Anda di halaman 1dari 9

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan

Disusun Oleh :
Natalia Yenisa br. Tamba
XII IPS 1

SMA NEGERI 1 SIDIKALANG


Tahun Pelajaran 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik
Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu sektor penting yang secara langsung
memberikan kontribusi terbesar dalam mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah
sektor pendidikan.
Tonggak penting pembangunan pendidikan setelah kemerdekaan adalah disahkannya Undang-
Undang No. 4 Tahun 1950 jo Undang-Undang no. 12 Tahun 1954. Undang-undang ini merupakan dasar
hukum Sistem Pendidikan Nasional yang pertama diundangkan. Dalam perkembangan kehidupan
bangsa, Sistem Pendidikan Nasional diatur dengan undang-undang yang sudah dua kali berubah, yaitu
UU No. 2 Tahun 1989 maupun UU No. 20 Tahun 2003.
Semua orang berhak mendapatkan pendidikan, dimana dalam hal ini telah tercantum dalam pasal
31 UUD 1945. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi untuk menempuh
pendidikan.
Mengenai tujuan pendidikan di Indonesia, sebagaimana telah dituangkan dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang progam wajib belajar 9 (sembilan) tahun bagi warga negara Indonesia yang
berumur 7-15 tahun. Tindakan yang dilakukan agar siswa bisa mengenyam pendidikan tanpa adanya
hambatan haruslah ada kerjasama yang baik antara pihak Pemerintah, masyarakat dan juga orangtua
siswa.
Namun, meskipun pemerintah sudah mencanangkan program ini, pelaksanaannya masih belum
maksimal. Terkait dengan hal tersebut, maka peneliti tertarik mengkaji untuk mengetahui lebih
mendalam tentang angka putus sekolah di Indonesia. Sehingga peneliti mengangkat judul penelitian
yaitu “Angka Putus Sekolah yang Masih Tinggi”.

1.2 Rumusan Masalah

Secara umum, rumusan masalah pada makalah ini adalah mengapa angka putus sekolah di
Indonesia masih tinggi dan bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulanginya?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pentingnya Pendidikan Formal (Sekolah)

Dalam Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyatakan
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab , manusia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan”.
Cara penghidupan suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikan. Pendidikan
formal dijalankan oleh sekolah. Masyarakat yang tidak menyadari pentingnya pendidikan akan menjadi
masyarakat yang minim pengetahuan, kurang keterampilan, dan kurang keahlian.

2.2 Masalah Putus Sekolah

Putus sekolah adalah tidak terselesaikannya seluruh masa belajar pada suatu jenjang pendidikan.
Hal ini berarti, putus sekolah ditujukan kepada sesorang yang pernah bersekolah namun berhenti untuk
bersekolah.
Undang-Undang yang mengatur mengenai terlaksananya pendidikan bagi warga negara
diantaranya:
1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 48 dan 49
Pasal 48 “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal
9 (sembilan) tahun untuk semua anak”.
Pasal 49 “Negara, pemerintah, pemerintah daerah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.
2. UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2)
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 9 ayat (1) dan (2)
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang
cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

4. Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 Pasal 34 ayat (1) dan (3)


(1) Setiap warga negara yang berusia enam tahun dapat mengikuti program wajib belajar
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan Pemerintah Daerah dan masyarakat

2.3 Faktor Penyebab Tingginya Angka Putus Sekolah

2.3.1 Faktor Internal

1. Kurangnya Minat Anak Untuk Bersekolah


Dukungan dari orang tua untuk memberikan semangat kepada anaknya akan pentingnya
pendidikan untuk masa depan. Kurangnya minat anak untuk bersekolah juga sebenarnya bukan
saja datang dari orang tua melainkan juga dari anak itu sendiri. Adanya siswa yang putus sekolah
karena terkadang adanya perbedaan keinginan antara anak dan orang tua, dimana orang tua
menginginkan anaknya untuk bersekolah di sekitar tempat tinggalnya, sedangkan anaknya
menginginkan untuk bersekolah ke daerah lain.
2. Ketidakmampuan Mengikuti Pelajaran
Anak yang merasa pelajaran yang diberikan guru di sekolah sangat sulit baginya, dan malah
terkadang apabila tidak paham maka dia lebih memilih diam dan tidak mau bertanya. Merasa tidak
percaya diri juga dengan jawaban sendiri.
3. Kondisi fisik yang lemah atau cacat
Kondisi ini akan menghambat tercapainya hasil belajar yang maksimal. Selain itu kecacatan
fisik (panca indera atau fisik) akan memengaruhi psikologis anak. Cacat fisik membuat anak tidak
dapat malakukan aktivitas belajar di sekolah dengan baik, sehingga perlu disediakan sekolah yang
bisa menampungnya sesuai dengan cacat yang disandang. Misalnya bagi penyandang tuna netra
bersekolah di SLBA, tuna rungu bersekolah di SLBB, dan sebagainya.
4. Peserta didik drop out karena keinginan sendiri.
Hal ini dapat dipicu karena tidak ada lagi keinginan untuk bersekolah sehingga memutuskan
untuk keluar dari sekolah.
5. Kasus pidana
Pidana yang dialami peserta didik untuk beberapa tahun bisa menjadikan peserta didik drop out
dari sekolah.
2.3.2 Faktor Eksternal

1. Latar Belakang Pendidikan Orang Tua


Rata-rata pendidikan orang tua yang anaknya putus sekolah adalah merupakan golongan
masyarakat yang juga mengalami putus sekolah dan sebagian dari mereka tidak pernah
mengenyam pendidikan. Kemudian mereka rata-rata beranggapan bahwa pendidikan tidaklah
begitu penting, yang terpenting adalah bagaimana anak mereka bisa membantu memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Lemahnya Ekonomi Keluarga
Kesulitan ekonomi menyebabkan anak harus berhenti sekolah karena orang tuanya tidak
mempunyai uang untuk biaya sekolah anaknya. Hal ini banyak terjadi pada daerah pedesaan,
mereka merasa biaya pendidikan terlalu mahal sehingga mereka tidak mampu menyekolahkan
anak mereka. Tidak jarang terjadi orang tua meminta anaknya berhenti sekolah karena mereka
membutuhkan tenaga anaknya untuk membantu pekerjaan orang tua.
Misalnya di daerah perkotaan, anak putus sekolah di bawah umur, bekerja di pabrik- pabrik
untuk membantu ekonomi orang tua. Adapun di daerah pedesaan orang tua lebih memilih agar
anak mereka membantu bekerja mencari ikan di laut sebagai nelayan untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka.
3. Pandangan Masyarakat terhadap Pendidikan
Dalam pandangan masyarakat tradisional, pendidikan saat ini adalah keniscayaan. Di
masyarakat, tetap saja masih ada sekelompok yang memiliki pola pikir sempit yang menganggap
pendidikan itu bukanlah yang terpenting. Pola pikir sempit dimana kesuksesan diukur dari
banyaknya harta yang dimilki, yang dapat di peroleh meskipun tidak banyak mengenyam
pendidikan.
4. Kondisi Lingkungan Anak
Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap semangat anak-anak untuk melanjutkan
pendidikan di bangku sekolah. Besarnya pengaruh dari anak-anak yang tidak bersekolah akan
membuat anak-anak yang sekolah juga terpengaruh untuk berhenti sekolah.

2.4 Upaya Pemerintah dalam Menanggulangi Tingginya Angka Putus Sekolah

Pendidikan merupakan tanggung jawab dari semua pihak, mulai dari keluarga, masyarakat dan
terkhusus pemerintah. Kebijakan di bidang pendidikan sudah banyak dilakukan baik melalui undang-
undang maupun program-program. Salah satu upaya pemerintah untuk melaksanakan kewajibanya
adalah melaksanakan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Enam Tahun (WAJAR 6 tahun) yang
telah dicanangkan pada tahun 1984. Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 1994, pemerintah Indonesia
mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Pada tahun 2003, kita ditantang untuk mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia. Program
wajib belajar pada tahun 2003 pasal 6 (1) yang menyatakan bahwa: “Setiap warga negara yang berusia
tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar” dengan arti kata, melalui
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun berarti bahwa semua warga negara yang berumur tujuh
sampai lima belas tahun akan dipersiapkan sedemikian rupa melalui pendidikan yang akan dijalaninya.
Presiden Joko Widodo memberikan amanat yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 untuk penerapan Wajib Belajar 12 tahun di semua
sekolah yang bertujuan untuk memberikan layanan, perluasan, dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia usia sampai dengan 21 tahun
sampai dengan jenjang pendidikan menengah .
Pemerintah tengah melakukan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas). Revisi tersebut akan disinkronkan dengan isi Peta Jalan Pendidikan (PJP) Indonesia 2020-
2035. Salah satu revisi UU Sisdiknas tersebut adalah konsep wajib belajar peserta didik. Wajib Belajar
di UU Sisdiknas masih 9 tahun dan di konsep peta jalan sudah 12 jalan. Artinya, di UU Sisdiknas yang
baru, konsep wajib belajar tersebut akan diubah mengikuti PJP yakni ketentuan wajib belajar dari
sembilan menjadi 12 tahun. Peta jalan ini merupakan konsep peta jalan generasi emas,
memformulasikan ulang langkah strategi implementasi pada peta jalan generasi emas dengan melihat
beberapa faktor atau latar yang terjadi dengan harapan percepatan pencapaian tujuan pendidikan.
Di 2045, pemerintah mengharapkan seluruh anak Indonesia yang berada dalam usia jenjang pendidikan
dapat menikmati pendidikan. Tidak ada lagi disparitas pendidikan yang terjadi di Indonesia di segala
aspek.
Untuk mewujudkan wajib belajar 12 tahun tersebut, pemerintah akan melakukan intervensi dengan
target Angka Partisipasi Kasar (APK) tahun 2020 sebesar 93,6 persen. Pemerintah juga akan melakukan
pembangunan gedung sekolah menengah, sekitar 900 unit sekolah baru. Unit sekolah baru tersebut
terdiri dari 450 untuk pendirian SMA, dan 450 SMK.
Selain itu, pemerintah memberi bantuan melalui Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan
wajib belajar 9 tahun yang artinya pendidikan gratis dari jenjang SD sampai SMP dari tahun 2008.
Kemudian program Pendidikan Universal yang merupakan upaya pemerintah untuk menyediakan
pendidikan sampai tingkat menengah pada tahun 2013. Tiga tahun berikutnya, berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Pendidikan No 19 Tahun 2016 diberikan Kartu
Indonesia Pintar bagi anak yang kurang mampu dan diberikan kepada anak usia 6- 21 tahun.
Kebijakan pemerintah bidang pendidikan lainnya diwujudkan dalam bentuk anggaran pendidikan
yaitu alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui Kementerian
Negara/Lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa, dan alokasi
anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk
anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung
jawab Pemerintah.” (Pasal 1 Angka 40 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016). Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 terkait
Sistem Pendidikan Nasional, Persentase Anggaran Pendidikan ditetapkan minimal 20 persen dari
APBN. Kebijakan pendidikan yang menjadi variabel dari penelitian ini adalah bantuan pendidikan yang
diberikan pada siswa kurang mampu. Baik yang diberikan langsung kepada siswa seperti KIP maupun
bantuan pendidikan dari sekolah.
Selain itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional bekerja sama dengan UNICEF
Indonesia telah menyusun Stranas penanganan anak tidak sekolah. Stranas ini bertujuan untuk
memastikan adanya penguatan, perbaikan, perluasan dan kordinasi yang lebih baik dan efektif dari
berbagai program dan inisiatif pemerintah, serta masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pendidikan
anak-anak di Indonesia. Upaya penanganan isu anak tidak sekolah di Indonesia melalui Stranas ATS
dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional di bidang pendidikan yang
tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Di
tingkat global, Stranas ATS juga akan berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya tujuan nomor empat, yaitu
menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta peningkatan kesempatan belajar sepanjang
hayat untuk semua anak.

Jumlah siswa putus sekolah mencapai 75.303 orang pada tahun ajaran 2020/2021. Jumlah tersebut
menurun 10,05% dari tahun ajaran sebelumnya yang mencapai 83.724 siswa. Hal ini menjadi indikator
yang membuktikan keberhasilan pemerintah dalam menanggulangi tingginya angka putus sekolah

Keterangan :
SD
SMP
SMA
SMK
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat,
jumlah siswa putus sekolah mencapai 75.303 orang pada tahun ajaran 2020/2021. Jumlah tersebut
menurun 10,05% dari tahun ajaran sebelumnya yang mencapai 83.724 siswa. Secara rinci, jumlah siswa
yang putus sekolah di jenjang Sekolah Dasar (SD) mencapai 38.176 orang. Jumlah itu menurun 14,24%
dari tahun sebelumnya yang sebanyak 44.516 orang. Untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP),
jumlah siswa yang putus sekolah sebanyak 15.042 orang. Jumlah tersebut naik 32,20% dari tahun 2020
yang sebanyak 11.378 orang. Sebanyak 12.063 siswa yang putus sekolah di jenjang Sekolah Menengah
Atas (SMA) pada 2021. Angkanya menurun 13,08% dari tahun sebelumnya yang sebanyak 13.879
orang. Sedangkan, sebanyak 10.022 siswa putus sekolah di jenjang Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK). Jumlah itu turut menurun dari tahun sebelumnya yang sebanyak 13.951 orang.

