Anda di halaman 1dari 47

Pendidikan Dasar Gratis atau

Pendidikan Dasar yang Berkualitas, Berkeadilan dan Efisien?

Subuh Anggoro
S3 Pendidikan Dasar UPI Bandung

Rasional

Pendidikan Dasar di Indonesia bertujuan untuk membangun landasan bagi


berkembangnya peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif mandiri,
percaya diri dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab untuk
mengikuti pendidikan lebih lanjut sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional
(Bab IV, bagian I Pasal 12 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional). Sehingga fungsi pendidikan dasar adalah menanamkan nilai-nilai, sikap, dan rasa
keindahan serta memberikan dasar pengetahuan, kemampuan dan kecakapan membaca,
menulis, dan berhitung serta kapasitas belajar peserta didik untuk melanjutkanke pendidikan
menengah dan/atau untuk hidup di masyarakat, sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan
nasional (pasal 12, ayat 1).
Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan, bahkan warga negara
yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan
setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar serta
orangtua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada
anaknya. (UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2, UU Sisdiknas Pasal 6 Ayat 1, Pasal 7, dan Pasal 34).
Sementara pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat; namun khusus untuk pendidikan dasar Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib membiayainya serta menjamin terselenggaranya wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2,
UU Sisdiknas Pasal 11 Ayat 2, Pasal 34 Ayat 2, dan Pasal 46 Ayat 1). Artinya, pendidikan
dasar itu gratis bagi semua warga negara Indonesia.
Makalah ini akan membahas 3 kebijakan pendidikan dasar yang saling berkaitan
beserta analisis SWOT nya, yaitu: (1) wajib belajar pendidikan dasar atau wajardikdas; (2)
otonomi pendidikan khususnya pendidikan dasar; dan (3) pembiayaan pendidikan dasar.
Dasar Hukum

1. UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2 bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya dan ayat 4 negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional
2. UU Sisdiknas Pasal 6 Ayat 1 setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan
limabelas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar

1
3. UU Sisdiknas pasal 11 ayat 2 yang berbunyi pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara
yang berusia tujuh sampai dengan limabelas tahun
4. UU No. 22 tahun 1999 juncto UU No.32 tahun 2004 juncto UU nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah Dalam Bab IV Pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa:
urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara
pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah provinsi/ kabupaten/kota, yang sekaligus
juga menjadi dasar bagi pelaksanaan Otonomi Daerah.
5. UU No. 22 tahun 1999 juncto UU No. 32 tahun 2004 juncto UU nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan merupakan
salah satu urusan pemerintahan wajib, terkait dengan Pelayanan Dasar yakni
pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara.
6. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Program Indonesia Pintar (PIP) bagi
siswa yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
7. Peraturan Presiden No. 65/2011 tentang Upaya Percepatan Pembangunan di Provinsi
Papua dan Papua Barat (UP4B).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pembiayaan Pendidikan
9. Permendiknas Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia
Tahun 2009
10. Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 juncto PP no 23 tahun 2013 tentang Standar
Nasional Pendidikan (PP-SNP)
11. Permendiknas No. 15/2010 tentang SPM Pendidikan Dasar di kab/kota
12. Perdasus 2012 tentang Penyediaan Pendidikan untuk Penduduk Asli Papua

1. Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan, bahkan warga negara
yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan
setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar serta
orangtua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada
anaknya (UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2, UU Sisdiknas Pasal 6 Ayat 1, Pasal 7, dan Pasal 34).
Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 2 secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Kewajiban warga
Negara mengikuti pendidikan dasar diperkuat dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional khususnya pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara
yang berusia tujuh sampai dengan limabelas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Survei yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun 2005 terhadap 93 negara di Afrika dan
Asia menunjukkan sudah ada 16 negara yang masuk kategori tidak ada pungutan (no user
fees), yaitu Bangladesh, Cambodia, Cape Verde, Chile, Kosta Rika, Guatemala, Irak, Nepal,
Peru, Senegal, Sri Lanka, St. Kitts/ Nevis, Tanzania, The Gambia, Tunisia, dan Zambia.

2
Menarik untuk dicatat bahwa 16 negara ini secara ekonomi tidak lebih kaya dibandingkan
Indonesia.
Tabel 1. Angka Partisipasi Sekolah dan Pendidikan Gratis

Sumber: World Development Indicator 2004


Catatan penting dari survei ini adalah bahwa negara yang telah menghapuskan iuran
mengalami peningkatan partisipasi sekolah secara signifikan. Partisipasi sekolah di Uganda
meningkat 68 persen dan di Malawi 49 persen setelah negara tersebut mengadopsi kebijakan
pendidikan dasar gratis. Ini menunjukkan kebijakan pendidikan dasar gratis sangat efektif
untuk meningkatkan akses pada pendidikan. Analisis ekonometris di Uganda menunjukkan
bahwa hambatan kurangnya pendapatan orangtua menjadi kurang berpengaruh setelah iuran
sekolah dihapuskan (Deininger, 2003). Proporsi anak yang tidak bersekolah karena biaya
sekolah sebesar 71 persen pada 1992, tapi menurun menjadi 37 persen setelah iuran
dihapuskan.
Kedua, penghapusan iuran masyarakat meningkatkan akses sekolah kelompok miskin.
Terlebih bagi kelompok miskin, karena biaya sekolah menjadi penghalang akses pada
pendidikan. Karena pendidikan sangat penting bagi pengentasan kemiskinannya, hambatan
ini penjadi penghalang pengentasan kemiskinan suatu negara. Masyarakat miskin
menghadapi berbagai rintangan untuk mengakses sekolah. Faktor-faktor penghambat tersebut
di antaranya: rendahnya pendapatan keluarga, biaya sekolah, ada tidaknya sekolah yang
terjangkau, keterlibatan komunitas, transportasi, kualitas pendidikan dan relevansinya,
pendidikan orangtua, hambatan fisik atau psikis, hambatan kultur dan norma, dan opportunity
costs dari bersekolah (Boyle et. al., 2002; Deininger, 2003; Deolalikar, 1997). Di antara
semua hambatan tersebut, biaya sekolah diyakini merupakan penghambat utama (Deolalikar,
1997; Holmes, 1999; Mukudi, 2004). Di Kamboja, Uganda, Malawi, Zambia dan Timor

3
Leste, penghapusan iuran masyarakat meningkatkan partisipasi kelompok miskin secara
signifikan. Demikian juga partisipasi sekolah anak perempuan miskin.
Ketiga, alasan hak asasi. Konsep yang secara global dikenal sebagai konsep
universal free basic education ini sudah ditetapkan sebagai salah satu standar pemenuhan
hak asasi, sebagaimana termaktub dalam beberapa teks hukum/kovenan internasional.
Berangkat dari alasan hak asasi, pendidikan dasar gratis didorong untuk menerapkan prinsip
non-diskriminasi berbasis ras, gender, difabel, disabilitas dan lain sebagainya.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
(Wajardikdas) sembilan tahun telah tuntas pada tahun 2011 lalu. Tuntasnya program
Wajardikdas ini ditandai dengan telah tercapainya Angka Partisipasi Kasar (APK) Sekolah
Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) lebih dari 100 persen. Capaian program
Wajardikdas terlaksana empat tahun lebih awal dari target Education For All maupun Free
Basic Education - MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015.
Dilihat dari capaian APK, target program wajardikdas memang telah terlampaui.
Namun jika dilihat dari capaian Angka Partisipasi Murni (APM), belum memenuhi target
seratus persen. Dalam RPJMN tahun 2015 2019, misalnya, disebutkan bahwa masih ada
sekitar 2,12 persen anak usia 7 -15 tahun tidak bersekolah. Sedangkan untuk anak berusia 13
15 yang belum sekolah angkanya lebih besar lagi, yakni sekitar 10,48 persen. Sebagian
kecil dari mereka bahkan tidak/belum pernah mengenyam pendidikan formal. Untuk itu,
pemerintah menargetkan pencapaian APM anak usia SD/MI sebesar 94,8% dan anak usia
SMP/MTs sebesar 82% pada tahun 2019.
Proses pembelajaran, khususnya pada jenjang pendidikan dasar, di Indonesia masih
menyisakan sejumlah masalah. Pemerintah menyatakan kualitas proses pembelajaran di
Indonesia masih belum baik karena proses pembelajaran di kelas secara umum tidak
interaktif (RPJMN 2015 2019). Hal ini diperkuat oleh studi Bank Dunia (2014) yang
menyatakan sekitar 74 persen aktivitas kelas dilakukan oleh guru saja dan hanya sekitar 11
persen aktivitas dilakukan bersama guru dan siswa. Guru menghabiskan sebagian besar
waktu belajar untuk menjelaskan materi dan pemecahan masalah. Hanya sedikit waktu yang
digunakan untuk diskusi dan praktik. Menurut studi bank dunia, proses pembelajaran seperti
itu tidak akan menumbuhkan kreativitas siswa dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Padahal kreativitas dan daya pikir kritis merupakan kompetensi yang sangat penting untuk
dimiliki siswa sebagai hasil pembelajaran.
Hasil belajar siswa pada jenjang pendidikan dasar juga belum memuaskan. Hanya
sekitar 56 persen siswa SMP/MTs yang mencapai batas minimal nilai Ujian Akhir Nasional

