BAB I
PENDAHULUAN
power.1 Di sini, dunia pendidikan juga turut andil dalam hal demikian. Untuk
itulah diperlukannya sistem manajemen sekolah dan pendidikan yang berbasis
multikultur.
Konsep pendidikan multikultural adalah sebuah tata cara sistem
pendidikan yang berupaya untuk meredam kesenjangan sosial, kelas sosial,
kecemburuan sosial dengan mengenalkan dan mensosialisasikan salah satu
orientasinya, yakni kebersamaan. Orientasi kebersamaan ini paling tidak akan
mampu untuk memahami betapa sangat vitalnya menghargai dan menciptakan
kebersamaan.
Pendidikan multikultural menurut Banks adalah konsep atau ide sebagai
suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan
menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup,
pengalaman sosial, identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari
individu, kelompok maupun negara. 2
Jika kelas sosial masih saja diagung-agungkan maka akan timbul
kecemburuan sosial. Selama ini, kecemburuan sosial sering terjadi di dunia
pendidikan, khususnya dalam upaya pembenahan sebuah sistem yang akan
digunakan dalam rangka pengembangan model pendidikan tersebut. Pendidikan
yang selama ini diwacanakan diberbagai aktivitas adalah pendidikan pada taraf
teoretik. Pemahaman konsep pendidikan Multikultural adalah sebuah tawaran,
solusi bagaimana mengatasi persoalan-persoalan sosial masyarakat kita yang
sangat multikultur serta menjadi aplikasi sebuah sistem pendidikan yang benar-
benar sesuai dengan sistem pendidikan di Indonesia.
Pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang mampu mengenal,
mampu mengakomodir segala kemungkinan, memahami heterogenitas
menghargai perbedaan suku, bangsa, terlebih lagi agama. Selain itu jika kita
menyimak dengan maraknya isu jual beli kursi pendidikan, membumbungnya
biaya pendidikan, dan masih banyak lagi. Hal ini tentunya akan menjadi cermin
bagi kita mengenai kebenaran arah dan rel tujuan pendidikan yang telah
diwacanakan.
1 Giles, Judy dan Tim Middleton. 1999. Studying Culteure: A Practical Introduction. Oxford:
Blackwell Publishers
2 Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. H. 181
3
kepada anak didik agar dapat mencapai angka prestasi setinggi-tingginya. Rupa-
rupanya apa yang dilakukan oleh sekolah berbanding lurus dengan tuntutan
masyarakat saat ini. Sekolah melakukan hal demikian juga dalam rangka
memenuhi keinginan masyarakat yang menghendaki anak-anaknya menjadi pintar
apalagi bila anak dapat memperoleh peringkat di kelasnya. Sementara aspek
lainnya yang termasuk dalam ranah afektif dan psikomotor tidak begitu
dipersoalkan.
Dampak dari perilaku sekolah dan citra keberhasilan anak didik yang
dibangun oleh masyarakat adalah banyaknya lulusan suatu lembaga pendidikan
yang berhasil mencapai nilai tinggi, tetapi tidak dapat berbuat banyak di
masyarakat/lapangan pekerjaan. Fenomena sekolah saat ini ibarat pandai besi
yang hanya sekedar membuat peralatan tanpa tahu untuk apa alat itu dibuat. Dunia
pendidikan seperti tidak diorientasikan pada realitas kehidupan secara kreatif
dan visioner.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa besar yang mempunyai potensi besar.
Ke depan masih ada kesempatan dan harapan, untuk itu bila bangsa ini ingin
sejajar dengan bangsa lain mutlak diperlukan adanya perbaikan dunia pendidikan
dalam segala aspeknya. Perbaikan kurikulum saja tanpa diikuti oleh perbaikan
aspek-aspek pendukung lainnya, maka hal itu akan menjadi kurang bermakna.
Kebijakan baru pemerintah dalam dunia pendidikan adalah pemberlakuan
kurikulum KBK, yang melalui berbagai revisi akhirnya diresmikan pada tahun
2006 menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kemudian berubah
lagi jadi Kurtibel (Kurikulum 2013).
Kebijakan pemberlakuan kurikulum tersebut merupakan keinsyafan akan
kelemahan kurikulum sebelumnya. Setiap kurikulum tentunya mempunyai tujuan
baik tidak akan berhasil bila tidak diikuti penataan aspek-aspek lainnya seperti,
pemenuhan sarana pendukung, perbaikan kesejahteraan guru, pemetaan peran
sekolah, keluarga dan masyarakat, dan lain-lain.
Hubungan antara sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan
suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan
pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Dalam hal ini, sekolah sebagai
sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu
5
masyarakat. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam
mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif dan efisien. Sebaliknya
sekolah juga harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan
masyarakat, khususnya kebutuhan pendidikan. Oleh karena itu, sekolah
berkewajiban memberi penerangan tentang tujuan-tujuan, program-program,
kebutuhan, serta keadaan masyarakat. Sebaliknya, sekolah juga harus mengetahui
dengan jelas apa kebutuhan, harapan dan tuntutan masyarakat terutama terhadap
sekolah. Dengan perkataan lain, antara sekolah dengan masyarakat harus dibina
suatu hubungan yang harmonis.
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sangat
diperlukan. Adanya pelibatan atau partisipasi tersebut, masyarakat memiliki rasa
tanggung jawab terhadap kelanjutan program-program yang sudah dirancang oleh
sekolah. Dengan pendekatan partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan
kreativitas masyarakat dapat lebih tergali. Dengan melibatkan masyarakat secara
keseluruhan proses maka segala perencanaan, baik itu dalam bidang kurikulum
maupun bidang lainnya terlaksana dengan baik.3 Jika hubungan sekolah dengan
masyarakat berjalan dengan baik, rasa tanggung jawab dan partisipasi masyarakat
untuk memajukan sekolah juga akan baik dan tinggi. Agar tercipta hubungan dan
kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat maka masyarakat perlu
mengetahui dan memiliki gambaran yang jelas tentang sekolah yang
bersangkutan. Berbagai forum telah membahas aspek penting dalam pendidikan,
yakni perbaikan mutu pendidikan. Tetapi, pemetaan peran ketiga pelaku
pendidikan yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat ini masih jarang dibahas.
Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud membahas bagaimana mengharmoniskan
peran masing-masing pelaku pendidikan tersebut agar terjadi sinergi yang
produktif dan mutualistik.
B. Rumusan Masalah
3 Sikin, Aswasula. Multicultural Education: Partisipasi Orang Tua Dan Masyarakat Dalam
Pengelolaan Pendidikan Berbasis Multikultural Di Sekolah Dasar. Kiens-Edu. Multicultural.
Education.htm. 28 Maret 2013.
6
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pemahaman konsep
multikultural dalam usaha memahami pendidikan yang multikultur di Lampung
Timur. Selain itu, dibahas juga partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
peningkatan mutu pendidikan yang multikultur di Lampung Timur dengan cara
mengenali bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat serta faktor-faktor yang
mempengaruhi bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat tersebut.
Secara spesifik dapat dideskripsikan bahwa penelitian ini bertujuan untuk:
1. mendeskripsikan bentuk pemahaman konsep multikultural dalam usaha
memahami pendidikan yang multikultur di Lampung Timur,
2. mendeskripsikan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
peningkatan mutu pendidikan berbasis multikultural di Lampung Timur,
3. mendeskripsikan pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan
berbasis multikultural di Lampung Timur.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan secara optimal,
menghasilkan laporan yang sistematis dan dapat bermanfaat secara umum.
Adapun manfaat yang didapatkan dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan dapat
bermanfaat bagi pengembangan pemahaman mengenai konsep peran dan
7
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dengan
penelitian-penelitian lain yang telah ada sebelumnya atau untuk penelitian
pengembangan bagi peneliti lainnya dan diharapkan memberikan sumbangan bagi
peningkatan.
b. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung
dalam memberi dorongan kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian
sejenis.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Landasan Teoretik
1. Manajemen Berbasis Sekolah
Sekolah merupakan bagian dari pada suatu sistem baik secara nasional
maupun pada tingkat yang lebih sempit, keberadaan lembaga pendidikan dalam
masyarakat bangsa akan bertumpu dan terikat oleh tatanan kehidupan sosial, atau
tata kehidupan sistem nilai yang berlaku. Pada akhirnya perlu diingat bahwa
dalam melaksanakan pembangunan nasional, pendidikan mempunyai tiga fungsi
yang sangat mendasar, yaitu:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa,
b. Memprogramkan tenaga kerja dalam berbagai ketrampilan dan
industrialisasi,
c. Menanamkan penguasaan IPTEK menjelang era teknologi.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan
bangsa yang merupakan salah satu tujuan Negara Indonesia. Gerakan reformasi di
Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi,
keadilan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip
tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan
manajemen pendidikan. Selain itu, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkembang
pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk
dalam sistem pendidikan.
Apabila demokrasi mulai diterapkan dalam pendidikan, pendidikan tidak
akan menjadi alat penguasa. Rakyat atau masyarakat diberikan haknya secara
penuh untuk ikut menentukan kebijakan nasional. Semua pihak yang
berkepentingan dengan pendidikan diharapkan dapat berpartisipasi dalam
menentukan kebijakan pendidikan nasional.4 Konsep pendidikan berbasis
masyarakat menghendaki adanya keterlibatan masyarakat dalam upaya
4 Kartono, Kartini. 1997. Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa
Kritik dan Sugesti. Cet I.Jakarta: Pradnya Paramita., h. 196-197
9
8 Ibid.
11
2. Pendidikan Multikultur
Pendidikan nasional memegang peranan penting dalam menanamkan
kesadaran akan berbagai perbedaan sehingga perlu digagas visi pendidikan yang
mampu mengakomodir perbedaan-perbedaan visi pendidikan multikultural.
Masyarakat multikultural ini mengusung semangat untuk hidup berdampingan
secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara
individual maupun secara kelompok dan masyarakat.9 Pendidikan multikultural
merupakan salah satu model pendidikan yang mengusung ideologi untuk
memahami, menghormati, menghargai, hingga akhirnya mampu menerima
keragaman yang ada di dalam masyarakat, baik itu keragaman secara ekonomi,
sosial, budaya, etnis, bahasa, maupun agama. Tilaar (2004) memberikan
pengertian pendidikan multikultural sebagai wacana lintas batas yang mengupas
permasalahan tentang keadilan sosial, demokrasi, hak asasi manusia, isu-isu
10
politik, moral, edukasional, dan agama. Selanjutnya, masih dalam pandangan
Azra (2006) pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak
bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan
9 Azra, A. 2006. Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme
Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten
Press. h. 154
10 Tilaar, H.A.R. 2004. Op. Cit. 153
12
15 Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi
Kultural. Jakarta: Indonesia Tera. h.: 171
16 el-Mahady, Muhaemin. 2004. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural (Sebuah
Kajian Awal). Makalah. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
15
karena itu, masyarakat perlu memahami manfaat dan gambaran (depict) hubungan
kerja sama antara struktur dan hasil (outcomes) bagi sebuah lembaga pendidikan
(sekolah).
Masyarakat memiliki andil dalam pendidikan telah mengemuka berkaitan
dengan reformasi pendidikan yang menghendaki adanya pergeseran paradigma
pendidikan dari sentralistik ke desentralistik, bergeser dari praktik pendidikan
yang otoriter ke praktik pendidikan demokratis yang membebaskan, serta dari
konsep pendidikan yang berorientasi pemerintah (state oriented) ke konsep
pendidikan yang berorientasi masyarakat (community oriented). Seperti yang
diungkapkan oleh Fairchild (1977) sebagai berikut.
Community is a sub-group that has the characteristics such as society,
but on a smaller scale, and with the interests of the less extensive and
coordinated. Hidden in the concept of community is the existence of a
territory, a considerable degree on the introduction and inter-personal
contacts, and the presence of some special bases coherence that separates
it from the adjacent group. Community supplies themselves have limited
appeal in society, but within the boundaries of the familiar and the
association has a deeper sympathy.. 17
17 Fairchild, Henry Pratt (ed.). Dictionary of Sociology. Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams &
Co., 1977. h. 52
17
20 Sulianita, Lilis. "Membangun Hubungan Sekolah dan Masyarakat yang Efektif di Lingkungan
Pendidikan". OPini. http. edukasi. kompasiana.com. 31 October 2014
19
yang cakap, terampil, dan berjiwa pancasila. Sekolah turut bertanggung jawab dan
dapat memberi warna terhadap lingkungan masyarakat.
Lebih lanjut, dalam UU. RI. Nomor 20 Tahun 2003 24 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, disebutkan pada pasal 55 ayat (1). Masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan
non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kepentingan masyarakat. Ayat (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Ayat
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Ayat (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan
teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil secara merata dari
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Partisipasi masyarakat sebenarnya tidak hanya dapat memperlancar
pelaksanaan pendidikan, melainkan juga mampu meningkatkan kualitas
pendidikannya. White dan Barber (1997)25 menegaskan bahwa hubungan dan
kerjasama yang suportif antara keluarga dan masyarakat memiliki efek yang
positif. Hal ini didukung oleh penelitian Mortimore dkk (1988)26 terhadap siswa
SLTP bahwa ditemukan keuntungan yang positif di mana orangtua membantu di
dalam kelas dan ketika study-tour, ada pertemuan tentang kemajuan anak secara
rutin, ada sebuah ruang untuk orangtua di sekolah, dan ada suatu kebijakan pintu
terbuka yang memungkinkan orangtua dapat hadir di sekolah kapan saja untuk
urusan anaknya.
Wujud partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan Mengingat
strategisnya partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan, maka partisipasi
masyarakat harus diwujudkan dalam berbagai bentuk.
Pertama, partisipasi finansial yang diwujudkan berupa dukungan dana
sesuai dengan kekuatan dan kemampuan masyarakat, baik itu yang sifatnya
donatur tetap maupun tidak tetap, ketika dibutuhkan uluran dana yang dikaitkan
dengan tuntutan mendesak. Termasuk juga orangtua secara kolektif dapat
mendukung dana yang diperlukan sekolah, yang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan untuk keberhasilan misi pendidikan secara menyeluruh.
Selain daripada itu, lembaga bisnis dan industri diharapkan dapat menyisihkan
anggaran untuk pemberian beasiswa atau dukungan biaya operasional pendidikan.
Kedua, partisipasi material yang diwujudkan dengan sumbangan bahan-
bahan yang berkenaan dengan material bangunan, guna untuk penyempurnaan
bangunan ruang dan tempat untuk kegiatan belajar. Demikian juga masyarakat
dimungkinkan dapat mendukung adanya fasilitas umum yang dapat digunakan
dalam batas tertentu untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Sebaliknya
masyarakat perlu mendukung terciptanya lingkungan fisik yang kondusif,
sehingga tempat-tempat pendidikan dan latihan dapat terhindar sejauh-jauhnya
dari polusi udara, suara, air, tanah, dan sebagainya. Lingkungan sehat yang
diciptakan masyarakat akan memberikan dukungan yang berarti bagi
keberlangsungan proses pendidikan.
Ketiga, partisipasi akademik yang ditunjukkan dengan kepedulian
masyarakat yang dikaitkan dengan dukungan terhadap penyelenggaraan kegiatan
akademik yang lebih berkualitas. Dukungan dapat diwujudkan dengan dukungan
orangtua dan masyarakat untuk mengawasi dan membimbing belajar anak yang
berlangsung di luar sekolah. Demikian pula dapat dimungkinkan beberapa
orangtua yang memiliki keahlian tertentu dapat menjadi orang sumber (resource
persons) yang mampu memperbaiki kualitas pendidikan. Selain daripada itu
tempat-tempat industri dan bisnis dapat memberikan sharing pengalaman dan
kompetensinya melalui pemberian kesempatan untuk magang, praktek lapangan.
Masyarakat juga terbuka untuk melakukan kontrol terhadap proses pendidikan
yang berlangsung, dikaitkan dengan tanggung jawab profesional tenaga
kependidikan. Bila dijumpai guru dan ahli kependidikan lainnya kurang
committed dengan tanggung jawabnya, maka masyarakat memiliki hak untuk
mengajukan sejumlah rekomendasi kepada DPR dan pemerintah daerah (dinas),
guna meminta pertanggungjawaban mereka.
22
27 Ibid.
23
orang tua dan masyarakat terhadap keberhasilan program sekolah (dalam Sundari,
Sri, 2001)28 sebagai berikut.
a. Menjalin Komunikasi yang Efektif dengan Orang Tua dan Masyarakat
Partisipasi orang tua dan masyarakat akan tumbuh jika orang tua dan
masyarakat juga merasakan manfaat dari keikutsertaanya dalam program sekolah.
Manfaat dapat diartikan luas, termasuk rasa diperhatikan dan rasa puas karena
dapat menyumbangkan kemampuannya bagi kepentingan sekolah. Jadi prinsip
menumbuhkan hubungan dengan masyarakat adalah saling memberikan kepuasan.
Salah satu jalan penting untuk membina hubungan dengan masyarakat adalah
menetapkan komunikasi yang efektif. Ada beberapa pendekatan yang disampaikan
oleh dapat digunakan untuk membangun komunikasi dengan orang tua dan
masyarakat, yaitu:
1) Mengidentifikasi orang-orang kunci, yaitu orang-orang yang mampu
mempengaruhi teman lain. Orang-orang itulah yang tahap pertama
dihubungi, diajak konsultasi, dan diminta bantuannya untuk menarik orang
lain berpartisipasi dalam program sekolah. Tokoh-tokoh semacam itu dapat
berasal dari orang tua siswa atau warga masyarakat yang dituakan atau
informal leaders, pejabat, tokoh bisnis, dan profesi lainnya.
2) Melibatkan orang-orang kunci tersebut dalam kegiatan sekolah, khususnya
yang sesuai dengan minatnya. Misalnya tokoh seni dapat dilibatkan dalam
pembinaan kesenian di sekolah. Orang yang hobi olahraga dapat dilibatkan
dalam program olahraga sekolah. Selanjutnya tokoh-tokoh tersebut
diperankan sebagai mediator dengan masyarakat luas.
3) Memilih saat yang tepat, misalnya pelibatan masyarakat yang hobi
olahraga dikaitkan dengan adanya PON atau sejenis yaitu saat minat
olahraga di masyarakat sedang naik. Pelibatan tokoh dan masyarakat yang
peduli terhadap kebersihan/kesehatan dimulai pada hari Kesehatan
Nasional misalnya.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Sundari, 2001 yang berjudul Upaya
Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Partisipasi Orang Tua dan
Masyarakat untuk Mendukung Keberhasilan Program Sekolah sebagai
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Makalah. Dinas Pendidikan
Kota Bandung Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang demokratis,
sekolah seyogyanya dapat dijadikan sebagai pelopor dan pusat
perkembangan bagi perubahan-perubahan masyarakat di dalam bidang-
bidang kehidupan ke tingkat yang lebih tinggi. Sekolah hendaknya
merupakan bagian integral dari masyarakat sekitarnya dalam memberikan
pelayanan atas pendidikan yang berkualitas, dan berarti pula
menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang kewajiban dan tanggung
jawab terhadap pendidikan pada umumnya. Sekolah diharapkan mampu
menggali dan mengelola semua jenis partisipasi orang tua dan masyarakat
dalam mendukung keberhasilan program-program sekolah sesuai dengan
kebutuhan masing-masing, baik berupa patisipasi buah pikiran, tenaga,
harta benda, keterampilan maupun partisipasi sosial. Upaya meningkatkan
partisipasi orang tua dan masyarakat, maka diperlukan hubungan dan
kerjasama yang harmonis antara sekolah dan masyarakat serta mempunyai
kemampuan majerial dan tenaga yang profesional untuk menciptakann
program-program sekolah yang berkualitas.
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan digolongkan dalam
penelitian Etnografi Mikro.29 Metode etnografi telah membuktikan bahwa sebagai
metode penelitian kualitatif ia mampu melakukan analisis yang lebih mendalam
serta menyajikan refleksi kritis secara detil dalam lingkup mikro sebuah
kehidupan manusia. Karena itu, menurut Spradley (1997) etnografi harus
menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang
digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah
laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh tingkah laku
sosial budaya melalui deskripsi yang holistik. Desain penelitian ini lebih
cenderung mengkaji dan mendeskripsikan unit analisis yang lebih kecil, seperti
subkelompok, organisasi, perusahaan, lembaga, profesi, khalayak, proses belajar-
mengajar di sekolah atau proses pengambilan keputusan manajemen. 30
Penelitian ini berusaha mendeskripsikan gejala atau fenomena seperti apa
adanya atau natural setting, yaitu masyarakat dan sekolah yang ditentukan sebagai
subjek kajian. Penggunaan metode lapangan ini oleh Malinowski ini dapat
dikatakan sebagai perpaduan antara ilmu antropologi dan ilmu sosiologi.31 Fokus
utama dari penelitian Mallinowski adalah kahidupan masa kini yang dijalani oleh
masyarakat dan cara hidup suatu masyarakat (societys way of life) dan untuk
memberikan deskripsikan tentang struktur social dan budaya suatu masyarakat
dengan melakuakn wawancara dengan beberapa informan dan observasi pasrtipasi
dalam kelompok yang diteliti.
Dalam penelitian ini dideskripsikan secara kualitatif dalam bentuk kata-
kata, frasa, kalimat, ataupun wacana dan bukan dalam bentuk angka-angka
matematis atau statistik. Data penelitian yang sudah terkumpul kemudian disusun
29 Kriyantono, Rachmat. Etnografi (Deskriptif & Kritis): Public Relations & Crisis Management:
Pendekatan Critical PR, Etnografi Kritis & Kualitatif. Malang: Komunikasi UB.
30 Spradley, james P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. h. 5
31 Kuswarno, Engkus, Etnografi Komunikasi: Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya.
Bandung: Widya Padjadjaran, 2008. H.32-33
29
B. Sasaran Penelitian
Metode etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya dengan metode
penelitian kualitatif lainnya, yakni: observatory participantsebagai teknik
pengumpulan data, jangka waktu penelitian yang relatif lama, berada dalam
setting tertentu, wawancara yang mendalam dan tak terstruktur serta
mengikutsertakan interpretasi penelitinya. Sumber data penelitian ini
dikumpulkan dengan cara lokasional (Sudaryanto, 1993), yaitu tempat asalnya
data yang merupakan si pencipta bahasa atau penutur sebagai informan atau
narasumber. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
lisan, catatan lapangan, dan angket. 35
Sasaran penelitian ini adalah masyarakat dan pihak sekolah, tidak
menuntut kemungkinan data diambil dari orang tua siswa atau jika dimungkinkan
para pemangku kebijakan di wilayah kajian, yaitu Kabupaten Lampung Timur.
33 Sukidin, Basrowi. Metode Penelitian Kualitatif Persepektif Mikro. Surabaya: Insan Cendekia,
2002. H.79
34 H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. H. 183
35 Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitan Wahana
Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Hh. 33-34
31
disimak langsung maupun yang direkam ke dalam kartu data yang sudah
dipersiapkan. Penggunaan alat bantu berupa kartu data tersebut memberikan
kemungkinan bekerja secara sistematik karena mudah diklasifikasikan atau
dikategorisasikan secara fleksibel.
Berikut ini penjelasan secara singkat teknik pengumpulan data yang akan
dilakukan dalam penelitian.
a. Observasi Langsung
Observasi langsung dalam penelitian kualitatif sering disebut observasi
berperan pasif (Spradley dalam Sutopo, 2002). Observasi langsung, baik formal
maupun informal dilakukan untuk mengamati berbagai kegiatan dan peristiwa. 36
Dengan demikian, observasi langsung dalam penelitian ini, yaitu
mengamati secara langsung kegiatan atau peristiwa tutur, baik antarsiswa, siswa
dan guru maupun siswa dan karyawan di lingkungan sekolah (di dalam kelas dan
di luar kelas) dengan dibantu alat perekam dan alat pencatat data. Kegiatan
berbahasa atau bertutur antara siswa dan siswa, antara guru dan siswa tersebut
telah menghasilkan data berupa tuturan-tuturan sesuai dengan situasi dan konteks
yang selanjutnya menjadi data penelitian. Adapun teknik yang diterapkan adalah
teknik simak bebas, libat cakap, dan teknik rekam.
Ada beberapa alasan mengapa observasi langsung ini dilakukan, seperti
yang dikatakan Moleong (2002) sebagai berikut. Pertama, teknik ini didasarkan
pada pengalaman secara langsung, dan pengalaman langsung merupakan alat yang
ampuh untuk mengetes suatu kebenaran. Kedua, teknik ini memungkinkan
peneliti melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian
sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Ketiga, pengamatan
memungkinkan peneliti untuk mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan
dengan proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.
Keempat, pengamatan dapat dipakai untuk mengecek, mengurangi bias ketika
peneliti sulit mengingat peristiwa atau hasil wawancara, ataupun karena reaksi
peneliti yang emosional pada suatu saat. Terakhir, peneliti mampu memahami
situasi-situasi yang rumit dan perilaku yang kompleks. 37
b. Wawancara Mendalam
Sutopo (2002) menyatakan bahwa wawancara mendalam dilakukan
dengan wawancara yang bersifat lentur dan terbuka, tidak berstruktur secara ketat,
tidak dalam suasana formal, dan dilakukan berulang pada informan yang sama.
Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar pertanyaan yang disampaikan dapat
38
terfokus sehingga informasi yang dikumpulkan semakin rinci dan mendalam.
Wawancara dilakukan pada situasi yang santai atau dengan obrolan yang dapat
menjaring data sebanyak-banyaknya. Cara tersebut juga dapat mencapai kejujuran
informan dalam memberikan informasi.
c. Dokumen
Analisis dokumen, adalah teknik yang dipergunakan untuk menganalisis
dokumen yang telah diperoleh dari hasil observasi. Dokumen yang dimaksud
dapat berupa catatan hasil observasi, transkrip rekaman, catatan hasil wawancara
yaitu ditranskrip, dan foto observasi, dan video streaming.
D. Triangulasi Data
Analisis keabsahan data digunakan teknik triangulasi. Validitas data
merupakan kebenaran dari proses penelitian. Dalam penelitian ini setelah
didapatkan data melalui teknik di atas, selanjutnya dilakukan triangulasi sumber.
Data yang diperoleh dari lapangan ditriangulasikan berdasarkan berbagai sumber
untuk menjaga validitas data yang dikumpulkan dalam penelitian. Dalam hal ini
dengan mengumpulkan berbagai sumber data kemudin dianalisis menggunakan
satu teori dicocokkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat observasi.
Dengan demikian, kebenaran data yang satu diuji oleh data yang diperoleh dari
sumber data yang lainnya.
Pengumpulan
Pengumpulan Data
Data Penyajian
Penyajian Data
Data
Reduksi Penarikan
Penarikan
Reduksi Kesimpulan
Data
Data Kesimpulan /Verifikasi
/Verifikasi
40 Mills, Mattew B., dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Universitas
Indonesia. Hh. 19-20
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berikut akan disajikan temuan data penelitian secara berturut-turut, yaitu:
pemahaman konsep pendidikan multikultural, partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan berbasis multikultural, dan
pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan berbasis multikultural.
kecil untuk mengatasi persoalan ini. Namun terkadang banyak kelompok yang
mereduksi ajaran agama. Agama justru dijadikan alat untuk mengklaim kebenaran
sepihak sehingga menganggap yang lain sebagai other yang harus dimusuhi,
bahkan diperangi. Seyogyanya, kesalehan agama bisa memandang bahwa
pluralitas agama, suku, ras, golongan dan lain-lain adalah sebuah keniscayaan,
bahkan merupakan given yang mau tidak mau harus diterima oleh semua agama.
