Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kegiatan Ekspor Impor merupakan faktor penentu dalam menentukan roda perekonomian di negara kita. Seperti yang kita ketahui, Indonesia sebagai negara yang sangat kaya raya dengan hasil bumi dan migas, selalu aktif terlibat dalam perdagangan internasional. Dalam era perdagangan global sekarang ini, arus barang masuk dan keluar sangatlah cepat.Untuk memperlancar urusan bisnisnya, para pengusaha dituntut untuk memiliki pengetahuan yang cukup mengenai prosedur ekspor impor, baik dari segi peraturan yang selalu diperbarui terutama yang berhubungan dengan perdagangan internasional, kepabeanan, shipping maupun perbankan, yang semuanya ini saling berkaitan dan selama ini sering terjadi permasalahan di lapangan. Ketika membahas Ekspor Impor, maka yang terlintas adalah Proses Kepabeanan serta Bea dan Cukai sebagai badan yang bertanggung jawab sebagai pengawas dan pelaksana dilapangan. Bea dan Cukai jelas mempunyai peran dalam melancarkan arus barang, dokumen dan orang, tetapi disadari pula bahwa hal ini tidak hanya tanggung jawab Bea dan Cukai saja, melainkan juga seluruh pihak yang terlibat seperti PPJK (Pengusaha Jasa Kepabeanan), Exportir maupun Importir. Kesulitan yang di alami oleh para pengusaha dalam melakukan bisnisnya selama ini adalah kesulitan menembus pasar ekspor. Untuk itu pemerintah diminta menjadi fasilitator agar penjualannya meningkat. Untuk mengatasi kesulitan tersebut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (sebelumnya) mengatakan, Mulai tahun depan sampai dengan 2011, akan melakukan perbaikan infrastruktur untuk menggenjot produksi perikanan. Pihaknya pun sudah menjalin kerja sama dengan Deperteman Pekerjaan Umum dan Kemenko Perekonomian untuk menghapuskan retribusi di sektor perikanan, karena retribusi ini dianggap membebani rakyat. Sebagai ganti dari program tersebut Mereka akan memberikan bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang besar nilainya menyamai beban retribusi tersebut.

1.2 Masalah Permasalahan pertama dari makalah ini adalah begitu susahnya para pengusaha menembus pasar ekspor dalam melakukan bisnisnya. Permasalahan yang kedua adalah bagaimana bias dengan kondisi laut Indonesia yang begitu luas Indonesia masih saja melakukan impor ikan.

1.3 Tujuan Tujuan dari makalah ini adalah menjelaskan kepada pembaca bagaimana agar pengusaha dapat menembus pasar ekspor dalam melakukan bisnisnya. Selanjutnya, menjelaskan apa saja penyebab sehingga Indonesia masih mengimpor ikan dari luar negeri.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Ekspor impor Menurut Pendapat para pakar mengenai ekspor impor Ekspor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses ekspor pada umumnya adalah tindakan untuk mengeluarkan barang atau komoditas dari dalam negeri untuk memasukannya ke negara lain. Ekspor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Ekspor adalah bagian penting dari perdagangan internasional, lawannya adalah impor. Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya adalah tindakan memasukan barang atau komoditas dari negara lain ke dalam negeri. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari perdagangan internasional, lawannya adalah ekspor (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Menurut UU kepabeanan Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Semua barang yang dimaksudkan adalah semua atau seluruh barang dalam bentuk dan jenis apa saja yang masuk ke dalam daerah pabean. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean, dimana barang yang dimaksud terdiri dari barang dari dalam negeri (daerah pabean), barang dari luar negeri (luar daerah pabean), barang bekas atau baru.