4
(UAN) pada tahun 2013. Sementara pada jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA)
capaian batas minimal nilai UAN relatif lebih baik yakni sekitar 66 persen (RPJMN 2015
2019). Selain masalah nilai murni UAN yang masih rendah, masalah lainnya adalah masih
sangat senjangnya capaian nilai UAN antarsiswa, antarsekolah, maupun antardaerah. Ada
indikasi kesenjangan juga terjadi di level gender. Anak perempuan secara rata-rata
memperoleh nilai lebih tinggi untuk semua mata pelajaran dibanding anak laki-laki dengan
selisih yang lebih menonjol pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
Meski akses terhadap pendidikan dasar telah meningkat secara signifikan, namun dari
sisi kualitas masih kurang menggembirakan. Hasil studi PISA (Program for International
Student Assessment) menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di ranking bawah di antara
negara-negara peserta lainnya.

Gambar 1. Skor PISA Indonesia dan beberapa Negara lain (Sumber: Bank Dunia, 2013)
Berdasarkan studi PISA, hasil belajar siswa Indonesia masih sangat rendah. Nilai rata-
rata siswa Indonesia dalam PISA 2015 hanya 403 atau naik 6 poin dibanding hasil PISA 2012
sebesar 397, jauh lebih rendah dari nilai rata-rata Negara OECD (493). Sekitar 42,3 persen
siswa Indonesia tidak mencapai kecakapan Level-2 yang merupakan kecakapan minimal
yang harus dikuasai oleh anak-anak usia 15 tahun. Hasil belajar siswa Indonesia untuk
pelajaran matematika dan sains mengalami peningkatan, masing-masing 3 poin untuk sains
dan 4 poin untuk matematika. Hasil PISA juga menunjukkan bahwa hasil belajar anak
perempuan lebih baik dibanding dengan proporsi anak perempuan yang tidak mencapai
kecakapan Level-2 (47,6 persen) lebih kecil dibandingkan dengan anak laki-laki yang tidak
mencapai kecakapan yang sama (62,5 persen).

5
Berdasarkan RPJMN tahun 2015 2019, terdapat tiga faktor utama yang
mempengaruhi rendahnya kualitas proses pembelajaran di Indonesia sebagai berikut:
Pertama, faktor jaminan kualitas pelayanan pendidikan yang belum berjalan dengan baik.
Pemerintah telah menetapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) sebagai tolok ukur kinerja
bagi pemerintah daerah (kabupaten dan kota) dalam melaksanakan layanan pendidikan dasar.
SPM ini merupakan tahapan untuk mencapai standar nasional pendidikan dan harus tuntas
pada tahun 2014 lalu. Akan tetapi berdasarkan survei SPM tahun 2013, secara umum
pencapaian SPM kabupaten/kota belum menggembirakan. Dari 5.280 SD/MI dan SMP/MTs
yang disurvei hanya sekitar 54 persen SMP/MTs yang memiliki ruang laboratorium sains,
bahkan MTs swasta yang memiliki ruang laboratorium hanya sekitar 21 persen saja. Tidak
hanya capaian fisik, capaian non-fisik juga masih belum cukup baik. Misalnya, kurang dari
60 persen SD/MI yang semua gurunya menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
dan hanya sekitar 50 persen SD/MI yang semua gurunya mengembangkan dan menerapkan
program penilaian untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar peserta didik.
Infomasi ini dapat menggambarkan bahwa proses pembelajaran dan sistem pendukungnya
belum sesuai dengan yang diharapkan.
Kedua, pembelajaran belum didukung oleh kurikulum yang teruji. Kurikulum
berdasarkan UU Sisdiknas dikembangkan dengan prinsip diversifikasi dan harus dapat
meningkatkan potensi, minat dan kecerdasan peserta didik. Untuk mencapai tujuan kurikulum
tersebut pemerintah pada tahun 2013 mulai menerapkan kurikulum baru dengen pendekatan
tematik integratif. Akan tetapi pemberlakuan kurikulum baru tersebut mendapat kritik dari
masyarakat secara luas sehingga menimbulkan kontroversi. Pihak-pihak yang mengkritik
menilai bahwa pemerintah belum siap menerapkan kurikulum 2013 baik dari sisi substansi
maupun teknis pelaksanaannya. Hal teknis yang menjadi kritik banyak pihak adalah masih
rendahnya kompetensi guru, lemahnya kepemimpinan pedagogis kepala sekolah, pengawas,
dan dinas pendidikan. Untuk itu, diperlukan kemampuan dan kemauan sekolah dan guru yang
dapat mendorong terjadinya perubahan terutama dalam proses pembelajaran di kelas dan
penilaian kinerja siswa. Akuntabilitas sekolah dan transparansi kepada masyarakat,
manajemen kinerja guru, penilaian sekolah, dan proses pemantauan yang juga menjadi faktor
penting dalam keberhasilan pelaksanaan
Ketiga, sistem penilaian hasil belajar yang diskriminatif. Selama sepuluh tahun
terakhir, Ujian Akhir Nasional (UAN) merupakan satu satunya instrumen untuk melihat
tingkat pencapaian pembelajaran siswa yang hasilnya digunakan untuk berbagai tujuan, yaitu:
mengukur hasil belajar atau prestasi akademik siswa, seleksi untuk penerimaan siswa baru

6
pada jenjang yang lebih tinggi, pemetaan kesenjangan dan mengidentifikasikan kebutuhan
intervensi di tingkat sekolah, penentuan kelulusan siswa, dan pengukuran kualitas sekolah
(termasuk guru dan kepala sekolah). Banyaknya faktor yang mempengaruhi hasil belajar
siswa, penggunaan satu bentuk penilaian di akhir dari satu siklus pendidikan untuk berbagai
tujuan tentunya tidak mencukupi. Kini pemerintahan baru telah mencoba merevisi kesalahan
kebijakan evaluasi pendidikan nasional ini dengan melepaskan fungsi Ujian Nasional sebagai
penentu kelulusan sehingga diharapkan proses belajar mengajar menjadi lebih otentik dan
meningkatkan kreativitas guru dan siswa.

