Anda di halaman 1dari 66

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap kalangan masyarakat mengakui arti penting pendidikan. Tetapi,
sampai sekarang rona pendidikan Indonesia masih carut-marut. Dalam kurun
waktu hampir tujuh dasawarsa pascakemerdekaan RI, pendidikan belum
menampakkan hasil sesuai dengan harapan semua bangsa, setidaknya dapat
sejajar dengan yang telah dihasilkan oleh negera tetangga. Berbagai persoalan
melingkupi dunia pendidikan kita, gedung-gedung sekolah yang tidak terawat,
biaya sekolah yang semakin membumbung, kurikulum dan implementasi
kebijakan program yang masih tidak jelas, kekurangan tenaga pendidik (untuk
daerah terpencil), sampai pada rekonstruksi paradigma pendidikan belum
terpecahkan secara memadai. Pendidikan masih belum menemukan pola yang
tepat dan dianggap baik di nusantara ini. Tetapi, berada di persimpangan antara
diupayakan sungguh-sungguh atau setengah-setengah, meniru model Barat
ataukah berdikari pada kebangsaan dan ke-Indonesia-an.
Bangsa Indonesia memilki banyak ragam budaya dan etnik serta
keyakinan yang berbeda. Keanekaragaman dan kemajemukan ini bisa menjadi
sebuah kekuatan jika dibina dengan baik. Akan tetapi, akan sangat menjadi
persoalan jika tidak dipahami dan dibina dengan baik. Persoalan-persoalan sosial
akan muncul sampai kepada konflik kekerasan yang dapat merusak kekuatan
bangsa dan negara, seperti peristiwa Poso, Ambon, dan Sampit yang semuanya
merupakan kekerasan konflik horizontal yang muncul dari perselisihan serta
ketidak sepemahaman antar suku, etnik dan agama. Bahkan, untuk Lokal di
Lampung sendiri, gesekan-gesekan yang terjadi bisa jadi didasari adanya
perselisihan antarsuku dapat menimbulkan perpecahan jika tidak ditanggapi
secara serius. Sebut saja peristiwa Donomulyo, Kalianda; di Bekri, Terbanggi, dan
baru-baru ini di Lampung Timur. Hal ini terkait dengan perkatakan Giles dan
Middleton bahwa relasi dalam identitas merupakan the act of naming is the act of
2

power.1 Di sini, dunia pendidikan juga turut andil dalam hal demikian. Untuk
itulah diperlukannya sistem manajemen sekolah dan pendidikan yang berbasis
multikultur.
Konsep pendidikan multikultural adalah sebuah tata cara sistem
pendidikan yang berupaya untuk meredam kesenjangan sosial, kelas sosial,
kecemburuan sosial dengan mengenalkan dan mensosialisasikan salah satu
orientasinya, yakni kebersamaan. Orientasi kebersamaan ini paling tidak akan
mampu untuk memahami betapa sangat vitalnya menghargai dan menciptakan
kebersamaan.
Pendidikan multikultural menurut Banks adalah konsep atau ide sebagai
suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan
menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup,
pengalaman sosial, identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari
individu, kelompok maupun negara. 2
Jika kelas sosial masih saja diagung-agungkan maka akan timbul
kecemburuan sosial. Selama ini, kecemburuan sosial sering terjadi di dunia
pendidikan, khususnya dalam upaya pembenahan sebuah sistem yang akan
digunakan dalam rangka pengembangan model pendidikan tersebut. Pendidikan
yang selama ini diwacanakan diberbagai aktivitas adalah pendidikan pada taraf
teoretik. Pemahaman konsep pendidikan Multikultural adalah sebuah tawaran,
solusi bagaimana mengatasi persoalan-persoalan sosial masyarakat kita yang
sangat multikultur serta menjadi aplikasi sebuah sistem pendidikan yang benar-
benar sesuai dengan sistem pendidikan di Indonesia.
Pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang mampu mengenal,
mampu mengakomodir segala kemungkinan, memahami heterogenitas
menghargai perbedaan suku, bangsa, terlebih lagi agama. Selain itu jika kita
menyimak dengan maraknya isu jual beli kursi pendidikan, membumbungnya
biaya pendidikan, dan masih banyak lagi. Hal ini tentunya akan menjadi cermin
bagi kita mengenai kebenaran arah dan rel tujuan pendidikan yang telah
diwacanakan.
1 Giles, Judy dan Tim Middleton. 1999. Studying Culteure: A Practical Introduction. Oxford:
Blackwell Publishers
2 Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. H. 181
3

Sebagai upaya meredam dan memastikan solusi dari permasalahan diatas,


konsep pendidikan multikultural naik ke permukaan sebagai wacana pendidikan
dan sebagai solusi dalam rangka menjawab ketidakpuasan masyarakat terhadap
sistem pendidikan yang telah dijalankan. Selain itu konsep pendidikan
multikultural juga memiliki landasan filosofis yang cukup mampu untuk
mengakomodir kesenjangan dalam pendidikan. Ketiga aspek tersebut saling
memiliki keterkaitan yang mengorientasikan pada kemanusiaan. Hal ini tentunya
juga selaras dengan salah satu orientasi konsep pendidikan multikultural yakni
kemanusian. Wacana multikulturalisme dalam konteks ini adalah mengupayakan
pengenalan dan pemahaman SARA dalam upaya memahami heterogenitas, yakni
menerapkan hakikat konsep pendidikan itu sendiri dan persoalan-persoalan
pendidikan yang dihadapi bangsa ini.
Dari berbagai persoalan yang melingkupi dunia pendidikan di Indonesia,
ada satu persoalan krusial yang sering luput dari perhatian para perumus dan
pelaksana kebijakan pendidikan. Persoalan tersebut adalah belum adanya
harmonisasi peran antara berbagai pelaku pendidikan sehingga upaya pendidikan
yang dilakukan terkadang justru saling berbenturan. Sebagaimana diketahui
bahwa pelaku pendidikan adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat, tetapi dalam
perkembangannya ternyata beban pendidikan lebih banyak dipikulkan kepada
institusi sekolah. Kedua pelaku pendidikan lainnya (keluarga dan masyarakat)
justru lebih sering diabaikan dari persoalan pendidikan, semua aspek pendidikan
diserahkan kepada sekolah. Kenyataan ini tentu tidak adil karena sebagian dari
waktu peserta didik berada di keluarga dan masyarakat.
Rendahnya indeks kualitas sumber daya manusia (SDM) atau sering
disebut human development index (HDI), merosotnya moral dan rendahnya
penghayatan nilai-nilai agama generasi muda seringkali menjadikan sekolah
sebagai pihak yang paling disalahkan karena dianggap gagal dalam mendidik
siswanya. Banyak sekolah yang terjebak pada berbagai tuntutan masyarakat dan
kepentingan sesaat yang tidak selalu diperhitungkan efek jangka panjang.
Diindikasikan bahwa sekolah tidak mempunyai kejelasan idealisme. Selain itu,
ukuran keberhasilan anak didik lebih kepada prestasi kognitif sehingga apa yang
dilakukan adalah bagaimana mentransfer pengetahuan sebanyak-banyaknya
4

kepada anak didik agar dapat mencapai angka prestasi setinggi-tingginya. Rupa-
rupanya apa yang dilakukan oleh sekolah berbanding lurus dengan tuntutan
masyarakat saat ini. Sekolah melakukan hal demikian juga dalam rangka
memenuhi keinginan masyarakat yang menghendaki anak-anaknya menjadi pintar
apalagi bila anak dapat memperoleh peringkat di kelasnya. Sementara aspek
lainnya yang termasuk dalam ranah afektif dan psikomotor tidak begitu
dipersoalkan.
Dampak dari perilaku sekolah dan citra keberhasilan anak didik yang
dibangun oleh masyarakat adalah banyaknya lulusan suatu lembaga pendidikan
yang berhasil mencapai nilai tinggi, tetapi tidak dapat berbuat banyak di
masyarakat/lapangan pekerjaan. Fenomena sekolah saat ini ibarat pandai besi
yang hanya sekedar membuat peralatan tanpa tahu untuk apa alat itu dibuat. Dunia
pendidikan seperti tidak diorientasikan pada realitas kehidupan secara kreatif
dan visioner.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa besar yang mempunyai potensi besar.
Ke depan masih ada kesempatan dan harapan, untuk itu bila bangsa ini ingin
sejajar dengan bangsa lain mutlak diperlukan adanya perbaikan dunia pendidikan
dalam segala aspeknya. Perbaikan kurikulum saja tanpa diikuti oleh perbaikan
aspek-aspek pendukung lainnya, maka hal itu akan menjadi kurang bermakna.
Kebijakan baru pemerintah dalam dunia pendidikan adalah pemberlakuan
kurikulum KBK, yang melalui berbagai revisi akhirnya diresmikan pada tahun
2006 menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kemudian berubah
lagi jadi Kurtibel (Kurikulum 2013).
Kebijakan pemberlakuan kurikulum tersebut merupakan keinsyafan akan
kelemahan kurikulum sebelumnya. Setiap kurikulum tentunya mempunyai tujuan
baik tidak akan berhasil bila tidak diikuti penataan aspek-aspek lainnya seperti,
pemenuhan sarana pendukung, perbaikan kesejahteraan guru, pemetaan peran
sekolah, keluarga dan masyarakat, dan lain-lain.
Hubungan antara sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan
suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan
pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Dalam hal ini, sekolah sebagai
sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu
5

masyarakat. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam
mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif dan efisien. Sebaliknya
sekolah juga harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan
masyarakat, khususnya kebutuhan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah
berkewajiban memberi penerangan tentang tujuan-tujuan, program-program,
kebutuhan, serta keadaan masyarakat. Sebaliknya, sekolah juga harus mengetahui
dengan jelas apa kebutuhan, harapan dan tuntutan masyarakat terutama terhadap
sekolah. Dengan perkataan lain, antara sekolah dengan masyarakat harus dibina
suatu hubungan yang harmonis.
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sangat
diperlukan. Adanya pelibatan atau partisipasi tersebut, masyarakat memiliki rasa
tanggung jawab terhadap kelanjutan program-program yang sudah dirancang oleh
sekolah. Dengan pendekatan partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan
kreativitas masyarakat dapat lebih tergali. Dengan melibatkan masyarakat secara
keseluruhan proses maka segala perencanaan, baik itu dalam bidang kurikulum
maupun bidang lainnya terlaksana dengan baik.3 Jika hubungan sekolah dengan
masyarakat berjalan dengan baik, rasa tanggung jawab dan partisipasi masyarakat
untuk memajukan sekolah juga akan baik dan tinggi. Agar tercipta hubungan dan
kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat maka masyarakat perlu
mengetahui dan memiliki gambaran yang jelas tentang sekolah yang
bersangkutan. Berbagai forum telah membahas aspek penting dalam pendidikan,
yakni perbaikan mutu pendidikan. Tetapi, pemetaan peran ketiga pelaku
pendidikan yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat ini masih jarang dibahas.
Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud membahas bagaimana mengharmoniskan
peran masing-masing pelaku pendidikan tersebut agar terjadi sinergi yang
produktif dan mutualistik.

B. Rumusan Masalah

3 Sikin, Aswasula. Multicultural Education: Partisipasi Orang Tua Dan Masyarakat Dalam
Pengelolaan Pendidikan Berbasis Multikultural Di Sekolah Dasar. Kiens-Edu. Multicultural.
Education.htm. 28 Maret 2013.
6

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dirumuskan pertanyaan


penelitian ini adalah:
1. Bagaimana bentuk pemahaman konsep multikultural dalam usaha
memahami pendidikan yang multikultur di Lampung Timur?
2. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
peningkatan mutu pendidikan berbasis multikultural di Lampung Timur?
3. Bagaimanakah pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan
berbasis multikultural di Lampung Timur?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pemahaman konsep
multikultural dalam usaha memahami pendidikan yang multikultur di Lampung
Timur. Selain itu, dibahas juga partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
peningkatan mutu pendidikan yang multikultur di Lampung Timur dengan cara
mengenali bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat serta faktor-faktor yang
mempengaruhi bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat tersebut.
Secara spesifik dapat dideskripsikan bahwa penelitian ini bertujuan untuk:
1. mendeskripsikan bentuk pemahaman konsep multikultural dalam usaha
memahami pendidikan yang multikultur di Lampung Timur,
2. mendeskripsikan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
peningkatan mutu pendidikan berbasis multikultural di Lampung Timur,
3. mendeskripsikan pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan
berbasis multikultural di Lampung Timur.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan secara optimal,
menghasilkan laporan yang sistematis dan dapat bermanfaat secara umum.
Adapun manfaat yang didapatkan dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan dapat
bermanfaat bagi pengembangan pemahaman mengenai konsep peran dan
7

partisipasi masyarakat dalam pendidikan terkait dengan manajemen berbasis


sekolah yang mengadaptasi konsep pendidikan multikultural.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dengan
penelitian-penelitian lain yang telah ada sebelumnya atau untuk penelitian
pengembangan bagi peneliti lainnya dan diharapkan memberikan sumbangan bagi
peningkatan.

b. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung
dalam memberi dorongan kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian
sejenis.
8

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Landasan Teoretik
1. Manajemen Berbasis Sekolah
Sekolah merupakan bagian dari pada suatu sistem baik secara nasional
maupun pada tingkat yang lebih sempit, keberadaan lembaga pendidikan dalam
masyarakat bangsa akan bertumpu dan terikat oleh tatanan kehidupan sosial, atau
tata kehidupan sistem nilai yang berlaku. Pada akhirnya perlu diingat bahwa
dalam melaksanakan pembangunan nasional, pendidikan mempunyai tiga fungsi
yang sangat mendasar, yaitu:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa,
b. Memprogramkan tenaga kerja dalam berbagai ketrampilan dan
industrialisasi,
c. Menanamkan penguasaan IPTEK menjelang era teknologi.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan
bangsa yang merupakan salah satu tujuan Negara Indonesia. Gerakan reformasi di
Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi,
keadilan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip
tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan
manajemen pendidikan. Selain itu, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkembang
pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk
dalam sistem pendidikan.
Apabila demokrasi mulai diterapkan dalam pendidikan, pendidikan tidak
akan menjadi alat penguasa. Rakyat atau masyarakat diberikan haknya secara
penuh untuk ikut menentukan kebijakan nasional. Semua pihak yang
berkepentingan dengan pendidikan diharapkan dapat berpartisipasi dalam
menentukan kebijakan pendidikan nasional.4 Konsep pendidikan berbasis
masyarakat menghendaki adanya keterlibatan masyarakat dalam upaya

4 Kartono, Kartini. 1997. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa
Kritik dan Sugesti. Cet I.Jakarta: Pradnya Paramita., h. 196-197
9

pengambilan kebijakan-kebijakan pendidikan. Keterlibatan atau partisipasi


masyarakat dalam pendidikan di Indonesia, menurut Suyata (1996), bukanlah hal
yang baru. Yayasan-yayasan swasta, kelompok sukarelawan, organisasi-organisasi
pemerintah, bahkan perseorangan pernah menerapkan konsep ini. 5
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari istilah
School-Based Management (SBM) sebagai suatu model pengelolaan sekolah
6
secara desentralisasi di tingkat sekolah. MBS merupakan sistem pengelolaan
sekolah yang menjadikan lembaga sekolah sebagai institusi yang memiliki
otonomi luas dengan segala tanggungjawabnya untuk mengembangkan dan
melaksanakan visi, misi, dan tujuan-tujuan yang disepakati. Sekolah memiliki
kewenangan luas untuk menetapkan berbagai kebijakan teknis operasional
sekolah dengan berbagai implikasinya sesuai dengan kebutuhan aktual siswa atau
masyarakat.
Dalam MBS, sekolah memiliki kewenangan luas untuk menggali dan
memanfaatkan berbagai sumberdaya sesuai dengan prioritas kebutuhan aktual
sekolah. Implementasi praktis dari konsep dasar MBS sangat bervariasi dari satu
negara dengan negara lainnya, bahkan dari satu sekolah dengan sekolah lainnya.
Hal ini sangat tergantung kepada sistem politik pendidikan dan kebijakan dasar
sistem pengelolaan pendidikan yang diterapkan di negara yang bersangkutan.
Langkah-langkah kebijakan pembangunan pendidikan yang ditempuh
pemerintah seperti tertuang dalam RJPN 2014-2025, Bab 27 sebagaimana diatur
mengenai pelaksanaan manajemen berbasis sekolah sebagai berikut.7
Butir 11) pelaksanaan manajemen berbasis sekolah/satuan pendidikan
yang lain secara lebih optimal seiring dengan penciptaan institusi
pendidikan yang sehat yang didukung oleh penerapan sistem kontrol dan
jaminan kualitas pendidikan, dan penilaian kinerja di tingkat satuan
pendidikan melalui pelaksanaan evaluasi, akreditasi, sertifikasi, dan
pengawasan yang didasarkan pada hasil, termasuk kompetensi lulusan dan
tingkat kesehatan manajemennya;

