Anda di halaman 1dari 16

MENOLAK KEBERADAAN ANAK NARAPIDANA DI SEKOLAH

Pro:
Kami setuju dengan penolakan keberadaan anak narapidana di sekolah. Karena akan
mengakibatkan pelaksananaan dari suatu kegiatan menjadi tidak maksimal. Dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 11 yakni: (1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara.
Ini bukan deskriminasi, akan tetapi lebih pada penyelamatan anak dari hal-hal negatif, misalnya
pengkucilan dan buliying bagi anak narapidana, dan bagi anak lain dapat berpotensi tertular
sifat buruknya. Sehingga perlu ada pemisahan anak narapidana dengan anak atau siswa lain
yang bukan nara pidana. Alasan lainnya dikarenakan anak nara pidana membutuhkan
pembinaan khusus yang berbeda dengan siswa lain.
Kewajiban Anak Mengikuti Pendidikan Formal
Pada dasarnya, setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak memperoleh pendidikan. Di
samping itu, kewajiban anak mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta merupakan salah satu tindakan yang dapat dikenakan
terhadap anak sesuai yang diamanatkan oleh UU SPPA.
 Pendidikan Anak dalam LPKA
Khusus soal anak dalam LPKA (anak yang dijatuhkan pidana penjara), mereka berhak
memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan
pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. LPKA
wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Program pendidikan dan
pembinaan ini diawasi oleh Balai Pemasyarakatan (“Bapas”).
 Pengaturan khusus mengenai kepentingan sekolah anak yang berhadapan dengan hukum
(termasuk saat menjalankan bimbingan di penjara), diatur berdasarkan Bab III huruf G tentang
Tugas dan Wewenang Kementerian Pendidikan Nasional Lampiran Peraturan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (“Permen
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 15/2010”) yang kami akses dari laman
resmi Kementerian Hukum dan HAM, dikatakan bahwa salah satu tugas Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan adalah memfasilitasi penyediaan dukungan sarana/prasarana
pendidikan sesuai kebutuhan penyelenggaraan layanan pendidikan bagi Anak yang
Berhadapan dengan Hukum (“ABH”) yang dilangsungkan di dalam LAPAS/RUTAN anak.
Salah satu tugas dan kewenangan dinas pendidikan daerah (provinsi dan kabupaten/kota)
dan/atau satuan pendidikan/sekolah dalam penanganan ABH, meliputi ABH berstatus sebagai
tersangka dan ditahan di RUTAN anak atau di kepolisian. Diharapkan dinas pendidikan atau
sekolah, orang tua, dan kepolisian atau pihak RUTAN harus tetap mengupayakan anak tidak
kehilangan hak-haknya untuk mengikuti setiap kegiatan pembelajaran, termasuk
keikutsertaannya dalam evaluasi pembelajaran, seperti ulangan harian, ulangan semester, ujian
akhir sekolah atau ujian akhir nasional.

 Sebagai contoh, berdasarkan sebuah studi tentang Penanganan Anak Yang Berkonflik Dengan
Hukum yang kami akses dari laman Kementerian Sosial RI diketahui bahwa pada beberapa
kondisi hunian di LP anak tidak jauh dengan kondisi hunian dewasa, dengan kamar mandi/WC
di dalam, dengan alas tidur bervariasi, beralaskan tikar, kasur tipis. Kecuali di LP anak Pare-
Pare, dijumpai hunian/kamar anak cukup “child friendly”, menggunakan tempat tidur tingkat dan
anak bebas menempel gambar-gambar sesuai dengan idola anak-anak remaja. Lebih lanjut
dikatakan bahwa hak anak untuk memperoleh pendidikan pada umumnya cukup
tersedia, semua LP Anak sudah melakukan kejar Paket A, B, dan C (Pendidikan Kesetaraan),
serta menyelenggarakan ujian akhir.
 Dalam sebuah Laporan Akhir Tentang Pengkajian Hukum Tentang Model Pembinaan Anak
Berbasis Pendidikan Layak Anak dalam Sistem Pemasyarakatan (2014) yang disusun oleh Tim
Pengkajian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI dari laman Badan Pembinaan Hukum Nasional (“BPHN”), disebutkan
bahwa berdasarkan Pasal 4, 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (“UU Sisdiknas”) dapat disimpulkan bahwa anak yang ditempatkan
dalam LPKA juga berhak mendapatkan pendidikan tanpa dibeda-bedakan dan pemerintah
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tersebut. Pendidikan yang diberikan pada
anak dapat berupa pendidikan formal, informal maupun nonformal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya. Pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Misalnya pelaksanaan Hak Memperoleh Pendidikan Bagi Anak Pidana di Lembaga
Pemasyarakatan Anak Klas IIA Kota Blitar. Selama menjalani masa hukuman di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Kota Blitar, setiap anak mendapatkan perlakuan yang
berbeda. Perbedaanini hanya berdasarkan pada kebutuhan masing-masing anak. Adalah
sebuah hal yang tidak masuk akal ketika anak usia SD disamakan perlakuannya dengan anak
usia SMP/SMA. Hal ini dilakukan agar setiap kebutuhan anak baik dari kebutuhan untuk tumbuh
kembangnya dan hak-hak anak dapat dipenuhi secara maksimal. Selama di dalam Lembaga
Pemasyarakatan, anak tidak hanya di tempatkan dalam sel-sel sehingga anak terisolir. Anak
juga mendapatkan pendidikan layaknya anak di luar Lembaga Pemasyarakatan. Pendidikan ini
tidak hanya terbatas pada pendidikan formal, namun juga pendidikan informal. Hal ini juga
dipertegas dengan perkataan dari KASI BINADIK . Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA
Kota Blitar. Beliau menjelaskan bahwa selama anak berada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan Anak Klas IIA Kota Blitar, pendidikan adalah hal terutama yang wajib diberikan
kepada anak. Pendidikan yang diberikan tidak hanya berupa pendidikan formal yang berupa
pembelajaran di dalam kelas, namun juga pendidikan informal yang bertujuan untuk
memberikan bekal keterampilan kepada anak pidana sekeluarnya dari Lembaga
Pemasyarakatan Anak Klas IIA Kota Blitar.

Kontra:
Kami tidak setuju dengan penolakan keberadaan anak narapidana di sekolah. Karena
Pendidikan adalah murni hak bagi seluruh orang. Pendidikan merupakan hak yang harus
didapatkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Negara menjamin setiap warga negaranya
mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Hak
mendapatkan pendidikan tercantum dalam Pasal 28C Ayat 1 dan Pasal 28E Ayat 1 dan secara
khusus pada Pasal 31. Kewajiban negara terhadap warga negara dalam bidang pendidikan
memiliki dasar lebih esensial karena juga menjadi tujuan dari adanya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945 yang berbunyi, “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, …”
Pendidikan merupakan hak asasi manusia setiap warga negara yang dijamin dengan UUD
1945. Pasal 28C Ayat 1 berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan
demi kesejahteraan umat manusia.” Sementara Pasal 28E Ayat 1 berbunyi, “Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.” Selain itu, setiap warga negara berhak mendapat dan
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pernyataan ini merupakan
bunyi Pasal 31 Ayat 1 dan 2. Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan.” Pentingnya pendidikan menjadikan pendidikan dasar bukan hanya
menjadi hak warga negara, namun juga kewajiban negara. UUD 1945 melalui Pasal 31 Ayat 2
bahkan mewajibkan pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar.

Pasal 31 Ayat 2 berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.” Dalam Pasal 31 Ayat 3, pemerintah wajib mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan keimanan
dan ketakwaan, serta akhlak mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara juga harus
memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Anggaran
ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana
diatur dalam Pasal 31 Ayat 4. Pada Pasal 31 Ayat 5, pemerintah juga harus memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Alasan selanjutnya karena itu termasukperbuatan deskriminas. Dalam Islam sendiri melarang
umatnyauntuk berlaku diskriminasi terhadap orang lain hanya karena perbedaan bangsadan
suku karena hal ini bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri.
Dalam surat Al Hujurat ayat 13 Allah SWT berfirman yang artinya,

“Hai manusia,sesungguhnya Kami menciptakan kamu sari seorang laki-laki dan seorang
perempuandan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allahialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah MahaMengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al Hujurat : 13).
Dari ayat tersebutjelaslah bahwa manusia diciptakan ke muka bumi ini memang berbeda satu
samalain. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah agar manusia dapat salingmengenal satu
sama lain.

Mengenal di sini jugabukan dimaksudkan untuk membeda-bedakan manusia melainkan untuk


memahami,menerima, dan menghargai perbedaan tersebut. Perbedaan yang ada juga
hendaknyatidak menjadi alasan untuk saling menyakiti, berbuat tidak adil, ataumerendahkan
manusia lainnya. Melihat perbedaan hanya untuk merendahkan oranglain dan menyombongkan
diri jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Allah SWT berfirman dalamsurat Al Hujurat ayat 11 yang artinya,

“Hai orang-orang yangberiman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan


yang lain,boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pulasekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkanitu lebih baik … “ (QS.
Al Hujurat : 11).
KEWAJIBAN PEMISAHAN PRIA DAN WANITA DALAM KEHIDUPAN ISLAM
Dalam kehidupan Islam, yaitu kehidupan kaum Muslim dalam segala kondisi merekasecara
umum, telah ditetapkan di dalam sejumlah nash syariah, baik yang tercantum dalamal-Quran
maupun as-Sunnah bahwa kehidupan kaum pria terpisah dari kaum wanita.Ketentuan ini
berlaku dalam kehidupan khusus seperti di rumah-rumah dan yang sejenisnya,ataupun dalam
kehidupan umum, seperti di pasar-pasar, di jalan-jalan umum, dan yangsejenisnya. Ketentuan
tersebut merupakan ketetapan berdasarkan sekumpulan hukum Islam(majmu al-ahkam) yang
berkaitan dengan pria, wanita, atau kedua-duanya; juga diambil dariseruan al-Quran kepada
kaum wanita dalam kedudukannya sebagai wanita dan kepada kaumpria dalam kedudukannya
sebagai pria. “laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-lakidan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyakmenyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan
pahala yangbesar” (QS al-Ahzab [33]: 35)Di samping itu, pemisahan pria dan wanita ini juga
telah diriwayatkan (marwiy)dalam bentuk pengamalan dan dilaksanakan dalam kehidupan
masyarakat oleh masyarakatIslam pada masa rasulullah SAW dan pada seluruh kurun sejarah
Islam. Adapun sekumpulandalil al-Quran dan as-Sunnah yang mendasari pemisahan ini,
dengan menelitinya akan kitadapati bahwa Allah SWT telah mewajibkan wanita memakai jilbab
jika hendak keluar rumah.Allah telah menjadikan wanita seluruhnya adalah aurat selain wajah
dan dua telapak tangannya
Dalam kehidupan Islam, yaitu kehidupan kaum muslim dalam segala kondisi mereka secara
umum, telah ditetapkan di dalam sejumlah nash syari’ah, baik yang tercantum dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah bahwa kehidupan kaum pria terpisah dari kaum
wanita. Ketentuan ini berdasarkan ketetapan berdasarkan sekumpulan hukum Islam
(majmu’ al-ahkam) yang berkaitan dengan pria, wanita atau kedua-duanya, juga diambil
dari seruan Al-Qur’an kepada kaum wanita dalam kedudukannya sebagai wanita dan
kepada kaum pria dalam kedudukannya sebagai pria. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat
35 Allah Swt berfirman:1 Fakih Mansour, Analisis Gender danTransformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. 2, 2002), hal. 16.
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan
yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab : 35).
Dari ayat di atas dapat dijelaskan bahwa Allah Swt telah menjadikan wanita seluruhnya adalah
aurat selain wajah dan dua telapak tangannya. Allah Swt mengharamkan wanita
untuk memperlihatkan perhiasannya terhadap selain mahram-nya. Allah pun telah melarang
kaum pria melihat aurat wanita, meskiun hanya sekedar rambutnya. Allah juga melarang
para wanita bepergian, meskipun untuk Haji jika tidak disertai mahram-nya.Pada dasarnya
gender dalam pendidikan yaitu pemisahan kelas siswa dengan kelas siswi dilakukan untuk
mencegah terjadinya fitnah dan pergaulan bebas yang tdak diharapkan, karena dalam
Islam sangat menjaga pergaulan laki-laki dan wanita yang bukan mahram.Berdasarkan uraian
di atas maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut2 Al-Qur’an, Kementerian Agama RI
2013.
Menurut Laili dalam Adakah ABK di Kelasku? (2013), kelompok belajar (kelas) terbagi atas dua
model, yaitu kelompok belajar homogen dan heterogen. Kelas homogen adalah kelas yang
terpisah antara laki-laki dan perempuan (tunggal gender), sedangkan kelas heterogen adalah
kelas campuran antara laki-laki dan perempuan. Karena dalam kelas heterogen terjadi
percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, maka kelas heterogen bisa
termasuk dalam kategori istilah fikih yang dikenal dengan sebutan ikhtilath.
Said Al-Qatthani dalam Al-Ikhtilath, menyebut ikhtilath sebagai bertemunya laki-laki dan
perempuan (bukan mahrom) di suatu tempat yang bercampur baur dan terjadi interaksi diantara
laki-laki dan wanita itu (misal: bicara, bersentuhan, ngobrol dan sebagainya). Imam Nawawi
dalam syarah Al–Muhadzdzab, mengungkap ikhtilath antara laki-laki dan perempuan jika bukan
khalwat adalah sesuatu yang bukan haram”. Lebih khusus Abdul Karim Zaidan dalam Al-
Mufassol Fi Ahkam Al-Mar’at mengatakan bahwa perkumpulan laki-laki dan wanita dalam suatu
majlis ilmu (pengajian) itu diperbolehkan.
Syekh Ibn Hajar Al-Haitamy dalam Al-Fatawa Al-Kubro juga mengatakan bahwa ikhtilath ada
yang boleh dan ada yang tidak boleh (haram). Ikhtilath yang boleh adalah yang tanpa adanya
persentuhan antara tubuh dan bukan khalwat (berdua-duaan) yang diharamkan. Sementara
ikhtilath yang diharamkan adalah yang terdapat persentuhan, berbaur hingga bersentuhan,
(baca: berdesakan) antara laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian, pada akhirnya hukum ikhtilat antara peserta didik laki-laki dan perempuan
sangat tergantung pada ada atau tidaknya aturan syariat yang dilanggar, jika ada aturan syariat
yang dilanggar maka haram, tetapi jika tidak ada aturan syariat yang dilanggar maka tidak
haram. Unsur-unsur yang perlu dijaga dalam masalah ikhtilath ini adalah menjaga pandangan,
memelihara aurat, bersuara dengan nada yang sepantasnya, menjauhi khalwat (menyendiri)
dengan laki-laki atau wanita lain.
Sejauh yang ditemui, banyak lembaga pendidikan Islam yang menerapkan kelas heterogen.
Terutama ini diwakili oleh banyak lembaga pendidikan Islam kecil. Tetapi lembaga pendidikan
Islam yang menerapkan pola segregasi gender umumnya berpegang pada Q.S An-Nur, ayat
30. Dengan tujuan pokok demi terjaganya pergaulan antara laki laki dan perempuan sehingga
peserta didik lebih fokus pada pembelajaran (Imam Ahmadi, 2015). Selain tentu saja,
pemisahan gender didasarkan pada beberapa alasan seperti agama, pragmatis, darurat,
emansipatoris dan budaya (Evi Muafiah, 2018).
Kelebihan dan Kekurangan
Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, segregasi kelas berbasis gender dapat
membuat prestasi belajar lebih tinggi dibanding sekolah yang menerapkan sistem non
segregasi kelas berbasis gender (Nita Mustafa, 2015). Sistem segregasi gender membuat
pembelajaran menjadi lebih nyaman dan lebih mandiri. Siswa laki-laki juga lebih bertanggung
jawab meski dari segi nilai mereka masih belum menyamai siswa perempuan (Indi Puspitasari,
2017).
Sikap laki-laki dengan pembelajaran yang menerapkan segregasi lebih percaya diri dan
memiliki semangat yang lebih besar daripada siswi dalam ranah ekstrakurikuler (Muhammad
Toriq, 2017). Sistem pengajaran terpisah berdampak pada hasil belajar peserta didik yang lebih
konsen dalam belajar dan dapat menjaga akhlak pergaulan antara lawan jenis (Umi Churiatun,
2017). Temuan juga menunjukkan bahwa ruang kelas dengan satu jenis kelamin di sekolah
umum menunjukan hasil belajar yang meningkat dalam aspek afektif dan kognitif (Phyllis
Fatima Morrell, 2009).
Selain itu, kesimpulan penelitian lain mengungkap bahwa manajemen kelas berbasis gender
tunggal memiliki beberapa kelebihan, yakni; sekolah mempunyai ciri khas, daya tarik dan daya
jual, kelas menjadi bersih dan rapi apabila dikelola oleh peserta didik putri, guru mudah
mengkondisikan dan mengelola iklim, serta lingkungan kelas, terjaganya pergaulan,
pembelajaran terasa aman dan nyaman, peserta didik fokus dalam belajar, aktif dalam bertanya
dan menjawab, lebih mandiri, berkesempatan menjadi pemimpin, tercipta adil gender, serta
meningkatkan hasil belajar dan prestasi peserta didik (Uum Humairoh, 2020).
Meski memiliki banyak kelebihan, pembelajaran dengan sistem segregasi gender menurut Uum
Humairoh (2020) juga memiliki banyak kekurangan. Kekurangannya adalah sekolah harus
mengeluarkan banyak dana (lokal), kelas menjadi kotor dan tidak rapi apabila dikelola oleh
peserta didik putra, guru perempuan sulit mengelola dan mengkondisikan kelas putra, karena
ekstra tenaga dan ekstra suara, terbentuk rasa canggung dengan lawan jenis, dan sulit
bersosialisasi. Sistem segregasi gender juga membuat peserta didik laki-laki tidak ragu-ragu
dalam melanggar beberapa peraturan saat jam pembelajaran. Perbandingan hasil belajar ranah
kognitif menunjukkan rata-rata nilai rapot laki-laki di bawah nilai perempuan (Muhammad Toriq,
2017).
Selain itu, pembelajaran dengan model segregasi gender membutuhkan usaha yang tidak
mudah dalam pelaksanaanya. Tidak mengherankan kemudian kebanyakan institusi atau
lembaga pendidikan saat ini (termasuk lembaga pendidikan Islam?) menerapkan kebijakan
belajar mengajar tanpa memisahkan peserta didik (kelas) berdasar jenis kelamin tertentu,
hanya sebagian kecil saja yang menerapkan kebijakan segregasi gender dalam kegiatan
belajar mengajarnya (KBM).
Bahkan, hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Myra Pendleton menunjukan bahwa
pembelajaran dengan sistem tunggal gender tidak terlalu berpengaruh pada perilaku peserta
didik. Jika sistem tunggal gender tidak memberikan efek perubahan perilaku peserta didik,
maka sistem tunggal gender tidak bisa diharapkan meningkatkan prestasi peserta didik (Myra
Pendleton, 2015).
Pengarusutamaan Gender
Dari segi output pendidikan, pola segregasi maupun non-segregasi, keduanya memiliki
kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sedangkan dari segi fikih, menerapkan pola
segregasi gender dalam pembelajaran dapat lebih menjaga diri dari terjatuh pada keharaman.
Tetapi lembaga yang menerapkan non-segregasi atau kelas heterogen dalam pembelajaran
juga tidak masalah selagi bisa menjaga kaidah dan aturan syariat jangan sampai ada yang
dilanggar.
Menerapkan segregasi maupun non-segregasi, yang terpenting dan seharusnya dilakukan oleh
lembaga pendidikan Islam adalah melakukan pengarusutamaan gender. Hal ini agar seluruh
proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program
dan kegiatan di seluruh sektor lembaga pendidikan Islam telah benar-benar memperhitungkan
dimensi atau aspek gender, yaitu peserta didik laki-laki dan perempuan yang setara dalam
akses, partisipasi dan kontrol atas pendidikan serta dalam memanfaatkan hasil pendidikan.
Maka sebelum melakukan pengarusutamaan gender, analisis gender merupakan tahap awal
yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam. Analisis gender dilakukan dengan
mengkaji perbedaan dampak proses pendidikan terhadap peserta didik perempuan dan laki-
laki. Untuk melakukan analisis gender, tentu diperlukan alat analisis (tool) yang dapat
membantu secara mudah dan efektif mengidentifikasi isu-isu gender dan merekomendasikan
solusinya.
Salah satu alat analisis yang dapat digunakan adalah Gender Analysis Pathaway (GAP). GAP
bisa dijadikan sebagai instrumen analisis gender yang berfungsi untuk menganalisis kebijakan,
program, kegiatan lembaga pendidikan Islam dengan menggunakan perspektif gender. Dalam
hal ini, analisis bertujuan untuk merumuskan indikator-indikator yang dapat mengatasi
kesenjangan gender dalam akses, partisipasi, kendali/kontrol, dan manfaat pendidikan.
Berdasarkan indikator GAP, terdapat empat tahapan evaluasi manajemen segregasi gender
peserta didik, yaitu analisis kebijakan, reformulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan tahap
terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Pada tahap analisis kebijakan, data dan informasi yang
ada di lapangan dikumpulkan. Khususnya dalam perumusan kebijakan terkait manajemen
peserta didik dengan perbandingan laki-laki dan perempuan. Dari sana akan tampak beberapa
kebijakan pemberlakukan segregasi gender antara laki-laki dan perempuan yang
mengakibatkan kesenjangan gender maupun tidak.
Pada tahap reformulasi kebijakan, lembaga pendidikan Islam dapat memanfaatkan agenda
rapat rutin sebagai sarana untuk mengevaluasi beberapa kebijakan apakah sudah setara
gender atau perlu dievaluasi ulang. Sedangkan pada tahap pelaksanaan kebijakan, misalnya
pada proses pembelajaran dan kebijakan terkait tata tertib peserta didik apakah sudah
responsif gender atau belum. Lalu pada tahap akhir yaitu tahap monitoring dan evaluasi, segala
kebijakan dan pelaksanaan dipantau dan dievaluasi jika terdapat kendala atau masalah yang
ditemui terkait pengarusutamaan gender.
PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN
PRO

Terkait pembatasan jam malam bagi perempuan, kami setuju dengan beberpara alasan.
Pertama, keharusan menjaga kesehatan.

Perhatian Islam terhadap masalah kesehatan dimulai sejak bayi, di mana Islam menekankan
bagi ibu agar menyusui anaknya, di samping merupakan fitrah juga mengandung nilai
kesehatan. Banyak ayat dalam al-Quran menganjurkan hal tersebut.

Al-Quran melarang melakukan sesuatu yang dapat merusak badan. Para pakar di bidang medis
memberikan contoh seperti merokok. Alasannya, termasuk dalam larangan membinasakan diri
dan mubadzir dan akibatyang ditimbulkan, bau, mengganggu orang lain dan lingkungan.

Islam juga memberikan hak badan, sesuai dengan fungsi dan daya tahannya, sesuai anjuran
Nabi: Bahwa badanmu mempunyai hak

Islam menekankan keteraturan mengatur ritme hidup dengan cara tidur cukup, istirahat cukup,
di samping hak-haknya kepada Tuhan melalui ibadah. Islam memberi tuntunan agar mengatur
waktu untuk istirahat bagi jasmani. Keteraturan tidur dan berjaga diatur secara proporsional,
masing-masing anggota tubuh memiliki hak yang mesti dipenuhi.

Di sisi lain, Islam melarang membebani badan melebihi batas kemampuannya, seperti
melakukan begadang sepanjang malam, melaparkan perut berkepanjangan sekalipun
maksudnya untuk beribadah, seperti tampak pada tekad sekelompok Sahabat Nabi yang ingin
terus menerus shalat malam dengan tidak tidur, sebagian hendak berpuasa terus menerus
sepanjang tahun, dan yang lain tidak mau ‘menggauli’ istrinya, sebagaimana disebutkan dalam
hadits:

“Nabi pernah berkata kepadaku: Hai hamba Allah, bukankah aku memberitakan bahwa kamu
puasa di sz’am? hari dan qiyamul laildimalam hari, maka aku katakan, benarya Rasulullah, Nabi
menjawab: Jangan lalukan itu, berpuasa dan berbukalah, bangun malam dan tidurlah, sebab,
pada badanmu ada hak dan pada lambungmujuga ada hak” (HR Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan Pasal 76 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja perempuan


yang berusia kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00. Artinya, perempuan yang berusia di atas 18 tahun diperbolehkan
bekerja shift malam di jam-jam tersebut.

Tak hanya itu, perusahaan juga dilarang mempekerjakan perempuan hami yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya
apabila bekerja dari pukul 23.00 hingga pukuk 07.00.

Pekerja perempuan yang harus bekerja di jam-jam yang telah disebutkan berhak menerima
kompensasi dari perusahaan sesuai yang tercantum di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No. 224 Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang
Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Seperti yang telah dijelaskan di poin sebelumnya, pekerja perempuan yang bekerja di malam
hari (pukul 23.00 hingga 07.00) berhak mendapatkan kompensasi dari perusahaan.
Kompensasi tersebut diberikan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan, keamanan, serta
perlindungan dari pekerja perempuan itu sendiri.

Berikut 3 (tiga) kompensasi yang wajib diberikan oleh perusahaan:

1. Memberikan makanan dan minuman bergizi (Pasal 3 dan Pasal 4)


2. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja (Pasal 5).
Penjagaan ini berkaitan dengan perlindungan pada aspek kesusilaan dan keamanan di tempat.
3. Menyediakan angkutan antar jemput (Pasal 6). Pihak perusahaan harus menyediakan
transportasi antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan 05.00.

Kedua, menjaga kehormatan diri perempuan.

Keharusan menjaga kehormatan diri adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah.
Termasuk dari hal penjagaan kehormatan diri adalah menjaga kemaluanya dari perkara-perkara
yang diharamkan Allah Ta’aala. Allah Azza Wa Jalla menyebutkan keberuntungan bagi orang
orang yang beriman yaitu mereka yang menjaga kemaluannya dari hal hal yang diharamkan.
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman :

َ ‫ِين ُه ْم َع ِن اللَّ ْغ ِو مُعْ ِرض‬


‫ُون‬ َ ‫ُون َوالَّذ‬
َ ‫صاَل ت ِِه ْم َخاشِ ع‬ َ ‫َق ْد َأ ْفلَ َح ْالمُْؤ ِم ُن‬
َ ‫ون الَّذ‬
َ ‫ِين ُه ْم فِي‬

‫ون‬ ُ ‫ِين ُه ْم ِلفُرُو ِج ِه ْم َحاف‬


َ ‫ِظ‬ َ ُ‫ِلز َكا ِة َفاعِ ل‬
َ ‫ون َوالَّذ‬ َ ‫َوالَّذ‬
َّ ‫ِين ُه ْم ل‬

“ Sungguh beruntunglah orang orang yang beriman, (yaitu) orang orang yang khusyu’ dalam
shalatnya, dan orang orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada
berguna, dan orang orang yang menunaikan zakat, dan orang orang yang menjaga
kemaluannya.” ( Al Mukminun : 1 – 5 ).

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :


“ Barangsiapa yang menjaga (anggota badan) yang terletak di antara dua lihyahnya (kumis dan
jenggot, yaitu lisannya, pen) dan yang teletak di antara dua pahanya maka ia dijamin masuk
surga”.

Hadits diriwayatkan oleh Al-Hakim dan At-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah, dengan derajat
shahih dengan dikumpulkan dari dua jalan.
Allah Ta’aala berfirman :
ُ ‫ْصار ِه ْم َو َيحْ َف‬
َ ‫ظوا فُر‬ ‫َأ‬ َ ‫قُل لِّ ْلمُْؤ ِمن‬
‫ُوج ُه‬ ِ َ ‫ِين َي ُغضُّوا مِنْ ب‬

Katakanlah (wahai Muhammad) bagi wanita-wanita mukminat untuk menundukkan pandangan-


pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan-kemaluan mereka ( An-Nur : 30 ).

Pengampunan dosa dan pahala yang sangat besar adalah janji Allah Ta’aala bagi orang-orang
yang menjaga kemaluan mereka, Allah Ta’aala berfirman :

‫ت َأ َع َّد هَّللا ُ لَهُم م َّْغف َِر ًة َوَأجْ رً ا َعظِ يمًا‬ َّ ‫ين هَّللا َ َكثِيرً ا َو‬
ِ ‫الذاك َِرا‬ َّ ‫ت َو‬
َ ‫الذاك ِِر‬ €ِ ‫ُوج ُه ْم َو ْال َحاف َِظا‬ َ ِ‫َو ْال َحافِظ‬
َ ‫ين فُر‬

“Dan laki-laki yang menjaga kemaluan mereka dan wanita-wanita yang menjaga kemaluan
mereka, laki-laki dan para wanita yang banyak berdzikir kepada Allah Ta’aala , Allah Ta’aala
menjanjikan bagi mereka pengampunan dan pahala yang besar ( Al-Ahzab : 35 ).

Kehancuran telah menimpa kalangan Bani Israil, dan awal fitnah yang menjadikan sebab
kehancuran mereka adalah karena fitnah wanita. Dan dalam beberapa riwayat yang shahih
cukup sebagai dalil yang menunjukkan bahwa di kalangan mereka banyak terdapat wanita-
wanita pelacur seperti kisah seorang Rahib yang bernama Juraij yang berurusan dengan
seorang pelacur atas terkabulnya doa ibunya. Demikian juga kisah seorang pelacur yang
memberi minum seekor anjing yang sangat kehausan. Disimpulkan bahwa kehancuran dan
kebinasaan mengancam suatu kaum ketika para wanita kalangan mereka sudah tidak lagi
menjaga kehormatan-kehormatan diri-diri mereka dengan tidak menjaga kemaluan-kemaluan
mereka dari hal-hal yang diharamkan.

Allah Ta’aala telah memperingatkan dengan melarang mendekati perkara-perkara yang


berkaitan dengan perzinaan. Allah Ta’aala tidak hanya melarang dari perbuatan zina semata,
akan tetapi melarang seluruh perkara yang mendorong dan seluruh sarana yang akan
menghantarkan kepada perbuatan perzinaan. Allah Ta’aala berfirman :

‫ء َس ِبياًل‬€َ ‫ان َفا ِح َش ًة َو َسا‬ ِّ ‫َواَل َت ْق َربُوا‬


َ ‫الز َنا ۖ ِإ َّن ُه َك‬

“Dan janganlah kalian mendekati perzinaan, karena sesungguhnya perbuatan zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk “( Al-Isra’ : 32 )

Kemajuan teknologi yang begitu cepat sehingga didapatkan berbagai kemudahan-kemudahan


sarana dan prasarana kehidupan dunia adalah suatu bentuk kenikmatan dan karunia Allah
Ta’aala yang wajib untuk disyukuri, dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai sarana
untuk melakukan berbagai amalan sholih, ini adalah satu sisi. Sisi lain adalah peringatan
terhadap kerusakan-kerusakan akibat penggunaan yang keliru atas kemajuan teknologi
tersebut hingga tidak menjadi sarana yang akan mendekatkan kepada perbuatan perzinaan.

Perintah untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram untuk dilihat, cukup sebagai
peringatan keras bagi kita semua untuk melihat hal-hal yang diharamkan dari gambar-gambar
yang mengumbar syahwat, apakah dari media elektonik semisal televisi, hand phone, media
internet ataupun dari media cetak semisal koran-koran dan majalah-majalah yang mengumbar
syahwat.

Larangan untuk menggambar makhluk hidup cukup sebagai dasar untuk menjauhi berbagai
gambar makhluk yang bernyawa. Lalu bagaimana dengan gambar-gambar laki-laki atau wanita
yang menampakkan aurat-aurat mereka? Tentunya lebih-lebih lagi untuk dijauhi.

Perintah untuk berhijab dengan memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita adalah
cukup sebagai landasan kuat bagi seorang wanita untuk menjaga kehormatan dirinya, disertai
dengan pakaian ketaqwaan dan senantiasa menghiasai dirinya dengan tholabul ‘ilmi.

KONTRA

Kami tidak setuju adanya pembatasan jam malam bagi perempuan. Karena termasuk dalam
pelanggraan Ham.
Dikutip dari youthforhumanrights.org, Jumat (10/12/2021), jenis-jenis HAM meliputi:
1. Terlahir bebas dan mendapat perlakuan sama. Kita semua dilahirkan bebas. Kita semua
memiliki pemikiran dan gagasan kita sendiri. Kita semua harus diperlakukan dengan cara yang
sama.
2. Hak tanpa ada diskriminasi. Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan tanpa
pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau
lainnya, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran, atau status lainnya.
3. Hak untuk Hidup. Kita semua memiliki hak untuk hidup, dan hidup dalam kebebasan dan
keamanan.
4. Hak tanpa perbudakan. Tidak ada yang akan ditahan dalam perbudakan atau praktik
perbudakan; perbudakan dan perdagangan budak dilarang dalam segala bentuk.
5. Bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan. Tidak seorang pun akan
mengalami penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat.
6. Hak untuk pengakuan sebagai pribadi di depan hukum. Setiap orang berhak untuk diakui di
mana pun sebagai orang di hadapan hukum.
7. Hak persamaan dihadapan hukum. Semua sama di hadapan hukum dan berhak tanpa
diskriminasi terhadap perlindungan hukum yang setara. Semua berhak atas perlindungan yang
sama terhadap diskriminasi apa pun yang melanggar deklarasi ini dan terhadap segala hasutan
untuk melakukan diskriminasi semacam itu.
8. Sama di hadapan hukum. Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif oleh pengadilan
nasional yang kompeten untuk tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan
kepadanya oleh konstitusi atau oleh hukum.
9. Kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang. Tidak ada yang berhak untuk
memasukkan seseorang ke penjara tanpa alasan yang kuat atau mengirim seseorang pergi dari
dari suatu negara tanpa alasan.
10. Hak untuk audiensi publik. Setiap orang berhak mendapatkan kesetaraan yang penuh
ketika berada di depan publik. Ketika seseorang tersandung masalah hukum, dirinya berhak
mendapatkan perlindungan dari publik.
11. Hak untuk dianggap tidak bersalah, sampai terbukti bersalah. Tidak ada yang harus
disalahkan karena melakukan sesuatu sampai terbukti bersalah. Ketika orang mengatakan
seseorang melakukan hal buruk, dirinya memiliki hak untuk menunjukkan bahwa itu tidak benar
(pembelaan)
12. Hak privasi. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap gangguan atau
serangan terhadap dirinya. Mereka akan mendapatkan perlindungan privasinya.
13. Hak untuk kebebasan bergerak. Setiap orang memiliki kebebasan untuk pergi ke wilayah
lain, menetap maupun melakukan perjalanan ke mana pun.
14. Hak untuk mencari tempat yang aman untuk hidup. Setiap orang berhak untuk mencari dan
menikmati kebebasan di negara lain agar terbebas dari penganiayaan.

Alasan selanjutnya, dalam Islam sendiri, dalam hal sosial tidaka membeda-bedakan antara laki-
laki dan perempuan.
Gender merupakan pengelompokan manusia yang utama. Setiap masyarakat menciptakan
rintangan dalam hal ketidaksetaraan akses ke kekuasaan, kepemilikan dan prestise atas dasar
jenis kelamin. Alhasil, para sosiolog mengelompokkan perempuan dalam minority group
(kelompok minoritas). Jika dilihat dari sisi kuantitas antara perempuan dan laki-laki maka hal ini
sangatlah berbanding terbalik, dikarenakan jumlah perempuan yang justru lebih banyak dari
laki-laki malah digolongkan kelompok minoritas. (James M. Henslin, 2006: 48)
Teori patriarchy – laki-laki yang mendominasi masyarakat- telah di mulai sejak awal sejarah
kehidupan manusia, rentang usia manusia yang relatif singkat dan untuk melipatgandakan
kelompok, perempuan harus melahirkan banyak anak. Karena hanya kaum perempuan yang
dapat hamil, melahirkan dan menyusui sehingga sebagian besar kehidupan perempuan itu
terbatas.  Alhasil, di seluruh dunia perempuan mengerjakan tugas yang dikaitkan dengan rumah
tangga  dan pengasuhan anak, sedangkan laki-laki mengambil alih untuk berburu binatang,
menjalin kontak dengan yang lain, berdagang, dan berperang dengan kelompok lainnya. Laki-
laki pula yang membuat dan mengendalikan perlengkapan senjata yang digunakan untuk
berperang dan berburu. Sebaliknya hanya sebagian kecil saja menjadi rutinitas perempuan,
sehingga pada akhirnya laki-lakilah yang mengambil alih peran di tengah masyarakat. Dengan
demikian laki-laki mendominasi kehidupan sebagai kaum yang mayoritas sedangkan
perempuan sebagai kaum yang minoritas. (James M. Henslin, 2006: 50)
Manusia merupakan makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya. Pribadi manusia yang senang
hidup berkelompok tersebut telah tertuang dalam teori seorang filsuf berkebangsaan Yunani
yaitu Aristoteles (384-322 SM) yang mengatakan manusia adalah zoon politicon yaitu makhluk
sosial  yang menyukai hidup berkelompok.
Berkenaan dengan hal itu Allah juga telah memberikan isyarat tentang manusia
merupakan zoon politicon dalam QS. Al-Hujurat : 13 yang artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal satu sama lain, Sesungguhnya yang paling mulia di sisi
Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu…”
Ayat ini berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Kata ‫ذكر و انثى‬  ( dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan) ditafsirkan sebagai Adam dan Hawa. Ini menunjukkan bahwa umat
manusia yang banyak dan tersebar di berbagai belahan bumi ini berasal dari Ayah dan Ibu yang
sama (Ali Ash-Shabuni, 2011: 46) , sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ishaq al-Mushilli
yang dikutip oleh al-Maraghi:
“ Manusia di alam nyata ini adalah sama. Ayah mereka adalah Adam dan ibunya adalah
Hawa. Jika mereka mempunyai kemuliaan pada asal usul mereka yang patut
dibanggakan, maka tak lebih dari tanah dan air”.(Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1997: 234)
Tampak dari keterangan di atas, bahwa pada dasarnya seluruh umat manusia itu sama.
Kemudian dari keturunan yang sama itu berkembang menjadi keluarga, komunitas, masyarakat
dan dalam bentuk yang lebih besar lagi tergabung dalam berbagai Negara yang berbeda di
belahan Bumi ini.
Masyarakat yang sudah semakin banyak dan tersebar di berbagai wilayah, dalam ayat di atas
diharuskan untuk saling mengenal satu sama lainnya , agar di antara mereka terjalin hubungan
yang baik dan menumbuhkan sifat saling tolong menolong dalam berbagai bentuk
kemaslahatan. Sebab seluruh umat manusia ini berasal dari keturunan yang satu  yaitu Adam
dan Hawa.
Diriwayatkan dari Abu Mulaikah dia berkata, ketika peristiwa Fathul Makkah, Bilal naik ke atas
Ka’bah lalu mengumandangkan azan. Kemudian berkata ‘Attab bin Sa’ad bin Abil ‘Ish, ‘Segala
puji bagi Allah yang telah mencabut nyawa ayahku sehingga tidak menyaksikan hari ini’.
Sementara al-Haris bin Hisyam berkata, ‘Muhammad tidak menemukan selain burung gagak
yang hitam ini untuk dijadikan muazin”. Suhail bin Amr berkata, ‘Jika Allah menghendaki
sesuatu maka bisa saja Dia merubahnya’. Berkenaan dengan peristiwa itu kemudian Jibril
datang kepada Nabi Muhammad saw dan memberitahukan kepada beliau tentang hinaan yang
ditujukan kepada Bilal tersebut. Maka Allahpun menurunkan ayat ini sebagai bentuk
pencegahan bagi mereka yang membanggakan nasab, harta dan yang suka menghina orang-
orang fakir. Ayat ini mengingatkan mereka bahwa tidak ada yang berbeda di sisi Allah di antara
sekalian umat manusia tidak pada nasab, harta, rupa dan selainnya kecuali takwa. (Ahmad
Musthafa al-Maraghi, 1997: 234)
Sebagaimana juga diterangkan dalam hadis Nabi saw,
Diriwayatkan dari Abu Malik al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda,“ Sesungguhnya Allah
swt tidak memandang kepada pangkat-pangkatmu, tidak memandang pada nasab-nasabmu,
tidak pada bentuk rupamu, dan tidak pula memandang pada hartamu, melainkan yang Allah
pandang adalah hatimu”
Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin mengajarkan pada umatnya untuk saling
mengenal (bersilaturrahim) dengan sesamanya baik menjalin hubungan dengan sesama
muslim maupun dengan non muslim. Hubungan yang terjalin tersebut baik antara sesama laki-
laki, sesama perempuan maupun hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Di dalam ajaran Islam  laki-laki dan perempuan memiliki posisinya masing-masing, sesuai
dengan fitrahnya. Selama antara laki-laki dan perempuan tetap menjaga fitrah tersebut, pada
keduanya terdapat kesempatan yang sama dalam menjalani kehidupan baik dalam bidang
pendidikan, sosial-kemasyarakatan, politik, seni, dan sebagainya.
Berbicara tentang bentuk hubungan yang terjalin antara laki-laki dan perempuan di masa lalu
dan masih berkembang di masa sekarang ini,  terdapat dua aliran pendapat (Husein
Muhammad, 2015) yang hidup di tengah lingkungan masyarakat muslim yaitu:
Pertama,  Dimana posisi kaum laki-laki berada di atas kaum perempuan. perempuan adalah
makhluk kelas dua setelah laki-laki yang diciptakan Tuhan, sebab penciptaan perempuan
pertama (Hawa) berawal dari tulang rusuk laki-laki (Adam) sehingga pada aliran ini perempuan
merupakan subordinat. Perempuan berada pada posisi inferior dan laki-laki superior. Posisi ini
diyakini oleh beberapa kalangan sebagai fitrah, kodrat, hakikat, dan hukum Tuhan yang berlaku
yang tidak dapat diubah. Perubahan terhadap hal tersebut sama halnya dengan menyalahi
hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadis yang berlaku
sepanjang masa untuk segala tempat.
Atas dasar ini hak dan kewajiban perempuan tidaklah sama dengan laki-laki, baik dalam
hukum-hukum ibadah, hukum-hukum keluarga maupun hukum-hukum publik. Dapat dikatakan 
dalam pemahaman aliran ini hak perempuan adalah sebagian hak laki-laki. Kelompok ini
menentang keras persamaan kedudukan (kesetaraan gender)  antara laki-laki dan perempuan.
Kedua, Posisi laki-laki dan perempuan adalah sama dan setara. Perempuan memiliki
kesempatan yang sama dengan kesempatan yang dimiliki oleh kaum laki-laki, sebab antara
keduanya terdapat potensi kemanusiaan yang sama baik dalam hal intelektual, fisik maupun
mental-spiritualnya. Perbedaan dari sisi biologis tidaklah menjadi penghalang yang membatasi
gerak seorang perempuan untuk mengekpresikan hak dan kewajibannya di mata hukum dan
sosial. Berdasarkan hal ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam
menjalankan kehidupan mereka baik dalam ranah pribadi maupun publik.
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan penduduk terbanyak di dunia. Dewasa  ini
penduduk Indonesia diperkirakan sudah lebih dari 210 juta jiwa. Dari jumlah yag besar tersebut
65 persen merupakan kaum perempuan yang masih dalam usia produktif yaitu berkisar 15-60
tahun. Jumlah penduduk yang besar tersebut, apabila dimanfaatkan dengan baik dan efektif,
akan mampu menjadi asset bagi pembangunan nasional dan merupakan sumber daya
pembangunan potensial. Sebaliknya, jika potensi yang mereka miliki  tidak dikembangkan
secara efektif, justru akan menjadi beban bagi bangsa dan mengurangi nilai hasil pembangunan
yang hendak dicapai. Berdasarkan hal itu optimalisasi penduduk sebagai salah satu upaya
dalam pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia) harus mempertimbangkan berbagai
langkah untuk meningkatkan kualitas kehidupan, baik perempuan maupun laki-laki agar sama-
sama dapat memperoleh kesempatan dan berperan optimal dalam pembangunan dan
pencapaian kualitas bangsa yang lebih maju dan sejahtera (Said Agil Husin al Munawar, 2005:
105).
Beberapa ketimpangan yang terjadi di Indonesia dapat terlihat dalam beberapa variabel
sebagai berikut: Pertama, kualitas perempuan Indonesia menduduki peringkat paling rendah di
ASEAN; Kedua, angka kematian ibu yang melahirkan menduduki posisi tertinggi di ASEAN
yaitu sekitar 308 per 100.000 kelahiran atau rata-rata 15.000 ibu meninggal setiap tahun karena
melahirkan; Ketiga, tingkat pendidika perempuan yang jauh tertinggal dari kaum laki-laki yaitu
sekitar 39 % perempuan tidak sekolah, hanya 13 % yang lulus SLTP dan kurang dari 5 % yang
lulus perguruan tinggi; Keempat, tingkat pastisipasi angkatan kerja yang masih rendah dan
hanya menduduki sector informal dengan upah yang rendah; Kelima, kurangnya akses
terhdapa bidang ekonomi; Keenam, tingkat kekerasan terhadap perempuan yang sangat
tinggi; Ketujuh, hak asasi perempuan yang terabaikan; dan Kedelapan, di dalam lembaga
pemerintahan baik bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif posisi perempuan masih sangat
marginal (Said Agil Husin al Munawar, 2005: 107).  
Pemberdayaan potensi perempuan merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan.
Usaha tersebut telah dirintis oleh Pemerintah RI dalam bentuk progam pemberdayaan
perempuan sejak taun 1978. Yang mana di awali dengan mendorong agar perempuan dapat
melakukan kerja ganda yaitu sebagai pembina rumah tangga, pencari nafkah dan pelaku
pembangunan. Kemudian pada program selanjutnya diarahkan pada kemitrasejajaran antara
laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Berlandaskan pada komitmen untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan di
Indonesia kemudian dikukuhkan dalam UU RI No 7 tahun 1984, tentang “Pengesahan konvensi
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan”. Selain itu
pemerintah juga meratifikasi sejumlah konvensi ILO seperti konvensi ILO No 111 tahun 1985
dengan UU RI No 21 Tahun 1999 tentang penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan (Said Agil Husin al Munawar, 2005: 106).
Sejalan dengan hal itu, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengarahkan pemberdayaan
perempuan dalam dua  penekanan. Pertama, meningkatkan kedudukan dan peran perempuan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang mampu
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Kedua, menigkatkan kualitas dan kemandirian
organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan, serta nilai
historis dari perjuangan kaum perempuan Indonesia di masa lalu untuk di lanjutkan demi
tercapainya kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Agama Islam merupakan agama yang menjunjug tinggi harkat dan martabat seorang
perempuan, hal ini dapat terlihat dari sejumlah hadis Nabi saw yang memuliakan kaum
perempuan diantaranya,
‫ ٌل ِإلَى‬€ُ‫ ا َء َرج‬€‫ا َل َج‬€€‫ ُه َق‬€‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬€‫ض‬ َ ‫ َة َعنْ َأ ِبي ه َُري‬€‫ ْب ُر َم َة َعنْ َأ ِبي ُزرْ َع‬€‫ش‬
ِ ‫ر َة َر‬€ْ ُ ‫ْن‬ ْ ِ ‫ار َة ب‬€
ِ €‫ْن ال َقعْ َق‬
ِ ‫اع ب‬€ َ €‫َح َّد َث َنا قُ َت ْي َب ُة بْنُ َسعِي ٍد َح َّد َث َنا َج ِري ٌر َعنْ ُع َم‬
‫ُأ‬ ُ ُ ‫ُأ‬ ُ ُ ‫ُأ‬ ‫َأ‬
َ َ
َ ‫ا َل ث َّم م‬€€‫ا َل ث َّم َمنْ ق‬€€‫ك ق‬
‫ُّك‬ َ َ
َ ‫ا َل ث َّم ُّم‬€€‫ا َل ث َّم َمنْ ق‬€€‫ك ق‬ َ َ ‫اس ِبحُسْ ِن‬
َ ‫ص َحا َبتِي قا َل ُّم‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف َقا َل َيا َرسُو َل ِ َمنْ َحق الن‬
َّ ُّ ‫هَّللا‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫َرس‬
‫َأ‬ ُ ُ
َ ‫َقا َل ث َّم َمنْ َقا َل ث َّم بُو‬
‫ك‬
 “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami
Jarir dari 'Umarah bin Al Qa'qa' bin Syubrumah dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu dia berkata; "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam sambil berkata; "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak
aku berbakti kepadanya?" beliau menjawab: "Ibumu." Dia bertanya lagi; "Kemudian
siapa?" beliau menjawab: "Ibumu." Dia bertanya lagi; "kemudian siapa lagi?" beliau
menjawab: "Ibumu." Dia bertanya lagi; "Kemudian siapa?" dia menjawab: "Kemudian
ayahmu."
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa Rasulullah saw sangat memuliakan seorang perempuan.
Ini jelas terlihat ketika beliau memberikan posisi yang lebih bagi seorang perempuan, yang
mana di masa itu posisi wanita berada jauh di bawah kata “layak”. Wanita hanya dijadikan
permainan bagi kaum laki-laki, disiksa, ditindas dan diperdagangkan. Di masa itu derajat wanita
sangatlah jauh jatuh ke dalam kegelapan hingga kemudian datanglah agama Islam yang
mengubah “langit mendung” kehidupan seorang wanita dengan cahaya matahari yang terang.
Dalam ajaran Islam laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dan memiliki
kesempatan yang sama untuk berbuat dalam kehidupan di masyarakat. Hal ini telah
diisyaratkan Allah dalam QS. Ibrahim ayat 1 yang artinya:
“ Alif lam ra, (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan supaya kamu mengeluarkan manusia dari
kegelapan kepada cahaya dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Dan QS. Al-Hadid ayat 9, yang artinya :
 “ Dialah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (al-Qur’an)
supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu”.
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa di antara fungsi al-Qur’an adalah sebagai pembebas
manusia baik itu laki-laki maupun perempuan dari kegelapan menuju cahaya. makna kegelapan
yang ditafsirkan sebagai penindasan dan kebodohan yang menyelimuti kehidupan manusia dan
yang bermakna cahaya  ditafsirkan sebagai ilmu pengetahuan dan keadilan. Dengan demikian
Islam hadir dalam kehidupan manusia sebagai kerangka dalam bidang kemanusiaan
(kemaslahatan)  yang pada puncaknya bermuara pada pengabdian terhadap Tuhan  Yang
Maha Esa.
Para pemikir Islam sejak generasi awal, sahabat, generasi ulama mazhab sampai generasi
para pemikir fiqh seperti Abu Hamid al-Ghazali Fakhruddin al-Razi, Izzuddin bin Abdussalam,
Syihabuddin al-Qarafi, Najmuddin al-Thufi, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah sampai
Muhammad Abduh dan Muhammad al-Thahir bin Asyur,menyepakat kemaslahatan umum
sebagai dasar sekaligus tujuan utama dari penerapan hokum Islam. Sebagaimana diungkapkan
oleh Abu Hamid al-Ghazali (Husein Muhammad, 2015),
“Kemaslahatan bermakna membawa kebaikan dan menolak keburukan. Tetapi bukan ini
yang dimaksud, karena ini merupakan tujuan manusia. Sementara kemaslahatan yang
dimaksud adalah menjaga tujuan syariat. Tujuan syariat itu adalah perlindungan terhadap
lima hal yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hal yang mengandung
perlindungan terhadap yang lima hal ini adalah kemafsadatan (keburukan, kerusakan,
kekacauan). Menghindarkan kerusakan merupakan salah satu bentuk kemaslahatan”.
Demikian pula yang diungkapkan oleh Izzuddin bin Abdussalam yang bermazhab Syafi’I,
“Tugas pokok manusia yang diamanatkan Tuhan adalah bekerja demi kepentingan
(Kemaslahatan/Kesejahteraan) hamba-hambaNya. Dia tidak membutuhkan siapapun.
Ketaatan manusia kepada Tuhan tidaklah membuatNya memperoleh manfaat, dan
kedurhakaan manusia terhadap Allah tidaklah merugikan Dia sedikitpun”.
Oleh karena itu beliau menegaskan,
” Syariat sepenuhnya adalah kemaslahatan, baik melalui cara-cara menolak segala hal
yang merusak maupun mengupayakan hal-hal yang membawaan kepada kemaslahatan”.
Sejalan dengan hal di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyah lebih menegaskan dengan menyatakan:
“ Syari’at Islam dibangun di atas landasan kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia kini
dan nanti. Ia sepenuhnya adil, sepenuhnya rahmat, sepenuhnya maslahat, dan
sepenuhnya bijak. Setiap persoalan yang menyimpang dari keadilan kepada kezaliman,
dari rahmat kepada laknat, dari maslahat kepada mafsadat, dan dari kebijaksanaan
kepada kesia-siaan, maka bukanlah bagian dari syariah (hokum agama), walaupun
dilakukan melalui upaya-upaya intelektual”.
Seorang ulama Islam kontemporer yaitu Muhammad Thahir bin Asyur, pakar pemikir Islam
dewasa ini, selain menyetujui penegasan-penegasan yang diungkapkan oleh ulama terdahulu,
beliau juga memiliki pandangan tersendiri yang menarik (Husein Muhammad, 2015),
“ Syariat Islam dihadirkan untuk kemaslahatan manusia di dunia ini dan tidak untuk di
akhirat. Kemaslahatan (kebaikan dan kebahagiaan) di akhirat merupakan akibat dari
kemaslahatan yang diperoleh di dunia. Jikalau hokum agama berfungsi mengatur perilaku
manusia di dunia, maka perwujudan kemaslahatan itu tidak mungkin kecuali bersifat
dunia, sebagai prioritas utama”.
Pandangan ini menimbulkan implikasi penting terutama dalam kaitannya dengan kehidupan
sosial kemasyarakatan. Rumusan tersebut dikemukakannya dalam rangka menegaskan bahwa
kaum muslimin perlu memberikan apresiasi yang lebih besar dalam sector sosial
kemasyarakatan daripada sektor individual (Husein Muhammad).
Di balik semua penegasan tersebut, prinsip yang utama dalam hal kemaslahatan khususnya
term gender ini adalah prinsip tauhid. Prinsip tauhid merupakan prinsip utama yang
menegaskan bahwa Tiada Tuhan selain Allah, Dialah Tuhan Yang Maha Esa. Pernyataan ini
mengukukuhkan makna bahwa di jagat raya ini tidak ada yang lebih berkuasa selain Allah
semata. Eksistensi keMahaagungannya tidak memerlukan pemaknaan teoritis, tetapi lebih pada
kerangkan kemanusiaan. Pemaknaan tauhid yang sejati mengandung gagasan tentang
pembebasan manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi dan
penindasan atas martabat manusia (dignity). Pada sisi lain, secara teologis hal ini menunjukkan
bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang terhormat dengan konsekuensi
keharusan manusia memandang sesamanya sebagai makhluk yang mandiri (bebas) dan dalam
posisi yang sama, setara dan diperlakukan adil. Kesetaraan, kemandirian dan keadilan
merupakan makna dari kata “taqwa” yang telah berulang kali diungkapkan baik di dalam al-
Qur’an maupun di dalam hadis. ( Husein Muhammad, 2015).
Pemaknaan tauhid yang seperti ini menjadi sangat fundamental bagi isu-isu gender. Para
feminis muslim telah menempatkan prinsip ini sebagai titik sentral dalam seluruh bangunan
pemikiran dan tafsir mereka mengenai hak-hak perempuan. Kesetaraan manusia merupakan
cahaya dari tauhid.
Sumber-sumber utama ajaran Islam dikategorikan ke dalam bentuk teks universal dan teks
particular. Teks universal merupakan teks yang mengandung pesan-pesan kemanusiaan untuk
segala ruang dan waktu. Padanya termuat prinsip-prinsip fundamental atau disebut prinsip-
prinsip kemanusiaan universal. Sementara kategori kedua yaitu teks particular merupakan teks
yang merujuk pada kasus tertentu. Teks-teks ini sering muncul sebagai respon atas suatu
kejadian.
Jika terjadi pertentangan antara teks universal dengan teks particular maka
teks particular membatasi berlakunya teks universal. Teks particular harus diutamakan.
Pandangan ini ditolak keras oleh al-Syatibi, yang mana menurutnya aturan-aturan universal
bersifat normative dan qath’i. sedangkan aturan-aturan particular bersifat relatif dan spekulatif.
Oleh sebab iu hukum umum dan ketentuan universal harus diutamakan dan diberi bobot lebih
besar dalam menganalisis petunjuk hokum petunjuk-petunjuk hokum yang bersifat khusus.
Aturan-aturan khusus yang tidak bisa membatasi aturan-aturan yang bersifat umum, tetapi bisa
menjadi pengecualian yang bersifat kondisional (kontekstual) bagi aturan-aturan umum (Husein
Muhammad, 2015).
Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemimpin) bagi kaum wanita
sebagaimana yang tertulis dalam QS. Al-Nisa’ ayat 34, yang artinya :
 “ Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan…”
Sementara dalam QS al-Hujurat ayat 13 disebutkan bahwa yang artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal satu sama lain, Sesungguhnya yang paling mulia di sisi
Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu…”
Dari dua ayat di atas terlihat bahwa QS al-Nisa’: 34 menjadi dasar utama dalam menjustifikasi
otoritas bagi kaum laki-laki sebagai kelompok superior dan mayoritas. Sementara QS al-
Hujurat: 13 menegaskan kesetaraan hubungan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Berkaitan dengan hal ini al-Syathibi berpendapat bahwa ayat yang berkaitan dengan
kesetaraan manusia bersifat pasti, tetap dan berlaku universal. Sementara ayat kepemimpinan
laki-laki terhadap perempuan merupakan berlaku sesuai konteks. Kontekstualisasi itu bukan
berarti teks particular itu tidak dipakai atau terhapus, melainkan dimaknai kembali sejalan
dengan konteks sosialnya yag berubah. Ha ini terutama dilakukan oleh ulama generasi awal
terutama para mujahid besar Islam (Husein Muhammad, 2015)
Dapat dipahami bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama dan
kesempatan yang sama dalam mengekspresikan gagasan pemikirannya di tengah kehidupan
masyarakat global yang semakin hari semakin mengalami kemajuan baik dalam hal tatanan
kehidupan sosial-politik maupun dalam ranah perkembangan teknologi.
Indonesia merupakan Negara dengan penduduk terbanyak di ASEAN, juga menaruh perhatian
yang besar, berkenaan dengan isu gender tersebut. Indonesia telah memulai pemberdayaan
perempuan sejak zaman dahulu hingga di masa sekarang ini. Hingga saat ini telah banyak
perempuan di Indonesia yang memperoleh haknya sesuai dengan apa yang diamanatkan UUD.
Berkaca pada masa lalu, tepatnya pada masa perjuangan kemerdekaan, telah tercatat dalam
sejarah perjuangan masyarakat Indonesia khususnya perempuan Indonesia seperti Cut Nyak
Dien, Cut Meutia, Raden Ajeng Kartini.
Di antara tokoh-tokoh perjuangan perempuan Indonesia tersebut, RA Kartini dikenal sebagai
tokoh feminis dan pendidikan, beliau merupakan symbol emansipasi wanita di Indonesia.
Berbicara soal pemikiran, pemikiran RA Kartini telah jauh melampaui batas zamannya, apalagi
di kalangan perempuan Bumi putera (Rosalind Horton; Sally Simmons, 2006).
Buku yang berjudul Door Duisternis toot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), telah merangkum
kumpulan surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya. Kumpulan surat-surat tersebut
menggambarkan bagaimana perjuangan Kartini untuk memberantas buta huruf yang di
nusantara. Penerbitan surat-surat tersebut telah menarik perhatian pemerintah Belanda,
pemikirannya mulai mengubah pandangan Pemerintah Belanda tentang perempuan Jawa. Oleh
karena jasanya yang begitu besar bagi kesetaraan kesempatan bagi perempuan di masanya, di
tahun 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108
Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini pada tanggal 21 April sebagai salah satu Hari
Besar Nasional yang disebut sebagai Hari Kartini (Rosalind Horton; Sally Simmons, 2006).
Kisah perjuangan RA Kartini di atas, telah menjadi salah satu bukti nyata bahwa feminism
(kesetaraan gender) telah masuk di Indonesia sejak masa perjuangan kemerdekaan dan hingga
saat ini masih tetap di jaga oleh rakyat Indonesia sebagai salah satu hak dasar yang di miliki
oleh setiap warga negaranya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa di Indonesia tidak hanya
kaum laki-laki yang bisa menjadi “nahkoda” penggerak Negara, namun di dalamnya juga
terdapat peran perempuan. Ini dapat dibuktikan dengan pernah Indonesia di pimpin oleh
seorang Presiden wanita, Megawati Soekarno Putri.
            Berkaitan dengan hal ini, telah diterangkan Allah dalam firmanNya QS al-Nisa ayat
34,yang artinya :
“ Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
 