Berdasarkan paparan yang telah dijelaskan sebelumnya wajardikdas yang


dilaksanakan Indonesia memiliki beberapa kekuatan (strength), kelemahan (weakness),
peluang (opportunity) serta tantangan (threat). Gambaran tentang SWOT wajardikdas dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Analisis SWOT Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)


1. Komitmen negara untuk mewujudkan wajib 1. pembelajaran di kelas secara umum tidak interaktif
belajar pendidikan dasar bagi seluruh (74 persen aktivitas kelas dilakukan oleh guru saja
warganegara (UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2, UU dan hanya sekitar 11 persen aktivitas dilakukan
Sisdiknas Pasal 6 Ayat 1, Pasal 7, dan Pasal bersama guru dan siswa)
34) 2. Hanya sekitar 56 persen siswa SMP/MTs yang
2. Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) mencapai batas minimal nilai Ujian Akhir Nasional
sembilan tahun telah tuntas pada tahun (UAN) pada tahun 2013
2011(APK SD dan SMP lebih dari 100%) 3. sangat senjangnya capaian nilai UAN antarsiswa,
3. Kebijakan yang mendukung peningkatan antarsekolah, maupun antardaerah. Ada indikasi
kualitas pendidikan (PP Nomor 48 Tahun 2008 kesenjangan juga terjadi di level gender.
SNP dan Permendiknas Nomor 69 Tahun 2009 4. Kualitas pendidikan masih kurang menggembirakan
tentang SPM) (Hasil studi PISA 2012 dan 2015 untuk mata
pelajaran sains, matematika dan membaca)
Peluang (Opportunities) Tantangan (Threathness)
1. Anggaran pendidikan dalam RAPBN yang 1. masih ada sekitar 2,12 persen anak usia 7 -12
semakin besar baik persentase maupun jumlah tahun dan 10,48 persen usia 13 15 tahun yang
(misalnya 15% pada tahun 2002 menjadi 20% tidak bersekolah,
pada tahun 2009-2014) 2. jaminan kualitas pelayanan pendidikan yang belum
2. Komitmen pemerintah tentang wajardikdas 12 berjalan dengan baik (hanya 54 persen SMP/MTs
tahun pada tahun 2019 yang memiliki ruang laboratorium sains; hanya 60
3. Kemauan politik seluruh stakeholder persen SD/MI yang semua gurunya menerapkan
(Gubernur, Bupati, DPRD) dalam memajukan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan
pendidikan di daerah sekitar 50 persen SD/MI yang semua gurunya
mengembangkan dan menerapkan program
penilaian untuk membantu meningkatkan
kemampuan belajar peserta didik)
3. sistem penilaian hasil belajar yang diskriminatif
(UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan dan
penerimaan siswa pada jenjang pendidikan
selanjutnya)

7
1.1. Rekomendasi

1. Pemerintah perlu menuntaskan program Wajardikdas Gratis 9 tahun pada tahun 2016.
Rintisan program Wajardikdas Gratis 12 tahun mulai dilakukan untuk memenuhi janji
pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil PresidenYusuf Kalla. Sebagaimana tercantum
dalam visi misi presiden RPJMN 2014-2019: 23 yang menyebutkan akan selenggarakan
pendidikan 12 tahun berkualitas dan tanpa biaya di seluruh Indonesia
2. Pemerintah pusat perlu merumuskan konsep dan aturan yang jelas mengenai
Wajardikdas Gratis Berkualitas sebagai panduan implementasi pembiayaan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Regulasi ini perlu mencakup setidaknya:
a. Konsepsi bahwa biaya yang ditanggung pemerintah adalah seluruh (4 pos) biaya di
tingkat satuan pendidikan. Sedangkan biaya yang ditanggung masyarakat adalah pos
biaya personal, dengan menekankan bahwa khusus bagi masyarakat miskin biaya ini
sebagian ditanggung oleh pemerintah (beasiswa siswa miskin atau yang sekarang
menjadi Kartu Indonesia Pintar)
b. Target capaian Wajardikdas Gratis 9 tahun bagi daerah bisa berupa pilihan antara
Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Nasional Pendidikan (SNP).
c. Regulasi juga terkait dengan lingkup sekolah-sekolah yang harus tunduk pada
regulasi ini, yang melingkupi tidak hanya sekolah-sekolah negeri, tetapi juga
sekolah-sekolah swasta.
2. Otonomi Pendidikan Dasar

Pada Tanggal 30 September 2014, Presiden Republik Indonesia telah menandatangani


Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004, yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam Bab IV
Pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa: urusan pemerintahan konkuren adalah urusan
pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah provinsi/
kabupaten/kota, yang sekaligus juga menjadi dasar bagi pelaksanaan Otonomi Daerah.
Salah satu urusan pemerintahan konkuren adalah pendidikan yang termasuk dalam Pelayanan
Dasar yakni pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara (Pasal 12
ayat 1).
Otonomi kewenangan atau desentralisasi pendidikan dilatarbelakangi oleh tiga motif,
yaitu motif politis, motif pembiayaan (pendanaan) dan motif efisiensi. Adapun tujuan
desentralisasi pendidikan adalah :

8
1) Mengembangkan pendidikan itu sendiri secara langsung,
2) Mengembangkan pelaksanaan sistem pendidikan,
3) Mengubah sumber dan jumlah dana yang disediakan untuk pendidikan,
4) Memberikan keuntungan pada pemerintah pusat, dan
5) Memberikan keuntungan pada pemerintah daerah.
Jadi, desentralisasi pendidikan merupakan proses yang relatif kompleks, karena
berhadapan dengan perubahan dalam cara sistem persekolahan melakukan pembuatan
kebijakan, menggali dan memperoleh penerimaan dan penggunaan dana, melatih guru,
mengembangkan kurikulum dan mengelola sekolah di daerah. Desentralisasi pendidikan
bukanlah tujuan akhir, melainkan suatu alat yang penting untuk membangun dan
meningkatkan mutu pendidikan. Melalui desentralisasi pendidikan di harapkan permasalahan
pokok pendidikan, yaitu masalah mutu, pemerataan, relevansi, efisiensi dan manajemen dapat
terpecahkan.
Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Matriks
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi
Dan Daerah Kabupaten/Kota menyatakan bahwa manajemen pendidikan dasar dilakukan
oleh pemerintah kabupaten/kota. Manajemen pendidikan tersebut meliputi pengelolaan
pendidikan dasar dan PAUD, penetapan kurikulum muatan lokal pendidikan dasar,
pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal, pemindahan pendidik dan tenaga
kependidikan dalam daerah kabupaten/kota dan penerbitan izin penyelenggaraan pendidikan
dasar dan PAUD yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Pendidikan dasar di Indonesia masih menghadapi permasalahan-permasalahan
mendasar, dan seringkali tidak senada dengan kebutuhan masyarakat di pedesaan.
Permasalahan-permasalahan pendidikan di pedesaan, antara lain: (1) Sebagian anak-anak
Indonesia (46% berdasarkan laporan BPS tahun 2012) tinggal dan bersekolah di daerah-
daerah pedesaan; (2) Umumnya anak-anak tersebut barangkali hidup dari penghasilan di
daerah pedesaan, apakah dari sawah, kebun atau dari upah dan sebagainya; (3) Pendidikan di
pedesaan sedikit sekali memberikan pengetahuan, skill (keterampilan), dan gagasan-gagasan
baru yang perlu untuk bekerja secara efisien di lingkungan pedesaan (pertanian, kesehatan,
makanan sehat dan bergizi, pengembangan kemasyarakatan dan lain-lain); (4) Pendidikan
dasar biasanya berusaha mempersiapkan murid-murid melanjutkan ke jenjang sekolah yang
lebih tinggi dengan didominasi latihan membaca, menulis dan berhitung ketimbang latihan
berfikir dan praktek menyelesaikan problema kehidupan. Sementara itu, fenomena yang ada
adalah: (1) Masih tingginya jumlah anak-anak putus sekolah atau tidak bersekolah karena