5 Suyata. Community Participation in School Development: Acces, Demand, and School


Construction. Jakarta: Directorate of Seconday Education, Directorate General of Primay and
Secondary Education, Ministry of Education and Culture, 1996. h. 2
6 Cakrawala Pendidikan, Februari 2007, Th. XXVI, No.1. hh. 141-164. "Harmonisasi Peran
Pelaku Pendidikan sebagai Upaya untuk Mengoptimalkan Fungsi Pendidikan".
7 Bappenas. 2014. RJPN 2014-2025, BAB 27. Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap
Pendidikan Yang Lebih Berkualitas. http://www.bappenas.go.id 27-(8-12)
10

MBS dilaksanakan dengan memadukan kebijakan dasar pendidikan


pemerintah negara bagian dengan aspirasi dan partisipasi masyarakat yang
dihimpun dalam wadah School Council8 dan Parent and Community
Association. Perpaduan dari dua kepentingan tersebut dibicarakan dan
didiskusikan secara terbuka, dan hasilnya dituangkan dalam dokumen tertulis
yang dijadikan pedoman bagi semua pihak terkait. Dokumen tertulis tersebut
terdiri dari: 1) school policy (kebijakan sekolah) yang memuat visi, misi, tujuan,
dan sasaran-sasaran prioritas pengembangan program sekolah untuk mencapai
visi, misi, dan tujuan-tujuan yang dikehendaki bersama, 2) school planning
review, yaitu rencana jangka pendek atau menengah sekolah yang memuat
berbagai rencana kerja sekolah untuk jangka waktu antara tiga sampai lima tahun,
dan 3) school annual planning, yaitu program kerja tahunan sekolah yang lebih
rinci, termasuk anggaran biaya yang diperlukan.
Secara teoritis, pengelolaan sekolah dalam MBS ditandai oleh adanya
karakteristik dasar pemberian otonomi sekolah yang luas dan tingkat partisipasi
masyarakat yang tinggi dalam mendukung program sekolah. Otonomi yang luas
diberikan kepada institusi lokal sekolah untuk mengelola berbagai sumberdaya
yang tersedia dan mengalokasikan dana yang tersedia sesuai dengan prioritas
kebutuhan sekolah dalam upaya meningkatkan mutu sekolah secara umum dan
mutu hasil belajar siswa. Sekolah diberi kewenangan yang luas untuk
mengembangkan program-program kurikulum dan pembelajaran yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan siswa serta tuntutan masyarakat setempat. Dengan
otonomi luas ini, sekolah dapat meningkatkan kinerja staf dengan menawarkan
partisipasi aktif mereka dalam mengambil keputusan bersama dan
bertanggungjawab bersama dalam pelaksanaan keputusan yang diambil. Selain
otonomi yang luas, sekolah juga didukung oleh adanya partisipasi yang tinggi dari
pihak orangtua siswa dan masyarakat di sekitar sekolah dalam merealisasikan
program-program sekolah.
Dalam manajemen berbasis sekolah (MBS), para orangtua menerima
pelayanan yang berkualitas melalui siswa-siswa yang menerima pendidikan yang
mereka butuhkan. Peran orangtua sebagai partner dan pendukung. orangtua dapat

8 Ibid.
11

berpartisipasi dalam proses sekolah, mendidik siswa secara kooperatif, berusaha


membantu perkembangan sekolah yang sehat, memberi sumbangan sumberdaya
dan informasi, mendukung dan melindungi sekolah pada saat mengalami kesulitan
dan krisis.
Orangtua dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan
finansial, tetapi bersama school council merumuskan dan mengembangkan
program-program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah secara umum.
Masyarakat menyediakan diri untuk membantu sekolah sebagai narasumber atau
organisator kegiatan sekolah yang dapat meningkatkan mutu hasil belajar siswa
dan prestise sekolah secara keseluruhan. Orangtua dan masyarakat juga terlibat
secara aktif dalam proses kontrol kualitas pengelolaan sekolah. Dengan demikian,,
dalam pelaksanaan MBS sekolah dituntut untuk memiliki tingkat accountability
yang tinggi kepada masyarakat dan pemerintah.

2. Pendidikan Multikultur
Pendidikan nasional memegang peranan penting dalam menanamkan
kesadaran akan berbagai perbedaan sehingga perlu digagas visi pendidikan yang
mampu mengakomodir perbedaan-perbedaan visi pendidikan multikultural.
Masyarakat multikultural ini mengusung semangat untuk hidup berdampingan
secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara
individual maupun secara kelompok dan masyarakat.9 Pendidikan multikultural
merupakan salah satu model pendidikan yang mengusung ideologi untuk
memahami, menghormati, menghargai, hingga akhirnya mampu menerima
keragaman yang ada di dalam masyarakat, baik itu keragaman secara ekonomi,
sosial, budaya, etnis, bahasa, maupun agama. Tilaar (2004) memberikan
pengertian pendidikan multikultural sebagai wacana lintas batas yang mengupas
permasalahan tentang keadilan sosial, demokrasi, hak asasi manusia, isu-isu
10
politik, moral, edukasional, dan agama. Selanjutnya, masih dalam pandangan
Azra (2006) pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak
bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan
9 Azra, A. 2006. Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme
Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten
Press. h. 154
10 Tilaar, H.A.R. 2004. Op. Cit. 153
12

secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu


strategi penting itu adalah pendidikan multikultural (multicultural education) yang
dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau informal, langsung atau
tidak langsung. 11
Langkah-langkah kebijakan pembangunan pendidikan multikultural
ditempuh pemerintah seperti tertuang dalam RJPN 2014-2025, Bab 27 berikut ini.
Butir 9) pengembangan pendidikan multikultural yang terintegrasi ke
dalam kompetensi materi pelajaran dan proses pembelajaran yang relevan
untuk memantapkan wawasan kebangsaan dan memperkuat pemahaman
nilai-nilai pluralis, toleransi, dan inklusif untuk meningkatkan daya rekat
sosial masyarakat Indonesia yang majemuk, dan memperkukuh persatuan
dan kesatuan bangsa.12

Tujuan pokok pendidikan bervisi multikulturalisme adalah menerapkan


prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan sekaligus humanisme yang mendukung
urgensi pendidikan multikulturalisme. Alam demokrasi di Indonesia semakin
terbuka. Fenomena heterogenitas masyarakat yang membentuk negara- bangsa
Indonesia adalah suatu yang klise apabila masyarakat menyebut dirinya
demokratis, namun masih terdapat berbagai ganjalan dalam masyarakat dalam
menyikapi berbagai perbedaan yang ada. Karena itu, pendidikan di alam
demokrasi seperti saat ini harus berorientasi pada kepentingan bangsa yang
berlatarbelakang multi-etnic, multi-religion, multi-language, perbedaan status
sosial, perbedaan kelamin, perbedaan kemampuan, dan lain-lain. Sikap
akomodatif terhadap berbagai perbedaan yang ada untuk terbangunnya sebuah
peradaban yang menghargai berbagai perbedaan itu tentu tidak mungkin dicapai
melalui proses-proses yang homogen (seragam). Artinya, proses pendidikan yang
dikembangkan juga harus mencerminkan heterogenitas sesuai karakteristik
perbedaan-perbedaan itu.13
Di dalam pendidikan multikultural terletak tanggung jawab besar untuk
pendidikan nasional. Tanpa pendidikan yang difokuskan pada pengembangan
perspektif multikultural dalam kehidupan adalah tidak mungkin untuk
menciptakan keberadaan aneka ragam budaya di masa depan dalam masyarakat
Indonesia. Multikultural hanya dapat disikapi melalui pendidikan nasional.
11 Ibid.
12 Bappenas. 2014. Loc. Cit.
13 Suyata, 2006, Op. Cit., h. 231
13

Tujuan pokok pendidikan bervisi multikulturalisme adalah menerapkan


prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan sekaligus humanisme. Dua argumentasi
kuat yang mendukung urgensi pendidikan multikulturalisme; pertama alam
demokrasi di Indonesia yang semakin terbuka, kedua fenomena heterogenitas
masyarakat yang membentuk negara-bangsa Indonesia. Adalah suatu yang naif
bila masyarakat menyebut dirinya demokratis, namun masih terdapat berbagai
ganjalan dalam masyarakat dalam menyikapi berbagai perbedaan yang ada.
Karena itu, pendidikan di alam demokrasi seperti saat ini harus berorientasi pada
kepentingan bangsa yang berlatar belakang multi-etnic, multi-religion, multi-
language, perbedaan status sosial, perbedaan kelamin, perbedaan kemampuan,
dan lain-lain. Sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan yang ada untuk
terbangunnya sebuah peradaban yang menghargai berbagai perbedaan itu tentu
tidak mungkin dicapai melalui proses-proses yang homogen (seragam). Artinya,
proses pendidikan yang dikembangkan juga harus mencerminkan heterogenitas
sesuai karakteristik perbedaan-perbedaan itu.
Pendidikan multikultural berbasis masyarakat merupakan gabungan antara
pendidikan multikultural dengan pendidikan berbasis masyarakat. Terkait dengan
pendidikan multikultural sudah dijelaskan pada awal tulisan ini. Sementara itu,
pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing merupakan pendidikan yang
dirancang, dinilai, dan dikembangkan oleh masyarakat yang mengarah pada usaha
menjawab tantangan dan peluang yang ada di lingkungan masyarakat tertentu
14
dengan berorientasi pada masa depan. Dengan kata lain, pendidikan berbasis
masyarakat dapat menjadi gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar
sepanjang hayat dalam mengatasi tantangan kehidupan yang terus berubah.
Seperti halnya demokrasi, pendidikan ini merupakan pendidikan dari masyarakat,
oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat
menghendaki adanya pergeseran paradigma pendidikan dari sentralistik ke
desentralistik, otoriter ke demokrasi yang membebaskan, serta konsep pendidikan
yang berorientasi pemerintah ke konsep pendidikan yang berorientasi masyarakat.

14 Sihombing, Umberto. Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat.


DalamFasli Jalal dan Dedi Supriyadi (Eds).2001. Reformasi dalam Konteks Otonomi Daerah.
Cet. 1. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2001. H.: 186
14

Pendidikan multikultural sudah menjadi tuntutan yang harus dipenuhi,


tidak dapat ditawar-tawar lagi karena Indonesia sebagai Negara multikultur
terbesar di dunia. Pendidikan multikultural tidak hanya sekedar diwacanakan,
namun sudah waktunya untuk segera direalisasikan di Indonesia, baik melalui
jalur pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Pendidikan formal, dalam
hal ini sekolah, harus menjadi pelopor pendidikan multikultural. Demikian pula
pendidikan nonformal dan informal juga merupakan jalur pendidikan yang harus
diperkuat untuk berhasilnya pendidikan multikultural. Dengan demikian,
pendidikan yang setara bagi semua warga negara sebagai tujuan utama pendidikan
multikultural akan dapat terwujud. Khususnya di lingkup sekolah, melalui
pendidikan multikultural berarti perbedaan individu siswa (dari segi etnis, latar
belakang sosial-ekonomi, kultur, kepandaian, agama, dll.)
Lebih lanjut, Bennet menjabarkan adanya nilai inti dari pendidikan
pendidikan multikultur: 1) Pendidikan multikultur memberikan penghargaan
terhadap pluralitas budaya, 2) Pendidikan multikultur mengakui harkat manusia
dan HAM, 3) Pendidikan multikultur mengembangkan tanggung jawab
masyarakat dunia, 4) Pendidikan multikultur mengembangkan tanggung jawab
manusia terhadap planet bumi. Agar nilai-nilai tersebut dapat teraplikasikan
dengan baik, dibutuhkan peran serta masyarakat dan pemerintah untuk
menjadikan konsep pendidikan multikultural ini sebagai pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. 15
Sebenarnya model pendidikan multikultural sudah cukup banyak
dipraktikkan di negara-negara lain. Dalam konteks teoretis, belajar dari model-
model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh
negara-negara maju dikenal dengan lima pendekatan: Pertama, pendidikan
mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan
mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga,
pendidikan bagi pluralisme. Keempat, pendidikan dwibudaya. Kelima, pendidikan
multikultural sebagai pengalaman moral manusia.16

15 Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi
Kultural. Jakarta: Indonesia Tera. h.: 171
16 el-Mahady, Muhaemin. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (Sebuah
Kajian Awal). Makalah. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
15

Sementara itu, untuk konteks Indonesia, model pendidikan multikultural


yang pernah ada lebih banyak diaplikasikan dalam bentuk pendidikan formal,
misalnya di sekolah. Model penyelenggaraan pendidikan multikultural di sekolah
dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan konsep tersebut ke dalam mata
pelajaran lain pada kurikulum yang berlaku saat itu. Dalam hal ini, pendidikan
multikultural diharapkan tidak mengubah struktur kurikulum dan tidak menambah
alokasi waktu. Perlu diperhatikan pula bahwa pengintegrasian nilai-nilai yang
terkandung dalam pendidikan multikultural dalam mata pelajaran lain harus dapat
diaplikasikan secara nyata di kehidupan bermasyarakat yang tecermin dari
perilaku warga sekolah dan para peserta didik.
Selain itu, pengelola pendidikan harus memahami kondisi orangtua dan
masyarakat sehingga dapat menentukan pendekatan dan cara berkomunikasi yang
tepat agar masyarakat mau terlibat secara sadar dan sukarela. Sosialiasasi dapat
digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan dan menjual imformasi kapada
masyarakat. Semakin baik dan semakin jelas penyampainnya maka masyarakat
akan semakin mudah dalam menerima apa yang disampaikan. Kemampuan
manajemen sekolah dalam penyampaian informasi menjadi salah satu faktor
penentu tingkat partisipasi orang tua dan masayarakat dalam pendidikan
multikultural di sekolah.
Perlu dikembangkan partisipasi orangtua dan masyarakat dalam
pengelolaan pendidikan multikultural berbasis multikultural di sekolah dasar.
Pengambilan keputusan bersama hanya bisa dilakukan apa bila ada partisipasi dari
seluruh stakeholders. Partisipasi memerlukan aktivitas dari kedua belah pihak.
Sekolah membuka kesempatan dan mendorong stakeholders untuk aktif
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Tanpa ada keterbukaan dari sekolah, tidak
mungkin akan muncul partisipasi yang sehat. Adanya pelibatan memungkinkan
masyarakat memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelanjutan program-program
yang sudah dirancang oleh sekolah.

