Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sesungguhnya merupakan
sebuah realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang
tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan,
tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang
sebenarnya sedang ingin dicapai. Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga
terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan,
banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu
komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa
ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu
menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor
kualitas pendidikan.
Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak
lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan
oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro,
Direktur UAJY - Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari
kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang
dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang
fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak
perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Indonesia mengalami krisis SDM sebenarnya berpangkal pada buruknya
kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Untuk menghadapi krisis, sistem
pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor kehidupan domestik dan
pada beberapa kasus, juga memerlukan sumber-sumber di luar batas nasional.
Pendidikan memerlukan dana, namun anggaran pendidikan sulit bertambah.
Pendidikan memerlukan sumber daya, khususnya sumber daya insani nasional
yang terbaik untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, dan produktivitas.
Pendidikan memerlukan prasarana dan sarana, materi pengajaran yang baik

1
dan lebih baik. Di pelbagai tempat, pendidikan memerlukan pula makanan bagi
murid yang lapar agar mereka dalam kondisi siap belajar. Di atas semua itu
pendidikan memerlukan hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang, yakni
gagasan dan keberanian, keputusan, keinginan baru untuk mengetahui
kemampuan diri yang diperkuat oleh suatu keinginan untuk berubah dan
bereksperimen.
Berkaitan dengan frasa “sistem pendidikan”, lebih lanjut diungkapkan
bahwa sistem pendidikan tidak hanya mengacu pada tingkat dan tipe
pendidikan formal seperti sekolah kejuruan, umum dan spesialisasi, tetapi juga
seluruh program dan proses sistematik pendidikan di luar pendidikan formal
yaitu yang dikenal dengan pendidikan nonformal. Sistem pendidikan yang di
dalamnya terdapat kegiatan pendidikan formal maupun nonformal memiliki
sejumlah input, yang diproses untuk memperoleh output untuk memenuhi
tujuan tertentu. Mengacu pada sistem pendidikan selanjutnya diungkapkan
bahwa pendidikan dengan demikian merupakan suatu proses yang berinteraksi
dengan lingkungannya. Output yang ingin dihasilkan dari suatu sistem
pendidikan ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki oleh lingkungan atau
masyarakat. Manusia yang terdidik hendaknya diperlengkapi untuk melayani
masyarakat dan mengurus dirinya sendiri sebagai individu dan anggota
masyarakat, pekerja ekonomi, pemimpin dan inovator, warga negara dan
warga dunia dan penyumbang kebudayaan. Untuk itu, pendidikan harus
mampu meningkatkan basic knowledge (pengetahuan dasar) intellectual and
manual skills (keterampilan manual dan intelektual ),power of reason critism
( daya nalar / kritik ),values, attitudes and motivation (nilai-nilai, sikap dan
motivasi ),power of creativity and innovation (daya kreatif dan inovasi
),cultural appreciation (apresiasi kebudayaan ),sense of social responsibillity
( tanggung jawab sosial ), dan understanding of the modern world (memahami
dunia modern).
Pendidikan nonformal menjadi bagian dari pembicaraan internasional
terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan tentang pendidikan pada era
sebelum tahun 1960 dan akhir tahun 1970-an. Hal tersebut dapat dilihat

2
bagaimana kaitan antara konsep pendidikan berkelanjutan dengan konsep
pendidikan sepanjang hayat. Tight ( 1996 ) mengajukan konsep tentang
penyatuan pendidikan extention dan belajar sepanjang hayat secara utuh dan
menyeluruh, sehingga untuk menyatukan itu pendidikan nonformal dianggap
memiliki peran dalam 'acknowledging the importance ofeducation, learning
and training which takes place outside recognized educationalinstitutions'.
Begitu bula dengan yang diungkapkan Fordham (1993), menyatakan bahwa
sejak tahun 1970-an, ada empat karakteristik dasar yang berkaitan dengan
peran pendidikan nonformal di masyarakat:
a) Relevan dengan kebutuhan kelompok masyarakat (orang-orang ) yang
tidak beruntung,
b) Ditujukan dan memiliki perhatian khusus pada kategori sasaran-sasaran
tertentu,
c) Terfokus pada program yang sesuai dengan kebutuhan,
d) Fleksibel dalam pengorganisasian dan dalam metoda pembelajaran.
Dalam banyak negarapun pembicaraan masalah pendidikan nonformal
menjadi topik-topik khusus, serta dianggap sebagai pendidikan yang mampu
memberikan jalan serta pemecahan bagi persoalan-persoalan layanan
pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang tidak terlayani pendidikan
formal. Alan Rogers dalam satu bukunya menyatakan bahwa:
There is a renewed interest in non-formal education (NFE) today. And it
is significant that this interest comes not so much from the so-called'Third
World' (I use this term to refer to poor countries in receipt of aid from
richcountries, because many other persons use it as a short-hand). The
assemblyrecognizes that formal educational systems alone cannot respond to
chalange ofmodern society and therefore welcomes to reinforcement by
nonformal education.( Alan Rogers, 2004 ).
Namun demikian dalam membahas pendidikan nonformal selayaknya
tidak terlepas dari konsep yang mendasari bagaimana pendidikan nonformal
berkembang dengan utuh sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya, oleh karena
itu keterkaitan analisis antara pendidikan nonformal dengan

3
community,learning, informal education, dan social pedagogi merupakan
sesuatu hal yang tetap harus manjadi acuan. Pembahasan secara original
tentang konsep pendidikan nonformal muncul pada tahun 1968 (Coombs
1968), perkembangan pendidikan nonforml begitu pesat terutama ketika
pendidikan dirasakan masih banyak kekurangan (Illich 1973), hal tersebut
dirasakan tidak hanya di Negara-negara berkembang tetapi merambah sampai
ke belahan dunia barat (western) juga sampai ke belahan dunia utara
(northern). (Bowles dan Gintis 1976 dan kawan-kawan). Di belahan dunia
barat reformasi pendidikan bergerak melalui berbagai perbedaan format, akan
tetapi dalam semua perencanaan dan kebijakan-kebijakan yang diambil sangat
berkaitan erat dengan pendidikan yang diperlukan bagi negara-negara
berkembang mulai tahun 1968 sampai tahun 1986, pada saat itu pendidikan
nonformal dirasakan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit pendidikan
yang dirasakan di tengah-tengah masyarakat (Freire 1972 dan kawan - kawan).
Pendidikan nonformal sebuah layanan pendidikan yang tidak dibatasi
dengan waktu, usia, jenis kelamin, ras (suku, keturunan), kondisi sosial
budaya, ekonomi, agama dan lain - lain. Meskipun pendidikan formal
merupakan komponen penting dalam pendidikan sepanjang hayat. Akan tetapi,
peran pendidikan nonformal dan informal dalam rangka pelayanan pendidikan
sepanjang hayat bagi masyarakat sangat dibutuhkan saat ini dan kedepan.
Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dibahas lebih mendasar
tentang bagaimana peran pendidikan nonformal dalam membangun dan
memberdayakan masyarakat.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Sejauh mana keberadaan Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) Al-Ulfah
mempengaruhi kemajuan pola pikir serta pola social Masyarakat RW. 10
Desa Tenjolaya ?
2. Strategi apa yang digunakan SKA Al-Ulfah untuk memberdayakan
Masyarakat ?

4
3. Pendidikan dan Pelatihan apa saja yang dilakukan SKA Al-Ulfah dalam
memberdayakan Masyarakat ?

1.3 TUJUAN PENULISAN


a. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran tentang keberadaan Sanggar
Kreatifitas Anak (SKA) Al-Ulfah dalam memberdayakan masyarakat
Kampung Cukang Lemah.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk memperoleh gambaran tentang Sejauh mana keberadaan
Sanggar Kreatifitas Anak (SKA) Al-Ulfah mempengaruhi kemajuan
pola pikir serta pola social Masyarakat RW. 10 Desa Tenjolaya.
2. Untuk mengetahui Strategi apa yang digunakan SKA Al-Ulfah untuk
memberdayakan Masyarakat ?
3. Untuk memperoleh gambaran tentang Pendidikan dan Pelatihan apa
saja yang dilakukan oleh SKA Al-Ulfah dalam memberdayakan
Masyarakat ?

1.4 MANFAAT PENULISAN


a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi
hasanah keilmuan tentang pemberdayaan masyarakat
b. Manfaat Paraktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan untuk perbaikan pemberdayaan masyarakat di KAmpung
Cukang Lemah Desa Tenjolaya.

5
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 PENDIDIKAN NONFORMAL


1. Pengertian Pendidikan Nonformal
Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan
semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetauannya, nilai serta
sikapnya dan ketrampilannya. ( Achmad Munib, 2010 )
Pendidikan nonformal dengan berbagai atribut dan nama atau istilah
lainnya, baik disebut dengan, mass education, adult education, lifelong
education, learning society,out-of-school education, social education dll,
merupakan kegiatan yang terorganisir dan sistematis yang diselenggarakan di
luar subsistem pendidikan formal. ( Sudjana, 1994. R.A. Santoso, 1955 ).
Meskipun kesemua istilah tersebut memiliki perbedaan dan kesamaan dengan
pendidikan nonformal, akan tetapi sangat sulit untuk merumuskan pengertian
yang konprehensif dan berlaku umum, mengingat titik pandang yang berbeda.
Berikut ini diuraikan berbagai definisi tentang pendidikan nonformal yang
dikemukakan oleh para ahli:
1. Pendidikan nonformal adalah usaha yang terorganisir secara sistematis dan
kontinyu di luar sistem persekolahan, melalui hubungan sosial untuk
membimbing individu, kelompok dan masyarakat agar memiliki sikap dan
cita-cita sosial ( yang efektif ) guna meningkatkan taraf hidup dibidang
materil, sosial dan mental dalam rangka usaha mewujudkan kesejahteraan
sosial. ( Hamojoyo, 1973 )
2. Secara luas Coombs ( 1973 ) memberikan rumusan tentang pendidikan
nonformal adalah: setiap kegiatan pendidikan yang terorganisasi,
diselenggarakan di luar pendidikan persekolahan, diselenggarakan secara
tersendiri atau merupakan bagian penting dari suatu kegiatan yang lebih luas
dengan maksud memberikan layanan khusus kepada warga belajar di dalam
mencapai tujuan belajar.

6
3. Niehoff ( 1977 ), merumuskan pendidikan nonformal secara terperinci
yakni:
Nonformal education is defined for our purpose as the method of assessing
theneeds end interests of adults and out-of school youth in developing
countries-ofcommunicating with them, motivating them to patterns, and
related activities whichwill increase their productivity and improve their
living standard.
4. Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan sosial dalam hal ini adalah
Semua kegiatan pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan olah raga dan
rekreasi yang diselenggarakan di luar sekolah bagi pemuda dan orang
dewasa, tidak termasuk kegiatan-kegiatan pendidikan yang diselenggarakan
dengan menggunakan kurikulum sekolah.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa
pendidikan nonformal dalam proses penyelenggaraannya memiliki suatu
sistem yang terlembagakan, yang di dalamnya terkandung makna bahwa setiap
pengembangan pendidikan nonformal perlu perencanaan program yang
matang, melalui kurikulum, isi program, sarana, prasarana, sasaran didik,
sumber belajar, serta faktor-faktor yang satu sama lain tak dapat dipisahkan
dalam pendidikan nonformal.
Pada definisi lain Coombs menjelaskan tentang pendekatan
pembelajaran yang dianggap cocok dengan penyelenggaraan pembelajaran
pada pendidikan nonformal terutama mengenai sistem pembelajaran individual
dan sistem pembelajaran kelompok.
Pada definisi tersebut Coombs menjelaskan, bahwa pendekatan
kelompok dalam penyelenggaraan pembelajaran pendidikan nonformal lebih
dominan ketimbang pendekatan individual. Kenapa demikian karena dengan
kelompok proses pembelajaran atau transfer pengetahuan, keterampilan akan
lebih efektif. Pada konteks lain pendidikan nonformal sering disebut dengan
istilah pendidikan luar sekolah (outof-school education). Istilah ini mengacu
pada penyelenggaraan pendidikan di luar sistem sekolah atau di luar kurikulum
yang diprogram secara nasional untuk sekolah.

7
Istilah pendidikan luar sekolah sebenarnya lebih popular di Indonesia
ketimbang di negara-negara lain (baik negara maju maupun negara dunia ke
tiga). Pengungkapan istilah pendidikan nonformal memberikan informasi
bahwa pada hakikatnya pendidikan tidak hanya diselenggarakan di pendidikan
formal saja, tetapi juga di pendidikan nonformal. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (10) Satuan pendidikan adalah kelompok
layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal,
nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan; ayat (11)
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi; ayat (12) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang;
ayat (13) Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan.
Berdasarkan pada pernyataan di atas, maka pendidikan nonformal
merupakan salah satu jalur dari penyelenggaraan sistem pendidikan di
Indonesia. Pendidikan nonformal diselenggarakan melalui tahapan-tahapan
pengembangan bahan belajar, pengorganisasian kegiatan belajar, pelaksanaan
belajar mengajar dan penilaian. Hal ini sejalan dengan pendapat Knowles,
bahwa langkah-langkah pengelolaan kegiatan belajar meliputi:
1. Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar
2. Menetapkan struktur organisasi pengelola program belajar
3. Mengidentifikasi kebutuhan belajar
4. Merumuskan arah dan tujuan belajar
5. Menyusun pengembangan bahan belajar
6. Melaksanakan kegiatan belajar
7. Melakukan penilaian.
Bahan belajar yang disediakan pada pendidikan nonformal mencakup
keseluruhan pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan aspek
kehidupan. Hal ini ditujukan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan

8
belajar yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan belajar terasa
dan prioritas program nasional. Yang dimaksud kebutuhan belajar terasa
adalah kebutuhan belajar yang dirasakan oleh setiap anggota masyarakat,
sedangkan prioritas program nasional berhubungan dengan tuntutan
pengetahuan dan keterampilan yang perlu dimiliki setiap anggota masyarakat
berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional. Oleh karena itu keberadaan
pendidikan nonformal saat ini semakin dibutuhkan oleh masyarakat karena
berbagai alasan meliputi:
1. Kemajuan teknologi
2. Kebutuhan pendidikan keterampilan yang tidak bisa dijawab oleh
pendidikan formal
3. Keterbatasan akses pendidikan formal untuk menjangkau masyarakat suku
terasing, masyarakat nelayan, pedalaman, serta masyarakat miskin yang
termarjinalkan
4. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kehidupan dan
perkembangan masyarakat terutama berkaitan dengan :
a) pertambahan penduduk dan pencemaran lingkungan,
b) keinginan untuk maju,
c) perkembangan alat komunikasi dan,
d) terbentuknya bermacam-macam organisasi sosial.
Berdasar kepada kriteria tersebut, kebutuhan pendidikan nonformal
semakin nyata dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat, baik yang menyangkut persoalan pendidikan
maupun persoalan sosial lainnya.
Pentingnya peran pendidikan nonformal di masyarakat bisa di analisis
dari jenis kebutuhan belajar yang beragam, hal ini sejalan dengan pendapat
para ahli di bidang pendidikan nonformal. Lebih jauh Coombs
mengungkapkan bahwa program belajar bagi masyarakat perdesaan di dunia
ketiga dapat dikelompokan kedalam:
1. Pendidikan umum atau dasar, meliputi program literasi, pengertian dasar
mengenai ilmu pengetahuan dan lingkungan, dan sebagainya;

9
2. Pendidikan kesejahteraan keluarga,terutama dirancang untuk menyebarkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang bermanfaat untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga.
3. Pendidikan kemasyarakatan.
4. Pendidikan kejuruan.
Sedangkan, Herbinson yang dikutip Simkins mengajukan
pengelompokan program belajar pendidikan nonformal berdasar atas
peningkatan produktivitas kerja yaitu:
1. Program peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat yang
telah bekerja
2. Program penyiapan angkatan kerja, terutama bagi masyarakat yang belum
bekerja.
3. Program untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan
pemahaman di luar dunia kerja.
Berdasar kepada kondisi-kondisi tersebut program pendidikan
nonformal dapat dikelompokan ke dalam dua hal, yakni:
1. Program pendidikan dasar, yang memberikan pelayanan belajar kepada
masyarakat yang belum memiliki kemampuan-kemampuan dasar, seperti
program literasi.
2. Program pendidikan lanjutan, yang memberikan pelayanan pendidikan
untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
ke jenjang yang lebih tinggi, seperti; pendidikan untuk peningkatan
produktivitas kerja.
Pada sasaran pengembangan kelompok pertama pendidikan nonformal
memiliki peran mendasar dalam rangka membangun kemampuan dasar
masyarakat (sasaran didiknya), terutama dalam implementasi belajar
sepanjang hayat. Maka pendidikan nonformal memiliki tugas khusus bukan
hanya sekedar tuntutan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun akan tetapi yang
paling penting mencerdaskan masyarakat pada level literasi (pembebasan buta
huruf) berarti membuka wawasan dan cakrawala masyarakat ke arah kemajuan
dan perubahan hidup dan kehidupan yang baru. Program pendidikan dasar

10
melalui pendidikan nonformal jangan hanya dikategorikan sekedar
menyelesaikan masalah tingginya angka drop out pendidikan dasar dan
menjadi sorotan dunia internasional yang berpengaruh terhadap HDI ( human
developmentindex ), akan tetapi tugas ini harus dianggap sebagai suatu
kewajiban dalam menata lifelong education pada tingkat awal.

2. Tujuan Pendidikan Nonformal


Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 49 Tahun
2007 Tanggal 7 Desember 2007, tujuan pendidikan nonformal adalah :
1. Menggambarkan pencapaian tingkat mutu yang seharusnya dicapai dalam
program pembelajaran.
2. Mengacu pada visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional serta relevan
dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat.
3. Diputuskan oleh pengelola dan/atau penyelenggara pendidikan nonformal
dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak.
4. Disosialisasikan kepada segenap pihak yang berkepentingan.
Sedangkan Visinya adalah sebagai berikut :
1. Dijadikan sebagai cita-cita bersama oleh segenap pihak yang
berkepentingan pada masa yang akan datang.
2. Mampu memberikan inspirasi, motivasi, dan kekuatan pada warga satuan
pendidikan nonformal dan segenap pihak yang berkepentingan.
3. Dirumuskan berdasarkan masukan dari warga satuan pendidikan
nonformal dan pihak yang berkepentingan, selaras dengan visi pendidikan
nasional.
4. Diputuskan oleh pengelola dan/atau penyelenggara pendidikan nonformal
dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak.
5. Disosialisasikan kepada segenap pihak yang berkepentingan.
6. Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan
perkembangan masyarakat.
Dan untuk Misinya adalah sebagai berikut :

11
1. Menekankan pada mutu layanan peserta didik dan mutu lulusan yang
diharapkan oleh satuan pendidikan nonformal.
2. Memuat pernyataan umum dan khusus yang berkaitan dengan program
satuan pendidikan nonformal.
3. Memberikan keluwesan dan ruang gerak pengembangan kegiatan pada
penyelenggara satuan pendidikan nonformal.
4. Diputuskan oleh pengelola dan/atau penyelenggara pendidikan nonformal
dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak.
5. Disosialisasikan kepada segenap pihak yang berkepentingan.
6. Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan
masyarakat.

3. Objek Atau Sasaran Pendidikan Non Formal


Sasaran pendidikan nonformal dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni
pelayanan, sasaran khusus, pranata sistem pengajaran dan pelembagaan
program. Ditilik dari segi pelayanan, sasaran pendidikan nonformal adalah
melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar (7-12 tahun),
anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan tinggi
(19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, pendidikan nonformal
mendidik anak terlantar, anak yatim piatu, korban narkoba, perempuan
penghibur, anak cacat mentau maupun cacat tubuh. Dari segi pranata,
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan dilingkungan keluarga,
pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan keterampilan. Di segi
layanan masyarakat, sasaran pendidikan nonformal antara lain membantu
masyarakat melalui program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi
keluarga, pengetahuan rumah tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat
dari segi pengajaran, sasaran pendidikan nonformalsebagai penyelenggara
dan pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan,
program kesenian tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi
fasilitator bahkan turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi

12
pengajaran di majelis taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa
tempat kursus. Sedangkan sasaran pendidikan nonformal ditinjau dari segi
pelembagaan, yakni kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak
penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan
desa atau pelaksana program pembangunan.
Bagaimana dengan karakteristik pendidikan nonformal? Secara khusus
pendidikan nonformal memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding
pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini
terlihat dari tujuan pendidikan nonformal , yakni memenuhi kebutuhan
belajar tertentu yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan,
dimana dalam pelaksanananya tidak terlalu menekankan pada ijazah. Dalam
waktu pelaksanannya, pendidikan nonformal terbilang relatif singkat,
menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan datang
serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus.
Isi dari program pendidikan nonformal ini berpedolam pada kurikulum
pusat pada kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi
dimana menekanannya terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi
kehidupan peserta didik dan lingkungannya. Soal persyaratan masuk
pendidikan nonformal, hal itu ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan
bersama antara sesama peserta didik. Proses belajar mengajar dalam
pendidikan nonformal pun relative lebih fleksibel, artinya diselenggarakan
di lingkungan masyarakat dan keluarga.

4. Peranan Pendidikan Nonformal


Lingkungan yang berfungsi melahirkan individu – individu terdidik
(educationa lindividuals) bukan hanya lingkungan keluarga yang disebut juga
lingkungan pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga lingkungan
kedua, tetapi juga lingkungan masyarakat yangdisebut juga lingkungan ketiga
(Purwanto, 1986). Peranan penting pendidikan pada lingkungan ketiga yang
dikenal dengan lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal
dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk social manusia

13
menjadi bagian dari pelbagai golongan dalam masyarakat, baik dengan
sendirinya maupun dengan sengaja. Manusia dengan sendirinya adalah
bagian dari keluarga, kota, negara dan kelompok agama. Tapi ada juga
golongan yang dengan sengaja dimasuki seperti perkumpulan olah raga,
serikat pekerja, koperasi, organisasi politik, perkumpulan kesenian dan lain-
lain. Melalui kelompok – kelompok inilah pendidikan nonformal dilakukan.
Pendidikan nonformal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal,
terlebih jika dikaitkan dengan keterbatasan - keterbatasan yang diakibatkan
karena adanya krisis.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Sejalan dengan itu, sistema pendidikan
nacional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajamen pendidikan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga
perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan
berkesinambungan.
Penyelenggaraan pendidikan nonformal (PNF) merupakan upaya dalam
rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan mutu layanan
pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran PNF
sangat beragam, yaitu meliputi:
1. Pendidikan kecakapan hidup.
2. Pendidikan anak usia dini.
3. Pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C.
4. Pendidikan keaksaraan pendidikan pemberdayaan perempuan.
5. Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja ( kursus, magang, kelompok
belajar usaha ).
6. Pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik.

14
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya
lembaga pendidikan nonformal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang
kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar
kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu,
upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi
ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf
kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal
sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan
secara manunggal, pendidikan nonformal bisa dijalankan pula secara
berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila
belakangan lembaga pendidikan nonformal tumbuh dengan pesat, berbanding
lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.
Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk
menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya
lembaga pendidikan nonformal seperti ADTC dan Macell Education Center
(MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya keberbagai perusahaan
rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah
sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.
Antonius Sumarno (2001), juga menuturkan bahwa kemunculan
lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya,
sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi
persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing,
individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu
pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia
dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas
peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Hebatnya lagi,
tersedia pula lembaga pendidikan nonformal yang tidak hanya membekali
lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang
mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti
nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang

15
belakangan makin terpuruk. Di saat banyak orang kebingungan mencari
pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan
lapangan pekerjaan. Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga
pendidikan nonformal yang tersedia kejelian masyarakat dalam memilih
lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah
keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting
untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar
kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan
nonformal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari
pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling
melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan
kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga
berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang
percuma karena program yang sedang dijalani " terhenti di tengah jalan".
Pendidikan nonformal diharapkan dapat mengatasi pelbagai
problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari (1994) :
Apa yang harus kita lakukan, agar kegiatan – kegiatan pendidikan non
formal yang kita selenggarakan benar – benar membawa kemajuan yang
berarti, yaitu kemajuan yang lebih besar daripada pembengkakan berbagai
problematika yang dihadapi, dan tidak kalah pula pesatnya dibandingkan
dengan laju kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain.
Pendidikan melalui lingkungan masyarakat atau pendidikan non formal
memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa),
continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan
kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training
(latihan pekerja atau petani), dan extensión service (pelayanan pendidikan
tambahan) dan dianggap sebagai sistema bayangan (shadow system).
Pelaksanaan pendidikan nonformal dapat dilihat perbedaannya pada
kasus negara industri dan negara berkembang. Pada negara maju seperti di
Eropa dan Amerika Utara pendidikan nonformal dipandang sebagai

16
pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup
sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga
alasan :
1) untuk memperoleh pekerjaan,
2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan
pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas,
3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui
pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam
perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis,
jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka
mereka akan “memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok”.
Pada negara yang sedang berkembang, pendidikan non formal berperan
untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja, usahawan kecil dan lainnya
yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak memiliki keterampilan
maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya sendiri maupun bagi
pembangunan bangsanya. Peran lainnya adalah untuk meningkatkan
kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti contohnya
guru dan lainnya untuk bekerja di sektor swasta dan pemerintah, agar mereka
bekerja lebih efektif. Di Tanzania non formal berperan untuk menyelamatkan
investasi pendidikan dari mereka yang tamat sekolah maupun drop out dari
sekolah menengah, namun tidak memperoleh pekerjaan, dengan memberikan
kepada mereka pelatihan-pelatihan khusus (Coombs, 1968). Di Indonesia
pendidikan non fornal mencakup pendidikan orang dewasa yang bertujuan
agar bangsa Indonesia kenal huruf; dapat memenuhi kewajibannya sebagai
orang dewasa; mempergunakan segala sumber penghidupan yang ada;
berkembang secara dinamis dan kuat; serta tumbuh atas dasar kebudayaan
nasional . Tujuan yang sudah digariskan pada peta pendidikan sejak 27
Desember 1945 oleh BPKNIP ini (Poerbakawatja dan Harahap, 1981) masih
memiliki relevansi hingga kini apalagi dalam menghadapi menghadapi
globalisasi.

17
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26 ayat 1 dijelaskan bahwa
Pendidikan Non Formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan Pendidikan Non Formal
berfungsi mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian professional. Sementara di ayat 3,
disana disebutkan bahwa pendidikan nonformal meliputi pendidikan
kecakapan hidup (life skills); pendidikan anak usia dini; pendidikan
kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan keaksaraan;
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan; serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
Ditilik dari satuan pendidikannya, pelaksanaan pendidikan nonformal
terdiri dari kursus; lembaga pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM); majelis taklim; serta satuan pendidikan yang
sejenis (pasal 26 ayat 4). Disamping itu, dalam pasal 26 ayat 5, disana
dijelaskan bahwa kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap
untuk mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri dan/atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil pendidikan keaksaraan dapat
dihargai setara dengan hasil program PF setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan
mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6).

2.2 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Robinson pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial
suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan
bertindak. Dari definisi tersebut terlihat ada 3 tujuan utama dalam

18
pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat,
mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat.
Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali
seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi,
kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan
masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi
oleh masyarakat, apalagi sekarang sudah memasuki abad ke-21 yang
dianggap dengan abad millinimum baru yang kita belum tahu persis
bagaimana bentuk, kejadian dan permasalahan dan akan dibawa kemana
bangsa Indonesia, maka pemahaman dan kesadaran bahwa satu-satunya yang
dapat mempermudah jalan di abad global ini adalah melalui pendidikan.
Perilaku masyarakat yang perlu diubah tentunya perilaku yang
merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan
masyarakat, sedangkan proses pemberdayaan, menurut Pranarka dan
Vidhyandika menjelaskan bahwa Proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada
proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau
kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.
Sumardjo menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:
1. Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan
(mengantisipasi kondisi perubahan ke depan)
2. Mampu mengarahkan dirinya sendiri
3. Memiliki kekuatan untuk berunding
4. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama
yang saling menguntungkan, dan
5. Bertanggungjawab atas tindakannya.
6. Harus memiliki karakter khusus yang mencakup keperibadian keahlian
dasar pengalaman dan pengetahuan professional, serta pengetahuan.
Adapun Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat, terkait dengan
tujuan pemberdayaan, Sulistiyani menjelaskan bahwa tujuan yang ingin
dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan

19
masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian
berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan
serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan
masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang
dimiliki. Dengan harapan dapat diimplementasikan sesuai dengan serta
tuntutan pemangku kepentingan atau pasar.
Adapun Cara Memberdayakan Masyarakat, secara garis besar
pemberdayaan masyarakat melalui: Pengembangan Masyarakat,
Pengorganisasian masyarakat. Apa yang dikembangkan dari masyarakat yaitu
potensi atau kemampuannya dan sikap hidupnya. Kemampuan masyarakat
dapat meliputi antara lain kemampuan untuk bertani, berternak, melakukan
wirausaha, atau keterampilan-keterampilan membuat home industri dan
masih banyak lagi kemampuan dan keterampilan masyarakat yang dapat
dikembangkan. Dengan demikian mayoritas masyarakat sekarang ini
mengingikan suatu perubahan dalam semua aspek kehidupan. Bagaimana
caranya mengembangkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat, dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Contoh dengan mengadakan pelatihan atau
mengikutkan masyarakat pada pelatihan-pelatihan pengembangan
kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Dapat juga dengan mengajak
masyarakat mengunjungi kegiatan di tempat lain dengan maksud supaya
masyarakat dapat melihat sekaligus belajar, kegiatan ini sering disebut dengan
istilah studi banding. Dapat juga dengan menyediakan buku-buku bacaan
yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan atau peminatan masyarakat, Dengan
harapan pengembangan masyarakat terpadu diharapkan menjadi pusat
penyaluran program tersebut sehingga programnya lebih terukur dan
terkendali.

2 Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat


a) Penyadaran

20
Untuk dapat maju atau melakukan sesuatu, khusunya dalam
pendidikan, orang harus dibangunkan dari tidurnya sehingga memiliki
kesadaran dan tidak memiliki sikap ketergantungan dengan siapapun,
Demikian masyarakat juga harus dibangunkan dari “tidur”
keterbelakangannya, dari kehidupannya sehari-hari yang tidak
memikirkan Masa depannya. Orang yang pikirannya tertidur merasa tidak
mempunyai masalah, karena mereka tidak memiliki kesadaran, inovasi,
aspirasi dan tujuan-tujuan yang harus diperjuangkan apalagi melihat
realitas hasil/output pendidikan yang berkembang saat ini, di mana lulusan
yang dihasilkan dari proses pendidikan cenderung masih didominasi oleh
sifat ketergantungan. Sifat Ketergantungan ini dapat berupa
ketergantungan secara psikologis (psikologis merupakan salah satu
bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan tentang perilaku, fungsi
mental, dan proses mental manusia secara ilmiah) maupun fisiologis
(seringkali mengacu pada sifat yang fisikal, hidup dan juga penting.
Karena manusia makhluk sosial maka model Pendekatan Dalam Psikologi
Sosial bisa diterapkan langsung dalam interaksi sehari-hari).
Kondisi ini merupakan tantangan untuk pendidikan untuk
menghasilkan lulusan yang mandiri dan siap berkompetisi dalam
persaingan global. Untuk itu maka perlu adanya pembaharuan mutu
pendidikan dalam arti hasil pendidikan harus dapat mencetak manusia-
manusia yang berkualitas.
Menurut Paulo bahwa konsientisasi atau proses penyadaran adalah
upaya penyadaran terhadap sistem pendidikan yang menindas dan
menjadikan masyarakat mengalami dehumanisasi. Pendidikan diharapkan
mampu mendekonstruksi kenyataan sosial, ekonomi, dan politik serta
merekonstruksi untuk menyelesaikan problem masyarakat. Dengan
demikian, pendidikan akan menjadi problem solver, tidak menjadi part of
problem. Penggunaan metode ini sangat berguna karena metode Freire
mempunyai implikasi pada berbagai tipe pendidikan untuk orang dewasa,
maka perlu bagi masyarakat secara keseluruhan menjadi sadar bahwa