9
alasan ekonomi dan alasan sosial lainnya; (2) Masih relatif terbatas jumlah anak-anak dari
pedesaan yang berhasil masuk sekolah lanjutan menengah; (3) Dari jumlah mereka yang
berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan menengah, sebagian besar tidak dapat
memasuki Perguruan Tinggi, sehingga peluang mereka untuk dapat meraih pekerjaan di
sektor modern di perkotaan sangat terbatas (Todaro, 1983).
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, presentase penduduk 7-15 tahun yang
belum/tidak sekolah sebesar 2,51 persen dan yang tidak sekolah lagi sebesar 6,04 persen.
Ukuran/indikator untuk melihat kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terkait
pendidikan antara lain pendidikan yang ditamatkan dan Angka Melek Huruf (AMH).
Berdasarkan hasil SP 2010, presentase penduduk 5 tahun keatas berpendidikan minimal tamat
SMP/sederajat sebesar 40,93 persen. Ini menunjukkan kualitas SDM menurut tingkat
pendidikan formalnya relatif masih rendah. AMH penduduk berusia 15 tahun ke atas sebesar
92,37 persen yang berarti setiap 100 penduduk usia 15 tahun keatas ada 92 orang yang melek
huruf.. Penduduk dapat dikatakan melek huruf jika dapat membaca dan menulis huruf latin
atau huruf lainnya. Disamping itu studi tentang anak yang tidak bersekolah (Out-of School
Children) oleh Kemdikbud dan UNICEF 2012 menunjukkan bahwa anak-anak di pedesaan
yang tidak bersekolah adalah dua kali lebih tinggi daripada anak-anak di perkotaan. Juga,
angka putus-sekolah di pedesaan hampir dua kali lebih tinggi daripada anak-anak di
perkotaan baik untuk SD/MI dan SMP/ MTs dan angka kelulusan SD/MI di pedesaan 6,5%
lebih rendah dan SMP/MTs 25% lebih rendah daripada sekolah/madrasah di perkotaan.
Sistem pendidikan negara kita lebih memfokuskan pada mempersiapkan anak
didiknya untuk bisa lulus standar kualifikasi ujian guna melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Sedangkan kurikulum yang berkaitan dan diperlukan bagi sebagian besar
anak didik yang mendambakan hidup dan bekerja di daerah pedesaan (mengelola sumber
daya alam desa secara optimal) kurang mendapat perhatian. Sehingga pendidikan di pedesaan
kurang memberikan kontribusi dalam rangka memperbaiki produktivitas pertanian dan
ekonomi di daerah pedesaan. Pendidikan kurang membantu masyarakat pedesaan untuk bisa
bekerja lebih efektif dalam lingkungan desanya.
Seorang ahli pendidikan ekonomi Philip H. Coombs dalam Todaro (1983)
memberikan tipologi pendidikan yang dibutuhkan untuk remaja, anak-anak, pria dan wanita
ke dalam empat kelompok utama, sebagai berikut: (1) Pendidikan umum atau pendidikan
dasar; mencakup membaca, menulis, berhitung dan pengetahuan dasar tentang ilmu
lingkungan dan lain-lain, sebagaimana yang telah diusahakan dan harus dicapai oleh
pendidikan dasar dan menengah; (2) Pendidikan untuk perbaikan keluarga; terutama

10
dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan, skill (keterampilan), dan sikap-sikap yang
berguna dalam usaha memperbaiki kualitas kehidupan keluarga tentang masalah-masalah
kesehatan, gizi, pemeliharaan rumah, anak, keluarga berencana dan lain-lain; (3) Pendidikan
untuk perbaikan masyarakat; dimaksudkan untuk memperkuat proses-proses dan lembaga-
lembaga nasional dan lokal melalui pengajaran mengenai pemerintahan setempat dan
pemerintahan nasional, koperasi, kemasyarakatan dan lain-lain; (4) Pendidikan okupasional
pekerjaan/jabatan; yang lebih dimaksudkan untuk menunjang dan mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan tertentu yang berhubungan dengan berbagai kegiatan ekonomi
dan berguna bagi kehidupan di pedesaan.
Jika dikaitkan dengan empat kelompok pendidikan di atas, di pedesaan Indonesia
sampai saat ini baru kelompok pendidikan umum atau pendidikan dasar yang nampaknya
sudah dilakukan. Kelompok pendidikan lainnya masih harus mendapat pengkajian dan
perhatian yang lebih serius di masa mendatang, guna mendorong peningkatan kualitas
sumber daya manusia di era otonomi daerah. Yang terpenting adalah bagaimana
mengupayakan sinkronisasi kurikulum pendidikan dengan kebutuhan dan potensi setempat
dan nasional.
Indonesia menghadapi tantangan yang lebih fundamental: banyak guru memang tidak
hadir di sekolah. Untuk terwujudnya pembelajaran yang bermutu di kelas, guru pertama-tama
dan yang utama wajib hadir. Rata-rata tingkat ketidakhadiran guru di Indonesia diperkirakan
19% pada Tahun 2003 (Chaudhury dkk., 2006), turun ke 14% pada Tahun 2008 (Toyamah
dkk., 2009). Meski turun, keadaan nyata guru mangkir di Papua dan Papua Barat sungguh
jauh lebih tinggi. Sebuah Studi tentang Absenteisme Guru di dua provinsi menemukan secara
keseluruhan tingkat ketidakhadiran guru lebih dari 33% yang berarti tiap tiga guru di Tanah
Papua, satu guru absen (Papua mempunyai angka tertinggi yakni 37% dibandingkan dengan
26% di Papua Barat). Sesungguhnya, tingkat guru mangkir tertinggi di kabupaten di mana
kabupaten yang sama angka anak tidak bersekolah juga tergolong tertinggi. Juga diamati
bahwa separuh dari anak-anak usia sekolah tapi tidak bersekolah. Anak-anak ini sebagian
besar berada di kabupaten-kabupaten wilayah pegunungan/dataran tinggi Papua.
Ketidakhadiran guru ditemukan terendah di kecamatan wilayah perkotaan dan tinggi di
daerah pedesaan and terpencil; dengan kata lain semakin terpencil sekolahnya, semakin tinggi
angka guru absen.
Dalam mengurai faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi absenteisme guru dan
kepala sekolah, ada sejumlah karakteristik yang terkait dengan absenteisme/kehadiran:

11
a. Karakteristik Sekolah dan Guru
Sertifikasi guru belum mengurangi angka guru mangkir walaupun mereka sudah lulus
S1 dari universitas yang seharusnya angka guru-guru mangkir menurun.
Guru pria lebih banyak mangkir merata di semua kategori wilayah geografis
Tingkat absensi guru berstatus PNS cenderung lebih tinggi daripada guru non-PNS
(guru honor, guru kontrak, guru sukarela)
Guru yang hidup di sekitar sekolah umumnya hadir secara reguler.
Guru-guru di sekolah yang sering dipantau (dekat kantor dinas pendidikan) tingkat
absensinya rendah.
Guru mangkir membawa dampak amat parah di sekolah-sekolah PDT karena
banyaknya murid per kelas di kelas awal; terutama di kabupaten pegunungan rasio
murid guru adalah 40 murid/1 guru.
b. Kesejahteraan Guru
Faktor terkuat dalam kategori ini yang menjadi sebab guru absen yakni tidak adanya
rumah yang layak untuk guru.
Paket tunjangan seperti bantuan uang lauk-pauk dan tunjangan untuk guru daerah
terpencil berpengaruh kuat positif terhadap kehadiran guru di sekolah namun tidak
banyak dari paket insentif ini benar-benar diterima oleh para guru di daerah-daerah
sulit-akses ini.
c. Jenjang Sekolah:
Manajemen berbasis sekolah (MBS) berpengaruh kuat positif terhadap kehadiran guru.
Ketidakhadiran guru terkait erat dengan adanya dan digunakannya buku daftar hadir
guru dan alat pantau lainnya serta sanksi tegas yang diterapkan di sekolah.
Ketidakhadiran guru terkait erat dengan ketidakhadiran kepala sekolah di daerah
pegunungan di mana 7 dari tiap 10 kepala sekolah ternyata absen. Sekolah-sekolah
yang kepalanya trampil memimpin, dapat diharapkan, mampu mengurangi angka guru
absen.
Sekolah yang komunitasnya aktif ikut serta dalam proses manajemen sekolah termasuk
memantau kehadiran guru, mempunyai angka guru absen rendah.
Sarana-prasarana sekolah tampaknya memacu kehadiran meski secara tidak langsung
karena sungguh bergantung pada mutu manajemen sekolah.
d. Tata-kelola:
Pemantauan dan Regulasi Absenteisme guru terkait kuat dengan efektifnya tata-kelola
daerah dan berfungsinya sistem administrasi: pemda memantau dan memastikan