2.2 Perbedaan dan persamaan Perdagangan Internasional dan Ekspor Impor Sebetulnya secara definisi Perdagangan Internasional dengan ekspor impor memiliki perbedaan arti yang sangat besar. Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, Perdagangan Internasional adalah : Suatu kegiatan jual beli guna memperoleh keuntungan (perdagangan) yang dilakukan dengan melibatkan unsur-unsur 2 negara atau lebih (Internasional). kalau diperluas

makna memperoleh keuntungannya tidak melulu keuntungan secara finansial tetapi bisa juga keuntungan non finansial seperti untuk kepentingan promosi, persaingan usaha dan keuntungan strategis lainnya. Sedangkan Ekspor Impor berdasarkan definisi dari UU kepabeanan No.17 th.2006 adalah : suatu kegiatan memasukkan/mengeluarkan barang ke/dari wilayah pabean berdasarkan peraturan yang ditetapkan. intinya ada pada pemasukan atau pengeluaran barang, baik didasari atas transaksi perdagangan atau bukan. Berarti ada kesamaan antara Perdagangan Internasional dengan Ekspor Impor, contohnya seperti perdagangan ekspor impor yang dilakukan selama ini, dimana keluar masuknya barang didasari atas transaksi perdagangan. Tetapi ada juga perdagangan Internasional yang bukan ekspor impor, seperti pembelian sura berharga/saham perusahaan di luar negeri, pembelian valas, atau dalam sektor riil, pembelian permanent residence di luar negeri, yang kesemuanya itu tidak memerlukan perpindahan fisik barang melewati batas negara. Pertanyaannya, Apakah ada Ekspor Impor yang bukan Perdagangan Internasional? Jawabnya Pengiriman barang Hibah, Hadiah, barang contoh, barang bawaan penumpang adalah merupakan kegiatan ekspor impor yang tidak didasari oleh transaksi perdagangan.

2.3 RI Diharap Bisa Jadi Produsen Ikan Terbesar di 2015 Menteri Kelautan dan Perikanan RI Fadel Muhammad menginginkan Indonesia dapat menjadi produsen ikan terbesar pada 2015. Untuk mewujudkan visi tersebut, pihaknya mengubah seluruh visi Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) se-Indonesia. Kami ingin Indonesia bisa mengalahkan negara Chili atau negara produsen ikan terbesar lainnya di dunia. Saat ini Indonesia sudah diuntungkan oleh potensi laut yang luar biasa. Namun potensi itu belum dikembangkan secara optimal, tegas Fadel, dalam Seminar Nasional Ekonomi Regional: Strategi Mengakselerasi Pembangunan Ekonomi Regional Melalui Koordinasi Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Program dan Pembiayaan, di Gedung Sjafruddin Prawiranegara Bank Indonesia. Mantan Gubernur Gorontalo tersebut pun hanya ingin memiliki misi untuk membuat rakyat pesisir sejahtera. Cara gampang dalam mewujudkan visi dan misi tersebut adalah menghilangkan retribusi yang selama ini dibebankan ke masyarakat pesisir. Selain itu, pihaknya juga memberikan pembiayaan ke masyarakat pesisir maupun petani tambak untuk meningkatkan produksi perikanannya. Banyak pemerintah daerah yang masih memungut