Setiap manusia dianjurkan untuk berusaha dalam menjalani hidup, tidak berpangku tangan dan
bermalas-malasan, karena apa yang diperoleh oleh manusia baik laki-laki maupun perempuan
adalah karena usahanya sendiri. Jika bersungguh-sungguh Allah akan memberi ganjaran yang
setimpal, tetapi jika sebaliknya, menjalani hidup hanya dengan berpangku tangan Allah pun
akan memberi ganjaran sesuai yang mereka usahakan.
Kata ‫بوا‬€€€€€€‫اكتس‬  dan ‫بن‬€€€€€€‫اكتس‬ diartikan dengan “yang mereka usahakan”, terambil dari
kata €‫كسب‬ kasaba. Penambahan huruf ta’ pada kata itu sehingga menjadi ‫اكتسبوا‬  dalam berbagai
bentuknya menunjukkan adanya kesungguhan serta usaha ekstra. Berbeda dengan kasaba,
yang berarti melakukan sesuatu dengan mudah dan tidak disertai dengan upaya sungguh-
sungguh (Sukma Sari Dewi Chan, 2014).
Jika kata iktasabu dipahami sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Ragib al-Asfahani, maka
ayat ini seakan-akan menyatakan, jangan mengangan-angankan keistimewaan yang dimiliki
seseorang atau jenis kelamin yang berbeda dengan jenis kelaminmu, karena keistimewaan
yang ada pada dirinya itu adalah usaha sendiri, baik dengan bekerja keras membanting tulang
dan pikiran, maupun karena fungsi yang diembannya dalam masyarakat, sesuai dengan potensi
dan kecendrungan jenisnya. Lelaki mendapatkan dua bagian dari perempuan, atau ditugaskan
berjihad dan sebagainya, karena potensi yang terdapat di dalam dirinya. Harta benda,
kedudukan, dan nama adalah karena usahanya. Perempuan pun demikian, melahirkan dan
menyusukan, atau keistimewaannya memperoleh maskawin dan dipenuhi kebutuhannya oleh
suami, atau harta benda yang diperolehnya ini semua karena usahanya sendiri atau karena
potensi serta kecenderungan yang ada pada dirinya sebagai jenis kelamin wanita (Sukma Sari
Dewi Chan, 2014).
Dari penjelasan yang panjang di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan:

a. Perempuan memiliki kemampuan yang luar biasa yang jarang dimiliki oleh laki-laki.
Memperbolehkannya bekerja akan membuahkan kemaslahatan untuk masyarakat,
sedang menghalangi keterlibatannya bekerja dapat merugikan masyarakat karena tidak
dapat memanfaatkan kelebihannya.
b. Pekerjaan yang dilakukannya hendaklah yang layak bagi perempuan, apalagi kalau itu
memang spesialisasinya perempuan, seperti menjadi bidan dan lain-lain, maka
pelanggaran terhadap hal tersebut adalah sesuatu yang keliru. Yang perlu ditambahkan
adalah ketika keluar rumah untuk bekerja, perempuan harus tampil dengan sikap dan
pakaian yang terhormat.
c. Perempuan bekerja untuk membantu tugas pokok suaminya. Kalau di wilayah pertanian
dapat ditemukan contoh dengan mudah, di mana kaum perempuan banyak yang terlibat
di sawah dan juga perkebunan. Di perkotaan misalnya, kalau suaminya dosen
membantu mempersiakan makalah, mencari referensinya, membantu pengetikan dan
lain-lain.
d. Bahwa perempuan perlu bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan
hidup keluarganya, jika tidak ada yang menjamin kebutuhannya atau kalaupun ada itu
tidak mencukupi.

 
Pada prinsipnya Islam tidak melarang perempuan bekerja di dalam maupun di luar rumah
secara mandiri atau bersama-sama, dengan swasta atau pemerintah, siang atau malam,
selama pekerjaan itu ia lakukan dengan cara terhormat, serta mereka dapat menjalankan
tuntunan agama serta dapat menghindarkan dampak-dampak negatif dari pekerjaan yang ia
lakukan itu terhadap diri, keluarga, dan lingkungannya. Islam tidak juga menetapkan jumlah
jam-jam tertentu dan hati-hati tertentu untuk bekerja. Yang digariskannya hanyalah bahwa
pekerjaan tersebut tidak boleh menjadi beban yang sangat berat dipikul, baik karena lamanya
waktu bekerja maupun karena sifat pekerjaan.

Anda mungkin juga menyukai