12
manajemen guru yang diterapkan oleh dinas pendidikan kabupaten dan
kecamatan/distrik serta penyediaan tunjangan sungguh penting untuk mengurangi
ketidakhadiran guru di sekolah.
Sebuah tinjauan terhadap dampak dari berbagai inisiatif untuk mengurangi
ketidakhadiran guru di negara-negara sedang berkembang dikelompokkan dalam upaya
langsung dan tidak langsung. Upaya tidak langsung, di mana dorongan untuk guru hadir di
sekolah bukanlah tujuan utama tapi diharapkan sebagai tujuan tambahan melalui program
teori perubahan, yang digolongkan ke dalam 4 kategori. Yakni program 1) usaha
meningkatkan partisipasi orang tua dan komunitas, 2) memberikan insentif/tunjangan kepada
guru yang dikaitkan dengan prestasi murid, 3) meawarkan beasiswa yang berdasarkan kinerja
kepada siswa, dan 4) telusuri jejak siswa sesuai prestasi sebelumnya. Dua upaya langsung
yang menggabungkan pemantauan kehadiran dengan tunjangan keuangan dalam bentuk
pembayaran sesuai jumlah kehadiran guru (India) atau bonus berdasarkan pada kehadiran
(Peru). Kedua upaya ini ternyata secara nyata mengurangi angka guru mangkir.
2.1. Model-model Pendidikan Alternatif
Model alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
sekolah kampung seperti yang dilakukan di Propinsi Papua dan Papua Barat. Sekolah
Kampung adalah model khas tepat-guna untuk mendekatkan layanan pencerdasan kepada
warga di kampung terpencil seperti di Papua maupun daerah 3T lainnya di Indonesia. Kunci
sukses sekolah kampung adalah kuatnya dukungan pemangku kepentingan lokal pada
perencanaan dan implementasi. Pemda dan DPRD pun mendukung sekolah kampung ini.
Dana desa dialokasikan untuk keperluan operasional sekolah kampung. Melalui konsultasi
intensif dengan komunitas kampung, mereka terdorong untuk sungguh aktif mendukung
sekolah-sekolah ciptaan sendiri. Ini lalu memudahkan alih-ilmu dan alih-keterampilan kepada
komunitas sebagai cara untuk mempertahankan kehidupan sekolah. Guru-guru SD
mengatakan bahwa anak-anak dari Sekolah Kampung sungguh aktif di kelas, dan mengalami
kemajuan. Ini membuktikan bahwa sekolah kampung adalah model yang tepat-guna untuk
mendorong anak untuk suka ke SD.
Terdapat perbedaan fasilitas yang disediakan untuk sekolah di kampung dengan
ibukota kecamatan. Untuk kelas 1-3 dipadukan dengan Program Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM). Sedangkan kelas 4-6 digabung dengan SD Induk atau satu atap dengan SMP.

13
Gambar 2. Model Transisi dari SD ke SMP di Provinsi Papua (Sumber ACDP, 2014)
Pendidikan Multikelas dapat dijadikan alternatif penanganan masalah pada PDT atau
daerah 3T. Pembelajaran multi-kelas bukanlah tentang bagaimana mengajar dua kelas
sekaligus, namun bagaimana menciptakan program untuk seluruh sekolah, dengan kegiatan
yang berbeda dan murid-murid yang kemampuannya berbeda pula. Pendekatan ini tidaklah
mengorbankan mutu pendidikan. Mengajar dan belajar multi-kelas menjadi praktik lumrah di
PDT di antero dunia karena jumlah murid sedikit serta guru pun kurang. Amat banyak guru
SD di banyak negara mengajar multi-kelas atau kelas kombinasi. Contohnya di Finlandia di
mana 70% murid mendaftar di sekolah yang gurunya kurang dari tiga orang. Portugis
mempunyai 80% murid bersekolah di sekolah yang kelasnya tidak lebih dari dua. Di Pilipina
mempunyai 8% sekolah menerapkan multi-kelas, Meksiko di mana 22% SD hanya
mempunyai satu guru, India 77% SD menggunakan sistem multi-kelas, Irlandia di mana 42%

14
sekolah mempunyai dua kelas-gabung dan 16% sekolah mempunyai tiga kelas atau lebih
yang digabung; juga di PDT di Austalia, Inggris dan AS. Di negara sedang berkembang,
seperti di Afrika, kelas-gabung SD ada di Botswana, Malawi, Uganda Zambia, Belize,
Dominica, Guyana, Jamaica, Trinidad, Tobago, Turki dan Caicos Islands. Tantangan yang
dihadapi dalam pembelajaran multikelas adalah bahan ajar seringkali tidak mudah tersedia
untuk mengajar multi-kelas, dan perencanaan sungguh makan waktu dan kondisi fisik kelas
(dengan anak yang usianya berbeda dan tingkat pembelajaran yang berbeda di satu ruangan)
yang seringkali dianggap oleh para pemangku kepentingan merugikan mutu mengajar dan
guru yang belum terlatih baik dalam pembelajaran multi-kelas.
UNESCO telah lama mengidentifikasikan bahwa seluruh kinerja pendidikan naik jika
murid diajarkan dalam bahasa ibunya di kelas-kelas awal; kebalikannya jika diajarkan dalam
bahasa yang bukan bahasa ibunya hingga menimbulkan kendala-kendala pendidikan (seperti
tingginya angka putus sekolah, rendahnya prestasi akademis dan kurangnya interaksi di kelas
-- UNESCO, 2003). Pendidikan multi-bahasa yang berbasis bahasa ibu (PMB-BBI) menjadi
bagian penting keberhasilan pendidikan dasar. Menggalakkan bahasa ibu di sekolah tidak
hanya melestarikan bahasa ibu, tapi juga secara positif berkorelasi dengan bagaimana mereka
(1) menggunakan bahasa nasional dan Bahasa Inggris; (2) Meningkatnya prestasi akademis
anak-anak dari kelompok minoritas yang hidup di PDT; (3) Meningkatkan partisipasi anak di
dalam kelas; (4) Meningkatkan angka kehadiran di sekolah; (5) Mengurangi angka ulang
kelas; (6) Memastikan bahwa relevansi pendidikan dimengerti oleh orang tua yang buta
huruf; (7) Melestarikan identitas budaya; (8) Memastikan komunitas adat dapat berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan tentang sekolah; (9) Memastikan agar anak-anak tidak
hanya sekedar menyalin teks dan mengulang bahasa tetapi sungguh mengerti apa artinya.
Bahasa yang digunakan untuk mengajar di kelas seharusnya adalah kombinasi yang
alami antara Bahasa Indonesia dan bahasa ibu. Hal ini sesuai dengan pernyataan UU No.
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 33 ayat (2): Bahasa daerah dapat
digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam
penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. Dan UU No. 21/2001 tentang
Otonomi Khusus Pasal 58 ayat (3) yang secara gamblang menyatakan, bahwa Bahasa daerah
dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.
Studi UNIPA menunjukkan bahwa memiliki pemahaman dan keterampilan yang baik dalam
bahasa setempat adalah penting. Fasih dalam bahasa setempat sungguh penting karena
sebagian dari penduduknya atau muridnya sehari-hari menggunakan bahasa daerah dalam
berbincang dan proses pembelajaran, khususnya di kelas awal SD. Informasi yang penting