Kesalehan agama merupakan kesadaran manusia untuk berbuat baik atas
dasar iman kepada Tuhan. Agama, terutama Islam yang dianut oleh mayoritas
bangsa Indonesia, mengajarkan pluralisme yang memandang manusia sebagai
makhluk sosial yang beragam. Beragam kepercayaan, etnis, budaya, bahasa,
bentuk tubuh, warna kulit, dan lain-lain. Kesadaran inilah yang seharusnya
dibangun jika kita masih menganggap diri kita manusia. Bahkan dalam
pemahaman sufistik, manusia seharusnya memandang orang lain itu sama rasa
dengan diri kita. Kita akan merasa sakit jika disakiti, kita akan merasa marah jika
dihina. Setiap manusia memiliki hak yang harus dipahami oleh manusia yang
lain. Menarik ketika kita simak syair dari Kahlil Gibran, ketika jiwaku
menasehatiku, baru aku sadar bahwa orang lain itu ialah diriku, dosanya adalah
dosaku, dan deritanya adalah kepedihanku.
Romantisme masa lalu seharusnya kita jadikan pelajaran berharga bagi
kita. Romantisme di mana bangsa kita bersatu melawan imperialisme dan
kolonialisme dengan menghilangkan sekat-sekat primordialisme. Semangat
patriotisme meruntuhkan kotak-kotak etnis, agama dan golongan. Bahu-membahu
dengan kasih tanpa pamrih. Namun miris ketika saat ini kita justru berperang
melawan bangsa sendiri atas nama etnis, agama dan golongan.
Tokoh masyarakat yang diharapkan menjadi kontrol sosial masyarakat,
justru terkadang bertindak menjadi dalang kerusuhan. Melakukan profokasi di
tengah-tengah masyarakat untuk bertindak anarkhi. Di sinilah perlu dibangun
kesalehan yang lebih dari sekedar kesalehan agama. Ketika kesalehan agama
belum juga menjamin kesadaran masyarakat, maka perlu dibangun kesalehan
multikultural yang memandang agama, etnis, dan golongan yang merupakan
keniscayaan yang harus diterima sebagai given dari Tuhan. Kesalehan
multikultural bisa menumbuhkan etos profetik dari masyarakat sehingga
43
Selain daripada itu, lembaga bisnis dan industri diharapkan dapat menyisihkan
anggaran untuk pemberian beasiswa atau dukungan biaya operasional pendidikan.
Kedua, partisipasi material yang diwujudkan dengan sumbangan bahan-
bahan yang berkenaan dengan material bangunan, guna untuk penyempurnaan
bangunan ruang dan tempat untuk kegiatan belajar. Demikian juga masyarakat
dimungkinkan dapat mendukung adanya fasilitas umum yang dapat digunakan
dalam batas tertentu untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Sebaliknya
masyarakat perlu mendukung terciptanya lingkungan fisik yang kondusif,
sehingga tempat-tempat pendidikan dan latihan dapat terhindar sejauh-jauhnya
dari polusi udara, suara, air, tanah, dan sebagainya. Lingkungan sehat yang
diciptakan masyarakat akan memberikan dukungan yang berarti bagi
keberlangsungan proses pendidikan.
Ketiga, partisipasi akademik yang ditunjukkan dengan kepedulian
masyarakat yang dikaitkan dengan dukungan terhadap penyelenggaraan kegiatan
akademik yang lebih berkualitas. Dukungan dapat diwujudkan dengan dukungan
orangtua dan masyarakat untuk mengawasi dan membimbing belajar anak yang
berlangsung di luar sekolah. Demikian pula dapat dimungkinkan beberapa
orangtua yang memiliki keahlian tertentu dapat menjadi orang sumber (resource
persons) yang mampu memperbaiki kualitas pendidikan. Selain daripada itu
tempat-tempat industri dan bisnis dapat memberikan sharing pengalaman dan
kompetensinya melalui pemberian kesempatan untuk magang, praktek lapangan.
Masyarakat juga terbuka untuk melakukan kontrol terhadap proses
pendidikan yang berlangsung, dikaitkan dengan tanggung jawab profesional
tenaga kependidikan. Bila dijumpai guru dan ahli kependidikan lainnya kurang
committed dengan tanggung jawabnya, maka masyarakat memiliki hak untuk
mengajukan sejumlah rekomendasi kepada DPR dan pemerintah daerah (dinas),
guna meminta pertanggungjawaban mereka.
Keempat, partisipasi kultural yang diwujudkan dengan perhatian
masyarakat terhadap terpeliharanya nilai kultural dan moral yang mampu
menjaga martabat masyarakat setempat, sehingga masyarakat perlu ikut serta
menjadi filter terhadap masuknya peradaban yang tidak sejalan dengan kultur dan
nilai yang diyakini oleh masyarakat. Praktek perilaku yang dikehendaki tumbuh
48
subur di sekolah, harus didukung dengan perilaku dan tradisi yag baik di tengah-
tengah kehidupan masyarakat.
Kelima, partisipasi evaluatif, yang diwujudkan dengan keterlibatan
masyarakat dalam melakukan pengendalian dan kontrol terhadap
penyelenggaraan pendidikan, sehingga masyarakat dapat memberikan umpan
balik (feedback) dan penilaian terhadap kinerja lembaga pendidikan.
Keenam, partisipasi mediatif, yang diwujudkan dengan membangun
network dengan intsitusi birokrasi dan institusi pendidikan, sehingga dapat
memudahkan peserta pendidikan mengakses informasi yang ada di masyarakat
tanpa melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit.