3. Peran Masyarakat dalam Pendidikan


Lembaga pendidikan formal merupakan sebuah lembaga organisasi yang
kompleks dan unik sehingga memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Oleh
16

karena itu, masyarakat perlu memahami manfaat dan gambaran (depict) hubungan
kerja sama antara struktur dan hasil (outcomes) bagi sebuah lembaga pendidikan
(sekolah).
Masyarakat memiliki andil dalam pendidikan telah mengemuka berkaitan
dengan reformasi pendidikan yang menghendaki adanya pergeseran paradigma
pendidikan dari sentralistik ke desentralistik, bergeser dari praktik pendidikan
yang otoriter ke praktik pendidikan demokratis yang membebaskan, serta dari
konsep pendidikan yang berorientasi pemerintah (state oriented) ke konsep
pendidikan yang berorientasi masyarakat (community oriented). Seperti yang
diungkapkan oleh Fairchild (1977) sebagai berikut.
Community is a sub-group that has the characteristics such as society,
but on a smaller scale, and with the interests of the less extensive and
coordinated. Hidden in the concept of community is the existence of a
territory, a considerable degree on the introduction and inter-personal
contacts, and the presence of some special bases coherence that separates
it from the adjacent group. Community supplies themselves have limited
appeal in society, but within the boundaries of the familiar and the
association has a deeper sympathy.. 17

Masyarakat merupakan sub-kelompok yang mempunyai karakteristik


seperti masyaraka umum, tetapi pada skala yang lebih kecil, dan dengan
kepentingan yang kurang luas dan terkoordinir. Tersembunyi dalam konsep
masyarakat setempat adalah adanya suatu wilayah teritorial, sebuah derajat yang
dapat dipertimbangkan mengenai perkenalan dan kontak antar pribadi, dan adanya
beberapa basis koherensi khusus yang memisahkannya dari kelompok yang
berdekatan. Masyarakat setempat mempunyai perbekalan diri terbatas di banding
masyarakat umum, tetapi dalam batas-batas itu mempunyai asosiasi yang akrab
dan simpati yang lebih dalam.
Pengaruh masyarakat terhadap pendidikan sebagai lembaga sosial terasa
amat kuat, dan berpengaruh pula terhadap individu-individu yang ada di
lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri, karena lingkungan masayarakat
bersifat kompleks yang terdiri dari kelompok masyarakat Upper Class, Middle
Class, dan Lower Class tentu saling melengkapi dan bersifat unik sebagai akibat
latar belakang dimensi budaya yang beraneka ragam.

17 Fairchild, Henry Pratt (ed.). Dictionary of Sociology. Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams &
Co., 1977. h. 52
17

Wolf, Kane, and Strickland (1997) menegaskan partisipasi masyarakat


memiliki sejumlah lima kekuatan, seperti : 1) efektivitas proyek meningkat,
penggunaan pengetahuan, keterampilan dan sumber dapat memperbaiki desain
dan implementasi proyek, 2) efisiensi proyek membaik, keterlibatan masyarakat
dapat mengarahkan penggunaan sumber eksternal dan lokal yang lebih baik,
misalnya material dan tenaga kerja, 3) kepercayaan diri dan pemberdayaan
masyarakat, keterlibatan masyarakat dapat membantu mengurangi mentalitas
ketergantungan, 4) mencakup anggota masyarakat lebih luas, keterlibatan
masyarakat dapat menghasilkan distribusi keuntungan yang lebih merata bagi
orang-orang yang terabaikan, misalnya orang miskin, perempuan, minoritas, tak
berdaya, dan sebagainya, dan kesinambungan proyek lebih terjamin, keterlibatan
masyarakat daat membantu untuk menjamin bahwa proyek melanjutkan fungsi
secara benar. 18
Pendidikan berbasis masyarakat, sebagaimana diungkapkan Sharon
Murphy (2001), senantiasa didasarkan pada teori dan pedagogik kritis (grounded
in critical theory and pedagogy). Di dalam pedagogik kritis, pendidikan
merupakan arena perjuangan politik. Jika dalam paradigma pendidikan
konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi
paradigma pendidikan liberal untuk perubahan kaum moderat, maka dalam
pedagogik kritis, pendidikan diarahkan pada terjadinya perubahan struktur secara
fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada. 19
Adapun tujuan pokok pengembangan hubungan dan partisipasi aktif antara
lembaga pendidikan dengan masyarakat setempat, adalah untuk memungkinkan
orang tua dan warga wilayah berpartisipasi aktif dan penuh arti di dalam kegiatan
pendidikan. Program efektif tentang hubungan kerja sama antara lembaga
pendidikan dengan masyarakat untuk mendorong orang tua terlibat ke dalam
proses pendidikan melalui kerja sama dengan pimpinan dan staf termasuk dewan
guru di dalam perencanaan program pendidikan individual dari anak-anak mereka.

18 Wahab, Rochmat. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Otonomi Pendidikan. makalah,


Yogyakarta: UNY (hal.1-9)
19 Suharto, Toto. Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jurnal. Cakrawala
Pendidikan, November 2005, Th. XXIV, No. 3, hal. 323-345
18

Hubungan sekolah dengan masyarakat menurut Sulianita (2014) dapat


dilaksanakan dengan mendayagunakan kemampuan yang ada dalam masyarakat
dalam bentuk kegiatan sebagai berikut.
a. Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan pada jalur pendidikan
sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah, pada semua jenis pendidikan
kecuali pendidikan kedinasan, dan pada semua jenjang pendidikan di jalur
pendidikan sekolah.
b. Mendirikan suatu wadah di sekolah yang berbentuk BP3 dengan tujuan
membantu penyelenggaraan pendidikan.
c. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk
melaksanakan atau membantu melaksanakan pengajaran, atau
pembimbingan dan atau pelatihan bagi siswa.
d. Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli untuk membantu
pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dan atau penelitian dan
pengembangan.
e. Pengadaan dan atau penyelenggaraan program pendidikan yang belum
diadakan dan atau diselenggarakan oleh pemerintah untuk menunjang
pendidikan nasional.
f. Pengadaan dana dan pemberian bantuan yang dapat berupa wakaf, hibah,
sumbangan, pinjaman, beasiswa, dan bentuk lain yang sejenis. 20
Dalam upaya untuk mewujudkan satu perubahan penting bagi lembaga
pendidikan tentu sangat diperlukan dukungan dan partisipasi aktif masyarakat di
mana lembaga pendidikan itu berada. Dukungan yang diperlukan meliputi antara
lain : (1). Personil, seperti : tenaga ahli, konsultan, staf pengajar, orang tua,
pengawas dan sebagainya, (2). Sumber dana yang diperlukan untuk mendukung
tersedianya fasilitas seperti gedung, perlengkapan kantor, kepustakaan, dan
perlengkapan bahan-bahan pengajaran lainnya, (3). Dukungan berupa informasi
dari berbagai media, lembaga instansi terkait, dan berbagai sumber lainnya guna
mendukung kelancaran proses pendidikan, (4). Perlu adanya dukungan dari
Dewan Pendidikan (Majelis Pendidikan) sebagai lembaga mandiri dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan

20 Sulianita, Lilis. "Membangun Hubungan Sekolah dan Masyarakat yang Efektif di Lingkungan
Pendidikan". OPini. http. edukasi. kompasiana.com. 31 October 2014
19

pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta


pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
yang tidak mempunyai hubungan hierarkis.
Langkah-langkah kebijakan pembangunan pendidikan yang ditempuh
pemerintah adalah peningkatan keefektifan peran serta masyarakat dalam
pembangunan pendidikan baik dalam penyelenggaraan, penyediaan biaya,
maupun dalam pengelolaan pendidikan dari tingkat pusat sampai satuan
pendidikan, termasuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah serta
komite satuan pendidikan yang lain21.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang menunjang peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang bermanfaat untuk pembangunan masyarakat.
Oleh karena itu kegiatan sekolah dalam semua bidang harus relevan dengan
kebutuhan dan kondisi masyarakat, khususnya masyarakat di lingkungan sekolah
itu berada. Melalui kegiatan kurikuler atau ekstrakurikuler, sekolah bertujuan
meningkatakan pengetahuan, keterampilan dan sikap siswa agar dapat
membangun dirinya serta ikut bertanggung jawab atas pembangunan masyarakat
dan bangsa secara perorangan dan kelompok. Dengan demikian sekolah
merupakan bagian yang terpisahkan dari masyarakat22.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa orientasi
pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah di Indonesia harus
mengacu pada kebutuhan masyarakat karena masyarakatlah yang nantinya
menggunakan produk pendidikan tersebut. Untuk itu, diperlukan sebuah
hubungan komunikasi dua arah yang dapat memberikan sinergi positif bagi
sekolah dan masyarakat. Hubungan timbal balik antara sekolah dan masyarakat
sangat diperlukan agar peningkatan mutu pendidikan dan kegiatan pembangunan
saling menunjang.
Sesuai dengan UU Nomor 2 tahun 1989 pasal 2523, masyarakat turut
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah. Hasil pendidikan
bermanfaat bagi masyarakat di antaranya untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja

21 Bappenas. 2014. Loc. Cit.


22 Sulianita, Loc. Cit.
23 UU Nomor 2 pasal 25 tahun 1989
20

yang cakap, terampil, dan berjiwa pancasila. Sekolah turut bertanggung jawab dan
dapat memberi warna terhadap lingkungan masyarakat.
Lebih lanjut, dalam UU. RI. Nomor 20 Tahun 2003 24 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, disebutkan pada pasal 55 ayat (1). Masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan
non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kepentingan masyarakat. Ayat (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Ayat
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Ayat (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan
teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil secara merata dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Partisipasi masyarakat sebenarnya tidak hanya dapat memperlancar
pelaksanaan pendidikan, melainkan juga mampu meningkatkan kualitas
pendidikannya. White dan Barber (1997)25 menegaskan bahwa hubungan dan
kerjasama yang suportif antara keluarga dan masyarakat memiliki efek yang
positif. Hal ini didukung oleh penelitian Mortimore dkk (1988)26 terhadap siswa
SLTP bahwa ditemukan keuntungan yang positif di mana orangtua membantu di
dalam kelas dan ketika study-tour, ada pertemuan tentang kemajuan anak secara
rutin, ada sebuah ruang untuk orangtua di sekolah, dan ada suatu kebijakan pintu
terbuka yang memungkinkan orangtua dapat hadir di sekolah kapan saja untuk
urusan anaknya.
Wujud partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan Mengingat
strategisnya partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan, maka partisipasi
masyarakat harus diwujudkan dalam berbagai bentuk.
Pertama, partisipasi finansial yang diwujudkan berupa dukungan dana
sesuai dengan kekuatan dan kemampuan masyarakat, baik itu yang sifatnya

24 UU. RI. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


25 Wahab, Rochmat. 2015. Loc. Cit.
26 Ibid.
21

donatur tetap maupun tidak tetap, ketika dibutuhkan uluran dana yang dikaitkan
dengan tuntutan mendesak. Termasuk juga orangtua secara kolektif dapat
mendukung dana yang diperlukan sekolah, yang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan untuk keberhasilan misi pendidikan secara menyeluruh.
Selain daripada itu, lembaga bisnis dan industri diharapkan dapat menyisihkan
anggaran untuk pemberian beasiswa atau dukungan biaya operasional pendidikan.
Kedua, partisipasi material yang diwujudkan dengan sumbangan bahan-
bahan yang berkenaan dengan material bangunan, guna untuk penyempurnaan
bangunan ruang dan tempat untuk kegiatan belajar. Demikian juga masyarakat
dimungkinkan dapat mendukung adanya fasilitas umum yang dapat digunakan
dalam batas tertentu untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Sebaliknya
masyarakat perlu mendukung terciptanya lingkungan fisik yang kondusif,
sehingga tempat-tempat pendidikan dan latihan dapat terhindar sejauh-jauhnya
dari polusi udara, suara, air, tanah, dan sebagainya. Lingkungan sehat yang
diciptakan masyarakat akan memberikan dukungan yang berarti bagi
keberlangsungan proses pendidikan.
Ketiga, partisipasi akademik yang ditunjukkan dengan kepedulian
masyarakat yang dikaitkan dengan dukungan terhadap penyelenggaraan kegiatan
akademik yang lebih berkualitas. Dukungan dapat diwujudkan dengan dukungan
orangtua dan masyarakat untuk mengawasi dan membimbing belajar anak yang
berlangsung di luar sekolah. Demikian pula dapat dimungkinkan beberapa
orangtua yang memiliki keahlian tertentu dapat menjadi orang sumber (resource
persons) yang mampu memperbaiki kualitas pendidikan. Selain daripada itu
tempat-tempat industri dan bisnis dapat memberikan sharing pengalaman dan
kompetensinya melalui pemberian kesempatan untuk magang, praktek lapangan.
Masyarakat juga terbuka untuk melakukan kontrol terhadap proses pendidikan
yang berlangsung, dikaitkan dengan tanggung jawab profesional tenaga
kependidikan. Bila dijumpai guru dan ahli kependidikan lainnya kurang
committed dengan tanggung jawabnya, maka masyarakat memiliki hak untuk
mengajukan sejumlah rekomendasi kepada DPR dan pemerintah daerah (dinas),
guna meminta pertanggungjawaban mereka.
22

Keempat, partisipasi kultural yang diwujudkan dengan perhatian


masyarakat terhadap terpeliharanya nilai kultural dan moral yang mampu menjaga
martabat masyarakat setempat, sehingga masyarakat perlu ikut serta menjadi filter
terhadap masuknya peradaban yang tidak sejalan dengan kultur dan nilai yang
diyakini oleh masyarakat. Praktek perilaku yang dikehendaki tumbuh subur di
sekolah, harus didukung dengan perilaku dan tradisi yag baik di tengah-tengah
kehidupan masyarakat.
Kelima, partisipasi evaluatif, yang diwujudkan dengan keterlibatan
masyarakat dalam melakukan pengendalian dan kontrol terhadap penyelenggaraan
pendidikan, sehingga masyarakat dapat memberikan umpan balik (feedback) dan
penilaian terhadap kinerja lembaga pendidikan.
Keenam, partisipasi mediatif, yang diwujudkan dengan membangun
network dengan intsitusi birokrasi dan institusi pendidikan, sehingga dapat
memudahkan peserta pendidikan mengakses informasi yang ada di masyarakat
tanpa melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit.27
Dukungan perbaikan dan partisipasi aktif dari masyarakat dapat diperoleh
apabila saluran komunikasi dua arah dapat ditegakkan dan dipelihara, yaitu:
Pertama, kerja sama perlu dibangun, dan kedua konflik laten serta konflik yang
terjadi dapat diatasi. Hanya dengan dilaksanakan komunikasi dua arah
memungkinkan terwujudnya usaha kerja sama untuk melaksanakan perubahan
besar bagi sebuah lembaga pendidikan. Namun disisi lain yang tidak bisa
diabaikan adalah harus mampu menciptakan hubungan kerja yang harmonis, baik
bersifat internal maupun eksternal yang menjadi harapan publik dalam
pengembangan sebuah lembaga pendidikan.

4. Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan


Hal yang sangat penting bagi sekolah untuk menggalakkan program-
program sekolah melalui peran serta aktif orang tua dan masyarakat. Ada
beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan dalam mengupayakan partisipasi

27 Ibid.
23

orang tua dan masyarakat terhadap keberhasilan program sekolah (dalam Sundari,
Sri, 2001)28 sebagai berikut.
a. Menjalin Komunikasi yang Efektif dengan Orang Tua dan Masyarakat
Partisipasi orang tua dan masyarakat akan tumbuh jika orang tua dan
masyarakat juga merasakan manfaat dari keikutsertaanya dalam program sekolah.
Manfaat dapat diartikan luas, termasuk rasa diperhatikan dan rasa puas karena
dapat menyumbangkan kemampuannya bagi kepentingan sekolah. Jadi prinsip
menumbuhkan hubungan dengan masyarakat adalah saling memberikan kepuasan.
Salah satu jalan penting untuk membina hubungan dengan masyarakat adalah
menetapkan komunikasi yang efektif. Ada beberapa pendekatan yang disampaikan
oleh dapat digunakan untuk membangun komunikasi dengan orang tua dan
masyarakat, yaitu:
1) Mengidentifikasi orang-orang kunci, yaitu orang-orang yang mampu
mempengaruhi teman lain. Orang-orang itulah yang tahap pertama
dihubungi, diajak konsultasi, dan diminta bantuannya untuk menarik orang
lain berpartisipasi dalam program sekolah. Tokoh-tokoh semacam itu dapat
berasal dari orang tua siswa atau warga masyarakat yang dituakan atau
informal leaders, pejabat, tokoh bisnis, dan profesi lainnya.
2) Melibatkan orang-orang kunci tersebut dalam kegiatan sekolah, khususnya
yang sesuai dengan minatnya. Misalnya tokoh seni dapat dilibatkan dalam
pembinaan kesenian di sekolah. Orang yang hobi olahraga dapat dilibatkan
dalam program olahraga sekolah. Selanjutnya tokoh-tokoh tersebut
diperankan sebagai mediator dengan masyarakat luas.
3) Memilih saat yang tepat, misalnya pelibatan masyarakat yang hobi
olahraga dikaitkan dengan adanya PON atau sejenis yaitu saat minat
olahraga di masyarakat sedang naik. Pelibatan tokoh dan masyarakat yang
peduli terhadap kebersihan/kesehatan dimulai pada hari Kesehatan
Nasional misalnya.

b. Melibatkan Masyarakat dan Orang Tua dalam Program Sekolah


28 Sundari, Sri. 2001. Upaya Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Partisipasi Orang Tua dan
Masyarakat untuk Mendukung Keberhasilan Program Sekolah sebagai Implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah. Makalah. Dinas Pendidikan Kota Bandung Provinsi Daerah Tingkat I Jawa
Barat.
24

Sekolah harus mengenalkan program dan kegiatannya kepada masyarakat.


Dalam program tersebut harus tampak manfaat yang diperoleh masyarakat jika
membantu program sekolah. Untuk maksud tersebut, sekolah dapat melakukan:
1) Melaksanakan program-program kemasyarakatan, misalnya kebersihan
lingkungan, mambantu lalu lintas di sekitar sekolah, dan sebagainya.
Program sederhana semacam ini dapat menumbuhkan simpati masyarakat.
2) Mengadakan open house yang memberi kesempatan masyarakat luas untuk
mengetahui program dan kegiatan sekolah. Tentu saja dalam kesempatan
semacam itu sekolah perlu menonjolkan program-program yang menarik
minat masyarakat.
3) Mengadakan buletin sekolah atau majalah atau lembar informasi yang
secara berkala memuat kegiatan dan program sekolah, untuk
diinformasikan kepada masyarakat.
4) Mengundang tokoh untuk menjadi pembicara atau pembina suatu program
sekolah. Misalnya mengundang dokter yang tinggal di sekitar sekolah atau
orang tua untuk menjadi pembicara atau pembina program kesehatan
sekolah.
5) Membuat program kerja sama sekolah dengan masyarakat, misalnya
perayaan hari-hari nasional maupun keagamaan.

c. Memberdayakan Dewan Sekolah


Keberadaan Dewan Sekolah akan menjadi penentu dalam pelaksanaan
otonomi pendidikan di sekolah. Melalui Dewan Sekolah, orang tua dan
masyarakat ikut merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pengelolaan
pendidikan di sekolah. Untuk meningkatkan komitmen peran serta masyarakat
dalam menjunjang pendidikan, termasuk dari dunia usaha, perlu dilakukan antara
lain dengan upaya sebagai berikut.
1) Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang pendidikan
terutama ditingkat sekolah. Melalui otonomi, pengambilan keputusan yang
menyangkut pelaksanaan layanan jasa pendidikan akan semakin mendekati
kepentingan masyarakat yang dilayani.
25

2) Selanjutnya program imlab swadana, yaitu pemerintah baru akan


memberikan sejumlah bantuan tertentu pada sekolah apabila masyarakat
telah menyediakan sejumlah biaya pendamping.
3) Mengembangkan sistem sponsorship bagi kegiatan pendidikan. Melalui
upaya-upaya yang dilakukan pihak sekolah dalam meningkatkan
partisipasi masyarakat dan orang tua dalam mendukung program-program
sekolah dapat teroptimalkan.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian ini relevan dengan beberapa penelitian sebelumnya, yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Sundari, 2001 yang berjudul Upaya
Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Partisipasi Orang Tua dan
Masyarakat untuk Mendukung Keberhasilan Program Sekolah sebagai
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Makalah. Dinas Pendidikan
Kota Bandung Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang demokratis,
sekolah seyogyanya dapat dijadikan sebagai pelopor dan pusat
perkembangan bagi perubahan-perubahan masyarakat di dalam bidang-
bidang kehidupan ke tingkat yang lebih tinggi. Sekolah hendaknya
merupakan bagian integral dari masyarakat sekitarnya dalam memberikan
pelayanan atas pendidikan yang berkualitas, dan berarti pula
menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang kewajiban dan tanggung
jawab terhadap pendidikan pada umumnya. Sekolah diharapkan mampu
menggali dan mengelola semua jenis partisipasi orang tua dan masyarakat
dalam mendukung keberhasilan program-program sekolah sesuai dengan
kebutuhan masing-masing, baik berupa patisipasi buah pikiran, tenaga,
harta benda, keterampilan maupun partisipasi sosial. Upaya meningkatkan
partisipasi orang tua dan masyarakat, maka diperlukan hubungan dan
kerjasama yang harmonis antara sekolah dan masyarakat serta mempunyai
kemampuan majerial dan tenaga yang profesional untuk menciptakann
program-program sekolah yang berkualitas.
26

2. Upaya Kepala Sekolah dalam Meningkatkanpartisipasi Orang Tua di SDN


Kecamatan Pariaman Utara Kota Pariaman oleh Citra Ayudia, Jurusan
Administrasi Pendidikan FIP UNP
Menurut Ayudia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat
menuntut sumber daya manusia yang berkualitas dan pendidikan adalah
salah satu wahana untuk meningkatkan sumber daya manusia. Pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pihak sekolah atau
lembaga pendidikan serta tanggung jawab orang tua dan masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, partisipasi orang tua adalah
salah satu faktor penting yang mesti diperhatikan oleh pihak sekolah.
Untuk meningkatkan partisipasi orang tua terhadap pendidikan di sekolah,
perlu adanya upaya tertentu yang dilakukan oleh kepala sekolah. Adapun
upaya yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan
partisipasi orang tua terhadap pendidikan di sekolah diantaranya : menjalin
komunikasi yang efektif dengan orang tua dan masyarakat, melibatkan
orang tua dalam program sekolah serta memberdayakan komite sekolah.
3. Penelitian relevan selanjutnya yang dilakukan oleh Agus Wiyanto, S.Pd.
M.Pd yang berjudul Partisipasi Masyarakat Dalam Keberhasilan Program
Sekolah Sebagai Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut penelitian yang dihasilkan, salah satu komponen yang harus
dikelola dengan baik dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah
manajemen hubungan sekolah dan masyarakat. Hubungan antara sekolah
dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat
berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi
peserta didik di sekolah. Dalam hal ini, sekolah sebagai sistem sosial
merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu
masyarakat. Jika hubungan sekolah dengan masyarakat berjalan baik,
maka rasa tanggung jawab dan partisipasi masyarakat untuk memajukan
sekolah juga akan baik. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang
sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif
dan efisien. Sebaliknya, sekolah juga harus menunjang pencapaian tujuan
atau pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan pendidikan.
Oleh karena itu, sekolah berkewajiban memberi penerangan tentang
27

tujuan-tujuan, program-program, kebutuhan, serta keadaan masyarakat.


Sebaliknya, sekolah juga harus mengetahui dengan jelas apa kebutuhan,
harapan dan tuntutan masyarakat terutama terhadap sekolah.
4. Selanjutnya penelitian yang berjudul Partisipasi Masyarakat Dalam
Otonomi Pendidikan oleh Prof. Dr. Rochmat Wahab, Universitas Negeri
Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat
bagi kebersilan otonomi pendidikan menduduki posisi yang strategis,
karena masyarakat pada dasarnya merupakan stakeholders pendidikan
yang paling utama. Dengan demikian sangatlah tepat, jika masyarakat
mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dalam pengambilan
keputusan untuk berbagai persoalan yang penting dalam proses
pendidikan. Atas dasar pengertian ini, maka otonomi pendidikan pada
dasarnya memungkinkan terciptanya keyakinan bahwa pendidikan itu dari,
oleh, dan untuk masyarakat.
C.
28

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan digolongkan dalam
penelitian Etnografi Mikro.29 Metode etnografi telah membuktikan bahwa sebagai
metode penelitian kualitatif ia mampu melakukan analisis yang lebih mendalam
serta menyajikan refleksi kritis secara detil dalam lingkup mikro sebuah
kehidupan manusia. Karena itu, menurut Spradley (1997) etnografi harus
menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang
digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah
laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh tingkah laku
sosial budaya melalui deskripsi yang holistik. Desain penelitian ini lebih
cenderung mengkaji dan mendeskripsikan unit analisis yang lebih kecil, seperti
subkelompok, organisasi, perusahaan, lembaga, profesi, khalayak, proses belajar-
mengajar di sekolah atau proses pengambilan keputusan manajemen. 30
Penelitian ini berusaha mendeskripsikan gejala atau fenomena seperti apa
adanya atau natural setting, yaitu masyarakat dan sekolah yang ditentukan sebagai
subjek kajian. Penggunaan metode lapangan ini oleh Malinowski ini dapat
dikatakan sebagai perpaduan antara ilmu antropologi dan ilmu sosiologi.31 Fokus
utama dari penelitian Mallinowski adalah kahidupan masa kini yang dijalani oleh
masyarakat dan cara hidup suatu masyarakat (societys way of life) dan untuk
memberikan deskripsikan tentang struktur social dan budaya suatu masyarakat
dengan melakuakn wawancara dengan beberapa informan dan observasi pasrtipasi
dalam kelompok yang diteliti.
Dalam penelitian ini dideskripsikan secara kualitatif dalam bentuk kata-
kata, frasa, kalimat, ataupun wacana dan bukan dalam bentuk angka-angka
matematis atau statistik. Data penelitian yang sudah terkumpul kemudian disusun

29 Kriyantono, Rachmat. Etnografi (Deskriptif & Kritis): Public Relations & Crisis Management:
Pendekatan Critical PR, Etnografi Kritis & Kualitatif. Malang: Komunikasi UB.
30 Spradley, james P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. h. 5
31 Kuswarno, Engkus, Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya.
Bandung: Widya Padjadjaran, 2008. H.32-33
29

atau diidentifikasikan, dianalisis, diinterpretasikan, dan disimpulkan sehingga


memberikan gambaran tentang hasil penelitian yang sistematis dan nyata.
Sebagai metode penelitian kualitatif, etnografi dilakukan untuk tujuan-
tujuan tertentu. Spradley mengungkapkan beberapa tujuan penelitian etnografi,
sbb: (1) Untuk memahami rumpun manusia. Dalam hal ini, etnografi berperan
dalam menginformasikan teori-teori ikatan budaya; menawarkan suatu strategi
yang baik sekali untuk menemukan grounded theory. Sebagai contoh, etnografi
mengenai anak-anak dari lingkungan kebudayaan minoritas di Amerika Serikat
yang berhasil di sekolah dapat mengembangkan teori grounded mengenai
penyelenggaraan sekolah; etnografi juga berperan untuk membantu memahami
masyarakat yang kompleks. (2) Etnografi ditujukan guna melayani manusia.
Tujuan ini berkaitan dengan prinsip ke lima yang dikemukakan Spradley
di atas, yakni menyuguhkan problem solving bagi permasalahan di masyarakat,
bukan hanya sekadar ilmu untuk ilmu. Ada beberapa konsep yang menjadi fondasi
bagi metode penelitian etnografi ini. Pertama, Spradley mengungkapkan
pentingnya membahas konsep bahasa, baik dalam melakukan proses penelitian
maupun saat menuliskan hasilnya dalam bentuk verbal. Sesungguhnya adalah
penting bagi peneliti untuk mempelajari bahasa setempat, namun, Spredley telah
menawarkan sebuah cara, yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
etnografis. Konsep kedua adalah informan. Etnografer bekerja sama dengan
informan untuk menghasilkan sebuah deskripsi kebudayaan. Informan merupakan
sumber informasi; secara harafiah, mereka menjadi guru bagi etnografer.32
Sudikin (2002) menjelaskan dalam penelitian etnografi Spradley bertolak
pada lima prinsip berikut.
a. Teknik tunggal dimana peneliti dapat melakukan berbagai teknik
penelitian secara bersamaan dalam satu fase penelitian.
b. Identifikasi tugas, dimana peneliti harus menggali langkah-langkah pokok
yang harus dilaksanakan
c. Pelaksanaan langkah-langkah pokoh haus dijalankan secara berurutan.
d. Wawancara dilakukan secara sesungguhnya bukan hanya sekedar latihan.
e. Problem solving, peneliti memberikan jalan keluar. 33

32 Spradley, james P. 1997. Op. Cit. h. 35


30

Menurut Sutopo (2002), pendekatan kualitatif akan mampu menangkap


berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa yang lebih
berharga daripada pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka. 34

B. Sasaran Penelitian
Metode etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya dengan metode
penelitian kualitatif lainnya, yakni: observatory participantsebagai teknik
pengumpulan data, jangka waktu penelitian yang relatif lama, berada dalam
setting tertentu, wawancara yang mendalam dan tak terstruktur serta
mengikutsertakan interpretasi penelitinya. Sumber data penelitian ini
dikumpulkan dengan cara lokasional (Sudaryanto, 1993), yaitu tempat asalnya
data yang merupakan si pencipta bahasa atau penutur sebagai informan atau
narasumber. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
lisan, catatan lapangan, dan angket. 35
Sasaran penelitian ini adalah masyarakat dan pihak sekolah, tidak
menuntut kemungkinan data diambil dari orang tua siswa atau jika dimungkinkan
para pemangku kebijakan di wilayah kajian, yaitu Kabupaten Lampung Timur.

C. Teknik Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data yang diperlukan, penelitian melakukan
pengumpulan sejumlah data. Data ini merupakan faktor penting dalam penelitian.
Pengumpulan data dalam penelitian ini, antara lain; dengan observasi dan
wawancara secara mendalam. Data yang diambil dalam penelitian adalah data
lisan dan angket terbuka. Teknik simak bebas libat cakap tersebut dilakukan
dengan menyimak peristiwa tutur dan mencatatnya, baik ikut terlibat di dalamnya
maupun tidak terlibat langsung.
Adapun teknik rekam dilakukan dengan merekam peristiwa tutur dengan
dibantu tape recorder dan video recorder, dan berita online. Selanjutnya,
dilakukan dokumentasi data dengan memindahkan data-data tuturan, baik yang

33 Sukidin, Basrowi. Metode Penelitian Kualitatif Persepektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia,
2002. H.79
34 H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. H. 183
35 Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitan Wahana
Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Hh. 33-34
31

disimak langsung maupun yang direkam ke dalam kartu data yang sudah
dipersiapkan. Penggunaan alat bantu berupa kartu data tersebut memberikan
kemungkinan bekerja secara sistematik karena mudah diklasifikasikan atau
dikategorisasikan secara fleksibel.
Berikut ini penjelasan secara singkat teknik pengumpulan data yang akan
dilakukan dalam penelitian.
a. Observasi Langsung
Observasi langsung dalam penelitian kualitatif sering disebut observasi
berperan pasif (Spradley dalam Sutopo, 2002). Observasi langsung, baik formal
maupun informal dilakukan untuk mengamati berbagai kegiatan dan peristiwa. 36
Dengan demikian, observasi langsung dalam penelitian ini, yaitu
mengamati secara langsung kegiatan atau peristiwa tutur, baik antarsiswa, siswa
dan guru maupun siswa dan karyawan di lingkungan sekolah (di dalam kelas dan
di luar kelas) dengan dibantu alat perekam dan alat pencatat data. Kegiatan
berbahasa atau bertutur antara siswa dan siswa, antara guru dan siswa tersebut
telah menghasilkan data berupa tuturan-tuturan sesuai dengan situasi dan konteks
yang selanjutnya menjadi data penelitian. Adapun teknik yang diterapkan adalah
teknik simak bebas, libat cakap, dan teknik rekam.
Ada beberapa alasan mengapa observasi langsung ini dilakukan, seperti
yang dikatakan Moleong (2002) sebagai berikut. Pertama, teknik ini didasarkan
pada pengalaman secara langsung, dan pengalaman langsung merupakan alat yang
ampuh untuk mengetes suatu kebenaran. Kedua, teknik ini memungkinkan
peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian
sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Ketiga, pengamatan
memungkinkan peneliti untuk mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan
dengan proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.
Keempat, pengamatan dapat dipakai untuk mengecek, mengurangi bias ketika
peneliti sulit mengingat peristiwa atau hasil wawancara, ataupun karena reaksi
peneliti yang emosional pada suatu saat. Terakhir, peneliti mampu memahami
situasi-situasi yang rumit dan perilaku yang kompleks. 37

36 H.B. Sutopo. Op. cit. 137


37 Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
H. 125
32

b. Wawancara Mendalam
Sutopo (2002) menyatakan bahwa wawancara mendalam dilakukan
dengan wawancara yang bersifat lentur dan terbuka, tidak berstruktur secara ketat,
tidak dalam suasana formal, dan dilakukan berulang pada informan yang sama.
Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar pertanyaan yang disampaikan dapat
38
terfokus sehingga informasi yang dikumpulkan semakin rinci dan mendalam.
Wawancara dilakukan pada situasi yang santai atau dengan obrolan yang dapat
menjaring data sebanyak-banyaknya. Cara tersebut juga dapat mencapai kejujuran
informan dalam memberikan informasi.

c. Dokumen
Analisis dokumen, adalah teknik yang dipergunakan untuk menganalisis
dokumen yang telah diperoleh dari hasil observasi. Dokumen yang dimaksud
dapat berupa catatan hasil observasi, transkrip rekaman, catatan hasil wawancara
yaitu ditranskrip, dan foto observasi, dan video streaming.

D. Triangulasi Data
Analisis keabsahan data digunakan teknik triangulasi. Validitas data
merupakan kebenaran dari proses penelitian. Dalam penelitian ini setelah
didapatkan data melalui teknik di atas, selanjutnya dilakukan triangulasi sumber.
Data yang diperoleh dari lapangan ditriangulasikan berdasarkan berbagai sumber
untuk menjaga validitas data yang dikumpulkan dalam penelitian. Dalam hal ini
dengan mengumpulkan berbagai sumber data kemudin dianalisis menggunakan
satu teori dicocokkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat observasi.
Dengan demikian, kebenaran data yang satu diuji oleh data yang diperoleh dari
sumber data yang lainnya.

E. Teknik Analisis Data


Menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2002), analisis data
kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

38 H.B. Sutopo. Loc. Cit.


33

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,


menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada
orang lain. 39
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis model interaktif, seperti yang dikemukakan oleh Matthew B.
Milles & A. Michael Huberman (2007) yang terdiri atas tiga komponen analisis,
yaitu: reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Aktivitas
ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses
pengumpulan data bahwa dalam analisis data deskriptif mencakup.
a. Reduksi data, yaitu data pertama atau data mentah dikumpulkan dalam
suatu penelitian.
b. Penyederhanaan data (data reduction), adalah proses memilih,
memfokuskan, menyederhanakan dengan membuat abstraksi mengubah
data mentah yang dikumpulkan dari penelitian kedalam catatan yang telah
disortir atau diperiksa. Tahap ini merupakan tahap analisis data yang
mempertajam atau memusatkan, membuat dan sekaligus dapat dibuktikan.
c. Penyajian data (data display), sebagai kumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan atau
pengambilan tindakan. Pengambilan data ini membantu untuk memahami
peristiwa yang terjadi dan mengarahkan pada analisa atau tindakan lanjut
berdasarkan pembahasan. Dalam pelaksanaan penelitian Miles dan
Huberman yakin bahwa penyajian-penyajian yang lebih balk merupakan
suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajian-
penyajian yang diamksud meliputi berbagai jenis matriks, grafik, jaringan,
dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang
tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, dengan
demikian seorang penganalisis dapat melihat apa yang sedang terjadi, dan
menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus
melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang dikiaskan oleh
penyajian sebagai sesuatu yang mungkin berguna.

39 Moleong, Lexy J. Op. cit. h. 248


34

d. Penarikan kesimpulan (conclution darwing), adalah merupakan langkah


terakhir meliputi makna yang telah disederhanakan, disajikan dalam
bentuk pengujian data dengan cara mencatat keteraturan, pola-pola
penjelasan secara logis metodologis, konfigurasi yang memungkinkan
diprediksi hubungan sebab akibat melalui hukum-hukum empiris.40
Jelaslah bahwa data kualitatif merupakan analisis yang terdiri dari reduksi
atau penyederhanaan data dan penarikan kesimpulan yang dapat diperhatikan pada
gambar berikut ini.
Gambar teknik analisis model interaktif (Milles dan Huberman, 2007)

Pengumpulan
Pengumpulan Data
Data Penyajian
Penyajian Data
Data

Reduksi Penarikan
Penarikan
Reduksi Kesimpulan
Data
Data Kesimpulan /Verifikasi
/Verifikasi

40 Mills, Mattew B., dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Universitas
Indonesia. Hh. 19-20
35

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Berikut akan disajikan temuan data penelitian secara berturut-turut, yaitu:
pemahaman konsep pendidikan multikultural, partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan berbasis multikultural, dan
pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan berbasis multikultural.

1. Deskripsi Subjek Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur, terkhusus
beberapa kecamatan yang dijadikan sebagai lokasi penelitian, Kecamatan
Sekampung Udik, dan desa-desa di lingkup atmisnistratifnya.
Kabupaten Lampung Timur adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Lampung, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sukadana. Kabupaten ini
memiliki luas wilayah 5.300 km dan berpenduduk sebesar 989.639 jiwa (sensus
2010). Kabupaten ini memiliki semboyan "Bumei Tuwah Bepadan". Saat ini,
Kabupaten Lampung Timur dipimpin oleh seorang pelaksana tugas yang ditunjuk
oleh Gubernur Lampung, Tauhidi, karena masa jabatan bupati sebelumnya, Erwin
Arifin, telah usai sebelum diadakannya pemilihan umum bupati. Kabupaten ini
sebelumnya termasuk dalam Kabupaten Lampung Tengah.
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999, diresmikan pada tanggal 27 April 1999
dengan pusat Pemerintahan di Kecamatan Sukadana. Pemda Kabupaten Lampung
Timur meliputi 10 Kecamatan definitif, 13 Kecamatan Pembantu dan 232 Desa,
selanjutnya dengan di tetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1999, 2
(dua) kecamatan pembantu yaitu Kecamatan Margatiga dan Sekampung Udik
setatusnya di tingkatkan menjadi Kecamatan Definitif, dengan demikian Wilayah
Kabupaten Lampung Timur bertambah 2 (dua) kecamatan menjadi 12 kecamatan
definitif dan 11 kecamatan pembantu dan 232 desa.
36

Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah No.01 Tahun 2001 dan


Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor 13 Tahun 2001 tentang pembentukan
11(sebelas) kecamatan di Wilayah Kabupaten Lampung Timur sehingga di
kecamatan Kabupaten Lampung Timur sekarang berjumlah 24 kecamatan definitif
dan 232 desa.Dengan Keputusan Bupati 232 defininitif can desa persiapan.
Dengan Keputusan Bupati Lampung Timur No 19 Tahun 2001 dan No 06
Tahun 2002 maka jumlah desa di Kabupaten Lampung Timur sebanyak 232 desa
definitif dan desa persiapan.Dengan Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor 13
Tahun 2003 Tanggal 10 desember 2003 tentang perubahan status dan desa
menjadi Kelurahan, maka 5 desa dalam Kecamatan Sukadana berubah menjadi
kelurahan yaitu Pasar Sukadana, Sukadana Ilir, Negara Nabung, Sukadana dan
Mataram Marga.
Sedangkan sekarang jumlah desa / kelurahan yang ada di Kabupaten
Lampung Timur sebanyak 241,yang terdiri dari 227 desa definitif, 5 Kelurahan, 9
desa persiapan.adapun kecamatan-kecamatan di Kabupaten Lampung Timur yaitu:
1) Sukadana
2) Labuhan Maringgai
3) Jabung
4) Batang Hari
5) Sekampung
6) Pekalongan
7) Way Jepara
8) Purbolinggo
9) Raman Utara
10) Metro Kibang
11) Marga Tiga
12) Sekampung Udik
13) Batang Hari Nuban
14) Bumi Agung
15) Bandar Sribawono
16) Mataram Baru
17) Melinting
37

18) Gunung Pelindung


19) Pasir Sakti
20) Waway Karya
21) Labuhan Ratu
22) Braja Slebah
23) Way Bungur
24) Marga Sekampung
Wacana Pemekaran Kabupaten Lampung Tenggara. Sejumlah pihak dari
tokoh masyarakat Kabupaten Lampung Timur sedang mendorong pemekaran
otonomi daerah Tingkat II, karena melihat dari luas, jumlah penduduk dan
kurangnya pemerataan maka diusulkan pemekaran Kabupaten Lampung
Tenggara. Kabupaten Lampung Tenggara meliputi 13 kecamatan seperti:
1) Kecamatan Bandar Sribhawono
2) Kecamatan Braja Slebah
3) Kecamatan Gunung Pelindung
4) Kecamatan Jabung
5) Kecamatan Labuhan Maringgai
6) Kecamatan Labuhan Ratu
7) Kecamatan Melinting
8) Kecamatan Pasir Sakti
9) Kecamatan Sekampung Udik
10) Kecamatan Waway Karya
11) Kecamatan Way Jepara
Kabupaten Lampung Timur yang merupakan tuan rumah bagi way kambas
merupakan sebuah kabupaten yang pusat pemerintahannya terletak di Kota
Sukadana, berjarak kurang lebih 80 Km dari Pusat Kota Bandar Lampung.
Mayoritas penduduk Lampung Timur adalah petani, baik petani sawah, kebun
maupun ladang. Suku yang menempati daerah kabupaten Lampung Timur ini pun
sangat beragam, tetapi mayoritas adalah suku Jawa, disusul kemudian masyrakat
pribumi suku Lampung, kemudian suku Bali, Suku Batak, Suku Padang, Suku
Sunda dan masih banyak yang lainnya.
38

Kehidupan masyarakat Kabupaten Lampung Timur yang sebagian besar


adalah petani saat ini sudah dapat dikatakan maju dan mapan di bandingkan
dengan kabupaten lainnya di Lampung, infrastruktur jalan pun sudah masuk ke
desa-desa hingga ke areal persawahan sehingga memudahkan para masyarakat
untuk mengangkut hasil panen mereka. Meskipun demikian ada beberapa daerah
di Lampung Timur yang sampai saat ini infrastruktur Jalannya masih kurang layak
dikarenakan sudah rusak dan perlu mendapat perhatian serius oleh Pemda
Lampung Timur agar segera diadakan perbaikan yang menunjang bagi
kesejahteraan masyarakat Lampung Timur.
Lampung Timur terdiri dari bermacam macam suku bangsa dan dapat
disebut sebagai Indonesia kecil. Suku-suku yang tersebar di Lampung Timur
tersebut adalah:
- Lampung
- Jawa Timuran(daerah asal kabupaten2 asalnya ada semua)
- Jawa Tengahan (daerah asal kabupaten2 asalnya ada semua)
- Jawa Baratan (daerah asal kabupaten2 asalnya ada semua)
- Banten
- Bali
- Bugis biasanya di kota kota pantai
- Madura
- Padang biasanya di pasar besar
- Batak
- Palembang
Demikian, suku banjgsa yang menghuni di seluruh Lampung. Jadi,
mereka telah berasimilasi, belajar rukun, saling mengenal perwatakan tiap suku
dengan cara damai yang menambah keanekargaman dan kekayaan budaya di
Lampung, khususnya Kabupaten lampung Timur.

2. Pemahaman Konsep Pendidikan Multikultural


Pendidikan multikultural sudah menjadi tuntutan yang harus dipenuhi,
tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena Indonesia sebagai Negara multikultur
terbesar di dunia. Pendidikan multikultural tidak hanya sekedar diwacanakan,
39

namun sudah waktunya untuk segera direalisasikan di Indonesia, baik melalui


jalur pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Pendidikan formal, dalam
hal ini sekolah, harus menjadi pelopor pendidikan multikultural. Demikian pula
pendidikan nonformal dan informal juga merupakan jalur pendidikan yang harus
diperkuat untuk berhasilnya pendidikan multikultural. Dengan demikian,
pendidikan yang setara bagi semua warga negara sebagai tujuan utama
pendidikan multikultural akan dapat terwujud. Khususnya di lingkup sekolah,
melalui pendidikan multikultural berarti perbedaan individu siswa (dari segi etnis,
latar belakang sosial-ekonomi, kultur, kepandaian, agama, dan lain-lain).
Menurut Dosen Sosiologi Fisip Universitas Lampung, Drs. Abdul Syani,
M.IP., dalam penjelasan dan paparannya mengenai pemahaman masyarakat
terhadap pendidikan multikultural bahwa secara garis besar pemahaman terhadap
pluralisme budaya diperlukan sesuai dengan dinamika dan pertumbuhan
masyarakat. Diharapkan dengan adanya pluralitas budaya, berbagai kelompok
masyarakat adat dapat saling melengkapi, saling menyadari kelebihan dan
kekurangan masing-masing, sehingga mereka dapat bersatu dalam kehidupan
bersama. Sebagaimana pada masa-masa lalu nilai-nilai pluralisme mampu
mengakomodasi berbagai perbedaan prinsip hidup dalam dinamika masyarakat
yang beragam suku, kelompok sosial, dan adat istiadat. Refleksi operasionalnya
pada masa itu antara lain dalam bentuk sosialisasi "Sumpah Pemuda", dan bentuk
kesadaran bersatu dalam ideologi Pancasila. Hal ini menjadi penting ketika
keanekaragaman budaya menjadi nyata dalam kebutuhan membangun
kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang dianggap berbeda dan
berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme.
Untuk itu, perlu adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan
keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak
pemaknaan yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam
kehidupan masyarakat majemuk di Lampung.
Keragaman (pluralitas) masyarakat Lampung dapat terbentuk dari
beberapa sumber, seperti: Pertama, perbedaan arus informasi dan pengetahuan
yang diterima masyarakat, mengakibatkan terjadi perbedaan nilai antara orang
berpendidikan tinggi dengan yang rendah, dan antara orang kota dengan orang
40

desa. Perpindahan penduduk yang mengakibatkan terjadinya keragaman etnik


dalam suatu masyarakat. Adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik,
meski ada beberapa kelompok etnik yang kurang saling berinteraksi, tetapi
dengan adanya ikatan tertentu, maka semua etnik terikat dalam komunitas
mastarakat Lampung.
Kedua, tersedianya sumberdaya di Lampung sebagai wilayah tujuan
mencari penghidupan baru. Dengan tersedianya sumber penghidupan yang
melimpah dan semua orang bisa memperolehnya dengan mudah tanpa kompetisi
yang ketat, sangat mendorong warga pendatang
Ketiga, dominannya warga pendatang di Lampung, terutama dari etnis
yang sama. Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang
Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan Orang asli Lampung justru
menjadi minoritas.
Keempat, karakteristik budaya masyarakat Lampung yang terbuka
terhadap etnis pendatang, sangat memungkinkan mudahnya masyarakat
pendatang berbaur, sehingga terjadi pluralitas penduduk.
Diharapkan nilai-nilai Pluralisme dapat menjadi sember daya untuk
menumbuhkan kerukunan hidup bersama yang saling menghargai perbedaan dan
mendorong kerja sama berdasar kesetaraan. Pluralisme dapat dijadikan wahana
produktifitas hubungan sosial antar anggota masyarakat, di mana masing-masing
pihak dapat menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati dan
saling hadir bersama dalam setiap kegiatan sosial secara bersahabat, tanpa
konflik. Prinsip kebersamaan mengandung arti bahwa setiap golongan
masyarakat yang berbeda-beda mampu menjalin kerjasama yang harmonis demi
kesejahteraan bersama masyarakat yang bersangkutan.
Kesetaraan, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial mengacu
pada suatu terma dasar yakni humanisme. Humanisme berarti menghormati orang
lain dalam identitasnya, dengan kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, dan
kebutuhan-kebutuhannya yang tidak tergantung dari ukuran status atau
keahliannya, melainkan dengan dasar kemanusiaan. Oleh karena itu sikap
kemanusiaan dalam nilai budaya ini senantiasa akan menolong siapa saja, dan
41

keturunan manapun; melampaui batas-batas ideologis, agama, etnik, ras dan


golongan, kelompok dan berbagai identitas lainnya.
Dalam kajian yang berbeda, Amrulloh Khusain (Dosen STAIN Metro,
tengah menempuh pendidikan doktoral di IAIN Raden Intan Lampung)
memberikan tawaran solusi dengan kesalehan multikultural dalam mengatasi
konflik antarwarga. Menurutnya, konflik sosial yang kerap terjadi bak benang
kusut yang tak kunjung selesai dibesut. Pemerintah setempat pun terkesan hanya
menyelesaikan koflik sesaat saja tanpa ada upaya pencegahan ke depannya.
Penyelesaian sesaat dari pemerintah masih menyisakan percikan amunisi yang
bisa saja meledak jika disulut oleh hal-hal yang sepele saja. Pasalnya jika dirunut
akar persoalannya sering terjadi karena dendam lama antaretnis.
Lampung menjadi daerah yang paling sering terjadi konflik antar-warga
yang disebabkan karena perbedaan etnis, terutama pribumi dengan migran
(pendatang). Rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya angka kemiskinan
mungkin bisa menjadi penyebabnya. Angka partisipasi pendidikan di Lampung
terbilang masih cukup rendah.
Angka kemiskinan juga masih sangat tinggi untuk daerah-daerah yang
kerap terjadi konflik. Informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Lampung tahun 2008 2013, angka kemiskinan terus meningkat. Terutama untuk
daerah-daerah yang kerap terjadi konflik seperti Lampung Tengah, Lampung
Timur, dan Lampung Selatan. Dua hal ini yang sering memicu persoalan sepele
menjadi besar. Persoalan ekonomi sering menjadi pemicu konflik, karena kerap
terjadi bentrok warga karena dipicu oleh tindakan pencurian, pembegalan,
penodongan yang diikuti dengan kemarahan warga, dan berhujung pada tindakan
main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri inilah yang kemudian memicu
bentrok antar-warga.
Agama yang diharapkan mampu memulihkan keanggunan wajah
masyarakat Lampung ternyata tak kunjung menjadi solusi. Justru doktrin
normative agama terkadang menjadi pemicu konflik yang paling utama. Negara
sepertinya tak mampu mengatasi, mengingat kejadian seperti ini hampir terjadi di
tiap tahun. Khususnya di daerah-daerah yang memiliki akar perbedaan etnis,
pribumi dan migran (pendatang). Agama juga masih memberikan ruang meskipun
42

kecil untuk mengatasi persoalan ini. Namun terkadang banyak kelompok yang
mereduksi ajaran agama. Agama justru dijadikan alat untuk mengklaim kebenaran
sepihak sehingga menganggap yang lain sebagai other yang harus dimusuhi,
bahkan diperangi. Seyogyanya, kesalehan agama bisa memandang bahwa
pluralitas agama, suku, ras, golongan dan lain-lain adalah sebuah keniscayaan,
bahkan merupakan given yang mau tidak mau harus diterima oleh semua agama.
Kesalehan agama merupakan kesadaran manusia untuk berbuat baik atas
dasar iman kepada Tuhan. Agama, terutama Islam yang dianut oleh mayoritas
bangsa Indonesia, mengajarkan pluralisme yang memandang manusia sebagai
makhluk sosial yang beragam. Beragam kepercayaan, etnis, budaya, bahasa,
bentuk tubuh, warna kulit, dan lain-lain. Kesadaran inilah yang seharusnya
dibangun jika kita masih menganggap diri kita manusia. Bahkan dalam
pemahaman sufistik, manusia seharusnya memandang orang lain itu sama rasa
dengan diri kita. Kita akan merasa sakit jika disakiti, kita akan merasa marah jika
dihina. Setiap manusia memiliki hak yang harus dipahami oleh manusia yang
lain. Menarik ketika kita simak syair dari Kahlil Gibran, ketika jiwaku
menasehatiku, baru aku sadar bahwa orang lain itu ialah diriku, dosanya adalah
dosaku, dan deritanya adalah kepedihanku.
Romantisme masa lalu seharusnya kita jadikan pelajaran berharga bagi
kita. Romantisme di mana bangsa kita bersatu melawan imperialisme dan
kolonialisme dengan menghilangkan sekat-sekat primordialisme. Semangat
patriotisme meruntuhkan kotak-kotak etnis, agama dan golongan. Bahu-membahu
dengan kasih tanpa pamrih. Namun miris ketika saat ini kita justru berperang
melawan bangsa sendiri atas nama etnis, agama dan golongan.
Tokoh masyarakat yang diharapkan menjadi kontrol sosial masyarakat,
justru terkadang bertindak menjadi dalang kerusuhan. Melakukan profokasi di
tengah-tengah masyarakat untuk bertindak anarkhi. Di sinilah perlu dibangun
kesalehan yang lebih dari sekedar kesalehan agama. Ketika kesalehan agama
belum juga menjamin kesadaran masyarakat, maka perlu dibangun kesalehan
multikultural yang memandang agama, etnis, dan golongan yang merupakan
keniscayaan yang harus diterima sebagai given dari Tuhan. Kesalehan
multikultural bisa menumbuhkan etos profetik dari masyarakat sehingga
43

memunculkan kesadaran manusia sebagai makhluk sosial yang plural (majemuk),


masyarakat yang bisa memposisikan dirinya sama dengan liyan (other) dan
membuang sifat yang menganggap orang lain berbeda (otherness).
Diperlukan proses yang tidak mudah untuk membangun kesalehan
multikultural dalam rangka melakukan aksi solutif terhadap persoalan antar-etnis
yang kerap terjadi di Lampung.. Diperlukan kerja tangan-tangan sosial, tokoh
agama, tokoh masyarakat, akademisi, untuk mencerdaskan masyarakat yang
masih mengalami disharmoni komunal. Mencairkan gunung es yang membeku,
memandamkan api dalam sekam, itu tugas kita bersama.

3. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Peningkatan


Mutu Pendidikan Berbasis Multikultural
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program peningkatan mutu
pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik formal maupun non-
formal. Partisipasi secara formal adalah turut sertanya seseorang, baik secara
mental maupun emosional untuk memberikan sumbangan kepada proses
pembuatan keputusan mengenai persoalan dimana keterlibatan pribadi orang yang
bersangkutan melaksanakan tanggung jawab untuk melakukannya.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang tercakup
dalam pengertian partisipasi, diantaranya: Dalam partisipasi yang ditelaah bukan
hanya keikutsertaan secara fisik tetapi juga fikiran dan perasaan (mental dan
emosional). Partisipasi dapat digunakan untuk memotivasi orang-orang yang
menyumbangkan kemampuannya kepada situasi kelompok sehingga daya
kemampuan berfikir serta inisiatifnya dapat timbul dan diarahkan kepada tujuan-
tujuan kelompok. Partisipasi mengandung pengertian orang untuk ikut serta dan
bertanggungjawab dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Hal ini menunjukkan
bahwa makin tinggi rasa keterlibatan psikologis individu dengan tugas yang
diberikan kepadanya, semakin tinggi pula rasa tanggung jawab seseorang dalam
melaksanakan tugas tersebut.
Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pendidikan sebagaimana
diamanahkan dalam UU No. 20 tahun 2003, memiliki hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat berhak berperan serta dalam
44

perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan.


Adapun kewajibannya adalah memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan. Lebih lanjut partisipasi masyarakat dalam
pendidikan bisa meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Partisipasi masyarakat dalam pendidikan berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi
program pendidikan. Keikutsertaan masyarakat ini dapat diwujudkan dalam
bentuk Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan. Dewan Pendidikan adalah
lembaga mandiri yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,
sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional,
Propinsi dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (UU No.
20 tahun 2003). Adapun Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang dibentuk
dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta
pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan (UU No. 20 tahun 2003).
Dengan kata lain, komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran
serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan baik pada pendidikan prasekolah,
jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah (Kepmen No.
044/U/2002).
Tahap awal observasi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
Partisipasi Masyarakat di Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur dalam
Keberhasilan Program Sekolah Sebagai Implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah kaitannya bagi peningkatan mutu pendidikan berbasis multikulural,
kendala selama menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah dan upaya yang
dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut. Analisis hasil observasi yang
dilakukan menggunakan analisis secara induktif yang dimulai dari lapangan atau
fakta empiris dengan terjun ke lapangan, mempelajari, menganalisis, menafsir
dan menarik kesimpulan dari fenomena yang ada di lapangan.
45

Hasil observasi yang didapatkan dapat diasumsikan bahwa rerata sekolah


dasar yang ada di Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur
sudah menerapkan MBS meskipun masih belum optimal. Hal lain partisipasi
orang tua dan masyarakat hendaknya diperhatikan oleh pihak sekolah khususnya
kepemimpinan Kepala Sekolah di Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten
Lampung Timur agar dapat terwujud dan terpelihara keberadaannya. Pada
akhirnya apabila partisipasi telah terpelihara dengan baik, maka sekolah tidak
akan mengalami kesulitan yang berarti dalam mengembangkan berbagai jenis
program, karena semua pihak telah memahami dan merasa bertanggung jawab
terhadap keberhasilan suatu program yang akan dikembangkan oleh pihak
sekolah. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka pertanyaan adalah
bagaimana partisipasi masyarakat dalam keberhasilan program sekolah sebagai
implementasi manajemen berbasis sekolah.
Selain otonomi yang luas, sekolah juga didukung oleh adanya partisipasi
yang tinggi dari pihak orangtua siswa dan masyarakat di sekitar sekolah dalam
merealisir program-program sekolah. Orangtua dan masyarakat tidak hanya
mendukung sekolah melalui bantuan finansial, tetapi secara bersama-sama ikut
merumuskan dan mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan
kualitas sekolah secara umum. Masyarakat menyediakan diri untuk membantu
sekolah sebagai nara sumber atau organisator kegiatan sekolah yang dapat
meningkatkan mutu hasil belajar siswa dan prestise sekolah secara keseluruhan.
Orangtua dan masyarakat juga terlibat secara aktif dalam proses kontrol kualitas
pengelolaan sekolah. Dengan demikian, dalam pelaksanaan MBS, sekolah
dituntut untuk memiliki tingkat "accountability" yang tinggi kepada masyarakat
dan pemerintah.
Pelaksanaan MBS akan bervariasi dari satu sekolah dengan sekolah yang
lainnya atau antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini sangat tergantung
dari persiapan aspek-aspek pendukung implementasi MBS di tingkat sekolah
serta kemampuan sumber daya manusia pelaksana di tingkat sekolah.
Implementasi MBS dalam pengelolaan pendidikan dasar di Indonesia, khususnya
Sekolah Dasar, memerlukan modifikasi konsep dan aplikasi sesuai dengan
kondisi aktual sekolah, agar inovasi yang ditawarkan dapat dilaksanakan.
46

Partisipasi masyarakat dalam pendidikan berperan dalam peningkatan


mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi
program pendidikan. Keikutsertaan masyarakat ini dapat diwujudkan dalam
bentuk Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan.
Selain beberapa pendapat di atas, perlu dikembangkan partisipasi orangtua
dan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan multikultural berbasis
multikultural di sekolah dasar. Pengambilan keputusan bersama hanya bisa
dilakukan apabila ada partisipasi dari seluruh stakeholders. Partisipasi
memerlukan aktivitas dari kedua belah pihak. Sekolah membuka kesempatan dan
mendorong stakeholders untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Tanpa
ada keterbukaan dari sekolah, tidak mungkin akan muncul partisipasi yang sehat.
Adanya pelibatan memungkinkan masyarakat memiliki rasa tanggung jawab
terhadap kelanjutan program-program yang sudah dirancang oleh sekolah.
Selain itu, pengelola pendidikan dasar harus memahami kondisi orangtua
dan masyarakat sehingga dapat menentukan pendekatan dan cara berkomunikasi
yang tepat agar masyarakat mau terlibat secara sadar dan sukarela. Sosialiasasi
dapat digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan dan menjual imformasi
kapada masyarakat. Semakin baik dan semakin jelas penyampainnya maka
masyarakat akan semakin mudah dalam menerima apa yang disampaikan.
Kemampuan manajemen sekolah dalam penyampaian informasi menjadi salah
satu faktor penentu tingkat partisipasi orang tua dan masayarakat dalam
pendidikan multikultural di sekolah dasar.
Berbagai pendapat di atas mengenai peran serta masyarakat telah sejalan
dengan asumsi yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Rochmat Wahab, sebagai berikut.
Mengingat strategisnya partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan maka
partisipasi masyarakat harus diwujudkan dalam berbagai bentuk.
Pertama, partisipasi finansial yang diwujudkan berupa dukungan dana
sesuai dengan kekuatan dan kemampuan masyarakat, baik itu yang sifatnya
donatur tetap maupun tidak tetap, ketika dibutuhkan uluran dana yang dikaitkan
dengan tuntutan mendesak. Termasuk juga orangtua secara kolektif dapat
mendukung dana yang diperlukan sekolah, yang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan untuk keberhasilan misi pendidikan secara menyeluruh.
47

Selain daripada itu, lembaga bisnis dan industri diharapkan dapat menyisihkan
anggaran untuk pemberian beasiswa atau dukungan biaya operasional pendidikan.
Kedua, partisipasi material yang diwujudkan dengan sumbangan bahan-
bahan yang berkenaan dengan material bangunan, guna untuk penyempurnaan
bangunan ruang dan tempat untuk kegiatan belajar. Demikian juga masyarakat
dimungkinkan dapat mendukung adanya fasilitas umum yang dapat digunakan
dalam batas tertentu untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Sebaliknya
masyarakat perlu mendukung terciptanya lingkungan fisik yang kondusif,
sehingga tempat-tempat pendidikan dan latihan dapat terhindar sejauh-jauhnya
dari polusi udara, suara, air, tanah, dan sebagainya. Lingkungan sehat yang
diciptakan masyarakat akan memberikan dukungan yang berarti bagi
keberlangsungan proses pendidikan.
Ketiga, partisipasi akademik yang ditunjukkan dengan kepedulian
masyarakat yang dikaitkan dengan dukungan terhadap penyelenggaraan kegiatan
akademik yang lebih berkualitas. Dukungan dapat diwujudkan dengan dukungan
orangtua dan masyarakat untuk mengawasi dan membimbing belajar anak yang
berlangsung di luar sekolah. Demikian pula dapat dimungkinkan beberapa
orangtua yang memiliki keahlian tertentu dapat menjadi orang sumber (resource
persons) yang mampu memperbaiki kualitas pendidikan. Selain daripada itu
tempat-tempat industri dan bisnis dapat memberikan sharing pengalaman dan
kompetensinya melalui pemberian kesempatan untuk magang, praktek lapangan.
Masyarakat juga terbuka untuk melakukan kontrol terhadap proses
pendidikan yang berlangsung, dikaitkan dengan tanggung jawab profesional
tenaga kependidikan. Bila dijumpai guru dan ahli kependidikan lainnya kurang
committed dengan tanggung jawabnya, maka masyarakat memiliki hak untuk
mengajukan sejumlah rekomendasi kepada DPR dan pemerintah daerah (dinas),
guna meminta pertanggungjawaban mereka.
Keempat, partisipasi kultural yang diwujudkan dengan perhatian
masyarakat terhadap terpeliharanya nilai kultural dan moral yang mampu
menjaga martabat masyarakat setempat, sehingga masyarakat perlu ikut serta
menjadi filter terhadap masuknya peradaban yang tidak sejalan dengan kultur dan
nilai yang diyakini oleh masyarakat. Praktek perilaku yang dikehendaki tumbuh
48

subur di sekolah, harus didukung dengan perilaku dan tradisi yag baik di tengah-
tengah kehidupan masyarakat.
Kelima, partisipasi evaluatif, yang diwujudkan dengan keterlibatan
masyarakat dalam melakukan pengendalian dan kontrol terhadap
penyelenggaraan pendidikan, sehingga masyarakat dapat memberikan umpan
balik (feedback) dan penilaian terhadap kinerja lembaga pendidikan.
Keenam, partisipasi mediatif, yang diwujudkan dengan membangun
network dengan intsitusi birokrasi dan institusi pendidikan, sehingga dapat
memudahkan peserta pendidikan mengakses informasi yang ada di masyarakat
tanpa melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit.
Berbagai partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan telah
direncanakan dan dilakukan. Terkait dengan implementasi program tersebut tentu
akan menemui tantangan dan hambatan sehingga perlu dicari solusinya. Untuk
itu, Prof. Dr. Rochmat Wahab yang mengutip pendapat Wolf, Kane, dan
Strickland (1997) menyatakan bahwa pada dasarnya ada beberapa potensi
masalah yag dijumpai dalam partisipasi masyarakat:
Pertama, Orang - baik pembuat keputusan maupun masyarakat lokal -
perlu untuk dididik kembali, sehingga dapat bekerja dalam model partisipatori.
Struktur mungkin harus dirubah menjadi lebih fleksibel, di samping situasi proses
kegiatan yang baru sangatlah dikehendaki.
Kedua, partisipasi dapat melibatkan lebih banyak waktu, usaha, dan biaya
daripada pendekatan konvensional (top-down). Misalnya ketika kita ingin
menyelesiakan suatu masalah, maka harus melibatkan banyak orang dan butuh
waktu yang lebih banyak juga, guna menjamin keterlibatan semua pihak yang
terkait, untuk tetap dijamin partisipasi.
Ketiga, upaya lokal yang berserakan dan tidak terfokus hanya dapat
memecahkan masalah jangka pendek, dan yang dapat dilihat selintas.
Keempat, keterbatasan informasi pada masyarakat kurang mendukung
dalam berpartisipasi yang lebih aktif dalam proses kegiatan.
Bentuk partisipasi orang tua siswa terhadap pendidikan di sekolah
dibedakan atas partisipasi dalam bentuk materil dan non materil (moril). Adapun
partisipasi orang tua dalam bentuk materil meliputi pemberian bantuan berupa
49