retribusi yang besar bagi masyarakat pesisir. Bagaimana petani tambak maupun nelayan bisa maju, apabila pemda masih menerapkan retribusi yang besar, keluhnya.Selama ini pemda di masing-masing propinsi masih menerapkan retribusi yang besar. Salah satunya pemda se-Jawa Tengah bisa mendapatkan retribusi sebesar Rp14 miliar. Lanjutnya, memang pemda menginginkan retribusi untuk peningkatan pendapatan daerah. Namun jika pendapatan itu diperoleh dari retribusi yang dipungut dari masyarakat kecil, hal tersebut tentunya akan menjadi sumbatan (the bottlenecking) bagi perkembangan perekonomian terutama sektor kelautan dan perikanan. Pengamat ekonomi Mudrajad Kuncoro mengungkapkan saat ini pengucuran kredit pertanian dan kelautan dari perbankan masih minim. Pihaknya mendorong perbankan mengucurkan kredit di sektor-sektor utama produktif yang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Perbankan banyak mengalokasikan kredit konsumsi daripada investasi ataupun modal kerja. Inilah yang menjadi hambatan sektor riil tidak bisa bergerak, ujar Mudrajad. Ekonom sekaligus Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FEB Universitas Gadjah Mada tersebut mendorong perbankan mengucurkan kredit sektor-sektor utama di masing-masing daerah. Bahkan mendukung pemerintah daerah memikirkan satu kabupaten atau kota untuk memiliki satu produk unggulan. Sehingga pemda tersebut bisa bersaing dengan pemda lainnya. Permasalahan yang kini di hadapi adalah Ikan- ikan Indonesia makin sulit keluar negeri, Ikan-ikan di Indonesia sulit untuk bisa "keluar" dari Tanah Air. Pasalnya, izin ekspor maupun impor komoditas ikan hias sangat sulit dilakukan. Pelaku industri pun meminta pemerintah mempermudah perolehan izin. Langkah dilakukan juga demi mengembangkan industri domestik. Kita masih terkendala di badan karantina, kata Ketua Indonesia Pets Plants Aquatic Expo 2009 Heryjanto Kosasih, di Jakarta, Sabtu (5/12/2009). Dia mengatakan, saat ini pemerintah juga masih mempersulit izin masuk ikan-ikan hias yang didatangkan dari luar negeri. Padahal, komoditas tersebut datang ke Indonesia untuk menjadi peserta dalam berbagai ajang ikan hias. Badan karantina cenderung mempersulit dengan alasan tidak memiliki izin usaha perikanan (IUP). Kita sudah buat izin impor, tapi tetap sulit, padahal pelaku industri ini datang dari Singapura, Malaysia dan negara lainnya, katanya. Sementara di satu sisi, Ketua Betta Indonesia Club Hermanus J Haryanto mengungkapkan, ikan hias domestik sulit menembus pasar ekspor. Kebanyakan ekspor ikan-ikan hias asal Indonesia harus melalui Singapura. Padahal potensi ikan hias domestik sangat besar

bisa mencapai USD50 juta. "Ikan hias asal Indonesia dipersulit masuk ke pasar ekspor," katanya Indonesia Pets Plants Aquatic Expo 2009 berlangsung pada 5-13 Desember 2009 bertempat di WTC Mangga Dua, Jakarta. Ajang ini yang ditargetkan mencapai Rp2 miliar ini diikuti oleh peserta domestik dan luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, dan Taiwan dan Negara-negara lainnya. Pelaku industri ikan dan tanaman hias selama ini kesulitan menembus pasar ekspor. Untuk itu pemerintah diminta menjadi fasilitator agar penjualannya meningkat. Selama ini mereka mengikuti ajang internasional di luar negeri," kata Senior Manager Marketing WTC Herjanto Kosasih, dalam keterangan tertulis yang diterima, di Jakarta, Senin (23/11/2009). Dia mengatakan, saat ini pelaku industri ikan dan domestik cenderung memilih langsung berhubungan dengan pembeli (buyer) di luar negeri. Mereka menilai, berbagai ajang yang ada saat ini baru menjangkau pasar lokal. Untuk menganisipasi hal itu, jelas Herjanto, pihaknya menggelar Indonesia Pet Plants Aquatic Expo 2009 pada 5-13 Desember 2009 di Jakarta. Ajang yang ditargetkan mencapai transaksi hingga Rp2 miliar ini diharapkan dapat menjadi sarana pelaku industri ikan hias untuk menembus pasar ekspor. Melihat besarnya animo peserta yang akan tampil, saya optimistis ajang pameran ini akan sama kelasnya dengan pameran ikan internasional Aquarama di Singapura," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Indonesia Pet Plants Aquatic Expo 2009 ini. Hal ini tentu sangat membantu perkembangan perekonomian Indonesia yang di bandingkan pada tahun pada tahun 2008, yang hasil ekspor ikan- ikan hias mengalami penurunan. Ekspor ikan hias mengalami penurunan akibat perpanjangan larangan terbang oleh Uni Eropa (UE). Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Saut Hutagalung mengatakan kebijakan tersebut berdampak buruk terhadap nilai ekspor ikan hias. Indonesia sangat dirugikan oleh perpanjangan larangan terbang itu karena tidak ada maskapai yang langsung ke UE, ujarnya di Jakarta, Sabtu (2/8/2008). Sekedar catatan, ekspor ikan hias selama Januari-Februari 2008 mencapai

