degree minded. Budaya berburu gelar ini
berkembang pada lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan
pegawai yang memiliki gelar sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites
kemampuan akademik mereka. Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak
diminati oleh pejabat-pejabat.

3. Aspek Ekonomi
Ekonomi sudah pasti kita akan membicarakan aspek ekonomi terkait dengan
masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab
pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UUNo. 20 Tahun 2003 pada bab XIV
pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan
memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan
ketidakmampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional, khususnya
pendidikan tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak 75% dan
25% lagi berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP.
12

4. Aspek Sosial
Pendidikan sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang, yaitu
semakin tinggi pendidikan seseorang, akan semakin meningkat pula strata
sosialnya, begitu juga sebaliknya. Tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf
kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara
yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat mencapai pendidikan tinggi
apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati oleh
masyarakat golongan ekonomi mapan saja. lantas bagaimana dengan masyarakat
golongan ekonomi lemah.

5. Aspek Teknologi
Dengan berkembang pesatnya teknologi maka semakin menuntut sekolah-
sekolah untuk menunjang berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan belajar
mengajar. Tapi, tak jarang lembaga pendidikan menjadikannya sebagai tameng
untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Biasanya lembaga pendidikan berujar,
“Ini dilakukan agar para peserta didik bisa mengikuti perkembangan teknologi yang
dari hari ke hari semakin maju. “Oleh karena, uang masuk ataupun SPP di sekolah
ataupun perguruan tinggi semakin mahal, implikasinya peserta didik yang berasal
dari ekonomi menengah ke bawah tidak bisa menyanggupinya. Ujung-ujungnya,
mereka ketinggalan dalam hal teknologi. Padahal dengan perkembangan teknologi
bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kesejahteraan, dan kehidupan
bangsa.

C. Dampak Komersialisasi Pendidikan


Secara teoritis, komersialisasi pendidikan yang terjadi telah memberi
pengaruh atau dampak terhadap proses pendidikan di Indonesia, baik yang bersifat
positif maupun negatif. Berikut beberapa kebaikan dari adanya komersialisasi
pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Beban pemerintah dalam membiayai pendidikan semakin berkurang sehingga
anggaran yang tersedia dapat digunakan untuk membiayai aspek lain yang lebih
mendesak.
13

2. Memberi peluang lebih besar kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi


dalam mencerdaskan bangsa.
3. Lembaga pendidikan menjadi semakin kompetitif sehingga terjadi peningkatan
fasilitas dan mutu pendidikan.
4. Gaji para pendidik (guru maupun dosen) dapat lebih ditingkatkan. Kesejahteraan
yang lebih baik diharapkan dapat memacu kepuasan kerja dan kinerja mereka
dalam mencerahkan anak didik.
Lemahnya kebijakan pemerintah dan penegakan hukum dapat mendistorsi
swastanisasi pendidikan yang sebelumnya bertujuan mulia. Komersialisasi
pendidikan juga dapat membawa dampak sosial yang tidak dapat diharapkan jika
tidak disertai aturan dan etika sosial yang benar serta jelas. Berikut dampak negatif
yang ditimbulkan dari adanya komersialisasi pendidikan di Indonesia yaitu:
1. Pendidikan menjadi mahal Pendidikan menjadi “barang mewah” yang sulit
dijangkau oleh masyarakat luas khususnya bagi yang kurang mampu. Hal ini
dapat meningkatkan angka putus sekolah pada masyarakat kurang mampu yang
akhirnya berdampak pada peningkatan pengangguran, anak jalanan, pekerja
anak dan kriminalitas.
2. Gap dalam kualitas Pendidikan. Privatisasi pendidikan dapat meningkatkan
kompetisi yang mampu menciptakan polarisasi lembaga pendidikan. Lembaga
yang menang dalam persaingan dan perburuan dana akan menjadi sekolah
unggulan. Lembaga pendidikan yang kalah akan semakin terpuruk menjadi
sekolah “kurang gizi”.
3. Diskriminasi. Kesempatan memperoleh pendidikan semakin sempit dan
diskriminatif. Masyarakat dari kelas sosial tinggi dapat memperoleh pendidikan
relatif mudah, sedangkan masyarakat yang berasal dari kelas sosial rendah
semakin sulit sehingga cenderung mendapatkan pendidikan yang seadanya.
4. Stigmatisasi. Adanya segregasi kelas sosial antara kaya dan miskin.
Konsekuensinya terjadi pelabelan sosial bahwa sekolah ternama adalah sekolah
milik orang dari kelas sosial tinggi. Sebaliknya, sekolah sederhana adalah
sekolah bagi masyarakat kelas sosial rendah. Masyarakat biasa yang bersusah
14