Berbagai partisipasi masyarakat dalam otonomi pendidikan telah
direncanakan dan dilakukan. Terkait dengan implementasi program tersebut tentu
akan menemui tantangan dan hambatan sehingga perlu dicari solusinya. Untuk
itu, Prof. Dr. Rochmat Wahab yang mengutip pendapat Wolf, Kane, dan
Strickland (1997) menyatakan bahwa pada dasarnya ada beberapa potensi
masalah yag dijumpai dalam partisipasi masyarakat:
Pertama, Orang - baik pembuat keputusan maupun masyarakat lokal -
perlu untuk dididik kembali, sehingga dapat bekerja dalam model partisipatori.
Struktur mungkin harus dirubah menjadi lebih fleksibel, di samping situasi proses
kegiatan yang baru sangatlah dikehendaki.
Kedua, partisipasi dapat melibatkan lebih banyak waktu, usaha, dan biaya
daripada pendekatan konvensional (top-down). Misalnya ketika kita ingin
menyelesiakan suatu masalah, maka harus melibatkan banyak orang dan butuh
waktu yang lebih banyak juga, guna menjamin keterlibatan semua pihak yang
terkait, untuk tetap dijamin partisipasi.
Ketiga, upaya lokal yang berserakan dan tidak terfokus hanya dapat
memecahkan masalah jangka pendek, dan yang dapat dilihat selintas.
Keempat, keterbatasan informasi pada masyarakat kurang mendukung
dalam berpartisipasi yang lebih aktif dalam proses kegiatan.
Bentuk partisipasi orang tua siswa terhadap pendidikan di sekolah
dibedakan atas partisipasi dalam bentuk materil dan non materil (moril). Adapun
partisipasi orang tua dalam bentuk materil meliputi pemberian bantuan berupa
49
barang (bantuan sarpras sekolah, bantuan alat-alat sekolah dan bantuan media
belajar) dan bantuan berupa uang seperti bantuan honor guru, uang pratikum dan
bantuan untuk pembelian atau pengadaan alat-alat dan kelengkapan belajar anak.
Sedangkan partisipasi dalam bentuk non mareril (moril) meliputi semua bantuan
yang ditujukan untuk kepentingan kemajuan dan perkembangan program sekolah
seperti memberikan saran, ide dan pemikiran unuk kemajuan program sekolah,
memberikan motivasi guru maupun siswa agar meningkatkan prestasi belajar,
memberikan bimbingan dan perhatian terhadap masalah belajar anak terutama
saat di rumah.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara peneliti dengan pihak
sekolah, didapatkan hasil bahwa ada beberapa bentuk partisipasi orang tua
terhadap pendidikan yang sudah terlaksana di SDN Kecamatan Sekampung Udik
Kabupaten Lampung Timur, baik dalam bentuk materil maupun moril. Bentuk
partisipasi orang tua tersebut di antaranya: 1) memperhatikan kelengkapan belajar
anak seperti kelengkapan seragam dan buku penunjang, 2) meluangkan waktu
datang ke sekolah untuk menghadiri rapat mengenai perkembangan belajar anak
dan hal-hal yang berkaitan dengan program-program sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan, 3) mengantar dan menjemput anak ke sekolah, 4)
memfasilitasi anak dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah seperti ketika anak
mengikuti lomba-lomba dan kegiatan yang dilakukan antar-sekolah dasar di
Kabupaten Lampung Timur atau Provinsi Lampung, dan menghadiri undangan
dari sekolah saat pembagian raport akhir semester.
Ditinjau dari bentuk partisipasi orang tua dalam memenuhi kelengkapan
belajar anak seperti seragam dan buku penunjang belajar, ternyata masih ada
sebagian orang tua siswa yang masih belum begitu peduli terhadap kelengkapan
belajar anaknya. Hal ini terlihat dari masih ada sebagian anak yang tidak memiliki
kelengkapan seragam seperti topi dan dasi. Selain itu, masih ada sebagian anak
yang tidak memiliki buku penunjang yang penting dalam proses belajarnya. Hal
ini juga terjadi ketika sekolah mengundang orang tua saat pembagian raport.
Rata-rata orang tua siswa yang datang adalah orang tua siswa yang tidak bekerja.
Mereka memiliki banyak waktu untuk lebih perhatian kepada pendidikan anaknya
dan bisa memenuhi undangan yang di berikan oleh pihak sekolah. Namun tidak
50
semua orang tua seperti itu. Masih ada sebagian orang tua yang tidak dapat
menghadiri undangan pembagian raport dari sekolah dengan alasan mereka
bekerja. Orang tua siswa yang bekerja merasa kesulitan untuk meluangkan waktu
datang ke sekolah sehingga mereka mewakilkan kehadirannya kepada pihak lain
seperti kakak dari siswa bahkan terkadang tetangga siswa yang tidak
bertanggungjawab langsung dengan siswa yang bersangutan. Hal ini akan
mempersulit pihak sekolah dalam menyampaikan hal penting mengenai
perkembangan belajar anak di sekolah.
Mengantisipasi kurangnya partisipasi orang tua terhadap pendidikan di
SDN di Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur, sebenarnya
kepala sekolah sudah melakukan beberapa upaya, namun hasilnya belum
memuaskan. Hal ini disebabkan karena berbagai upaya tersebut belum maksimal
dilakukan. Adapun upaya yang sudah dilakukan kepala sekolah dalam
meningkatkan partisipasi orang tua terhadap pendidikan di sekolah diantaranya:
mengundang orang tua dalam setiap rapat mengenai perkembangan belajar anak
disekolah, memberikan laporan hasil belajar anak tidak hanya saat pembagian
raport di akhir semester saja namun juga pada saat pertengahan semester.
Mengundang orang tua saat pembagian raport akhir semester.
Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh kepala sekolah di atas dirasa
belum menampakkan hasil yang optimal dalam menggalang partisipasi orang tua
terhadap pendidikan di sekolah. Untuk itu perlu adanya upaya konkrit yang lebih
yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan partisipasi orang
tua terhadap pendidikan di SDN Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten
Lampung Timur.
Seorang kepala sekolah merupakan mata rantai penting di antara
hubungan sekolah dengan masyarakat terutama orang tua. Jika ingin
meningkatkan proses belajar dan mengajar yang berkualitas, maka dukungan
intelektual, teknis dan material harus dimanfaatkan secara tepat. Begitu juga
terhadap hubungan sekolah dengan masyarakat yang memberikan dukungan
dalam pengembangan program perbaikan sekolah yang mesti di usahakan dan
dibina secara terus menerus.
51
Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa
yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat
bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah,
namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa,
baik lisan maupun tulisan. Sekolah perlu memiliki peraturan yang
mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga
sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa geli atau aneh ketika
mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya.
Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan
itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya
budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat
bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya wawasan.
begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara
teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap
lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk
menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan
kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun saling mendukung menurut
kemampuan masing-masing. Sikap empati dan saling membantu tidak hanya
ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak
berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan
sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga sekolah atau daerah lain siswa
diajak berdoa dan memberikan sumbangan. Sekecil apapun doa, ucapan simpati,
jabat tangan, pelukan, atau bantuan material akan sangat bermakna bagi
pembentukan karakter siswa juga siapapun yang menjadi obyek empati.
B. Pembahasan
1. Pemahaman Konsep Pendidikan Multikultural
Secara garis besar pemahaman terhadap pluralisme budaya diperlukan
sesuai dengan dinamika dan pertumbuhan masyarakat. Diharapkan dengan adanya
pluralitas budaya, berbagai kelompok masyarakat adat dapat saling melengkapi,
saling menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga mereka
dapat bersatu dalam kehidupan bersama. Sebagaimana pada masa-masa lalu nilai-
nilai pluralisme mampu mengakomodasi berbagai perbedaan prinsip hidup dalam
dinamika masyarakat yang beragam suku, kelompok sosial, dan adat istiadat.
Refleksi operasionalnya pada masa itu antara lain dalam bentuk sosialisasi
"Sumpah Pemuda", dan bentuk kesadaran bersatu dalam ideologi Pancasila. Hal
ini menjadi penting ketika keanekaragaman budaya menjadi nyata dalam
kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang
dianggap berbeda dan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait
pluralisme.
Untuk itu, perlu adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan
keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek jarak
pemaknaan yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak terkecuali dalam
kehidupan masyarakat majemuk di Lampung. Diharapkan nilai-nilai Pluralisme
dapat menjadi sember daya untuk menumbuhkan kerukunan hidup bersama yang
saling menghargai perbedaan dan mendorong kerja sama berdasar kesetaraan.
60
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Pemahaman terhadap pluralisme budaya diperlukan sesuai dengan
dinamika dan pertumbuhan masyarakat. Diharapkan dengan adanya
pluralitas budaya, berbagai kelompok masyarakat adat dapat saling
melengkapi, saling menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing,
sehingga mereka dapat bersatu dalam kehidupan bersama.
2. Terdapat beberapa bentuk partisipasi orang tua terhadap pendidikan yang
sudah terlaksana, di antaranya: 1) memperhatikan kelengkapan belajar
anak seperti kelengkapan seragam dan buku penunjang, 2) meluangkan
waktu datang ke sekolah untuk menghadiri rapat mengenai perkembangan
belajar anak dan hal-hal yang berkaitan dengan program-program sekolah
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, 3) mengantar dan
menjemput anak ke sekolah, 4) memfasilitasi anak dalam kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah seperti ketika anak mengikuti lomba-lomba dan
kegiatan antarsekolah, dan 5) menghadiri undangan dari sekolah saat
pembagian raport akhir semester.
3. Pendidikan multikultural dirancang semaksimal mungkin untuk dapat
memfasilitasi kontak antarbudaya di masyarakat. Kontak tersebut
dirancang untuk mendorong perkenalan, kedekatan, dan kerja sama
antarbudaya, yaitu: a) membangun paradigma keberagamaan inklusif di
lingkungan sekolah, b) menghargai keragaman bahasa di sekolah, c)
membangun sikap sensitif gender di sekolah, d) membangun pemahaman
kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial, e)
membangun sikap antideskriminasi etnis, f) menghargai perbedaan
kemampuan, g) menghargai perbedaan umur dan perkembangan kognitif
siswa.
64
B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa
partisipasi orang tua, masyarakat, pemerintah daerah di Sekampung Udik
Kabupaten Lampung Timur masih kurang sehingga perlu adanya upaya-upaya
tertentu dari kepala sekolah untuk dapat meningkatkan partisipasi Sekampung
Udik Kabupaten Lampung Timur tersebut. Kepala-kepala sekolah, terkhusus
SDN Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur sudah melakukan
beberapa upaya untuk menggalang partisipasi tua, masyarakat, pemerintah daerah.
Namun, hasilnya belum optimal maka diperlukan upaya- upaya lain yang dapat
dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan partisipasi orang tua,
masyarakat, pemerintah daerah terhadap pendidikan di sekolah dengan orang tua
di antaranya : menjalin komunikasi yang efektif dengan orang tua, melibatkan
orang tua dalam program sekolah serta memberdayakan komite sekolah. Untuk
selanjutnya, diperlukan komunikasi aktif dan peran nyata dari stakeholder
pendidikan di lampung Timur untuk mewujudkan pendidikan yang berbasis
multikultur guna meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Lampung Timur.
65
DAFTAR PUSTAKA