barang (bantuan sarpras sekolah, bantuan alat-alat sekolah dan bantuan media
belajar) dan bantuan berupa uang seperti bantuan honor guru, uang pratikum dan
bantuan untuk pembelian atau pengadaan alat-alat dan kelengkapan belajar anak.
Sedangkan partisipasi dalam bentuk non mareril (moril) meliputi semua bantuan
yang ditujukan untuk kepentingan kemajuan dan perkembangan program sekolah
seperti memberikan saran, ide dan pemikiran unuk kemajuan program sekolah,
memberikan motivasi guru maupun siswa agar meningkatkan prestasi belajar,
memberikan bimbingan dan perhatian terhadap masalah belajar anak terutama
saat di rumah.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara peneliti dengan pihak
sekolah, didapatkan hasil bahwa ada beberapa bentuk partisipasi orang tua
terhadap pendidikan yang sudah terlaksana di SDN Kecamatan Sekampung Udik
Kabupaten Lampung Timur, baik dalam bentuk materil maupun moril. Bentuk
partisipasi orang tua tersebut di antaranya: 1) memperhatikan kelengkapan belajar
anak seperti kelengkapan seragam dan buku penunjang, 2) meluangkan waktu
datang ke sekolah untuk menghadiri rapat mengenai perkembangan belajar anak
dan hal-hal yang berkaitan dengan program-program sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan, 3) mengantar dan menjemput anak ke sekolah, 4)
memfasilitasi anak dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah seperti ketika anak
mengikuti lomba-lomba dan kegiatan yang dilakukan antar-sekolah dasar di
Kabupaten Lampung Timur atau Provinsi Lampung, dan menghadiri undangan
dari sekolah saat pembagian raport akhir semester.
Ditinjau dari bentuk partisipasi orang tua dalam memenuhi kelengkapan
belajar anak seperti seragam dan buku penunjang belajar, ternyata masih ada
sebagian orang tua siswa yang masih belum begitu peduli terhadap kelengkapan
belajar anaknya. Hal ini terlihat dari masih ada sebagian anak yang tidak memiliki
kelengkapan seragam seperti topi dan dasi. Selain itu, masih ada sebagian anak
yang tidak memiliki buku penunjang yang penting dalam proses belajarnya. Hal
ini juga terjadi ketika sekolah mengundang orang tua saat pembagian raport.
Rata-rata orang tua siswa yang datang adalah orang tua siswa yang tidak bekerja.
Mereka memiliki banyak waktu untuk lebih perhatian kepada pendidikan anaknya
dan bisa memenuhi undangan yang di berikan oleh pihak sekolah. Namun tidak
50

semua orang tua seperti itu. Masih ada sebagian orang tua yang tidak dapat
menghadiri undangan pembagian raport dari sekolah dengan alasan mereka
bekerja. Orang tua siswa yang bekerja merasa kesulitan untuk meluangkan waktu
datang ke sekolah sehingga mereka mewakilkan kehadirannya kepada pihak lain
seperti kakak dari siswa bahkan terkadang tetangga siswa yang tidak
bertanggungjawab langsung dengan siswa yang bersangutan. Hal ini akan
mempersulit pihak sekolah dalam menyampaikan hal penting mengenai
perkembangan belajar anak di sekolah.
Mengantisipasi kurangnya partisipasi orang tua terhadap pendidikan di
SDN di Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur, sebenarnya
kepala sekolah sudah melakukan beberapa upaya, namun hasilnya belum
memuaskan. Hal ini disebabkan karena berbagai upaya tersebut belum maksimal
dilakukan. Adapun upaya yang sudah dilakukan kepala sekolah dalam
meningkatkan partisipasi orang tua terhadap pendidikan di sekolah diantaranya:
mengundang orang tua dalam setiap rapat mengenai perkembangan belajar anak
disekolah, memberikan laporan hasil belajar anak tidak hanya saat pembagian
raport di akhir semester saja namun juga pada saat pertengahan semester.
Mengundang orang tua saat pembagian raport akhir semester.
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh kepala sekolah di atas dirasa
belum menampakkan hasil yang optimal dalam menggalang partisipasi orang tua
terhadap pendidikan di sekolah. Untuk itu perlu adanya upaya konkrit yang lebih
yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan partisipasi orang
tua terhadap pendidikan di SDN Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten
Lampung Timur.
Seorang kepala sekolah merupakan mata rantai penting di antara
hubungan sekolah dengan masyarakat terutama orang tua. Jika ingin
meningkatkan proses belajar dan mengajar yang berkualitas, maka dukungan
intelektual, teknis dan material harus dimanfaatkan secara tepat. Begitu juga
terhadap hubungan sekolah dengan masyarakat yang memberikan dukungan
dalam pengembangan program perbaikan sekolah yang mesti di usahakan dan
dibina secara terus menerus.
51

Kurangnya partisipasi orang tua terhadap pendidikan di sekolah sangat


berpengaruh terhadap perkembangan kemajuan mutu pendidikan itu sendiri.
Untuk itu perlu adanya upaya-upaya tertentu yang dapat dilakukan oleh kepala
sekolah dalam rangka menggalang partisipasi orang tua agar lebih optimal.

4. Pelaksanaan Program Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis


Multikultural
Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Undang-undang
tersebut mengimplikasikan bahwa paradigma multikulturalis menjadi salah satu
perhatian dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Hal ini sesuai dengan
pendapat Tilaar yang mengatakan bahwa dengan adanya pendidikan multikultural
diharapkan masyarakat Indonesia dapat menanamkan sikap simpati, respek,
apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah Model pendidikan multikultural
seperti apa yang cocok diterapkan pada masyarakat Indonesia saat ini? Berkaitan
dengan perwujudan demokrasi pendidikan tersebut, sepertinya konsep pendidikan
multikultural berbasis masyarakat dapat menjadi salah satu alternatif yang baik
untuk digunakan. Berkaitan dengan hal ini, Stephen Hill mengatakan bahwa
pendidikan multikultural dikatakan berhasil apabila prosesnya melibatkan semua
elemen masyarakat.
Pendidikan multikultural berbasis masyarakat merupakan gabungan antara
pendidikan multikultural dengan pendidikan berbasis masyarakat. Terkait dengan
pendidikan multikultural sudah dijelaskan pada awal tulisan ini. Sementara itu,
pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang dirancang, dinilai,
dan dikembangkan oleh masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab
tantangan dan peluang yang ada di lingkungan masyarakat tertentu dengan
berorientasi pada masa depan.
Dengan kata lain, pendidikan berbasis masyarakat dapat menjadi gerakan
penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengatasi
52

tantangan kehidupan yang terus berubah. Seperti halnya demokrasi, pendidikan


ini merupakan pendidikan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk
masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menghendaki adanya pergeseran
paradigma pendidikan dari sentralistik ke desentralistik, otoriter ke demokrasi
yang membebaskan, serta konsep pendidikan yang berorientasi pemerintah ke
konsep pendidikan yang berorientasi masyarakat.
Apabila demokrasi mulai diterapkan dalam pendidikan, pendidikan tidak
akan menjadi alat penguasa. Rakyat atau masyarakat diberikan haknya secara
penuh untuk ikut menentukan kebijakan nasional. Semua pihak yang
berkepentingan dengan pendidikan diharapkan dapat berpartisipasi dalam
menentukan kebijakan pendidikan nasional. Konsep pendidikan berbasis
masyarakat menghendaki adanya keterlibatan masyarakat dalam upaya
pengambilan kebijakan-kebijakan pendidikan. Keterlibatan atau partisipasi
masyarakat dalam pendidikan di Indonesia, bukanlah hal yang baru. Yayasan-
yayasan swasta, kelompok sukarelawan, organisasi-organisasi pemerintah, bahkan
perseorangan pernah menerapkan konsep ini.
Selanjutnya, hal yang menjadi acuan dalam memahami pendidikan
berbasis masyarakat ialah pendidikan luar sekolah karena pendidikan luar sekolah
itu bertumpu pada masyarakat, bukan pemerintah. Adapun contoh konkret dari
pendidikan berbasis masyarakat ini, misalnya, Taman Kanak-kanak Alquran
(TKA) dan Taman Pendidikan Alquran (TPA). Namun, konsep pendidikan
berbasis masyarakat yang ada saat ini masih terbatas pada tingkatan monokultur
saja, sementara Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam.
Dalam upaya tercapainya pendidikan multikultural berbasis masyarakat,
setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap
terlaksananya proses pendidikan. Masyarakat dapat tetap melakukan proses
pembelajaran tanpa perlu menunggu respons pemerintah karena sejatinya
pendidikan itu dapat dilakukan di mana saja dan tidak harus bersifat formal.
Secara umum, konsep yang kami ajukan merupakan konsep pendidikan informal
dan nonformal. Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 pasal 13 ayat (1)
menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal,
dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Oleh sebab itu,
53

pendidikan multikultural berbasis masyarakat juga dapat mengambil jalur formal,


informal, dan nonformal.
Untuk membentuk konsep pendidikan multikultural berbasis masyarakat,
kita dapat memanfaatkan peran dari tokoh masyarakat yang dianggap penting dan
berpengaruh di wilayah tersebut.
Selain tokoh masyarakat yang berpengaruh, para pemuda juga penting
diikutsertakan karena pemuda merupakan generasi penerus bangsa ini.
Keikutsertaan para pemuda ini dapat kita lakukan melalui karang taruna. Perlu
diperhatikan bahwa dalam proses interaksi tersebut, setiap pihak tidak
menonjolkan identitas agamanya masing-masing, tetapi identitas sebagai
masyarakat Indonesia. Kita juga dapat bekerja sama dengan para aktivis
perdamaian, lembaga sosial masyarakat (LSM), ataupun organisasi
kemasyarakatan (ormas) yang ada di wilayah tersebut.
Pada tahap selanjutnya, kita dapat membentuk pelatihan-pelatihan yang
menggandeng sekolah atau membuat seminar di pusat-pusat perbelanjaan agar
nilai-nilai yang dimiliki dari konsep pendidikan ini tersebar luas di kalangan
semua masyarakat. Metode yang digunakan dapat berupa metode pembelajaran
kooperatif atau cooperative learning (CL) yang menekankan pada sikap atau
perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur
kerja sama dan teratur dalam kelompok. Model ini berbasis pada teori belajar
kognitif dan teori belajar sosial. Selain itu, kita juga dapat menggunakan metode
pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning (PBL) yang dimulai
dari suatu kasus nyata yang terjadi di masyarakat dan mencari solusinya secara
bersama-sama dari permasalahan tersebut.
Di dalam ruang publik pun konsep pendidikan semacam ini perlu
mendapat perhatian, misalnya, diwujudkan dalam bentuk panggung seni, teater,
musik, iklan, serta film yang sarat dengan nilai-nilai keberagaman.
Keberlangsungan konsep ini di ruang publik tidak lepas dari peran pemerintah
untuk mempropagandakan Indonesia tanpa diskriminasi dan menjunjung nilai
kemajemukan bangsa. Pemerintah perlu mendorong pengelola media massa
seperti radio, televisi, koran, majalah, dan internet agar memerhatikan dan
memiliki kepedulian multikultural.
54

Untuk konteks lokal kedaerahan, model pendidikan multikultural


diaplikasikan dalam bentuk pendidikan formal di sekolah, khususnya di SD.
Model penyelenggaraan pendidikan multikultural di sekolah dapat dilakukan
dengan cara mengintegrasikan konsep tersebut ke dalam mata pelajaran lain pada
kurikulum yang berlaku saat itu. Dalam hal ini, pendidikan multikultural
diharapkan tidak mengubah struktur kurikulum dan tidak menambah alokasi
waktu.
Berkaitan dengan hal itu, terdapat cerminan sekolah pembauran di
Sekampung Udik yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang
budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok dapat dijadikan salah
satu contoh dalam pendidikan multikultural. Berdasarkan demografisnya, di
kecamatan ini terdapat setidaknya 3 (tiga) etnis besar di Lampung, yaitu Hindu
Bali, Lampung, dan Jawa. Dari ketiga jenis suku tersebut akan banyak
kemungkinan terjadi gesekan dan benturan karena nyaris tidak ada sekat.
Semuanya membaur menjadi satu, lebur.
Menurut Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Sekampung Udik, Joko
Triono, S.Pd., dalam setiap pelajaran, para guru di sekolah tersebut sedari awal
selalu mencontohkan sebuah kasus dengan realita keberagaman dalam
masyarakat. Contoh kasus ini dapat dilihat, misalnya saat memahami pelajaran
biologi sejak tingkat sekolah dasar, anak-anak sudah ditanamkan sebuah cerita
tentang keberagaman. Sang guru bercerita kepada siswa tentang seorang penanam
pohon yang beretnis Jawa yang dipekerjakan oleh seorang beretnis Lampung. Saat
pohon itu tumbuh dan menghasilkan oksigen, ternyata tidak hanya bisa dinikmati
oleh sang majikan dan buruhnya, tetapi juga siapa saja yang bernaung di bawah
kerindangannya.
Penerapan atau pengintegrasian pendidikan multikultural secara jelas
terlihat dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Cara
tersebut merupakan cara untuk mengimplementasikan kegiatan pembelajaran di
kelas maupun di luar kelas secara kontekstual. Perlu diperhatikan pula bahwa
pengintegrasian nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan multikultural dalam
mata pelajaran lain harus dapat diaplikasikan secara nyata di kehidupan
bermasyarakat yang tecermin dari perilaku warga sekolah dan para peserta didik.
55

Pendidikan multikultural dirancang semaksimal mungkin untuk dapat


memfasilitasi perjumpaan atau kontak antarbudaya di masyarakat. Kontak
tersebut dirancang untuk mendorong perkenalan, kedekatan, dan kerja sama
antarbudaya. Pada tahap lebih lanjut, perjumpaan atau kontak itu juga dirancang
untuk berlatih memecahkan persoalan-persoalan dalam masyarakat dan berlatih
mengembangkan sikap multikultural di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, berikut ini kami sajikan contoh atau model
pembelajaran yang menggunakan konsep pendidikan multikural di sekolah
berdasarkan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu KTSP dan K-13.
Strategi pendidikan multikultural selanjutnya dijabarkan dalam implikasi
di sekolah. Menyarikan pendapat beberapa ahli dan realita empirik, dapat disusun
tujuh implikasi strategi pendidikan dengan pendekatan multikultural. Tujuh
implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah
Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa
ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain
dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam
agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik.
Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan
keagamaan atau kegiatan apapun di sekolah biasakan ada pembauran untuk
bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama berbeda. Hal ini perlu
diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima siswa yang
beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan secara
eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu
siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda
agama. Sebagai bahan renungan, seorang guru harus peka dan bijaksana
menjelaskan sejarah Perang Salib, bom Bali, konflik antarpemeluk agama di
Maluku, terorisme, dan sebagainya. Jangan sampai ada ketersinggungan sekecil
apapun karena kecerobohan ungkapan guru. Sekecil apapun singgungan tentang
agama akan membekas dalam benak siswa yang akan dibawanya sampai dewasa.

b. Menghargai keragaman bahasa di sekolah


56

Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa
yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat
bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah,
namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa,
baik lisan maupun tulisan. Sekolah perlu memiliki peraturan yang
mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga
sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa geli atau aneh ketika
mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya.
Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan
itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya
budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat
bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya wawasan.