payah menyekolahkan anaknya, harus menerima kenyataan menjadi warga kelas


dua karena “sumbangan dana pendidikannya” rendah.
5. Perubahan Misi Pendidikan. Komersialisasi dapat menggeser “budaya
akademik” menjadi “budaya ekonomis” sehingga mengubah tujuan pendidikan
yaitu untuk mencerdaskan masyarakat. Para pendidik kemudian berubah
menjadi pribadi yang memiliki mentalitas “pedagang” daripada mentalitas
pendidik. Mencari pendapatkan tambahan lebih menarik daripada
mengembangkan pengetahuan akibatnya lebih terdorong untuk mengumpulkan
“kredit koin” daripada “kredit point”.
6. Memacu komersialisasi dan gaya hidup “besar pasak daripada tiang” akibatnya
banyak peserta didik dari kalangan kelas sosial tinggi yang membawa barang
mewah seperti mobil mahal ke sekolah.
7. Memperburuk kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kepemimpinan masa
depan. Adanya dorongan misi untuk meningkatkan akumulasi kapital sebesar-
besarnya, lembaga pendidikan kemudian lebih banyak menerima pelajar-pelajar
yang berasal dari kelas sosial atas walaupun memiliki kecerdasan yang sedang.
Pelajar yang berprestasi tetapi kurang mampu, tidak dapat sekolah atau
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Keadaan ini dapat mengancam
kepemimpinan masa depan. Sehingga mobilitas sosial vertikal hanya akan
menjadi milik masyarakat yang mampu sekolah tinggi, meskipun secara
intelektual diragukan.
8. Rantai kemiskinan semakin mustahil diputuskan oleh pendidikan. Secara
sederhana, rantai kemiskinan dapat digambarkan karena miskin orang tidak tidak
dapat sekolah, karena tidak sekolah, seseorang tidak dapat pekerjaan yang baik
karena tidak dapat pekerjaan sehingga menjadi miskin begitu seterusnya.
Pendidikan sebagai alat pemberdayaan yang dapat memutus rantai kemiskinan
(vicious circle of povery) semakin kehilangan fungsinya. Dalam konteks ini,
komersialisasi pendidikan dapat mengarah pada pelanggengan “poverty trap”
jebakan kemiskinan.

Walaupun komersialisasi pendidikan pada dasarnya mendatangkan


keuntungan keuangan bagi penyelenggara pendidikan tinggi. Namun dampak
15

komersialisasi tersebut lambat laun akan terasa dalam proses tata kelola pendidikan
tinggi. Hal ini secara gamblang disampaikan oleh Derek Bok yang secara khusus
menyebut beberapa kerugian yang harus dibayar atas pilihan menjalankan
komersialisasi pendidikan. Kerugian tersebut antara lain: komersialisasi dapat
merongrong standar akademik, komersialisasi dapat meronrong semangat
kolegialitas dan kepercayaan di antara anggota komunitas akademik, dan
komersialisasi dapat merusak citra universitas di mata publik. Pertama,
komersialisasi dapat merongrong standar akademik. Contoh nyata dalam masalah
ini terdapat pada pola perekrutan dosen. Calon yang lebih diutamakan adalah calon
yang mempunyai koneksi dengan dunia bisnis dan kemungkinan besar dapat
mendatangkan proyek kerjasama yang secara finansial menguntungkan tanpa
memperhatikan kualifikasinya sebagai tenaga pengajar dan pendidik, standar
akademik universitas itu cepat atau lambat akan merosot. Demikian juga kalau
dalam merekrut dosen pertimbangan utamanya adalah mana yang jenis
penelitiannya akan mendatangkan hak paten yang menunjang kepentingan bisnis,
tetapi tidak memperhatikan kemampuannya dalam mengajar dan membimbing
mahasiswa melakukan penelitian yang baik, rekrutmen seperti itu juga akan
memerosotkan standar akademik. Hal ini telah banyak terlihat di pendidikan tinggi
di Indonesia. Maraknya perekrutan dengan atas pertimbangan menambah kapitral
dapat mengakibatkan tenaga pendidikan tersebut diragukan dan tidak berkualifikasi
terhadap bidang yang digelutinya.
Komersialisasi dapat mengancam prinsip kependidikan karena motif mencari
untung dapat menggeser fokus dari menyediakan sarana pembelajaran yang terbaik
yang secara optimal dapat diberikan berdasarkan sumber daya yang ada, ke upaya
menaikkan pendapatan sebesar-besarnya dengan mengurangi biaya sampai sekecil
mungkin tanpa kehilangan pelanggan. Universitas yang sudah ternama memungut
biaya pendidikan yang amat mahal, tetapi tidak mengimbangi dengan mutu layanan
yang memadai. Para dosen seniornya jarang mengajar, sehingga para mahasiswa
lebih sering diajar oleh asisten dosen.
Motif mengejar untung dapat mengakibatkan universitas dapat mengurangi
luas layanan yang seharusnya guna memperoleh surplus yang lebih besar. Misalnya
16

