Anda di halaman 1dari 7

Problematika Pendidikan di Indonesia

Abdul Halim
Email: 2110111110005@mhs.ulm.ac.id
Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin

Abstrak
Tulisan ini mengulas masalah Pendidikan di Indonesia dilihat dari dimensi kepemimpinan
dan kesenjangan Pendidikan. Tantangan pendidikan semakin kompleks, panjang dengan
masalah masyarakat. Sehubungan dengan kata Pendidikan harus mampu mengatasi masalah
tersebut. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran pemimpin, karena pemimpinlah yang
menentukan arah suatu kebijakan. Dengan demikian pemerintah sebagai penyelenggara
Pendidikan diharapkan dapat menyikapi Isa agar kesenjangan Pendidikan dapat terbantu.

PENDAHULUAN
Sejak jaman dahulu pendidikan selalu menjadi bahan pembicaraan dimana-mana. Di
semua negara bahkan di semua waktu, pendidikan merupakan masalah yang tak pernah
selesai. Di negara maju sekalipun pendidikan masih saja tetap menjadi bahan perbincangan,
mereka masih mengkritik sistem pendidikan di negara mereka agar lebih berkembang lagi.
Mengapa demikian? Bukankah mereka sudah melebihi dari negara-negara berkembang
yang lain. Kenapa mereka belum puas dengan pendidikan mereka sekarang?
Mudah dipahami karena semua orang berkepentingan dengan pendidikan. Orang
yang ingin memperbaiki seseorang, sekelompok orang, suatu negara, dan bahkan dunia,
pasti akan melakukannya, langsung atau tidak langsung, melalui pendidikan. Orang yang
akan merusak negara juga akan melakukannya melalui pendidikan. Orang yang mengerti
pendidikan tentu akan ikut bicara pendidikan. Orang yang tidak tahu apa-apa tentang
pendidikan juga ikut berbicara tentang pendidikan karena anak dan turunannya telah dan
akan mengikuti pendidikan (Tholani, 2013: 65).
Persoalan pendidikan di Indonesia begitu komplek. Berbagai problematika muncul
tidak hanya dalam permasalahan konsep pendidikan, peraturan, dan anggaran saja, namun
persoalan pelaksanaan pendidikan dari berbagai sistem di Indonesia juga turut serta
menambah kompleknya problematika pendidikan di Indonesia (Afifah, 2017: 41).
Yang menjadi persoalan adalah, setelah 69 tahun Indonesia merdeka, di mana
rakyat memberikan hak sepenuhnya kepada pemerintah dalam proses penyelenggaraan

1
kenegaraan dengan segala kebutuhan-kebutuhannya dan sejauh mana tanggung jawab
moral pemerintah termasuk di dalamnya aparat pemimpin dengan jajarannya dalam
mempersiapkan, menyediakan serta mengembangkan dunia pendidikan. Kondisi dinamis
seperti ini tentu saja suatu dilematika yang cukup ironis, dan berpengaruh besar terhadap
kualitas pendidikan. Memikirkan konsep dan mekanisme pendidikan, terlebih bagi
masyarakat Indonesia yang sedang berkembang dan dengan kondisi masyarakat yang
pluralis tentunya bukan perkara gampang. Tetapi walaupun demikian tetap merujuk bahwa
pendidikan sebagai hak asasi setiap individu anak bangsa seperti yang tertuang dalam UUD
1945 Pasal 31ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan (Nasution, 2016: 2).

Dampak Globalisasi Pada Dunia Pendidikan


Dalam dunia pendidikan yang merupakan salah satu sistem sosial, pada akhirnya
juga mengalami dampak arus globalisasi. Konsekuensi yang harus dibayar oleh lembaga
pendidikan adalah perubahan logika pendidikan. Lembaga pendidikan; sekolah, perguruan
tinggi yang semula merupakan pelayanan publik (publik servant) dengan memposisikan
pembelajar (siswa dan mahasiswa) sebagai warga negara (citizen) yang berhak
mendapatkan pendidikan yang layak , namun ketika status BHMN (Badan Hukum Milik
Negara) menjadi target, PTN (Perguruan Tinggi Negeri) sebagai privatisasi pendidikan,
tidak lebih sebagai produsen, sedangkan pembelajar (mahasiswa dan siswa) sebagai
konsumennya. Jalinan relasional yang membentuk pun mengarah pada transaksi harga
antara penjual dan pembeli. Sementara produk (output) yang dihasilkan adalah pesanan dari
pemodal untuk memenuhi kebutuhan produsen dan mengabaikan aspek kesadaran kritis
siswa (Lukmantoro dalam Tholani, 2013: 67).
Secara detail akibat dari privatisasi pendidikan yang berujung komersialisasi
pendidikan berdampak pada:
Pertama, biaya pendidikan menjadi mahal, sulit dijangkau masyarakat luas.
Mahalnya biaya pendidikan telah menyebabkan pendidikan yang semula adalah proses
humanisasi (memanusiakan manusia) telah berubah menjadi dehumanisasi atau secara tidak
langsung telah mengupayakan pemunduran hakikat kemanusiaan yang mempu
mengaktualisasikan dirinya dan mampu menghadapi kontradiksi-kontradiksi dalam
kehidupan; seperti ditemukan kasus kekerasan dalam rumahtangga akibat tekanan phsikis
karena mahalnya biaya pendidikan, banyak ditemukan anak yang bunuh diri karena malu
belum bayar SPP, atau dijumpai orang tua yang membunuh anaknya karena trauma dengan
beban yang akan dihadapi. Kenyataan ini biasa terjadi dalam lingkungan lembaga
pendidikan yang tidak memiliki kreativitas dan inovasi dalam pendanaan (fund raising),
sehingga hanya mengandalkan siswa dan orang tua sebagai target sumber dana (Tholani,
2013: 68).