c. Membangun sikap sensitif gender di sekolah


Pembagian tugas, penyebutan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya
harus proporsional antara laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lebih dominan
atau sebaliknya minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap
mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam fungsi-fungsi
pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan
perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki
mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah
siswa mengembangkan potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan
gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada
pada siapapun dengan gender apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri
punishment yang tegas mendidik terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang
menyinggung perbedaan gender.

d. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta


perbedaan sosial
Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh
mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial
dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun
57

begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara
teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap
lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk
menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan
kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun saling mendukung menurut
kemampuan masing-masing. Sikap empati dan saling membantu tidak hanya
ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak
berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan
sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga sekolah atau daerah lain siswa
diajak berdoa dan memberikan sumbangan. Sekecil apapun doa, ucapan simpati,
jabat tangan, pelukan, atau bantuan material akan sangat bermakna bagi
pembentukan karakter siswa juga siapapun yang menjadi obyek empati.

e. Membangun sikap antideskriminasi etnis


Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana
berbagai etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis
mayoritas terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang
semula mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif terhadap
etnis yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, Dasar Batak, ngeyel dan
galak, Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami, Halo Papua Kritam
(kriting dan hitam), Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak, nanti dimakan
lho. Tanamkan dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah
Indonesia yang hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi
namun bisa bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi
bangsa Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, Halo Tigor, senang
bertemu denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah,
Wah, pemain bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel
Wanggai, Elly Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka. Ciptakan
kultur dan kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan
komunikasi yang positif.

f. Menghargai perbedaan kemampuan


58

Sekolah tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam


psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan
mental yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana orang
kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk
dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian warga sekolah,
maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau
mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu sangat berdampak
negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang lemah. Yang unggul
akan merasa jumawa dengan keunggulannya sehingga bisa membuatnya lalai dan
tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah akan menjadi tidak termotivasi
belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya dibiasakan pembauran siswa unggul
dan lemah dalam kelompok atau kelas agar terjadi pembimbingan sebaya, yang
unggul semakin kuat pemahamannya tentang suatu materi dan merasa bermanfaat
dengan ilmunya, serta yang kurang memperoleh guru sebaya yang lebih
komunikatif dan merasa diterima oleh teman-temannya.

g. Menghargai perbedaan umur dan perkembangan kognitif siswa


Setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan
kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama
tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan sesuai umurnya. Sebagai
misal kemampuan berbahasa, analisis masalah, berkarya siswa SD kelas V, SMP
kelas VI akan berbeda, apalagi dubandingkan dengan SLTA kelas XI, mahasiswa
atau gurunya. Selain itu, jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan
perilaku negatif diantara warga sekolah dengan sebutan dominasi senior atas
yunior, pelecehan berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan
yang tidak disukai (misal si Unyil untuk siswa bertubuh kecil, bayi ajaib
untuk siswa berusia lebih muda tapi pintar, tuyul untuk adik kelas yang
berkepala gundul, dan sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan,
memberi motivasi, memberi kepercayaan, demokratis, membimbing, mengasuh,
dan melindungi yang lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun,
menauladani kebaikan, dan membantu yang lebih tua. Menyikapi kondisi sekolah
59

sebagai dunia multikultural, pengambil kebijakan dan warga sekolah harus


mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan sistem sekolah
yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun kembali sistem,
peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan lingkungan fisik
atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural berdasarkan
kesepakatan warga sekolah. Selanjutnya yang terpenting adalah secara kontinyu
dilakukan orientasi kepada warga sekolah terutama warga baru, sosialisasi,
tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan perilaku
multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang pelaksanaan kultur
sekolah dengan konsisten.

B. Pembahasan
1. Pemahaman Konsep Pendidikan Multikultural
Secara garis besar pemahaman terhadap pluralisme budaya diperlukan
sesuai dengan dinamika dan pertumbuhan masyarakat. Diharapkan dengan adanya
pluralitas budaya, berbagai kelompok masyarakat adat dapat saling melengkapi,
saling menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga mereka
dapat bersatu dalam kehidupan bersama. Sebagaimana pada masa-masa lalu nilai-
nilai pluralisme mampu mengakomodasi berbagai perbedaan prinsip hidup dalam
dinamika masyarakat yang beragam suku, kelompok sosial, dan adat istiadat.
Refleksi operasionalnya pada masa itu antara lain dalam bentuk sosialisasi
"Sumpah Pemuda", dan bentuk kesadaran bersatu dalam ideologi Pancasila. Hal
ini menjadi penting ketika keanekaragaman budaya menjadi nyata dalam
kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang
dianggap berbeda dan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait
pluralisme.
Untuk itu, perlu adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan
keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak
pemaknaan yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam
kehidupan masyarakat majemuk di Lampung. Diharapkan nilai-nilai Pluralisme
dapat menjadi sember daya untuk menumbuhkan kerukunan hidup bersama yang
saling menghargai perbedaan dan mendorong kerja sama berdasar kesetaraan.
60

Pluralisme dapat dijadikan wahana produktifitas hubungan sosial antar anggota


masyarakat, di mana masing-masing pihak dapat menunjukkan sikap saling
menghargai, saling menghormati dan saling hadir bersama dalam setiap kegiatan
sosial secara bersahabat, tanpa konflik. Prinsip kebersamaan mengandung arti
bahwa setiap golongan masyarakat yang berbeda-beda mampu menjalin
kerjasama yang harmonis demi kesejahteraan bersama masyarakat yang
bersangkutan.

2. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Peningkatan


Mutu Pendidikan Berbasis Multikultural
Tahap awal observasi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
Partisipasi Masyarakat di Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur dalam
Keberhasilan Program Sekolah Sebagai Implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah kaitannya bagi peningkatan mutu pendidikan berbasis multikulural,
kendala selama menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah dan upaya yang
dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut. Analisis hasil observasi yang
dilakukan menggunakan analisis secara induktif yang dimulai dari lapangan atau
fakta empiris dengan terjun ke lapangan, mempelajari, menganalisis, menafsir dan
menarik kesimpulan dari fenomena yang ada di lapangan.
Hasil observasi yang didapatkan dapat diasumsikan bahwa rerata sekolah
dasar yang ada di Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur
sudah menerapkan MBS meskipun masih belum optimal. Hal lain partisipasi
orang tua dan masyarakat hendaknya diperhatikan oleh pihak sekolah khususnya
kepemimpinan Kepala Sekolah di Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten
Lampung Timur agar dapat terwujud dan terpelihara keberadaannya. Pada
akhirnya apabila partisipasi telah terpelihara dengan baik, maka sekolah tidak
akan mengalami kesulitan yang berarti dalam mengembangkan berbagai jenis
program, karena semua pihak telah memahami dan merasa bertanggung jawab
terhadap keberhasilan suatu program yang akan dikembangkan oleh pihak
sekolah.
Partisipasi masyarakat dalam pendidikan berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi
61

program pendidikan. Keikutsertaan masyarakat ini dapat diwujudkan dalam


bentuk Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan. Perlu dikembangkan partisipasi
orangtua dan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan multikultural berbasis
multikultural di sekolah dasar. Pengambilan keputusan bersama hanya bisa
dilakukan apabila ada partisipasi dari seluruh stakeholders. Partisipasi
memerlukan aktivitas dari kedua belah pihak. Sekolah membuka kesempatan dan
mendorong stakeholders untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Tanpa
ada keterbukaan dari sekolah, tidak mungkin akan muncul partisipasi yang sehat.
Adanya pelibatan memungkinkan masyarakat memiliki rasa tanggung jawab
terhadap kelanjutan program-program yang sudah dirancang oleh sekolah.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara peneliti dengan pihak
sekolah, didapatkan hasil bahwa ada beberapa bentuk partisipasi orang tua
terhadap pendidikan yang sudah terlaksana di SDN Kecamatan Sekampung Udik
Kabupaten Lampung Timur, baik dalam bentuk materil maupun moril. Bentuk
partisipasi orang tua tersebut di antaranya: 1) memperhatikan kelengkapan belajar
anak seperti kelengkapan seragam dan buku penunjang, 2) meluangkan waktu
datang ke sekolah untuk menghadiri rapat mengenai perkembangan belajar anak
dan hal-hal yang berkaitan dengan program-program sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan, 3) mengantar dan menjemput anak ke sekolah, 4)
memfasilitasi anak dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah seperti ketika anak
mengikuti lomba-lomba dan kegiatan yang dilakukan antar-sekolah dasar di
Kabupaten Lampung Timur atau Provinsi Lampung, dan 5) menghadiri undangan
dari sekolah saat pembagian raport akhir semester.

3. Pelaksanaan Program Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis


Multikultural
Penerapan atau pengintegrasian pendidikan multikultural secara jelas
terlihat dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Cara
tersebut merupakan cara untuk mengimplementasikan kegiatan pembelajaran di
kelas maupun di luar kelas secara kontekstual. Perlu diperhatikan pula bahwa
pengintegrasian nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan multikultural dalam
62

mata pelajaran lain harus dapat diaplikasikan secara nyata di kehidupan


bermasyarakat yang tecermin dari perilaku warga sekolah dan para peserta didik.
Pendidikan multikultural dirancang semaksimal mungkin untuk dapat
memfasilitasi perjumpaan atau kontak antarbudaya di masyarakat. Kontak tersebut
dirancang untuk mendorong perkenalan, kedekatan, dan kerja sama antarbudaya.
Pada tahap lebih lanjut, perjumpaan atau kontak itu juga dirancang untuk berlatih
memecahkan persoalan-persoalan dalam masyarakat dan berlatih
mengembangkan sikap multikultural di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, berikut ini kami sajikan contoh atau model
pembelajaran yang menggunakan konsep pendidikan multikural di sekolah
berdasarkan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu KTSP dan K-13.
Strategi pendidikan multikultural selanjutnya dijabarkan dalam implikasi
di sekolah. Menyarikan pendapat beberapa ahli dan realita empirik, dapat disusun
tujuh implikasi strategi pendidikan dengan pendekatan multikultural.
a. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah
b. Menghargai keragaman bahasa di sekolah
c. Membangun sikap sensitif gender di sekolah
d. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta
perbedaan sosial
e. Membangun sikap antideskriminasi etnis
f. Menghargai perbedaan kemampuan
g. Menghargai perbedaan umur dan perkembangan kognitif siswa.
63

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Pemahaman terhadap pluralisme budaya diperlukan sesuai dengan
dinamika dan pertumbuhan masyarakat. Diharapkan dengan adanya
pluralitas budaya, berbagai kelompok masyarakat adat dapat saling
melengkapi, saling menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing,
sehingga mereka dapat bersatu dalam kehidupan bersama.
2. Terdapat beberapa bentuk partisipasi orang tua terhadap pendidikan yang
sudah terlaksana, di antaranya: 1) memperhatikan kelengkapan belajar
anak seperti kelengkapan seragam dan buku penunjang, 2) meluangkan
waktu datang ke sekolah untuk menghadiri rapat mengenai perkembangan
belajar anak dan hal-hal yang berkaitan dengan program-program sekolah
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, 3) mengantar dan
menjemput anak ke sekolah, 4) memfasilitasi anak dalam kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah seperti ketika anak mengikuti lomba-lomba dan
kegiatan antarsekolah, dan 5) menghadiri undangan dari sekolah saat
pembagian raport akhir semester.
3. Pendidikan multikultural dirancang semaksimal mungkin untuk dapat
memfasilitasi kontak antarbudaya di masyarakat. Kontak tersebut
dirancang untuk mendorong perkenalan, kedekatan, dan kerja sama
antarbudaya, yaitu: a) membangun paradigma keberagamaan inklusif di
lingkungan sekolah, b) menghargai keragaman bahasa di sekolah, c)
membangun sikap sensitif gender di sekolah, d) membangun pemahaman
kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial, e)
membangun sikap antideskriminasi etnis, f) menghargai perbedaan
kemampuan, g) menghargai perbedaan umur dan perkembangan kognitif
siswa.
64

B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa
partisipasi orang tua, masyarakat, pemerintah daerah di Sekampung Udik
Kabupaten Lampung Timur masih kurang sehingga perlu adanya upaya-upaya
tertentu dari kepala sekolah untuk dapat meningkatkan partisipasi Sekampung
Udik Kabupaten Lampung Timur tersebut. Kepala-kepala sekolah, terkhusus
SDN Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur sudah melakukan
beberapa upaya untuk menggalang partisipasi tua, masyarakat, pemerintah daerah.
Namun, hasilnya belum optimal maka diperlukan upaya- upaya lain yang dapat
dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan partisipasi orang tua,
masyarakat, pemerintah daerah terhadap pendidikan di sekolah dengan orang tua
di antaranya : menjalin komunikasi yang efektif dengan orang tua, melibatkan
orang tua dalam program sekolah serta memberdayakan komite sekolah. Untuk
selanjutnya, diperlukan komunikasi aktif dan peran nyata dari stakeholder
pendidikan di lampung Timur untuk mewujudkan pendidikan yang berbasis
multikultur guna meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Lampung Timur.
65

DAFTAR PUSTAKA

Azra, A. 2006. Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif


Multikulturalisme Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik
Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.
Bappenas. 2014. RJPN 2014-2025, BAB 27. Peningkatan Akses Masyarakat
Terhadap Pendidikan Yang Lebih Berkualitas. http://www.bappenas.go.id
27-(8-12)
Cakrawala Pendidikan, Februari 2007, Th. XXVI, No.1. hh. 141-164.
"Harmonisasi Peran Pelaku Pendidikan sebagai Upaya untuk
Mengoptimalkan Fungsi Pendidikan".
el-Mahady, Muhaemin. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
(Sebuah Kajian Awal). Makalah. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Fairchild, Henry Pratt (ed.). 1977. Dictionary of Sociology. Totowa, New Jersey:
Littlefield, Adams & Co.
Giles, Judy dan Tim Middleton. 1999. Studying Culteure: A Practical
Introduction. Oxford: Blackwell Publishers
H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Kartono, Kartini. 1997. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional:
Beberapa Kritik dan Sugesti. Cet I. Jakarta: Pradnya Paramita., h. 196-197
Kriyantono, Rachmat. Etnografi (Deskriptif & Kritis): Public Relations & Crisis
Management: Pendekatan Critical PR, Etnografi Kritis & Kualitatif.
Malang: Komunikasi UB.
Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar dan Contoh
Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran
Mills, Mattew B., dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif.
Universitas Indonesia.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Sihombing, Umberto. Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis
Masyarakat. DalamFasli Jalal dan Dedi Supriyadi (Eds).2001. Reformasi
dalam Konteks Otonomi Daerah. Cet. 1. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
2001. H.: 186
Sikin, Aswasula. Multicultural Education: Partisipasi Orang Tua Dan Masyarakat
Dalam Pengelolaan Pendidikan Berbasis Multikultural Di Sekolah Dasar.
Kiens-Edu. Multicultural. Education.htm. 28 Maret 2013.
Spradley, james P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar
Penelitan Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Suharto, Toto. Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jurnal.
Cakrawala Pendidikan, November 2005, Th. XXIV, No. 3, hal. 323-345
66

Sukidin, Basrowi. Metode Penelitian Kualitatif Persepektif Mikro. Surabaya:


Insan Cendekia, 2002. H.79
Sulianita, Lilis. "Membangun Hubungan Sekolah dan Masyarakat yang Efektif di
Lingkungan Pendidikan". OPini. http. edukasi. kompasiana.com. 31
October 2014
Sundari, Sri. 2001. Upaya Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Partisipasi
Orang Tua dan Masyarakat untuk Mendukung Keberhasilan Program
Sekolah sebagai Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Makalah.
Dinas Pendidikan Kota Bandung Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Suyata. Community Participation in School Development: Acces, Demand, and
School Construction. Jakarta: Directorate of Seconday Education,
Directorate General of Primay and Secondary Education, Ministry of
Education and Culture, 1996. h. 2
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif
Studi Kultural. Jakarta: Indonesia Tera.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa
Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. H.
181
UU Nomor 2 pasal 25 tahun 1989
UU. RI. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Wahab, Rochmat. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Otonomi Pendidikan.
makalah, Yogyakarta: UNY (hal.1-9)

Anda mungkin juga menyukai