USD1.012.222. Beberapa negara tujuan utama ekspor ikan hias di kawasan Asia antara lain Jepang dengan nilai USD121.740. Sementara itu, pengamat ekonomi Bustanul Arifin mengatakan pemerintah harus memperketat regulasi ekspor perikanan. Bustanul menegaskan selama ini peraturan di sektor tersebut masih belum berjalan optimal. Aturan soal transit produk perikanan termasuk ikan hias masih sering dimanfaatkan oleh negara lain, ujarnya.

Untuk mengatasi semua masalah itu maka Setiap pemerintah provinsi maupun kota/kabupaten diminta menghapus retribusi di sektor perikanan. Retribusi ini dianggap membebani nelayan dan kontribusi yang diberikan pada pemerintah tidak begitu besar. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, hingga kini jumlah retribusi yang dihasilkan dari sektor perikanan secara nasional hanya Rp100 miliar. Jumlah ini bukan merupakan pemasukan yang berarti bagi pemerintah, namun cenderung memberatkan nelayan dan menghambat produktifitas pada sektor perikanan. Kami akan mengatur kebijakan bersama-sama dengan pemerintah daerah agar bisa menghapus retribusi yang membebani nelayan, tutur Fadel, usai Pelepasan Varietas Unggul Ikan Nila dan Ikan Nila Best di Perbenihan Budidaya Ikan Air Tawar (PBIAT) Desa Janti, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Sebagai ganti, lanjut Fadel, DKP akan memberikan bantuan dana alokasi khusus (DAK) yang besar nilainya menyamai beban retribusi tersebut. Melalui bantuan DAK, Fadel berharap bisa menaikkan produktivitas di sektor perikanan. Fadel optimistis, pihaknya bisa mewujudkan Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia pada 2015. Potensi perikanan darat dan laut di Indonesia, menurut mantan Gubernur Gorontalo ini lebih dari cukup untuk memenuhi target tersebut. Karena itu, hambatan-hambatan dalam usaha perikanan harus dihilangkan. Termasuk beban retribusi," ujarnya. Mulai tahun depan sampai dengan 2011, akan melakukan perbaikan infrastruktur untuk menggenjot produksi perikanan. Pihaknya pun sudah menjalin kerja sama dengan Deperteman Pekerjaan Umum dan Kemenko Perekonomian untuk merealisasikan program tersebut. Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo yang hadir dalam acara tersebut mengaku, tidak keberatan jika retribusi dari sektor perikanan dihapus. Namun, Bibit menginginkan jumlah DAK yang diberikan jumlahnya lebih besar dari hasil retribusi yang didapatkan. Di provinsi Jawa Tengah retribusi perikanan yang berhasil ditarik mencapai Rp14 miliar setiap tahun. Jika retribusi dihapus, maka akan mempangaruhi pendapatan daerah. Kalau memang nanti penghapusan retribusi ini dirasa tidak menguntungkan bagi pendapatan daerah, maka kami akan meminta kementrian untuk meninjau ulang kebijakan tersebut," tandas Bibit.