2
Kedua, memperlebar gap dalam kualitas pendidikan. Privatisasi dapat meningkatkan
kompetisi. Sisi lain dari kompetisi adalah menciptakan poralisasi lembaga pendidikan.
Lembaga yang menang dalam persaingan dan perburuan dana akan menjadi sekolah
unggulan. Sebaliknya lembaga yang kalah akan semakin terpuruk dan tersingkir. sehingga
ada asumsi yang telah membudaya dalam masyarakat bahwa sekolah yang mahal akan
menelorkan outcome atau output yang berkualitas atau bagaimana bisa berkualitas kalau
biaya pendidikannya tidak mahal ? (Tholani, 2013: 68).
Ketiga, melahirkan diskriminasi sosial. Kesempatan memperoleh pendidikan
semakin sempit dan diskriminatif, sehingga empat hasil konvensi hak anak (KHA) yang
harus diberikan dan dinikmatinya sebelum mereka dewasa oleh PBB yang telah diratifikasi
pemerintah melalui Keppres Nomor 26 tahun 1990 yaitu: hak untuk bertahan hidup (right
for survival), hak mendapat perlindungan (right for protection), hak partisipasi (right for
partisipation), dan hak tumbuhkembang (right for development) yang harus dijadikan
pedoman secara yuridis dan politis telah diabaikan dan dilangggar (Tholani, 2013: 68).
Keempat, menimbulkan stigmatisasi, ke arah pelabelan sosial. Sekolah yang bagus
dan ternama diidentikkan dengan sekolahnya orang kaya, sebaliknya sekolah sederhana
adalah sekolahnya kaum miskin (Tholani, 2013: 68).
Kelima, menggeser budaya akademik menjadi budaya ekonomis, sehingga
pendidikan ahanya diarahkan untuk mobilitas vertikal, yaitu upaya peningkatan kecakapan
untuk menghasilkan pendapatan ekonomi yang lebih baik dan mengkondisikan tenaga
produktif untuk dijual dalam bursa kerja. Para guru akan memiliki mentalitas “pedagang”
ketimbang mentalitas pendidik. Mereka lebih tertarik mencari pendapatan daripada
mengembangkan pengetahuan. Mereka lebih terdorong untuk mengumpulkan “kredit koin”
daripada “kredit poin”. Di PT, fenomena ini melahirkan dua kategori dosen yaitu “dosen
luar biasa” dan “dosen biasa di luar” (Tholani, 2013: 68).
Keenam, memperburuk kualitas SDM dan kepemimpinan masa depan. Didorong
oleh misi untuk meningkatkan akumulasi kapital sebesar-besarnya, lembaga pendidikan
akan lebih banyak menerima pelajar gedongan meski ber-IQ pas-pasan. Pelajar berprestasi
tapi miskin banyak kesulitan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Mobilitas sosial vertikal hanya akan menjadi milik orang kaya (Tholani, 2013: 68).
Dengan demikian pendidikan yang semula sebagai aktivitas sosial budaya berubah
menjadi komoditas usaha yang siap diperjual belikan. Biaya pendidikan menjadi mahal
sehingga tidak terjangkau oleh rakyat miskin dan hanya terjangkau oleh orang kaya , gelar
dalam atau luar negeri bergengsi pun siap diperdagangan kepada yang mampu membelinya.