15
adalah ketika salah seorang lulusan Kolese Pendidikan Guru Sorong - sebuah pendidikan
yang menyiapkan tenaga guru bagi daerah Papua- dari suku Jawa menyatakan, bahwa
kebanyakan murid di sekolahnya tempat dia mengajar tidak paham Bahasa Indonesia, karena
mereka sehari-hri berkomunikasi dalam bahasa Jawa sebagai bahasa asli mereka. Masyarakat
tersebut bertempat tinggal di distrik Salawati dan Mayamuk yang didominasi oleh
transmigran dari pulau Jawa. Oleh karena itu, bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa
pengantar, karena memang lebih dikenal luas dan dimengerti oleh para murid. Tampaknya
praktik ini seharusnya diterapkan bagi anak-anak di daerah pedesaan dan daerah terpencil di
Papua dan Papua Barat yang mayoritas belum dapat berbahasa Indonesia dan oleh karena itu
bahasa daerahnya digunakan untuk mengajar, khususnya di kelas-kelas awal SD. Yang
menarik adalah prinsip ini sebenarnya berlaku bagi guru-guru yang mengajar di masyarakat
terpencil, baik yang Papua dan non-Papua; mereka secara alami menggabungkan Bahasa
Indonesia dengan bahasa daerah setempat saat mengajar.
Pendekatan PMB-BBI di sekolah masuk dalam tiga kategori utama berikut ini:
1. Model Transisi Keluar Awal:Anak-anak diajarkan dalam bahasa ibu sebagai bahasa
pengantar selama 3 tahun pertama dengan bahasa nasional sebagai salah satu mata
pelajaran. Di kelas 4 semua bahasa ibu dihentikan. Model ini ternyata kurang berhasil
ketika mau menghasilkan anak-anak dengan nilai akademis top (Marmirez dkk 1991;
Saikia and Mohanty 2004; Thomas and Collier 2002).
2. Model Transisi Keluar Kemudian: Anak-anak diajarkan dalam bahasa ibu sebagai bahasa
pengantar selama 8-9 tahun pertama. Anak-anak Saami di Norwegia dan Finlandia telah
berkinerja bagus gunakan model ini. (Kutnnab-Kangas, 2009)
3. Model tanpa transisi: Anak-anak diajarkan dalam bahasa ibu mereka sebagai bahasa
pengantar bersamaan dengan bahasa lain sebagai bahasa kedua. Terbukti telah
menghasilkan prestasi akademis yang bagus diKanada, Finlandia dan Swedia (Kutnabb-
Kangas and Mohanty, 2009)
Upaya PMB-BBI di PNG yang memiliki 800 bahasa telah dievaluasi oleh Bank Dunia
dan berikut ini hasil evaluasi tersebut:(1) Semua anak aktif membaca secara efektif; (2)
Anak-anak lebih pro-aktif di sekolah (terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang lebih baik
daripada anak- anak di non-PMB-BBI); (3) Murid lebih banyak bertanya; (4) Murid merasa
lebih bebas berekspresi di sekolah dibandingkan dengan murid yang bersekolah di sekolah
yang hanya berbahasa Inggris; (5) Murid tahu apa yang guru kehendaki bukan menebak-
nebak. Sedangkan program PMB-BBI di Ethiopia dilaporkan bahwa murid yang belajar
bahasa mayoritas di wilayahnya selama 8 tahun mempunyai nilai prestasi rata-rata lebih

16
tinggi pada Tahun 2004 dalam mata pelajaran Matematika, Biologi, Kimia dan Fisika
daripada murid yang di sekolah menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Hasil yang sama ditunjukkan lagi pada Tahun 2008 pada mata pelajaran Matematika, Biologi,
Kimia dan Fisika;dan yang paling menarik adalah, ada perbedaan yang minimal dalam hal
kecakapan berbahasa Inggris antara murid yang menggunakan bahasa ibu dan murid yang
menggunakan Bahasa Inggris saja sebagai bahasa pengantar di sekolah.
Menurut informasi yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Filipina, studi-
studi menunjukkan hasil-hasil yang menakjubkan. Siswa belajar paling baik ketika bahasa
pengantar di tingkat dasar adalah bahasa pertama atau bahasa ibu. Ini memungkinkan murid
berkonseptualisasi yang lebih baik dan keterampilan berpikir yang lebih dalam. Departemen
Pendidikan akan terus melatih guru dalam PMB-BBI, agar guru-guru mempunyai
kemampuan untuk lebih mengerti tentang prinsip, praktik, peran dan tanggungajawab yang
diperlukan demi keberhasilan implementasi PMB-BBI. Pengalaman yang yang serupa terjadi
di India. Setelah mengamati rendahnya angka keaksaraan dan tingginya angka putus sekolah
menurut suku-suku, pemerintah provinsi Orissa, India memutuskan untuk mulai berkonsultasi
dengan para pemimpin lokal untuk mengimplementasikan bahasa ibu sebagai bahasa
pengantar di 10 bahasa ibu. Program dilaksanakan sampai di kelas 3 dan fokus kurikulum
adalah untuk mengembangkan Kecakapan Berbahasa untuk Kognitif Akademis (Cognitive
Academic Language Proficiency/CALP) dan Keterampilan Dasar Komunikasi Antar Pribadi
(Basic Interpersonal Communication Skill/BICS). Keberhasilan model ini dicapai sejak awal
karena berkolaborasi dengan para pemimpin lokal, lokakarya, penyusunan kurikulum dan
sumber bacaan, semuanya dalam budaya dan konteks lokal. Guru-guru setempat diseleksi
untuk dilatih menggunakan bahan dan kurikulum yang kontekstual. Partisipasi orang tua,
berbagai ragam dan jumlah bahan ajar dalam bahasa ibu setempat, dan kemitraan dengan
beberapa LSM aktif merancang sebuah program yang komprehensif dengan kemampuan
untuk berkembang pesat.
Tantangan kebijakan pada program PMB-BBI di PNG apabila akan diterapkan di
Indonesia antara lain: (1) Siapa yang bertanggungjawab? Komunitas? Pendidikan non-
formal? Pendidikan pra-sekolah? Pendidikan formal?; (2) Siapa yang bertanggungjawab
untuk mengembangkan materi?; (3) Jika komunitas menyusun materinya sendiri, siapa yang
bayar?; dan (4) Jika program mulai di pra-sekolah, berapa banyak porsi kurikulum PMB-BBI
perlu diadakan untuk dua kelas pertama? Tantangan-tantangan yang dilaporkan dalam
konteks Ethiopia, yakni memerlukan banyak sumberdaya bahasa ibu dan materi-materi
acuan, kebutuhan untuk pelatihan dan pengembangan kurikulum dalam bahasa ibu, dan

17
memerlukan biaya keuangan yang besar guna melestarikan beberapa program-program
bahasa yang berbeda. pentingnya untuk melatih guru-guru tentang metode mengajar multi-
kelas dengan menggunakan sumberdaya bahasa ibu. Sedangkan kesulitan yang terjadi di
Nepal adalah buku-teks yag tidak cukup untuk semua kelas, manajemen multi-kelas, buku
tata-bahasa, buku panduan guru, kurangnya guru berbahasa ibu, kurangnya dukungan dari
kantor pendidikan kabupaten terhadap keberlanjutan program, orang tua kurang sadar,
kurangnya dukungan sumberdaya oleh komite lokal, tidak memadainya pelatihan guru dalam
hal rancangan kurikulum. Tantangan terbesar program ini di India adalah kurangnya bahan
bacaan dalam bahasa setempat dan pentingnya untuk melatih guru-guru tentang metode
mengajar multi-kelas dengan menggunakan sumberdaya bahasa ibu.
Otonomi kewenangan atau desentralisasi pendidikan dasar menunjukkan faktor-faktor
yang dapat menjadi kekuatan, kelemahan, keuntungan dan tantangan dalam memajukan
pendidikan dasar masa depan. Analisis SWOT desentralisasi pendidikan dasar disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Analisis SWOT Otonomi Kewenangan atau Desentralisasi Pendidikan Dasar
Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)

1. Komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk 1. lebih memfokuskan pada mempersiapkan anak
mewujudkan pendidikan dasar bagi seluruh didiknya untuk bisa lulus standar kualifikasi ujian
warganegara (UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2, UU guna melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
Sisdiknas Pasal 11 Ayat 2, Pasal 34 Ayat 2, tinggi
dan Pasal 46 Ayat 1) 2. Pendidikan dasar kurang membantu masyarakat
2. Pendidikan sebagai prioritas utama pedesaan untuk bisa bekerja lebih efektif dalam
pembangunan daerah (misalnya Propinsi lingkungan desanya
Sulawesi Selatan, NTB, Jawa Barat, 3. kurikulum pendidikan dasar yang berkaitan dengan
Kabupaten Siak, Jembrana, Makassar, Kota mengelola sumber daya alam desa secara optimal)
Bandung) kurang mendapat perhatian
3. Kebijakan yang mendukung peningkatan 4. ketidaksinkronan otonomi pendanaan pendidikan
kualitas pendidikan berbasis komunitas dan kebijakan daerah (tidak baiknya distribusi guru
(misalnya sekolah kampung dan Kolese di mana sekitar 20 persen guru SD dan SMP berada
Pendidikan Guru di Papua dan Papua Barat, di sekolah yang mengalami kelebihan guru,
Manajemen Berbasis Sekolah, pembelajaran sedangkan sekolah yang terpencil dan miskin
multikelas, Program Multi Bahasa-berbasis mempunyai kesulitan untuk menarik guru-guru yang
bahasa ibu atau PMB-BBI) bagus kompetensinya
5. sertifikasi guru yang melibatkan anggaran yang
cukup besar tidak berpengaruh pada kualitas guru.
6. tingginya tingkat mangkir guru dan kepala
sekolah (34% di Papua dan Papua Barat dan 14%
untuk tingkat nasional)
7. banyaknya bahasa ibu di Indonesia (700 an bahasa)
8. banyaknya wilayah yang termasuk 3T (terluar,
tertinggal dan terpencil) di beberapa Propinsi