2.4 Mengapa Indonesia Masih Impor Ikan? Plesetan bait lagu di atas bukan bermaksud melecehkan nenek moyang bangsa Indonesia sebagai bangsa pelaut yang gagah berani mengarungi samudra sampai ke penjuru dunia. Bait lagu di atas penulis maksudkan untuk mengingatkan bahwa sebagai bangsa pelaut atau nelayan, bangsa Indonesia tidak boleh dan tidak perlu mengimpor ikan. Bukankah sumbat daya perikanan kita sangat luar biasa besarnya? Mengapa harus impor?. Tulisan ini melihat impor ikan bukan dari kacamata ekonomi tetapi dari kacamata sosial budaya, terutama kehidupan nelayan tradisional yang terpinggirkan dan dibiarkan miskin. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementrian Kelautan dan Perikanan, Victor Nikijulu (5/12), mengemukakan impor ikan akan diterapkan dengan sistem buka tutup, yakni impor ikan diberikan sewaktu terjadi kekurangan produksi dan bahan baku, dan ditutup saat terjadi panen ikan. Ini berarti impor ikan tanpa batasan, dan pemerintah seharusnya memberdayakan nelayan terutama nelayan tradisional. Menurut Kementrian Perikanan dan Kelautan, kebijakan larangan impor ikan yang bisa diproduksi dalam negeri akan dibuka kembali menurut kebutuhan. Hal itu untuk membangkitkan kembali usaha pemindangan ikan rakyat yang kekurangan bahan baku. Targetnya kapasitas industri olahan dapat naik menjadi 70-80 persen dari semula yang hanya sekitar 3040 persen (30/11). Kebijakan pemerintah untuk membuka impor ikan dinilai tidak tepat (2/12). Hal ini dianggap beberapa pihak hanya sebagai jalan pintas menghadapi kelangkaan bahan baku industri pengolahan ikan. Ironisnya, akar masalah justru terletak pada kesemrawutan distribusi bahan baku dari sentra produksi ke pengolahan ikan, masih terabaikan (1/12). Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB, Luky Adrianto (1/12), mengemukakan, impor ikan seharusnya tidak boleh dilakukan untuk ikan yang bisa dihasilkan di dalam negeri. Masalah kelangkaan bahan baku industri pengolahan bukan alasan untuk melakukan impor ikan. Sebab, kelangkaan ikan hanya bersifat relatif dan musiman (2/12). Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia Herwindo mengemukakan, biaya angkut ikan dari sentra produksi ikan di wilayah Indonesia Timur ke Jawa dan Bali sebagai pusat pengolahan ikan

cenderung lebih mahal dibandingkan ongkos angkut impor (2/12). Masalah baru muncul yakni, lemahnya mekanisme pengawasan impor ikan dan izin impor ikan rawan disalahgunakan oleh importir. Kalangan nelayan, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat di Jawa Timur (2/12) menyatakan, kebijakan pemerintah memberikan izin impor ikan untuk memenuhi pabrikan dinilai akan menghancurkan nasib nelayan. Tanpa ada impor ikan pun harga ikan langsung anjlok pada saat panen ikan. Beberapa nelayan tradisional berpendapat; impor ikan akan membuat nelayan kehilangan pendapatan, impor ikan sama saja membunuh nalayan secara perlahan-lahan, impor ikan akan memukul dan membuat petani nelayan jatuh miskin. Fakta lain menyebutkan; ikan tangkapan nelayan di sejumlah desa di Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku, kerap terpaksa dibuang akibat terbatasnya pembeli. Kalaupun ikan bisa dijual, pedagang membelinya dengan harga murah. Kondisi ini sering dialami nelayan saat panen ikan (5/12). Saking banyaknya ikan yang ditangkap, sering kali tidak semua bisa terjual. Pedagang di pasar tradisional tidak bisa lagi menampung ikan tangkapan nelayan, begitu pula dua perusahaan pengolahan ikan di Maluku Tenggara (5/12). Sementara kondisi infrastruktur nelayan tradisional belum ada perbaikan; keterbatasan alat tangkap, berkurangya pasokan bahan bakar minyak, dan belum adanya dermaga yang representatif menyebabkan produktivitas perikanan tangkap dari tahun ke tahun terus merosot (5/12). Menurut Ketua KUD Mino Saroyo Untung Jayanto, (4/12), jatah solar yang seharusnya untuk November dan Desember dialihkan guna memenuhi alokasi September dan Oktober. Hal ini terjadi akibat tidak adanya penambahan stok solar seperti pada 2010. Jatah solar untuk sekitar 33.000 nelayan Cilacap hanya 728 kiloliter per bulan. Padahal, tahun lalu, sejak Juli hingga akhir tahun , pasokan bahan bakar minyak (BBM) ditambah menjadi 992 kiloliter per bulan. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, kebutuhan BBM untuk nelayan mencapai 2,5 juta kiloliter. Namun, yang disetujui pemerintah dan DPR hanya 1,8 juta kiloliter. Nelayan, terutama nelayan tradisional menolak kebijakan impor ikan karena dipandang hanya sebagai jalan pintas. Seharusnya pemerintah atau Kementrian Kelautan dan Perikanan membenahi terlebih dahulu infrastruktur perikanan tangkap; pelabuhan atau dermaga perikanan dan pasokan BBM yang mencukupi nelayan untuk kebutuhan melaut. Pencurian ikan oleh kapal