Problematika Pendidikan di Indonesia


Secara kuantitatif dapat dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia telah mengalami
kemajuan. Indikator pencapaiannya dapat dilihat pada kemampuan baca tulis masyarakat
yang mencapai 67,24%. Hal ini sebagai akibat dari program pemerataan pendidikan,

3
terutama melaui IMPRES SD yang dibangun oleh rezim Orde Baru. Namun demikian,
keberhasilan dari segi kualitatif pendidikan di Indonesia belum berhasil membangun
karakter bangsa yang cerdas dan kreatif apalagi unggul (Afifah, 2017: 42).
Banyaknya lulusan lembaga pendidikan formal, baik sekolah tingkat menegah
maupun perguruan tinggi, terkesan belum mampu mengembangkan kreativitas dalam
kehidupan mereka. Lulusan sekolah menengah sulit untuk bekerja di sektor formal karena
belum tercukupinya keahlian mereka, demikian juga lulusan sekolah atas yang bukan
kejuruan (SMK) mengalami problem yang sama. Bagi sarjana hanya sebagian kecil yang
bekerja di sektor formal, sebagian besar dari mereka memiliki karakteristik hanya
memahami teori dan lemah di praktek, motivasi belajar hanya untuk sekedar lulus ujian,
berorientasi pada pencapaian grade atau pembatasan target, orientasi belajar hanya pada
mata kuliah indivdual secara terpisah, proses belajar bersifat pasif, serta penggunaan
teknologi yang terpisah dari proses pembelajaran (Afifah, 2017: 42).
Dari aspek perilaku keseharian juga bayak kekurang puasan terhadap siswa. Banyak
orang mengeluh dengan adanya siswa yang kurang sopan terhadap guru maupun orang tua,
banyak siswa tidak lagi mau membantu orang tua dalam mengerjakan tugas sehari- hari di
rumah. Begitu besar pengaruh media sosial dan telekomunikasi pada generasi muda.
Mereka cenderung untuk berhura-hura merayakan kelulusan UN dengan pesta sex dan
minuman keras, undangan pesta berbikini, mencoret-coret baju seragam dan konfoi
merayakan kelulusan. Bahkan tawuran massal telah menjadi hal yang lumrah bagi siswa
dan mahasiswa. Yang lebih parah tawuran tersebut diikuti pengrusakan fasilitas umum dan
jatuhya korban jiwa. Disamping itu terjadi ketidakpuasan berjenjang. Kalangan industri
sering mengeluhkan tentang ketidaksiapan atau mutu sarjana, diploma, dan lulusan SMK
yang dianggap telah memenuhi harapan dunia kerja. Pihak Perguruan Tinggi mengeluhkan
lulusan SMA, pihak SMA mengeluhkan lulusan SMP dan pihak SMP mengeluhkan lulusan
SD (Afifah, 2017: 42).
Padahal, sumberdaya manusia yang diperlukan dalam pasar kerja saat ini adalah
mereka yang mampu mencari solusi masalah berdasarkan konsep ilmiyah, memiliki
keterampilan team work, mempelajari bagaiaman belajar yang efektif, berorientasi pada
peningkatan yang terus menerus dan tidak dibatas oleh target tertentu. Saat ini banyak
lembaga industri (BUMN, Swasta dan Pemerintah) menetukan standart tertentu terhadap
lulusan pendidikan formal untuk bekerja di lembaga-lembaga tersebut. Penguasaan bahasa
asing, keterampilan komputer dan pengalaman kerja merupakan persyaratan utama yang
diminta. Sementara ijazah yang diperoleh selama menempuh pendidikan formal kurang
lebih selama 20-25 tahun terabaikan begitu saja. hal inilah merupakan salah satu indikasi
bahwa lulusan pendidikan kita belum layak pakai. Dari kenyataan ini terlihat adanya
kesenjangan anatar tujuan yang ingin dicapai dalam menghasilkan output pendidikan
formal dengan pengelolaan pendidikan, termasuk didalamnya pengelolaan pembelajaran
(Afifah, 2017: 42-43).

4
Pemerintah dalam upayanya memperbaiki sistem pendidikan nasional
memberlakukan standarsasi pendidikan nasional. Kualitas pendidikan antara lain
menghasilkan ujian nasional sebagai tolak ukur untuk menentukan nasib anak. Dengan
materi ujian berupa bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan mata pelajaran
jurusan. Maka untuk mengantisipasi rendahnya angka ketidaklulusan, maka beberapa mata
pelajaran dikurangi jam belajarnya, termasuk didalamnya pendidikan Agama. Lantas
dimanakah fungsi pendidikan nasional untuk membentuk manusia yang bertaqwa pada
Tuhannya, jika mata pelajaran agama tidak dimasukkan dalam materi ujian nasional
(Afifah, 2017: 43).

SIMPULAN
Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Pikirkan saja tentang pendidikan tanpa ada hubungannya dengan itu aspek sosial terkait
mengarah pada keterasingan pendidikan dari kenyataan dunia nyata di era globalisasi,
pendidikan menghadapi tantangan yang perlu dibenahi untuk meningkatkan dan selalu
menjaga prinsip-prinsip pendidikan sebagai alat sebuah proses penyadaran diri dan
humanisasi tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Menyukai investasi jangka
panjang dalam pembangunan, pendidikan harus menghindari dampak negatif globalisasi,
yakni menawarkan paradigma perbaikan pelatihan sebagai tindakan preventif dan harus
menjadi tanggung jawab semua pihak orang yang terlibat di negara ini. Menyikapi
munculnya budaya negatif dalam hal pola pikir/etika, bekal rekonstruksi isi kurikulum
nasional kita akan menjadi solusinya. Pilihan atau penguatan budaya lokal yang
mencerminkan nilai-nilai keluhuran kemanusiaan/budaya timur dan menyediakan
kurikulum integritas dan antikorupsi internalisasi pendidikan nilai di semua mata pelajaran,
khususnya di tingkat satuan Pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, yang
merupakan tingkatan utama psikologi mendalam pendidikan intelektual para siswa.

REFERENSI

Afifah, N. (2017). Problematika pendidikan di Indonesia. Elementary: Jurnal Iilmiah


Pendidikan Dasar, 1(1), 41-47.

Fathurrahman, F., Kumasalari, D., Susanto, H., Nurholipah, N., & Saliman, S. (2022).
Implementasi Pembentukan Karakter Peduli Lingkungan Melalui Program
Adiwiyata. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), 4(6), 13038-13044.

5
Fathurrahman, F., Susanto, H., Yuliantri, R. D. A., & Abbas, E. W. (2022). Analisis
Pembelajaran Kooperatif dalam Penerapan Blended Learning Masa Pandemi Covid-
19. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), 4(3), 733-739.

Fauziyah, N., Susanto, H., Rochgiyanti, R., & Syaharuddin, S. (2022). Interaksi Sosial
Santri Pondok Pesantren Muhammadiyah Nurul Amin Alabio Tahun 1997-
2020. Prabayaksa: Journal of History Education, 2(1), 23-32.

Nasution, E. (2016). Problematika pendidikan di Indonesia. Mediasi, 8(1).

Prawitasari, M., Imanuel, K., Susanto, H., & Fathurrahman, F. (2022). ANALISIS
PERILAKU BELAJAR PESERTA DIDIK PADA PEMBELAJARAN SEJARAH
MASA PANDEMI COVID-19. Jurnal Educhild: Pendidikan Dan Sosial, 11(1), 27-
31.

Prawitasari, M., Sawitri, R., & Susanto, H. (2022). Nilai-nilai Karakter dalam Buku Teks
Sejarah SMA Kelas XI di SMAN 7 Banjarmasin. Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari Jambi, 22(3), 2287-2291.

Rochgiyanti, Miftahuddin, Susanto, . H. ., Fathurrahman, & Hadijah, M. . (2022). Madam:


Budaya Urang Banjar Merantau untuk Kehidupan Lebih Baik. Jurnal Pendidikan Dan
Konseling (JPDK), 4(3), 1963–1700. https://doi.org/10.31004/jpdk.v4i3.4945

Susanto, H., & Purwanta, H. (2022). Analisis Pola Narasi Reflektif Buku Teks Sejarah
SMA Untuk Pencapaian Empati Sejarah. Yupa: Historical Studies Journal, 6(1), 45-
62.

Susanto, H., Fatmawati, S., & Fathurrahman, F. (2022). Analisis Pola Narasi Sejarah dalam
Buku Teks Lintas Kurikulum di Indonesia. Fajar Historia: Jurnal Ilmu Sejarah dan
Pendidikan, 6(2), 228-243.

Susanto, H., Irmanita, W., Syurbakti, M. M., & Fathurrahman, F. (2022). ANALISIS
PENGGUNAAN MEDIA DIGITAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
DARING MASA PANDEMI COVID-19. Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan
Sejarah, 8(1), 13-24.

Susanto, H., Prawitasari, M., Akmal, H., Syurbakti, M. M., & Fathurrahman, F. (2023).
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN BUKU AJAR MATA KULIAH MEDIA
PEMBELAJARAN SEJARAH. Jurnal PIPSI (Jurnal Pendidikan IPS
Indonesia), 8(1), 1-10.

6
Susanto, H., Sariyatun, S., & Djono, D. (2022). Analisis Konteks Historis Film Sejarah
Perang Banjar Sebagai Media Edutainment. Jurnal Humanitas: Katalisator
Perubahan dan Inovator Pendidikan, 9(1), 16-27.

Tholani, M. I. (2013). Problematika Pendidikan di Indonesia (Telaah Aspek Budaya).


Jurnal Pendidikan, 1(2), 64-74.

Anda mungkin juga menyukai