18
Peluang (Opportunities) Tantangan (Threathness)

1. Alokasi anggaran pendidikan dalam RAPBN 1. kesenjangan partisipasi pendidikan antar daerah,
yang ditransfer ke daerah semakin besar antara kota dan desa, dan antara penduduk kaya dan
(misalnya 127,7 T pada tahun 2010 menjadi penduduk miskin masih cukup tinggi (kelompok 20
238,8 triliun pada tahun 2014) persen termiskin sebesar 81,0 persen dengan
2. Kemauan politik seluruh stakeholder kelompok 20 persen penduduk terkaya sebesar 94,9
(Gubernur, Bupati, DPRD, Komite Sekolah, persen)
komunitas, pemangku adat, LSM) 2. anak-anak di pedesaan yang tidak bersekolah adalah
dua kali lebih tinggi daripada anak-anak di
perkotaan
3. angka putus-sekolah di pedesaan hampir dua kali
lebih tinggi daripada anak-anak di perkotaan baik
untuk SD/MI dan SMP/ MTs
4. kesejahteraan guru (rumah guru tidak layak, uang
lauk-pauk di Papua dan Papua Barat, keterlambatan
pembayaran gaji)
5. Ketidakjelasan penanggungjawab program
(pemerintah pusat atau daerah, komunitas,
pendidkan formal atau non formal)

Rekomendasi

1. Pemerintah perlu memprioritaskan pembangunan pendidikan pedesaan, PDT dan 3T


dengan mengembangkan
a. Pendidikan untuk perbaikan keluarga; terutama dimaksudkan untuk memberikan
pengetahuan, skill (keterampilan), dan sikap-sikap yang berguna dalam usaha
memperbaiki kualitas kehidupan keluarga tentang masalah-masalah kesehatan,
gizi, pemeliharaan rumah, anak, keluarga berencana dan lain-lain.
b. Pendidikan untuk perbaikan masyarakat; dimaksudkan untuk memperkuat proses-
proses dan lembaga-lembaga nasional dan lokal melalui pengajaran mengenai
pemerintahan setempat dan pemerintahan nasional, koperasi, kemasyarakatan dan
lain-lain.
c. Pendidikan okupasional pekerjaan/jabatan; yang lebih dimaksudkan untuk
menunjang dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan tertentu yang
berhubungan dengan berbagai kegiatan ekonomi dan berguna bagi kehidupan di
pedesaan.

2. Pemerintah dan pemerintah daerah harus mendukung model-model alternatif pendidikan


untuk pedesaan, PDT dan 3T seperti:

a. sekolah kampung
b. pendidikan multikelas (multigrade)

19
c. Pendidikan multi-bahasa yang berbasis bahasa ibu (PMB-BBI) untuk SD kelas rendah
termasuk penyediaan anggaran dan bahan kurikulum, media pembelajaran, pelatihan
bagi guru dan kemitraan dengan LSM penggiat program tersebut seperti
3. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu menyediakan dan mendukung:
a. Manajemen Berbasis Sekolah yang tegas untuk mengurangi tingkat mangkir guru
dan kepala sekolah melibatkan komunitas dan pemangku adat
b. Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk keberhasilan proses pembelajaran
c. Kelancaran pemberian paket tunjangan guru daerah terpencil
d. Beasiswa bagi guru daerah terpencil

3. Pembiayaan Pendidikan Dasar

UUD 1945 pasal 31 ayat empat menyatakan bahwa negara memprioritaskan


anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini menegaskan kewajiban pemerintah dan
pemerintah daerah untuk menggratiskan pendidikan dasar, bersamaan dengan kewajiban
untuk mengalokasikan minimal 20 persen anggaran publik untuk sektor pendidikan. Yang
terkait dengan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah terhadap pendanaan pendidikan
dasar tercantum dalam pasal 11 ayat 2 yang berbunyi pemerintah dan pemerintah daerah
wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
Negara yang berusia tujuh sampai dengan limabelas tahun.
Untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, termasuk pendidikan dasar,
pemerintah telah meningkatkan anggaran pendidikan secara signifikan dari tahun ke tahun.
Dari 15 persen tahun 2002 hingga sekitar 20 persen pada 2014. Secara nominal angkanya
telah meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Peningkatan ini salah satunya
didorong oleh adanya kewajiban alokasi anggaran pendidikan minimal sebesar 20 persen
sejak 2002, meski angka tersebut baru tercapai pada tahun 2009.

20
Gambar 3. Anggaran Pendidikan, % atas APBN periode 2002 2014
(Sumber: Nota Keuangan APBN, diolah, 2002 2014)
Dari keseluruhan anggaran pendidikan, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran
sebesar 5658 persen untuk program Wajardikdas. Temuan Bank dunia menunjukkan bahwa
separuh dari anggaran program Wajardikdas dibelanjakan untuk membayar gaji dan
tunjangan guru (Bank Dunia, 2013).
Seperti juga pemerintah pusat, pemerintah daerah juga berkewajiban untuk
mengalokasikan minimal sebesar 20 persen dari anggarannya untuk pendidikan. Namun
seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, sebagian besar anggaran pendidikan di APBN
adalah transfer ke daerah, maka anggaran pendidikan di daearah (APBD) sebenarnya juga
merupakan hasil dari transfer dari pusat. Termasuk dalam anggaran pendidikan daerah ini
adalah gaji guru PNS yang berasal dari DAU, DAK pendidikan, BOS yang ada di APBD
provinsi, BSM, dan alokasi lainnya yang berasal dari pusat. Kontribusi murni dari daerah
jumlahnya tidak terlalu besar, tergantung dari kapasitas fiskal masing-masing daerah.
Realitas ini menunjukkan bahwa secara pendanaan, sebenarnya alokasi penganggaran
pendidikan dapat dikatakan masih sangat terpusat, namun dari sisi pengelolaan otoritasnya
ada di pemerintah daerah. Dualisme otoritas ini dalam beberapa hal menimbulkan persoalan.
Salah satunya adalah terkait manajemen guru. Meski gaji guru PNS berasal dari pemerintah
pusat, namun kewenangan distribusi ada di pemerintah daerah. Akibatnya, distribusi guru
dari daerah perkotaan yang kelebihan guru ke daerah terpencil yang kekurangan guru sulit
dilakukan karena kewenangannya ada di daerah masing-masing.

21
Gambar 4. Jumlah daerah yang mempunyai BOSDA (Sumber: Bank Dunia, 2012)
Dari data di atas terlihat bahwa masih banyak daerah yang belum mengalokasikan
BOSDA. Bahkan sebagian daerah justru mengurangi atau menghilangkan BOSDA seiring
dengan naiknya satuan biaya BOS nasional. Selain persoalan kenaikan BOS, tidak adanya
alokasi BSODA juga dapat disebabkan karena kapasitas fiskal daerah dan tidak adanya
kemauan politik (political will) dari pemerintah daerah terhadap pendidikan. Meski masih
banyak daerah yang tidak menyediakan BOSDA, namun pemerintah pusat tidak dapat
memaksa atau mengatur daerah untuk mengalokasikannya.
Alokasi anggaran pendidikan di daerah sudah mencapai 25-35 persen dari total
APBD. Di beberapa daerah bahkan ada yang sudah mencapai 48 persen dari total APBD
seperti Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, NTB dan Sulawesi Selatan untuk tingkat propinsi
dan Kabupaten Jembrana, Siak, dan Kutai Kertanegara untuk kabupaten/kota. Dari persentase
tersebut, 70-75 persen digunakan untuk membiayai program Wajardikdas.
Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan mengalokasikan 644 miliar untuk merealissikan
pendidikan gratis yang bersumber dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) Rp 405
miliar, APBD provinsi Rp 125 miliar, dan sisanya dari pos APBN pada tahun 2008 dan
alokasi APBD provinsi meningkat menjadi 193,6 miliar pada tahun 2009 dan 216 miliar pada
tahun 2010. Sedangkan untuk Kota Makassar terjadi peningkatan alokasi dana pendidikan
gratis dari 3 miliar pada tahun 2008 menjadi 70 miliar pada tahun 2009. Padahal alokasi dari
Pemprov Sulsel hanya sebesar 23,7 miliar. Bahkan pada tahun 2009 alokasi pendidikan gratis
dari APBD Kota Makassar meningkat menjadi 58 miliar. Sementara untuk merealisasikan
rata-rata lama sekolah (RLS) Kota Bandung 12 tahun pada tahun 2018, Pemkot Bandung