asing juga harus diberantas. Nelayan menolak impor ikan (8/12), dan seharusnya kebijakan impor ikan ditinjau kembali, karena akan berakibat nelayan semakin miskin dan menderita. Nelayan tradisional harus mendapat perhatian lebih karena posisi mereka yang lemah secara ekonomi, tetapi harus hidup dan diberdayakan agar tidak menjadi ironi di negeri bahari. SALAH satu penyebabnya adalah karena produksi ikan umumnya bersifat musiman. Padahal kebutuhan konsumsi ikan tidak kenal musiman, kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri saat berbicara di acara roundtable kelautan dan perikanan yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Jakarta (5/1/2012). Rokhmin menambahkan, penyebab lainnya adalah mengenai kesenjangan antara daerah produksi perikanan (umumnya di Kawasan Timur Indonesia dan di luar Jawa) dengan daerah konsumsi dan pemasaran (pulau Jawa). Selain itu, ada juga permasalahan infrastruktur dan sarana transportasi antarwilayah di Indonesia, banyaknya daerah produksi ikan yang tidak dilengkapi dengan cold storage, masih maraknya illegal fishing. Penyebab lainnya dari terjadinya impor ikan, lanjut Rokhmin, adalah masih banyaknya pengusaha yang hanya bermental pedagang sehingga hanya mencari keuntungan tanpa peduli terhadap kepentingan bangsa. Banyak pengusaha yang mentalnya instan atau bermental pedagang, bukan industriawan, katanya Rokhmin yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) ini. Sementara penyebab terakhir, menurut Rokhmin adalah terkait dengan penegakan hukum yang dinilai masih lemah. Pada kesempatan yang sama, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Victor Nikijuluw juga menambahkan, saat ini masih terdapat sejumlah barang impor yang harus segera dicarikan substitusi impor dari produksi yang dihasilkan dari dalam negeri.

Sejumlah komoditas terkait substitusi impor tersebut antara lain tepung ikan dan tepung udang, lemak minyak ikan, ikan kaleng, makanan udang (pelet), dan beragam produk olahan. KKP, kata Victor, sedang mempersiapkan strategi terkait dengan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang diyakini juga akan mengoptimalkan produksi dan distribusi dalam negeri. Sebentar lagi akan terbit peraturan pemerintah yang didalamnya akan terdapat tentang SLIN yang akan memberikan suplai kepada konsumen secara berkelanjtuan, katanya.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Indonesia masih mengimpor ikan dari luar negeri karena produksi ikan umumnya bersifat musiman. Padahal kebutuhan konsumsi ikan tidak kenal musiman. Selain itu juga kurangnya pengetahuan masyarakati dalam memelihara ikan pasca panen yang mengakibatkan mutu dan kualitas ikan kurang terjamin. 3.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai