Di susun oleh :
MUHAMMAD KHOZA’I
MUHAMMAD FAKRI ALFIAN
TAUFIK HIDAYAT
Kasus Sampit adalah kasus etnis yang paling menggegerkan negeri ini,
konflik warga Dayak dan warga Madura di Kota Sampit Ibukota Waringin Timur,
Kalimantan Tengah memakan ratusan korban jiwa. Padahal mereka telah lama
hidup berdampingan .
Oleh karena itu penulis akan membahas dalam makalah ini dengan
memahami problematika pendidikan multikultural di Indonesia.
1
Tobroni, dkk, pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil society, dan
Multikulturalisme, PuSAPoM, Malang, 2007, hal. 280
1.2 Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Yang jelas dapat terlihat oleh para peneliti bidang pendidikan, perubahan
sosial demikian menuntut perubahan sistem kependidikan yang telah ada,
disesuaikan atau diperbarui kea rah tujuan-tujuan yang lebih menguntungkan bagi
perkembangan masyarakat di masa mendatang.
Di semua Negara, bila kita teliti secara cermat, akan didapati problema
pokok yang tekait dengan sistem dengan sistem dan pola kependidikan
nasionalnya masing-masing dalam lima permasalahan dasar, serupa dengan
identifikasi dari Phillips H. Coombs, yang ia sebutkan sebagai “Lima faktor krisis
kependidikan” (The five educational crisis) yaitu: 2
2
Phillip H. Coos, The World Educational Crisis, dalam Arifin, Ilmu Perbandingan Pendidikan,
Golden Terayon Press, Jakarta, cet. VI, 2003, hal. 67-69
2. Produk (hasil) atau out put pendidikan di sekolah tidak seimbang dengan
kebutuhan masyarakat, terutama yang sedang membangun dimana dari
sekolah itu diharapkan tenaga-tenaga ahli yang terampil untuk memacu
proses pembangunan yang sedang dijalankan. Apakah ketidakseimbangan
itu disebabkan karena sekolah kurang mampu menampung aspirasi dari
tuntutan hidup masyarakat atau karena sekolah itu sendiri berkualitas
rendah, sehingga tidak mampu memenuhi harapan masyarakat.
3. Kurangnya sumber biaya merupakan faktor yang sungguh memberatkan
pihak pengelola sekolah. Di samping harus meningkatkan mutu hasil
pendidikan di sekolahnya, ia harus pula dengan susah payah mencari dana
untuk membiayai jalannya pendidikan di sekolah. Oleh kerena itu,
memerlukan bantuan dari 3 instansi: Pemerintah, Masyarakat, dan
Keluarga, sebagai tritunggal-nya penanggug jawab pendidikan.
4. Kurangnya efektivitas dan efisiensi kerja. Meskipun faktor ini banyak
berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah,
akan tetapi faktor guru dan tenaga administratif juga berpengaruh,
misalnya karena sarana ekonomis rendah (tidak mencukupi kebutuhan
hidup), para guru terpaksa harus merangkap kerja di luar kependidikan
atau bekerja di beberapa sekolah lainnya. Keadaan demikian sulit untuk
diharapkan suatu sekolah mendapatkan efektivitas (kedayagunaan) dan
efisiensi (kehasilgunaan) yang baik.
5. Kurang jelasnya tujua pendidikan yang dirumuskan, menjadi arah proses
kependidikan di sekolah atau di luar sekolah (pendidikan non-formal).
Menurut Phillips H. Cooms, faktor-faktor tersebut di atas terdapat hampir
di seluruh Negara, terutama di Negara-negara yang sedang berkembang.
Di Indonesia, selain menghadapi problem di atas, juga menghadapi
permasalahan pendidikan yang lain, seperti:3
1. Pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat masih dalam perjuangan
melalui program pembnagunan nasioanal. Agar sekolah dapat
3
Ibid. hal. 96-97
menjangkau rakyat banyak, maka titik berat pembangunan bidang
pendidikan diletakkan pada memperluas pendidikan tingkat dasar.
2. Profesi guru kurang menarik minat para pemuda-pemudi Indonesia,
karena satu hal dan lain hal gajinya relatif lebih rendah daripada
bekerja di bidang non guru misalnya di bank atau di perusahaan swasta
nasional maupung asing. Di samping itu, status sosial guru kurang
dipandang tinggi dibandingkan misalnya status sosial kepala kantor
atau direktur suatu perusahaan. Meski, gaji guru dan tunjangannya
telah dinaikkan, namun menjadi guru masih merupakan pekerjaan
alternative pilihan terakhir kalau tidak terpaksa.
3. Berkaitan dengan pembinaan watak bangsa yang beridentitas
Pancasila, masalah metode pendidikan danj materinya masih belum
efektif. Bidang studi yang berkaitan dengan pembinaan watak bangsa,
seperti Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa, belum nampak adanya keterpaduan kurikulum,
sehingga masing-masing guru yang memegang bidang studi tersebut
belum beranjak serempak.
4
H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi
Pendidikan Nasional, Grasindo, Jakarta, 2004, hal. 170
5
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, Indonesia Tera, Magelang, 2003, hal 171-172
B. Problem Pendidikan Multikultural di Indonesia
Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai
(koeksistensi damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung
dalam multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul
seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap
menekankan kesatuan daripada keragaman. Bertolak dari kenyataan ini, kini
dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman.
Tetapi, dalam implementasinya pendidikan multikultural berhadapan dengan
beragam problem di masyarakat, yang menghambat penerapan pendidikan
multikultural di dalam ranah pendidikan. Problem-problem tersebut antara lain :
d. Fanatisme sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah
fanatisme sempit, yang menganggap bahwa kelompoknya yang paling benar,
paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang
banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di masyarakat. Gejala bonek
(bondo nekat) di kalangan supporter sepak bola nampak menggejala di tanah air.
Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang
berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi
buta maka hal ini tidak sehat. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama
(misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah) maka akan dapat
menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. Di sini pendidikan multikultural
memiliki peran yang penting sebagai wahana peredam fanatisme sempit. Karena
di dalam pendidikan multikultural terkandung ajaran untuk menghargai seseorang
atau kelompok lain walaupun berbeda suku, agama, rasa atau golongan.
Selain masalah seleksi dan integrasi isi mata pelajaran, masalah proses
mengkonstruksi sebuah pengetahuan dapat menjadi problem bagi pendidikan
mutikultural. Jika peserta didik terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan
golongan dapat memunculkan kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah
bangunan pengetahuan yang berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman
budaya. Seringkali muncul kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang
dapat dipilih untuk membantu peserta didik memahami konsep kunci secara tepat.
Selain itu, guru juga masih banyak yang belum dapat menggunakan frame
of referencedari budaya tertentu dan mengembangkannya dari perspektif ilmiah.
Hal ini terkait kurangnya pengetahuan dari guru tentang keragaman budaya.
Problem lain yang dapat muncul adalah munculnya bias dalam mengembangkan
perspektif multikultur untuk mengkonstruksi pengetahuan. Kekhawatiran yang
muncul adalah munculnya diskriminasi dalam pemberian materi pelajaran
sehingga hanya memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang
menjadi pokok bahasan pembelajaran.
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis
atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain.
Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga
dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka sehingga guru dapat
melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya”
mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu. Misalnya jika menerangkan
tentang kesenian teater, guru dapat menyebutkan dan mengidentifikasi beragam
kesenian dari berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa
Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta).
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gorski, Paul. 2001. Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and
The Question We Should Be Asking, http/www.
Edchange.org/multicultural, diakses tanggal 1 Juli 2011.