program studi MBA hanya buka untuk kelas eksekutif dengan bayaran mahal,
sehingga hanya para manajer dari perusahaan yang besar saja yang dapat masuk
sedangkan para manajer dari perusahaan yang kecil yang sebenarnya potensial tidak
mendapatkan akses. Penelitian ilmiah yang disponsori suatu perusahaan, hasilnya
tidak jarang tidak boleh dipublikasikan secara umum karena akan menguntungkan
perusahaan pesaing dan merugikan perusahaan pemasok dana. Tetapi kerahasiaan
hasil penelitian ilmiah ini mengurangi luas layanan yang seharusnya diberikan oleh
universitas.
Komersialisasi pendidikan juga dapat menimbulkan kerugian moral berupa
sikap sinis para mahasiswa terhadap prinsip-prinsip moral yang ingin
diperjuangkan oleh lembaga karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana prinsip-prinsip yang digariskan dalam kode etik perguruan tinggi dan
diajarkan di kelas itu terang-terangan dikhianati oleh lembaga tempat mereka
belajar. Misalnya kalau di kampus terjadi jual beli nilai atau soal ujian hanya karena
para dosennya cenderung mata duitan, nilai kejujuran akademik dan disiplin kerja
keras di kampus itu akan merosot. Kesetiaan dan kepatuhan pada aturan main
akademik dalam melakukan penelitian ilmiah juga akan tidak terjadi. Kalau
pimpinan Perguruan Tinggi mau menerima sejumlah uang dari suatu perusahaan
sebagai pelicin ijin untuk menggunakan kampus untuk tempat jualan produknya,
kiranya secara moral akan mengalami kesulitan untuk melarang mahasiswanya
yang menerima beasiswa dari sebuah perusahaan dengan syarat dia menjadi “sales
promotion girl” untuk produk perusahaan tersebut di kampusnya (Bok, 2008: 108-
113)
Kedua, komersialisasi dapat meronrong semangat kolegialitas dan
kepercayaan di antara civitas akademika dengan menciptakan pemisahan dan
ketegangan yang sebelumnya tidak ada di antara civitas akademika.6 Misalnya,
dosen yang sebelumnya kerja keras dengan melaksanakan tugas-tugas
akademiknya secara setia, akan menjadi tidak suka terhadap koleganya yang
sebenarnya juga dosen tetap tetapi dalam praktek menjadi dosen luar biasa (atau
lebih tepat disebut biasa di luar) karena sibuk berbisnis atau memberi konsultasi
sana sini. Para dosen ilmu-imu kemanusiaan dan budaya akan merasa kurang
17

dihargai oleh pimpinan yang sering mengagung-agungkan dosen-dosen bidang


studi yang lebih mendatangkan uang ke lembaga. Friksi juga akan terjadi kalau
pimpinan memandang para profesor peneliti yang mendatangkan hak paten lebih
berharga bagi lembaga sehingga digaji jauh lebih tinggi dibandingkan para dosen
biasa yang setia mengajar dan membimbing para mahasiswa. Para mahasiswa
program pasca sarjana akan merasa dimanfaatkan oleh dosennya kalau hasil
penelitian mereka digunakan begitu saja di perusahaan tempat dosen tersebut
menjadi konsultannya, sehingga dalam melakukan penelitian mereka juga akan
kehilangan rasa percaya dan sikap hormat kepada dosen tersebut.
Ketiga, komersialisasi dapat merusak citra universitas di mata publik.7 Secara
tradisional universitas termasuk lembaga yang layak dipercaya oleh publik karena
universitas ada untuk suatu tujuan luhur demi kepentingan umat manusia secara
keseluruhan. Pada umumnya publik percaya bahwa di situ pihak-pihak yang terlibat
di dalamnya berkomitmen mengejar tujuan bersama yang tidak hanya mencari
keuntungan diri sendiri. Sebaliknya, mereka berdedikasi untuk mencari dan
menemukan kebenaran serta mengembangkan dalam diri para mahasiswanya
kemampuan berpikir, bercitarasa keindahan dan bertindak secara bertanggung
jawab.