21
mereka mempunyai tujuan-tujuan dan masalah-masalah. Masyarakat yang
sadar juga mulai menemukan peluang-peluang dan memanfaatkannya,
menemukan sumber daya-sumber daya yang ada di tempat itu yang
barangkali sampai saat ini tidak pernah dipikirkan orang.

b) Pendidikan dan Pelatihan


Pendidikan di sini bukan hanya belajar membaca, menulis dan
berhitung, tetapi juga meningkatkan keterampilan-keterampilan bertani,
kerumahtanggaan, industri dan cara menggunakan pupuk. Juga belajar
dari sumber-sumber yang dapat diperoleh untuk mengetahui bagaimana
memakai jasa bank, bagaimana membuka rekening dan memperoleh
pinjaman. Ada yang menganggap pendidikan tidak lagi dianggap barang
mewah, malah sebaliknya pendidikan menjadi suatu kebutuhan dalam
mempersiapkan kehidupan hari esok yang tidak dapat lagi diramalkan,
namun demikian pendidikan adalah sebenarnya, esensi dari pendidikan itu
sendiri adalah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan,
teknologi, ide-ide, etika dan nilai-nilai spritual serta etika. Kenyataan yang
ada upaya pengembangan kreativitas saat ini belum banyak dilakukan.
Kemampuan berpikir kreatif tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi
perlu adanya persiapan, salah satunya melalui proses pendidikan. Hal ini
mengimplikasikan bahwa perlu adanya upaya pengembangan kreatifitas
dalam proses pendidikan.
Dengan harapan pendidikan itu akan menjadi modal bagi setiap
individu atau kelompok masyarakat untuk mencapai apa yang diinginkan
dan diharapkan. Adapun menurut Dacholfany bahwa Education is a basic
capital in the construction of which will determine the progress and
development of a nation, because with education, potential and resources
of each individual can be developed, is expected to built up human
personality conscious of its responsibility as an individual, being moral,
social beings and creatures of religion so it has a good character and
dignified, then education must be a top priority in the development of

22
Indonesia better, advanced and developed in the future, maksudanya
adalah pendidikan adalah modal dasar dalam pembangunan yang akan
menentukan kemajuan dan perkembangan suatu bangsa, karena dengan
pendidikan, potensi dan sumber daya masing-masing individu dapat
dikembangkan, adalah diharapkan untuk membangun kepribadian
manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang individu,
menjadi moral, makhluk sosial dan makhluk agama sehingga memiliki
karakter yang baik dan bermartabat, maka pendidikan harus menjadi
prioritas utama dalam pembangunan Indonesia yang lebih baik, maju dan
berkembang di masa depan.
Belajar tidak hanya dapat dilakukan melalui sekolah, tapi juga
melalui pertemuan-pertemuan informal (pelatihan) dan diskusi-diskusi
kelompok tempat mereka membicarakan masalah-masalah mereka,
dengan demikian diharapkan dapat membina dan menghasilkan sumber
daya manusia sehingga menghasilkan alumni yang bermutu dengan
memiliki wawasan ilmu pengetahuan, skill dan teknologi dan punya bekal
iman, takwa sehingga dapat menguasai, mengembangkan dan
mengaplikasikan dengan tetap dilandasi nilai-nilai agama, moral, dan
akhlak mulia sesuai dengan norma aturan agama maupun pemerintah,
dengan demikian adanya pendidikan untuk memahami bagaimana
menemukan solusi terbaik dalam mengembangkan kualitas pendidikan,
sedangkan pelatihan merupakan bagian dari pendidikan walaupun
pendidikan lebih bersifat filosofis dan teoritis, meskipun demikian
pendidikan dan pelatihan atau workshop memiliki tujuan yang sama yakni
pembelajaran.

c) Pengorganisasian dan Kontruksi


Agar menjadi kuat dan dapat menentukan nasibnya sendiri, suatu
masyarakat tidak cukup hanya disadarkan dan dilatih keterampilan, tapi
juga harus diorganisir dan dikontruksi, Organisasi adalah kumpulan
orang, proses pembagi-an kerja antara orang-orang tersebut dan adanya

23
system kerja sama atau system sosial diantara orang-orang tersebut.
Menurut Samsuni bahwa organisasi pada dasarnya merupakan kerja sama
antara dua orang atau lebih dalam rangka mencapai suatu tujuan, Menurut
penulis bahwa organisasi berarti bahwa segala hal dikerjakan dengan cara
yang teratur, ada pembagian tugas di antara individu-individu yang akan
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas masing-masing dan ada
kepemimpinan yang tidak hanya terdiri dari beberapa gelintir orang tapi
kepemimpinan diberbagai tingkatan, sedangkan kontuksi maksudnya agar
adanya tahap ide, perencanaan, kegitan pengembangan program,
penganggaran, pengadaan sumber daya hingga implementasi yang lebih
menekankan pada keinginan nyata atau kebutuhan nyata masyarakat
dalam sekelompok orang. Sehigga dengan adanya perorganisasian dan
kontruksi yang benar akan menghasilkan harapan yang diinginkan.

d) Pengembangan Kekuatan dan Inovasi


Kekuatan berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Bila
dalam suatu masyarakat tidak ada penyadaran, latihan atau organisasi,
orang-orangnya akan merasa tidak berdaya dan tidak mempunyai
kekuatan. Mereka berkata “kami tidak bisa, kami tidak punya kekuatan”.
Pada saat masyarakat merasa memiliki potensi atau kekuatan, mereka
tidak akan mengatakan lagi, “kami tidak bisa”, tetapi mereka akan berkata
“kami mampu!”. Masyarakat menjadi percaya diri. Nasib mereka berada
di tangan mereka sendiri. Pada kondisi seperti ini bantuan yang bersifat
fisik, uang, teknologi dan sebagainya. Pada setiap orang ada
kecenderungan atau dorongan untuk mewujudkan potensinya, untuk
mewujudkan dirinya; dorongan untuk berkembang dan menjadi matang.
Dorongan untuk mengungkapkan dan mengaktifkan semua kapasitas
seseorang. Hanya sebagai sarana perubahan sikap. Bila masyarakat
mempunyai kekuatan untuk melakukan inovasi dan motivasi misalnya,
setengah perjuangan untuk pembangunan sudah dimenangkan tetapi perlu

24
ditekankan kekuatan itu benar-benar dari masyarakat bukan dari satu atau
dua orang pemimpin saja.
Kekuatan masyarakat harus mengontrol kekuasaan para pemimpin
untuk melakukan inovasi, maka sangat penting ketika seseorang atau unit
pengambil keputusan, mencari penguatan terhadap keputusan inovasi
yang telah dibuatnya.34 Dengan harapan kekuatan dan inovasi yang ada
akan menimbulkan pembaruan yang lebih baik dan selain itu harus
didesain mengikuti irama perubahan tersebut, selama tidak melanggar
norma agama.

e) Membangun Dinamika
Dinamika orang miskin berarti bahwa masyarakat itu sendiri yang
memutuskan dan melaksanakan program-programnya sesuai dengan
rencana yang sudah digariskan dan diputuskan sendiri. Dinamika adalah
sesuatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu bergerak,
berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap
keadaan. Cartwright dan Zander mengartikan dinamika kelompok sebagai
suatu keadaan dalam kelompok, sehingga kelompok tersebut dapat
tumbuh dan berkembang secara alamiah dengan peraturan pengembangan
yang ada pada mereka dan hubungan-hubungan dikalangan anggota
kelompok itu hidup, bergerak, aktif, dan efektif dalam mencapai
tujuannya.
Dalam konteks ini keputusan-keputusan sedapat mungkin harus
diambil di dalam masyarakat sendiri, bukan di luar masyarakat tersebut.
Lebih jauh lagi, keputusan-keputusan harus diambil dari dalam
masyarakat sendiri. Semakin berkurangnya kontrol dari masyarakat
terhadap keputusan-keputusan itu, semakin besarlah bahaya bahwa orang-
orang tidak mengetahui keputusan-keputusan tersebut atau bahkan
keputusan-keputusan itu keliru. Hal prinsip bahwa keputusan harus
diambil sedekat mungkin dengan tempat pelaksanaan atau sasaran dalam
suatu organisasi misalnya. Untuk dapat mempertahankan keberadaan

25
organisasi, langkah yang harus ditempuh oleh seorang pemimpin adalah
dengan cara memahami serta dapat mengidentifikasi informasi yang
berkualitas sehingga dapat memecahkan masalah dan tantangan yang
dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian
akan menghasilkan kinerja yang baik dan maksimal sesuai dengan apa
yang diharapkan.

3 Konsep Pemberdayaan Masyarakat


Pengembangan masyarakat ( community development ) merupakan
konsep pembangunan masyarakat yang dikembangkan dan diterapkan sejak
dasawarsa 1960-an, yaitu dalam rencana pembangunan lima tahun 1956-1960
atau dikenal dengan nama Rencana Juanda yang disusun oleh Biro Perancang
Negara ( Zamhariri, 2008 ).Perserikatan Bangsa - Bangsa ( PBB ) bahkan
sejak tahun 1954 telah menggunakan istilah community development sebagai
suatu penggunaan berbagai pendekatan dan teknik dalam suatu program
tertentu pada masyarakat setempat sebagai kesatuan tindakan dan
mengutamakan perpaduan antara bantuan yang berasal dari luar dengan
keputusan dan upaya masyarakat yang terorganisasi. Program-program
tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mendorong prakarsa dan
kepemimpinan setempat sebagai sarana perubahan sesungguhnya. Di negara-
negara berkembang, program ini memberikan perhatian utama pada kegiatan-
kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas kehidupan warga
masyarakat, termasuk di dalamnya pemenuhan kebutuhan non-material (
Mohd. Shukri Abdullah, 1994 ).
James Christenson dan Jerry Robinson tahun 1980 seperti dikutip oleh
Lyon ( 1987 ) dalam Saharudin ( 2000 ) menyatakan bahwa dalam konsep
pembangunan masyarakat, komunitas digambarkan sebagai elemen-elemen
pokok masyarakat yang ada dalam batas geografis tertentu dimana mereka
dapat mengembangkan interaksi sosial dengan ikatan-ikatan psikologi satu
sama lain dan dengan tempat tinggal mereka. Selanjutnya James Christensen
mengidentifikasi tiga pendekatan dalam pengembangan masyarakat, yaitu

26
menolong diri sendiri ( self-help ), pendekatan konflik, dan pendampingan
teknik ( technical assistance ).
Dalam kajian-kajian tentang pemberdayaan masyarakat, para pakar
ilmu sosial lebih suka menggunakan istilah pengembangan masyarakat yang
sifatnya bottom updaripada pembangunan masyarakat yang cenderung
bersifat top down untuk menerjemahkan kata community development.
Pengembangan masyarakat dengan demikian merupakan suatu aktivitas
pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan. Syarat pembangunan
kerakyatan menurut Corten ( 1990 ) adalah tersentuhnya aspek-aspek
keadilan, keseimbangan sumberdaya alam dan adanya partisipasi masyarakat.
Dalam konteks seperti itu maka pembangunan merupakan gerakan
masyarakat, seluruh masyarakat, bukan proyek pemerintah yang
dipersembahkan kepada rakyat di bawah. Pembangunan adalah proses di
mana anggota-anggota suatu masyarakat meningkatkan kapasitas perorangan
dan institusional mereka dalam memobilisasi dan mengelola sumberdaya
untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang berkelanjutan dan merata
dalam kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri.
Dalam konsep pembangunan masyarakat juga dikenal istilah
pemberdayaanyang berasal dari kata empowerment. Konsep ini digunakan
sebagai alternatif dari konsep-konsep pembangunan yang selama ini
dianggap tidak berhasil memberikanjawaban yang memuaskan terhadap
masalah-masalah besar, khususnya masalahkekuasaan (power) dan
ketimpangan (inequity) ( Kartasasmita, Ginandjar 1996 ).
Pemberdayaan adalah suatu proses menolong individu dan kelompok
masyarakat yang kurang beruntung agar dapat berkompetisi secara efektif
dengan kelompok kepentingan lainnya dengan cara menolong mereka untuk
belajar menggunakan pendekatan lobi, menggunakan media, terlibat dalam
aksi politik, memberikan pemahaman kepada mereka agar dapat bekerja
secara sistematik, dan lain-lain ( Ife, 1995 ). Sedangkan Friedman ( 1992 )
mengatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah politik pembangunan
alternatif yang menekankan keutamaan politik sebagai sarana pengambilan

27
keputusan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang berlandaskan
pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi, dan
pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung.
Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini
mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people
centred, participatory, empowering, and sustainable” ( Chambers, 1995 ).
Konsep ini lebih luas dari hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar ( basic
needs ) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan
lebih lanjut. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk
mencari apa yang antara lain oleh Friedman ( 1992 ) disebut
sebagai alternative development, yang menghendaki ‘inclusive democracy,
appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equaty”
( Kartasasmita, Ginanjar 1996 ).
Kaitan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat diuraikan dengan
sangat baik oleh Adi Fahrudin yang mengatakan bahwa pengembangan
masyarakat harus didasarkan pada asumsi, nilai, dan prinsip-prinsip agar
dalam pelaksanaannya dapat memberdayakan masyarakat berdasarkan
inisiatif, kemampuan, dan partisipasi mereka sendiri. Dengan demikian,
konsep pengembangan masyarakat yang di dalamnya terkandung makna
partisipatif harus benar-benar dapat memberdayakan masyarakat yang
ditunjukkan oleh kemampuan mereka menolong diri mereka sendiri ( self-
help ) dan dapat bersaing secara efektif dengan kelompok masyarakat
lainnya.

28
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Pada hakekatnya penelitian merupakan cara-cara yang sistematis untuk
menjawab masalah yang sedang diteliti (Jonathan Sarwono, 2006: 15). Oleh
sebab itu, untuk melakukan penelitian dibutuhkan sebuah pendekatan guna
menjawab masalah yang sedang diteliti sehingga diperolehlah data-data yang
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif.
Muhammad Idrus (2009: 21) mengemukakan ada dua jenis pendekatan
penelitian yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Kedua
pendekatan ini memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan yang paling
mendasar adalah penggunaan angka dalam kegiatan penelitian dan
menganalisis hasil penelitian. Suharsimi Arikunto (2002: 10) menjelaskan
bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti tidak menggunakan angka dalam
mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya.
Sebaliknya penelitian kuantitatif, banyak dituntut menggunakan angka, mulai
dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan hasilnya.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Sanggar Kreativitas Anak (SKA)
Al-Ulfah yang beralamat di Jln. Raya By Pass KM 28 Cicalengka Kampung
Cukang Lemah Desa Tenjolaya Kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung
sebagai lokasi penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain
Sanggar Kreativitas Anak (SKA) Al-Ulfah mempunyai pendekatan yang
berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu dengan menggunakan
fasilitas masyarakat sebagai pendekatan pembelajaran dan mempunyai konsep
bahwa anak-anak adalah masa bermain bukan pada penekanan hasil belajar
tetapi pada proses di mana anak melakukan suatu kegiatan serta membantu

29
anak memiliki rasa kepercayaan diri dan kemandirian dengan menggunakan
pembelajaran yang menarik. Adapun pengambilan data dilakukan pada bulan
Maret-April 2019.

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Oprasional


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
mode of inquiry qualitative interactive, yaitu studi yang mendalam dengan
menggunakan teknik pengumpulan data langsung dari orang dalam lingkungan
alamiahnya. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, yaitu pendekatan yang diarahkan pada latar dan individu secara
holistik (utuh), sehingga dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau
organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi memandangnya sebagai
bagian dari suatu keutuhan. Menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip
Moleong metodologi kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati.
Sukmadinata mengungkapkan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu
bentuk penelitian yang paling mendasar dan ditujukan untuk mendeskripsikan
atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang
bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia. Adapun studi kasus (case study)
merupakan metode untuk menghimpun dan menganalisis data berkenaan
dengan sesuatu kasus. Studi kasus merupakan suatu penelitian yang dilakukan
terhadap suatu "kesatuan sistem". Kesatuan ini dapat berupa program,
kegiatan, peristiwa, atau sekelompok individu yang terikat oleh tempat, waktu
atau ikatan tertentu. Peneliti menginterpretasikan fenomena-fenomena
bagaimana orang mencari makna daripadanya. Peneliti membuat suatu
gambaran yang kompleks, dan menyeluruh dengan deskripsi detil dari
kacamata para informan. Peneliti interaktif mendeskripsikan konteks dari
fenomena dan secara berkelanjutan merevisi pertanyaan berdasarkan
pengalaman lapangan.
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini sesuai

30
dengan kebanyakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
metode deskriptif analitik dengan variasi studi kasus. Metode deskriptif
analitik merupakan metode penelitian yang menekankan kepada usaha untuk
memperoleh informasi mengenai status atau gejala pada saat penelitian,
memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, juga lebih jauh
menerangkan hubungan, serta menarik makna dari suatu masalah yang
diinginkan.

31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Obyek Penelitian


1. Sejarah Sanggar Kreativitas Anak (SKA) Al-Ulfah.
Sanggar Kreativitas Anak (SKA) Al-Ulfah adalah salah satu lembaga
nonformal yang terletak di Kampung Cukang Lemah RW 10 Desa Tenjolaya
Kecamatan Cicalengka Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat.
Lembaga ini mulai aktif pada bulan Februari Tahun 2003. Bermula dari
pengajian anak-anak usia Taman Kanak-kanak (TK) dan Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), kemudian berkembang menjadi Sanggar Kreativitas yang
berfungsi membantu anak-anak usia sekolah dari mulai tingkat dasar sampai
tingkat menengah dalam memdalami materi pelajaran di sekolahnya.
Pada sekitar Tahun 2002/2003 perhatian Masyarakat Kampung Cukang
Lemah RW 10 Desa Tenjolaya terhadap pendidikan formal sangat kurang,
masyarakat merasa cukup apabila anaknya telah menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar. Sebagian kecil mengenyam pendidikan tingkat SMP, dan
sangat jarang sekali yang melanjutkan sampai tingkat SLTA.
Disamping kurangnya perhatian terhadap pendidikan formal, perhatian
masyarakat terhadap nilai-nilai keagamaan pun kurang, hal ini bias dilihat
dengan tidak terurusnya mushola di kampung tersebut, selepas menamatka
pendidikan sekolah dasar, anak-anak hanya membantu orang tua nya di
lading, ataupun menggembalakan ternak.
Berdasarkan keprihatinan kondisi diatas, Sanggar Kreatifitas Anak
(SKA) Al-Ulfah ikut serta membantu memberi penyadaran kepada
masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Oleh sebab itu tujuan utama
didirakannya SKA Al-Ulfah adalah memberikan edukasi dan motivasi
terhadap masyarakat, terutama masyarakat RW 10 Desa Tenjolaya tentang
pentingnya pendidikan.
Bentuk edukasi dan motivasi yang dilakukan oleh SKA Al-Ulfah
adalah memberikan bimbingan langsung kepada orang tua dan anak tentang

32
pemecahan kesulitan anak dalam belajar di sekolah formal, baik tingkat Pra
dasar, dasar, maupun menengah.
Pola pengelolaan serta Rekruitmen tenaga pengajar di Sanggar
kreativitas Anak Al-Ulfah berbeda dengan pengeloalaan di lembaga
pendidikan lainnya, di SKA Al-Ulfah tidak ada rekruitmen tenaga pengajar.
Tenaga pengajar melibatkan unsur masyarakat yang mampu memberikan
bimbingan terhadap peserta didik, di samping itu tenaga pengajar disiapkan
dari alumni yang telah terlebih dahulu aktif di SKA Al-Ulfah. mayoritas
pengajar di SKA Al-Ulfah adalah warga binaan sanggar dengan kualifikasi
pendidikan SMP dan SMA yang telah bekerja sebagai buruh pabrik di
wilayah Rancaekek-cicalengka.

2. Visi, Misi dan Strategi Sanggar Kreativitas Anak Al-Ulfah


I. VISI
“Terwujudnya lembaga berbasis Islam yang unggul dalam bidang
sosial/pendidikan, kemanusiaan dan Keagamaan, untuk membangun
Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengantarkan masyarakat
berpendidikan, berbudaya, berkepribadian dan berakhlakul karimah”.

II. MISI
1. Membangun pusat dakwah, sosial dan pendidikan yang berbasis
pada pemberdayaan masyarakat.
2. Membangun citra/kepribadian yang mencintai/bangga menjadi
bangsa Indonesia dan menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya.
3. mengantarkan anak yatim piatu, fakir miskin dan orang jompo yang
beragama Islam sebagai bagian muslim yang berpendidikan dan
bermartabat.
4. Menyelenggarakan berbagai layanan sosial dalam membantu
pemberdayaan umat Islam.
5. Memberikan layanan kesehatan yang berkualitas.

33
III. TUJUAN
1. Meningkatkan SDM dan fasilitas pendidikan, pendidikan yang
memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang diandalkan
masyarakat.
2. Mengembangkan dakwah di masyarakat demi terciptanya manusia
unggul, taqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, cakap, terampil
dan bertanggung jawab terhadap agama, bangsa dan negara
3. Meningkatkan kesadaran umat akan
cinta/bangga/berkarakter/berkepribadian menjadi bangsa Indonesia
4. Membantu pemerintah dalam hal anak yatim, fakir miskin dan
jompo

IV. STRATEGI
1. Membangun Pesantren, Madrasah dan Mesjid sebagai pusat dakwah
2. Membekali tenaga-tenaga pengajar yang profesional dengan ikhlas
3. Mengadakan hubungan dengan lembaga pendidikan dan ilmu
pengetahuan disekitarnya
4. Memberikan santunan beasiswa terhadap anak Yatim, fakir miskin
dan jompo
5. Membangun usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat
sekitarnya.

4.2 Paparan Hasil Penelitian


1. Aktualisasi Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
a) Penyadaran
Untuk dapat maju atau melakukan sesuatu, khusunya dalam
pendidikan, orang harus dibangunkan dari tidurnya sehingga memiliki
kesadaran dan tidak memiliki sikap ketergantungan dengan siapapun,
Demikian masyarakat juga harus dibangunkan dari “tidur”
keterbelakangannya, dari kehidupannya sehari-hari yang tidak
memikirkan Masa depannya.

34
Dari hasil observasi peneliti dilapangan menunjukkan bahwa
aktualisasi Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat dari segi
penyadaran masyarakat tentang pentingnya pentingnya pendidikan dan
penanaman nilai keagamaan melalui sanggar kreativitas Anak Al-Ulfah
sangat bagus, dimana ini didasarkan pada pengamatan peneliti terhadap
kondisi dan realitas yang ada, begitu juga dengan hasil wawancara peneliti
dengan tokoh masyarakat yang menyatakan bahwa pada sebelum Tahun
2003 hanya beberapa orang yang mengenyam pendidikan SMA,
sedangkan saat ini hampir seluruh anak di wilayah kampong Cukang
Lemah melanjutkan pendidikan sampai tingkat SMA, bahkan ada 2 orang
yang melanjutkan ke Perguruan tinggi. Ada salah satu putra Kampung
Cukang Lemah yang berhasil menjadi polisi dan sekarang bertugas di
Polsek Kadungora Garut.
Dari segi pemahaman nilai keagamaanpun meningkat, hal ini ditandai
dengan adanya bernbagai acara keagamaan di Kampung Cukang Lemah,
seperti pengajian rutin, peringatan Hari Besar Keagamaan, dan lain-lain.

b) Pendidikan dan Pelatihan


Dari hasil observasi peneliti dilapangan menunjukkan bahwa
aktualisasi Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat dari segi
pendidikan dan pelatihan di Kampung Cukang lemah bias dikatakan
bagus, hal ini berdasarkan informasi dari ketua kader PKK Desa
Tenjolaya, beliau mengungkapkan bahwa dahulu sebelum ada SKA Al-
Ulfah program PKK dan Posyandu di RT. 03 RW. 10 Desa Tenjolaya tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya, sekarang setelah beberapa tahun
SKA Al-Ulfah berdiri, selain digunakan untuk tempat belajar anak-anak,
tempat tersebut juga digunakan oleh masyarakat sebagai tempat
bermusyawarah dan sosialisasi program desa dan kecamatan.