Mnurut data yang dikutip dari BPS, angka anak yang tidak sekolah pada tahun 2021 juga menurun.
Pada jenjang SD/Sederajat, angkanya menurun 0,03 dari tahun sebelumnya. Pada jenjang
SMP/Sederajat, angkanya menurun 0,52 dari tahun sebelumnya. Pada jenjang SMA/Sederajat, angka
anak tidak sekolah menurun 0,8 dari tahun sebelumnya. Hal ini turut menjadi indikator yang
membuktikan keberhasilan pemerintah dalam menanggulangi tingginya angka putus sekolah.

Angka Anak Tidak Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan dan Daerah Tempat Tinggal

SD / Sederajat SMP / Sederajat SMA / Sederajat


Daerah Tempat Tinggal
2019 2020 2021 2019 2020 2021 2019 2020 2021
Perkotaan 0.48 0.31 0.34 5.18 5.83 5.29 19.46 18.11 17.27
Perdesaan 1.28 0.98 1.04 8.97 9.02 8.62 29.36 27.81 27.22
Perkotaan + Perdesaan 0.85 0.62 0.65 6.92 7.29 6.77 23.75 22.31 21.47
Sumber: Susenas, BPS
BAB III
PENUTUP

Simpulan
Putus sekolah adalah tidak terselesaikannya seluruh masa belajar pada suatu jenjang
pendidikan. Hal ini berarti, putus sekolah ditujukan kepada sesorang yang pernah bersekolah namun
berhenti untuk bersekolah. Undang-Undang yang mengatur mengenai terlaksananya pendidikan bagi
warga negara diantaranya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 48 dan 49, UUD Negara
Republik Indonesia 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 9 ayat
(1) dan (2), dan Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 Pasal 34 ayat (1) dan (3).
Faktor yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah dibagi menjadi faktor internal dan
eksternal. Faktor internal meliputi kurangnya minat anak untuk bersekolah, ketidakmampuan mengikuti
pelajaran, kondisi fisik yang lemah atau cacat, peserta didik drop out karena keinginan sendiri, kasus
pidana. Sedangkan faktor eksternal meliputi latar belakang pendidikan orang tua, lemahnya ekonomi
keluarga, pandangan masyarakat terhadap pendidikan, dan kondisi lingkungan anak.
Dalam menanggulangi permasalahan tingginya angka putus sekolah, pemerintah mencanangkan
program Wajib Belajar 9 tahun yang diupayakan oleh pemerintah menjadi Wajib Belajar 12 tahun.
Pemerintah memberi bantuan melalui Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), program
Pendidikan Universal untuk menyediakan pendidikan sampai tingkat menengah pada tahun 2013,
pemberian Kartu Indonesia Pintar bagi anak yang kurang mampu dan diberikan kepada anak usia 6- 21
tahun, anggaran pendidikan yaitu alokasi anggaran pada fungsi pendidikan, dan penyusunan Stranas
penanganan anak tidak sekolah yang bertujuan untuk memastikan adanya penguatan, perbaikan,
perluasan dan kordinasi yang lebih baik dan efektif dari berbagai program dan inisiatif pemerintah, serta
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak di Indonesia.
Keberhasilan pemerintah dalam menanggulangi tingginya angka putus sekolah ditunjukkan dari
umlah siswa putus sekolah mencapai 75.303 orang pada tahun ajaran 2020/2021 yang menurun 10,05%
dari tahun ajaran sebelumnya yang mencapai 83.724 siswa. Selain itu angka anak yang tidak sekolah
pada tahun 2021 juga menurun. Pada jenjang SD/Sederajat, angkanya menurun 0,03 dari tahun
sebelumnya, pada jenjang SMP/Sederajat, angkanya menurun 0,52 dari tahun sebelumnya dan pada
jenjang SMA/Sederajat, angka anak tidak sekolah menurun 0,8 dari tahun sebelumnya

Anda mungkin juga menyukai