D. Solusi Mengatasi Komersialisasi Pendidikan

Munculnya komersialisasi pendidikan adalah sebagai akibat dari pelepasan


tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subsidi pembiayaan terutama
pada perguruan tinggi dan pemberian hak otonomi serta status BHMN pada
perguruan tinggi negeri. Perlu diketahui banyak dari para pembisnis menjadikan
dunia pendidikan sebagai salah satu tonggak utama usaha mereka dengan membuka
yayasan-yayasan pendidikan tentu saja dengan tujuan “mendapatkan keuntungan”
bukan lagi “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti tertera pada UUD 1945.
Prinsip nirlaba mestinya menjadi roh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Sehingga diharapkan bisa mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan
kapitalisasi dunia pendidikan. Karena prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan
pendidikan, menekankan bahwa kegiatan pendidikan tujuan utamanya tidak
18

mencari laba, melainkan sepenuhnya untuk kegiatan meningkatkan kapasitas


dan/atau mutu layanan pendidikan.
Dewasa ini seperti yang sudah diketahui dana APBN sebesar 20% tidak
dapat mencegah makin maraknya komersialisasi pendidikan diIndonesia, belum
lagi pendidikan yang seyogyanya dijadikan jasa yangdapat dinikmati setiap orang
seolah-olah menjadi komoditas utama yangdapat bahkan harus dijual dengan harga
tinggi. Berikut solusi alternatif penanggulangan komersialisasi pendidikan:
1. Pembentukan lembaga non pemerintah yang diberi kewenangan untuk
mengawasi jalannya sistem pendidikan. Alasan mengapa lembaga ini harus
bersifat non pemerintah adalah agar dalam pelaksanaannya, lembaga ini tidak
terpengaruh dan tidak tertekan oleh pihak manapun. Lembaga ini nantinya
diharapkan mampu bersikap mandiri dan independen, sehingga ketika terjadi
penyimpangan, mereka berani melaporkan apa yang sebenarnya terjadi tanpa
takut akan ancaman apapun dan dari siapapun. Lembaga ini berhak melakukan
evaluasi terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang pendidikan, seperti
dana BOS dan sekolah dengan status RSBI, agar dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Meskipun bersifat nonpemerintah, dalam melaksanakan tugasnya,
lembaga ini tetap harus berkoordinasi dengan Departemen Pendidikan untuk
mencapai tujuan mulia bersama.
2. Pemberian beasiswa yang lebih gencar kepada para pelajar yang berprestasi dan
tidak mampu dalam hal biaya. Upaya ini sebagai antisipasi agar para pelajar
yang berprestasi dan tidak mampu dapat terus melanjutkan pendidikan tanpa
harus terbebani biaya dan termotivasi untuk belajar lebih baik. Pencanangan
program “Wajib Belajar 12 Tahun”. Pada program ini, nantinya SMA/sederajat
memperoleh aliran dana BOS, sehingga biaya pendidikan dapat ditanggung
oleh pemerintah dan tidak begitu memberatkan bagi orangtua/wali murid. Hal
ini dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi komersialisasi dan komoditasi
pendidikan di jenjang SMA, dan biaya tinggi tak lagi menjadi alasan bagi
mereka yang tidak mampu untuk berhenti belajar disekolah.
3. Pemeriksaan rutin transaksi keuangan di seluruh lembaga pendidikan (tingkat
dasar, menengah, dan perguruan tinggi), baik negeri maupun swasta, oleh
19

lembaga pemerintah dan non pemerintah. Dari lembaga pemerintah dapat


diwakilkan oleh Badan PemeriksaKeuangan (BPK), sedangkan dari lembaga
non pemerintah dapat diwakilkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang peduli dengan dunia pendidikan.
4. Penarikan uang untuk biaya sekolah seharusnya disampaikan dengan jelas dan
terinci. Biasanya modus penarikan untuk pendidikan yang bermacam- macam.
Diantaranya pembayaran ekstrakulikuler, dana untuk keselamatan, dana untuk
membeli gorden kelas, biaya wisuda, sertabiaya untuk membeli LKS dan
seragam.
5. Penggunaan dana BOS dengan sasaran yang tepat. Adanya dana BOS dari
Dinas Pendidikan seharusnya digunakan dengan sebaik-baiknya untuk
menunjang sarana prasarana lembaga pendidikan. Tak hanya biaya sekolah
yang mahal tetapi fasilitas yang didapat tidak sebanding dengan biaya yang
dikeluarkan. Biaya yang besar dikeluarkan juga mempengaruhi kualitas dari
peserta didik. Semakin mahal sekolah maka semakin baik kualitas pendidikan
ditempat tersebut. Apakah hal ini dapat dibenarkan, tentu saja tidak. Hal ini
tidak menjamin.

E. Kaitan Pasal 48 UU Sisdiknas Yang Menyatakan Bahwa Pengelolaan


Pembiayaan Pendidikan Harus Menegakkan Prinsip-prinsip Keadilan,
Efisiensi, Transparansi, dan Akuntabilitas Publik.

Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem


pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Standar nasional pendidikan menjadi acuan penjaminan mutu untuk komponen
sistem pendidikan. Komponen sistem pendidikan tersebut salah satunya adalah
tentang standar pembiayaan. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 48
dinyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan,
efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Prinsip-prinsip yang telah
disebutkan dalam undang-undang tersebut harus mendapatkan penekanan dan
perhatian oleh para pemangku kepentingan pendidikan. Tujuannya adalah agar
sisitem pendidikan yang ada berjalan dengan sesuai dengan tujuan pendidikan
20

nasional. Namun pada kenyataanya, saat ini masih belum semua lembaga
pendidikan menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Seperti yang ditulis dalam
kompas.com bahwa penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia terhadap 3.600
orang tua siswa dari 720 sekolah disejumlah tanah air, hasilnya adalah 71,61 persen
orang tua tidak mengetahui laporan BOS dan 92,65 persen tidak melihat papan
pengumuman sekolah tentang penggunaan BOS. Selain itu, 89,58 persen orang tua
tidak berpartisipasi dalam perencanaan BOS dan memberikan saran kepada
sekolah.
Dari data dan berita yang ada pengelolaan dana pendidikan dinilai masih
menjadi permasalahan yang besar. Kurangnya kesadaran dan keterlibatan para
pemangku kepentingan pendidikan masih cukup rendah. Selain hal tersebut
dikarenakan pihak sekolah dirasa kurang transparan dan akuntabel dalam
memberikan data dan informasi yang dikelola kepada semua pihak yang terkait
(stakeholders). Undang-Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2008 pasal 2
telah dinyatakan bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses
oleh setiap pengguna informasi publik. Berdasarkan Undang-Undang tersebut,
sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan harus memberikan pelayanan
dan informasi yang lebih baik. Artinya sekolah memberikan hak dan kemudahan
akses kepada semua pihak yang berkepentingan dan terkait (stakeholder) untuk
memperoleh informasi yang transparan dan akuntabel.
Transparansi dan akuntabilitas merupakan prinsip yang harus diupayakan dan
diterapkan oleh sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Penerapan
prinsip-prinsip tersebut akan membawa efek positif kepada semua publik dan pihak
yang terkait (stakeholders). Sehingga persepsi yang ditimbulkan oleh publik dan
pihak yang terkait (stakeholders) adalah bahwa sekolah merupakan lembaga
penyelenggara pendidikan yang bersih dan berwibawa. Sekolah yang bersih dan
berwibawa artinya sekolah tersebut tidak KKN dan profesional. Pengelolaan dana
merupakan pokok penting yang berkaitan dengan profesionalitas sekolah. Oleh
karena itu sekolah harus melibatkan semua komponen pendidikan yang ada, baik
itu komite dan pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan (stakeholders).
21

Biaya (cost) merupakan istilah yang secara umum berkaitan erat dengan
administrasi keuangan. Biaya pendidikan merupakan komponen yang dianggap
penting dalam menunjang proses keberlangsungan kegiatan pendidikan. Anggapan
penting tersebut terkait dengan kegiatan pendidikan di sekolah seperti kegiatan
akademik, kegiatan kesiswaan dan kegiatan lainnya. Kegiatankegiatan tersebut
tentunya selalu membutuhkan biaya dalam prosses keberlangsungannya, agar
kegiatan-kegiatan tersebut tecapai secara optimal. Biaya merupakan sejumlah uang
yang disediakan atau dialokasikan dan digunakan atau dibelanjakan untuk
terlaksananya berbagai fungsi atau kegiatan guna mencapai suatu tujuan dan
sasaran-sasaran dalam rangka proses manajemen (Hidayati, 2012). biaya dalam
pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (inderect
cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat
pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh
pemerintah, orang tua maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung
berupa keuntungan yang hilang (earning forgone) dalam bentuk biaya kesempatan
yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar
(Fattah,2009).
Pengelolaan dana pendidikan merupakan bagian dari konsep manajemen
keuangan sekolah yang harus direncanakan dan diatur dengan baik dan benar.
Perencanaan tersebut memiliki peranan yang sangat penting sebagai langkah dalam
menyusun dan merumuskan pengelolaan dana pendidikan di sekolah. Keberhasilan
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas juga tidak lepas dari
perencanaan anggaran pendidikan yang mantap serta pengalokasian dana
pendidikan yang tepat sasaran dan efektif (Hidayati, 2012). Ketersedian dan
penggunaan dana pendidikan adalah bagian terpenting dalam pengelolaan dana
pendidikan. Penggunaan dana pendidikan harus tepat sasaran, sehingga
penggunaan dana pendidikan yang ada akan efektif dan efisien.
Dengan demikian, tujuan dan pencapaian pendidikan akan terwujud
sebagaimana mestinya. Penyusunan dan perumusan anggaran maupun dana
pendidikan disekolah harus berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan dana
22