35
c) Pengorganisasian dan Kontruksi
Agar menjadi kuat dan dapat menentukan nasibnya sendiri, suatu
masyarakat tidak cukup hanya disadarkan dan dilatih keterampilan, tapi
juga harus diorganisir dan dikontruksi, Organisasi adalah kumpulan orang,
proses pembagian kerja antara orang-orang tersebut dan adanya system
kerja sama atau system sosial diantara orang-orang tersebut.
Dari hasil observasi peneliti dilapangan menunjukkan bahwa
aktualisasi Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat dari segi
Pengorganisasian dan Kontruksi di Kampung Cukang lemah berhasil
dibangun, hal ini berdasarkan informasi dari ketua RT. 03 bahwa setelah
adanya SKA Al-Ulfah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat
belajar anak-anak, juga digunakan sebagai pusat kegiatan masyarakat
sebagai tempat bertukarpikiran serta bersosialisasi antara satu dengan yang
lainnya, sehingga terwujud perasaan saling tolong-menolong serta saling
memperhatikan antara satu dengan yang lainnya.

d) Pengembangan Kekuatan dan Inovasi


Melalui perjuangan panjang, SKA Al-Ulfah mampu membangun
kepercayadirian masyarakat Kampung Cukang Lemah, sehingga
masyarakat tidak mudah dipengaruhi oleh isu-isu negatif yang
berkembang diluar masyarakat.
Masyarakat Cukang Lemah mampu meciptkan pupuk pertanian
untuk mengolah tanahnya dan tidak bergantung kepada produk dari luar.

e) Membangun Dinamika
Bersama SKA Al-Ulfah, Masyarakat Kampung Cukang Lemah
mampu menyusun program ke depan serta dapat memutuskan dan
melaksanakan program-programnya sesuai dengan rencana yang sudah
digariskan dan diputuskan sendiri.

36
2. Kendala yang dihadapi SKA Al-Ulfah dalam memberdayakan
Masyarakat Kampung Cukang Lemah
Disamping beberapa keberhasilan yang diraih oleh SKA Al-Ulfah
bersama-sama dengan Masyarakat Kampung Cukang Lemah, juga ada
beberapa tantangan yang dihadapi dalam proses pemberdayaan masyarakat,
tantangan tersebut adalah :
1. Pengurusan Ijin Operasional dari pemerintah.
Lembaga mendapat kesulitan dalam pengurusan ijin operasional dari
pemerintah, hal ini disebabkan karena personil yang terlibat dalam
kegiatan di SKA Al-Ulfah tidak memiliki kualifikasi pendidikan yang
memadai, mayoritas tenaga pengajar di SKA Al-Ulfah adalah lulusan
SMP/MTs dan SMA/MA,
2. SKA Al-Ulfah tidak memiliki Guru Bahasa Inggris yang baik.
Salah satu kebutuhan pendidikan sekarang adalah kemampuan berbahasa
Inggris yang baik, Faktor biaya yang membuat SKA Al-Ulfah tidak
mampu mendatangkan Guru Bahasa Inggris untuk membantu
membimbing peserta didik.
3. Biaya Operasional
Biaya operasional SKA Al-Ulfah bersumber dari masyarakat serta donasi
dari para alumni yang telah bekerja. Meskipun biaya bukan kendala
utam, namun seiring perkembangan jaman, factor ini menjadi sangat
penting apabila akan diadakannya sebuah acara atau kegiatan guna
menanamkan motivasi terhadap peserta didik.
Demikian kendala yang dihadapi oleh SKA Al-Ulfah dalam proses
pemberdayaan masyarakat, disamping kendala-kendala kecil yang ada.

37
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pendidikan nonformal yang dilaksanakan oleh Snggar Kreativitas Anak
Al-Ulfah cicalengka adalah usaha yang terorganisir secara sistematis
dan kontinyu di luar sistem persekolahan, melalui hubungan sosial
untuk membimbing individu, kelompok dan masyarakat agar memiliki
sikap dan cita-cita sosial ( yang efektif ) guna meningkatkan taraf hidup
dibidang materil, sosial dan mental dalam rangka usaha mewujudkan
kesejahteraan sosial.
2. Sanggar Kreativitas Anak (SKA) Al-Ulfah adalah salah satu lembaga
pendidikan nonformal yang seutuhnya dibenuk, dikembangkan, serta
dikelola oleh masyarakat. Lembaga ini mempunyai perana penting
dalam pembentukan karakter masyarakat, terutama di Kampung
Cukang Lemah Desa Tenjolaya Kecamatan Cicalengka. Pembaharuan
karakter yang dibentuk ole SKA Al-Ulfah adalah meliputi
pemberdayaan dalam penyadaran berpikir, perubahan pola belajar serta
dapat membangun dinamika baru dalam kehidupan masyarakat..
3. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan
ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan
paradigma baru pembangunan, yang bersifat people centred,
participatory, empowering, and sustainable.

B. SARAN
Keterlibatan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi sungguh
sangat menentukan, utamanya dalam mengejar ketertinggalan negara ini dari
negara- negara lain. Keberhasilan pembangunan itu snagat ditentukan oleh
faktor manusia, dan manusia yang menentukan keberhsilan pembangunann
itu haruslah manusia yang mempunyai kemampuan membangun. Dan

38
kemampuan membangun hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Oleh
karena itu, pemerintah sebaiknya mengupayakan tidak hanya tercapainya
pendidikan formal, namun juga pendidikan non formal agar terciptanya dan
berkembangnya sumber daya yang religius, penuh kesadaran, berkepribadian,
cerdas, berperilaku serta memiliki kreativitas tinggi sehingga siap untuk
mengisi pembangunan.

39
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 49 tentang
Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Satuan Pendidikan Non
Formal.2007.Jakarta:Mendiknas.
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
Dan Tenaga Kependidikan Direktorat Pendidik Dan Tenaga Kependidikan
Pendidikan Nonformal , Standar Kompetensi PTK-PNF dan Sistem
Penilaian, 2006.
Joesoef., Soelaman, Konsep Dasar Pendidikan non formal, Jakarta: Bumi Aksara.
1992.
Samsuni, Manajemen Sumber Daya Manusia, Al Falah, Vol. XVII No. 31 Tahun
2017.
Sukmana, Cucu., Pengaruh Metode Penyadaran Dalam Meningkatkan Minat Baca
Warga Belajar Keaksaraan , Jurnal Akrab, Vol.5, Edisi 1, 2017.
Susanto, Eko., Penggunaan Media Dalam Proses Bimbingan Kelompok Untuk
Mengembangkan Kreativitas, Jurnal Guidena Vol 2. No.l, September
2012.
Buddy Robinson., Strategies for Community Empowerment: Direct Action And
Transformative Approaches To Social Change Practice, EmText : New
York, 1994.
Bafadhol, Ibrahim, Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jurnal Edukasi
Pendidikan Islam, Vol.06.No.11, Januari 2017.
Dacholfany, M. Ihsan, Leadership Style in Character Education at The Darussalam
Gontor Islamic Boarding, Al-Ulum Volume 15 Number 2 December 2015.
———. Peranan Pengambilan Keputusan Dalam Rangka Menciptakan Inovasi Di
Bidang Pendidikan, Jurnal Dewantara Vol.I , No.01 Januari – Juni 2016.
———. Reformasi Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Era Globalisasi: Sebuah
Tantangan dan Harapan , Jurnal Akademika, Vol. 20, No. 01 Januari-Juni
2015.

40
Hidayatun Nur, Peranan Sanggar Kegiatan, Purwokerto Dalam Membangun
Pendidikan, FKIP UMP, 2013.
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif., Remaja Rosdakarya, 2000.
Sukmadinata, N.Sy., Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda, 2008.
Sulistyani, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan, Yogyakarta : Graha Ilmu,
2004.
Napitupulu, P. Washington Mengapa Perlu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan
Untuk Pendidikan Luar Sekolah (Nonformal), Jurnal Ilmiah VISI PTK-
PNF - Vol. 1, No.2, 2006.

41

Anda mungkin juga menyukai