pendidikan yang ada. Hal tersebut terkait dengan dari mana sumber keuangan
berasal dan penggunaan keuangan atau pengeluaran keuangan dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Adapun prinsip-prinsip pengelolaan
keuangan pendidikan seperti yang dikemukakan oleh (Sutedjo, 2009) sebagai
berikut: (1) Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang
disyaratkan, (2) Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/kegiatan,
(3) Terbuka dan transparan, dalam pengertian dari dan untuk apa keuangan lembaga
tersebut perlu dicatat dan dipertanggungjawabkan serta disertai bukti
penggunaannya, (4) Sedapat mungkin menggunakan kemampuan/hasil produksi
dalam negeri sejauh hal ini dimungkinkan.
Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana
pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat
penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi,
akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
1. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menurut PP No. 48 Tahun 2008 merupakan pemberian akses
pelayanan pendidikan yang seluas-luasnya dan merata kepada peserta didik atau
calon peserta didik, tanpa membedakan latar belakang suku, ras, agama, jenis
kelamin, dan kemampuan atau status sosial-ekonomi. Prinsip keadilan dalam
pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal 50 bab V PP 48
tahun 2008 berarti bahwa besarnya pendanaan pendidikan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat disesuaikan dengan kemampuan masing-
masing Sedangkan Raeni (2014) menyimpulkan, prinsip keadilan merupakan
landasan dalam pengelola keuangan sekolah yang mendasari penerimaan dan
alokasi keuangan sekolah serta akses pelayanan pendidikan sesuai dengan
kebutuhan dari masing-masing komponen di sekolah. Komponen tersebut meliputi,
siswa, guru, karyawan sekolah, dan sarana yang menunjang pencapaian tujuan dari
sekolah.
23

Prinsip keadilan merupakan pemberian akses pelayanan pendidikan yang


seluas-luasnya dan merata kepada peserta didik atau calon peserta didik, tanpa
membedakan latar belakang suku, ras, agama, jenis kelamin, dan kemampuan atau
status sosial-ekonomi.Dalam aplikasinya, prinsip keadilan tertuang dalam petunjuk
teknik pengelolaan BOS. Dalam petunjuk teknik tersebut diungkapkan bahwa
pemerintah memberikan bantuan pembiayaan pendidikan menengah, baik untuk
guru maupun siswa. Bantuan tersebut berupa biaya pendidikan tersebut meliputi:
(a) Biaya Investasi Sekolah (Pengelolaan Pendidikan), (b) Biaya Operasional
Sekolah (Biaya di Satuan Pendidikan), dan (c) Biaya Pribadi Peserta Didik.
Dalam PP no. 17tahun 2010 diterangkan bahwa standar pelayanan minimal
bidang pendidikan untuk pemerintah daerah merupakan syarat awal yang harus
dipenuhi untuk menyelenggarakan atau memfasilitasi penyelenggaraan satuan
pendidikan sesuai standar nasional pendidikan secara bertahap. Dengan prinsip
keadilan, maka tujuan dari penyelenggaraan satuan pendidikan sesuai standar
nasional pendidikan akan terwujud. Adapun keberhasilan prinsip keadilan dapat
dilihat dari:
a. Semua orang berhak memperoleh pendidikan yang layak tanpa terkecuali.
b. Masyarakat kurang mampu memperoleh layanan-layanan/ fasilitas khusus
untuk memperoleh pendidikan
2. Prinsip Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang manajemen
berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga
pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan berarti adanya
keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan
sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggung
jawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan
dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam
penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu
transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah,
24

masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan
orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah
(RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang
tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan
mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang
yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu.
Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi
setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan,
yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta
hasil-hasil yang dicapai (Sutedjo, 2009). Transparansi sekolah adalah keadaan
dimana setiap orang yang terkait dengan kepentingan pendidikan dapat mengetahui
proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah (BAN-SM, 2009).
Istilah transparansi haruslah jelas dan tanpa adanya sedikitpun suatu rekayasa yang
dikerjakan oleh sekolah. Sekolah harus memberikan informasi yang benar adanya
dan dapat dipercaya kepada publik. Transparansi akan membawa dampak dan
konsekuensi adanya kontrol yang berlebihan dari publik dan pihak yang terkait
dengan pendidikan (stakeholders). Dengan demikian transparansi tidak sepenuhnya
harus terbuka dan dapat diketahui oleh publik. Prinsip transparansi paling tidak
dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti: (1) Penyediaan informasi yang
jelas tentang prosedur-prosedur, biaya-biaya dan tanggung jawab, (2) Kemudahan
akses informasi , (3) Menyusun suatu mekanisme pengaduan jika ada peraturan
yang dilanggar atau permintaan untuk membayar uang suap, (4) Meningkatkan arus
informasi melalui kerja sama dengan media massa dan lembaga non pemerintahan
(Krina, 2003).
3. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena
kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang
25

menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti


penggunaan uang sekolah dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan
perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan
dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara
bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua,
masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat
terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara
sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen
dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat
diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi
untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan
masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang
cepat.
Akuntabilitas merupakan pertanggung jawaban pihak yang diberi mandat
untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu. Sekolah merupakan
pihak yang diberi mandat dalam mengelola pendidikan (Sutedjo, 2009). Dengan
demikian sekolah harus memberikan pertanggung jawaban atas kebijakan dan
aturan-aturan yang telah dibuat kepada pihak yang terkait dengan pendidikan
(stakeholders). Akuntabilitas bertujuan untuk menciptakan kepercayaan publik
terhadap sekolah. Pengelolaan manajemen sekolah yang baik akan berdampak pada
kepercayaan publik yang baik pula. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
terciptanya kepercayaan publik selalu berbanding lurus dengan apa yang telah
dilakukan oleh sekolah. Selain itu tujuan akuntabilitas adalah untuk menilai kinerja
sekolah dan kepuasan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan
oleh sekolah, untuk mengikut sertakan publik dalam pengawasan pelayanan
pendidikan, dan untuk mempertanggung jawabkan komitmen pelayanan
pendidikan kepada publik (Dharma, 2010).
Prinsip akuntabilitas dapat dicapai berdasarkan indikator dan alat ukur yang
telah ditentukan. Berikut ini beberapa indikator yang dapat dijadikan sebagai alat
ukur akuntabilitas: (1) Proses pembuatan keputusan yang dibuat secara tertulis,
tersedia bagi warga yang membutuhkan, dengan setiap keputusan yang diambil
26

sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, dan sesuai dengan
prinsip-prinsip administrasi yang benar, (2) Akurasi dan kelengkapan informasi
yang berhubungan dengan cara-cara mencapai sasaran suatu program, (3) Kejelasan
dari sasaran kebijakan yang telah diambil dan dikomunikasikan, (4) Kelayakan dan
konsistensi dari target operasional maupun prioritas, (5) Penyebarluasan informasi
mengenai suatu keputusan melalui media massa, (6) Akses publik pada informasi
atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan
masyarakat, (7) Sistem informasi manajemen dan monitoring hasil (Krina, 2003).

3. Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan. Garner (2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena
sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada
kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness
”characterized by qualitative outcomes”. Efektivitas lebih menekankan pada
kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas
kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas
dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-
nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

4. Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency
”characterized by quantitative outputs” (Garner, 2004). Efisiensi adalah
perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau
antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya.
Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:
a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya:
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya
yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan. Ragam efisiensi dapat
dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil
yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
27

Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang


paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling
tidak efisien.

b. Dilihat dari segi hasil


Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan
biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun
kualitasnya. Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang
diperoleh

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan


hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan
hasil D paling efisien. Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan
terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan.
28

Harus jujur diakui praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi di Indonesia


saat ini telah menjadi sebuah rahasia umum. Nampaknya gejala komodifikasi
pendidikan itu telah menjangkit mulai dari jenjang playgroup hingga perguruan
tinggi, baik itu swasta maupun negeri. Contohnya yang paling sederhana yaitu
semakin mahalnya biaya untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi sekarang ini.
Belum lagi besarnya biaya sumbangan pengembangan institusi yang harus
dibayarkan. Bahkan di kota-kota besar untuk sekedar masuk jenjang playgroup saja
para orang tua harus rela mengeluarkan uang jutaan rupiah. Adanya praktik
komodifikasi atau komersialisasi pendidikan saat ini harus menjadi perhatian serius
Pemerintah. Hal ini menunjukkan pengelolaan pembiayaan pendidikan yang ada
saat ini masih jauh dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan di dalam UU Sisdiknas
Tahun 2003.
Dalam pasal 48 UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pengelolaan pembiayaan
pendidikan harus menegakkan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan
akuntabilitas publik. Prinsip keadilan, artinya setiap warga negara berhak
mendapatkan mutu dan pelayanan pendidikan yang layak tanpa adanya
diskriminasi. Prinsip efisiensi, artinya adanya keselarasan antara biaya pendidikan
yang dikeluarkan dengan pencapaian prestasi/tujuan yang dihasilkan. Prinsip
transparansi, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan harus terbuka
kepada masyarakat tentang sumber-sumber dana dan penggunaanya. Prinsip
akuntabilitas publik, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan sejak
perencanaan hingga dampak/produk yang dihasilkan dari pembiayaan pendidikan
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan pada publik. Pada akhirnya
pengelolaan pembiayaan/pendanaan pendidikan yang berpijak pada prinsip
keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik merupakan amanah
konstitusi yang wajib kita laksanakan. Tentu untuk mewujudkan ini semua perlu
adanya dukungan dan pengawasan (controlling) dari berbagai pihak, baik
Pemerintah, stakeholder pendidikan dan seluruh komponen bangsa.
29

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Komersialisasi pendidikan mengacu pada dua pengertian yang berbeda bahwa:


komersialisasi hanya mengacu pada lembaga pendidikan dengan program
pendidikan serta perlengkapan yang serba mahal. Selain itu, komersialisasi
pendidikan juga mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan yang hanya
mementingkan penarikan uang pendaftaran dan uang sekolah saja, tetapi
mengabaikan kewajiban yang harus diberikan kepada siswa. Beberapa aspek yang
memunculkan komersialisasi pendidikan antara lain aspek politik, sosial, budaya,
ekonomi dan teknologi.
Dalam pasal 48 UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pengelolaan pembiayaan
pendidikan harus menegakkan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan
akuntabilitas publik. Prinsip keadilan, artinya setiap warga negara berhak
mendapatkan mutu dan pelayanan pendidikan yang layak tanpa adanya
diskriminasi. Prinsip efisiensi, artinya adanya keselarasan antara biaya pendidikan
yang dikeluarkan dengan pencapaian prestasi/tujuan yang dihasilkan. Prinsip
transparansi, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan harus terbuka
kepada masyarakat tentang sumber-sumber dana dan penggunaanya. Prinsip
akuntabilitas publik, artinya dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan sejak
perencanaan hingga dampak/produk yang dihasilkan dari pembiayaan pendidikan
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan pada publik.

B. Saran

Perlu adanya badan pengawas intensif yang benar-benar mengawasi


jalannya dana untuk lembaga pendidikan. Tentu diikuti oleh anggota badan
pengawas sendiri yang tidak “nakal”. Yang akan mengakibatkan kerugian Negara.
Dan jika mengimpikan sebuah proses pendidikan yang murah di dalam kondisi saat
ini. Maka salah satu jalan adalah dengan membuat sebuah model pendidikan baru,
yaitu model pendidikan alternatif. Model pendidikan yang berpihak kepada kaum
30

menengah kebawah. Model pendidikan yang bertujuan untuk membebaskan dari


segala bentuk ketertindasan. Impian hanya menjadi khayalan jika kita berharap bisa
mengubah sistem pendidikan formal sekarang ini, tanpa membentuk sebuah sistem
pendidikan alternatif sebagai bentuk perlawanan.
Demikian makalah yang penulis susun, pastilah dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan dan kesalahan karena kami sadar ini merupakan
keterbatasan dari kami. Makanya kami mengharap kritik dan saran yang
membangun guna kesempurnaan makalah ini. Akhirnya semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita.
31

DAFTAR PUSTAKA

Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah [BAN-SM]. 2009. Perangkat


Akreditasi SMK/MA. Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah

Buchori, Muchtar. 2001. Komersialisasi Idealisme Bukan Tabu. Yogyakarta:


Kanisius,

Bok, Derek. , 2003. Universities in the Marketplace. Commercialization of Higher


Education. Princeton: Princeton University Press.

Darmaningtyas, 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta:LKISS Group

Dharma, Surya. 2010. Manajemen Berbasis Sekolah. Direktorat Tenaga


Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan. Kementerian Pendidikan Nasional.

Fattah, Nanang. 2009. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja


Rosdakarya

Hartini, Dwi. 2011. Problematika Pendidikan di Era Globalisasi. Diakses Tanggal


10 Juni 2019. http://core.ac.uk/download/pdf/16509053.pdf

Habibie. Komersialisasi Pendidikan. Diakses 10 Juni 2019 di JHttpp://www.


Kebangitan Neo Liberalisme. Com/cetak//06603/228/022htm

Hidayati, Mei. 2012. Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di


SMP Negeri 1 Turi Kabupaten Sleman Tahun 2011. Skripsi. Yogyakarta.
Universitas NEgeri Yogyakarta

Krina, L. 2003. Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan
Partisipasi. Sekretariat Good Publik Governance. Jakarta: Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
32

Penelitian Bank Dunia. 2010. Transparansi Dana BOS Rendah. Diunduh dari
http://edukasi.kompas.com /read/2010/08/11/09530331/Transparans i-Dana-
Bos-Rendah. Pada tanggal 10 Juni 2019

Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan


Penyelenggaraan Pendidikan.

Raeni. 2014. “Pengaruh Prinsip Keadilan, Efisiensi, Transparansi, dan


Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Terhadap Produktivitas SMK (Kajian
Persepsi Guru SMK Se-Kabupaten Kendal)”. Skripsi. Semarang: Jurusan
Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

Ritzer, George. 2005. Teori Sosial Post Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2005.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan


Informasi Publik.

Sutedjo. 2009. Persepsi Stakeholders Terhadap Transparansi dan Akuntabilitas


Pengelolaan Keuangan Sekolah. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro

Wibowo, Agus. (2008). Malpraktik Pendidikan, Yogyakarta: Genta Press

Anda mungkin juga menyukai