22
menyediakan anggaran 105 miliar pada tahun 2015 baik berupa Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dari APBN, BOS Propinsi, maupun anggaran dari APBD kota.
Program Bebas SPP yang dilakukan Kabupaten Jembrana dimulai pada 2001 untuk
siswa SD sampai SMA negeri. Sejak 2003 Pemeritah Kabupaten Jembrana memberikan bea
siswa untuk siswa sekolah swasta dengan perincian Rp 7.500 per siswa SD per bulan, Rp.
12.500 per siswa SMP per bulan dan Rp. 20.000 per SMA per bulan. Alokasi dana untuk
subsidi SPP terus meningkat, mulai dari Rp. 3.126.114.000 (2001) menjadi Rp.
3.473.460.000 (2002) dan Rp. 4.288.112.000 (2004). Padahal PAD yang diperoleh relatif
kecil. Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun 2000 baru mencapai Rp. 2.551.526.749,70
meningkat menjadi Rp. 9.785.325.55 pada tahun 2004: Rp. 9.916.279.620,18 (2005); Rp.
12.768.467.264,26 pada tahun 2006; dan mencapai 15.700.000.000,00 pada 2007.
Dari total anggaran pendidikan di APBN, sebagian besar (65%) ditransfer ke daerah,
sebagian ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (21%) dan Kementerian Agama
(12%), sementara sebagian kecil (2%) terbagi di 11 kementerian lainnya. Dari komposisi ini
terlihat bahwa sebagian besar dana Pendidikan diberikan dan dikelola oleh pemerintah
daerah.

Gambar 5. Penerima Anggaran Pendidikan, 2010 - 2014 (Triliun Rupiah)


(Sumber: Nota Keuangan APBN, diolah, 2010 2014)

Sebagai konsekuensi dari desentralisasi di bidang pendidikan di mana urusan


pendidikan diserahkan kepada pemerintah daerah, maka anggaran pendidikan yang ditransfer
ke daerah sangat besar. Jenis anggaran yang ditransfer ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi

23
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana otonomi khusus
dan dana penyesuaian, serta anggaran pemerintah pusat yang diberikan ke daerah namun
tidak tercatat di APBD dalam bentuk dekonsentrasi (Dekon) dan tugas perbantuan (TP).
Pemerintah juga sudah membuat skema-skema pendanaan program Wajardikdas. Ada
empat skema utama untuk membiayai program Wajardikdas yaitu: (a) Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) yang diperuntukkan membiayai operasional non-personalia di tingkat satuan
pendidikan; (b) Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan yang ditujukan untuk membiayai
investasi non- personalia (infrastruktur sarana dan prasarana) satuan pendidikan; (c) Dana
Sertifikasi Guru yang ditujukan untuk membiayai operasional personalia (pendidik) serta (d)
Bantuan Siswa Miskin (BSM) atau Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang diperuntukan bagi
biaya personal siswa.
Seiring dengan meningkatnya anggaran Pendidikan, Indonesia mengalami kemajuan
yang cukup signifikan dalam peningkatan akses terhadap pendidikan dasar. Hasil studi Bank
Dunia menjelaskan bahwa peningkatan dalam angka partisipasi (enrollment rate) dalam
sepuluh tahun terakhir sangat mengesankan. Di tingkat sekolah dasar, pendidikan untuk
semua (universal education) telah tercapai, di mana angka partisipasi kasar (APK) di atas 100
persen. Sementara di tingkat SMP, perkembangannya cukup signifikan, dengan APK dari 78
persen pada 2001 sampai 88 persen pada 2010 dengan kecenderungan yang semakin
meningkat.

Gambar 6. APK SD dan SMP periode 2001 2010 (Sumber: Bank Dunia, 2013)
Akses terhadap pendidikan dasar bagi masyarakat miskin secara relatif telah
terpenuhi. Di tingkat SD, tidak ada perbedaan yang mencolok antara rumah tangga miskin

24
dengan rumah tangga kaya. Sementara untuk SMP, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara 20 persen termiskin kedua sampai rumah tangga yang lebih kaya. Akses yang lebih
rendah terdapat pada 20 persen rumah tangga termiskin.

Gambar 7. APK SD dan SMP berdasar kelompok ekonomi tahun 2010


(Sumber: Bank Dunia, 2013)
Realisasi implementasi penyelenggaraan pendidikan gratis yang telah dimulai sejak
13 Januari 2012 oleh Pemerintah Kabupaten Siak telah membebaskan seluruh biaya
penyelenggaraan pendidikan yang mencakup biaya investasi, biaya operasional dan biaya
siswa pada jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA/SMK diseluruh wilayah Kabupaten Siak.
Pemerintah Kabupaten Siak sangat serius untuk menyelenggarakan pendidikan gratis di
wilayahnya. Di jenjang pendidikan SD penyelengaraan pendidikan gratis sudah terlaksana
99,3 %, untuk jenjang pendidikan SLTP/SMP penyelenggaraan pendidikan gratis sudah
terlaksana 97,5 % dan untuk jenjang pendidikan SLTA/SMK penyelenggaraan pendidikan
gratis sudah terlaksana 96,1 %. Kondisi ini menerangkan bahwa implementasi
penyelenggaraan pendidikan gratis di Kabupaten Siak rata-rata sudah mencapai 95 %.
Berdasarkan Susenas tahun 2003, tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Jembrana
semakin membaik. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata lama sekolah
penduduk berusia 15 tahun ke atas yaitu dari 6,13 tahun pada tahun 2000 menjadi 7,0 tahun
pada tahun 2003. Juga dapat dilihat dari indikator meningkatnya proporsi penduduk berusia
10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas, dari 25,76 persen tahun 2001 menjadi
35,6 persen pada tahun 2003. Membaiknya tingkat pendidikan penduduk sangat dipengaruhi
oleh tingkat partisipasi pendidikan untuk semua kelompok usia sekolah dan untuk semua
jenjang pendidikan. Pada tahun 2003, angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12

25
tahun mencapai 90 persen, penduduk usia 13-15 tahun mencapai 94,01 persen. Pada tahun
yang sama, angka partisipasi kasar (APK) SD/MI mencapai 117 persen, APK SMP/MTs
mencapai 94,01 persen (Bappeda Kabupaten Jembrana: Negara, 2008).

3.1. Pendidikan Dasar yang Berkualitas, Adil dan Efisien

Secara konseptual, pendidikan berkualitas meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu input, proses
dan keluaran (outcome) (Stephens, 2003). Input adalah komponen pendukung
penyelenggaraan pendidikan yang meliputi sarana prasarana, guru, serta material (bahan dan
alat habis pakai). Komponen-komponen tersebut harus relevan dengan kualitas proses dan
keluaran yang hendak dicapai dan digunakan secara efektif. Adapun proses erat hubungannya
dengan interaksi antara murid dengan lingkungan di sekolah dan di dalam kelas, termasuk
interaksi dengan guru, sesama murid, serta interaksi dengan materi pembelajaran. Interaksi
antara murid dengan lingkungan belajar tersebut diwadahi dalam sebuah kurikulum
pembelajaran. Sedangkan keluaran (outcome) berorientasi pada bukti dari hasil pembelajaran
seperti adanya perubahan perilaku anak, anak menikmati sekolah, data tingkat kehadiran,
nilai ujian rutin serta data penilaian pembelajaran.
Di Indonesia, Pemerintah menetapkan kualitas pendidikan berdasarkan delapan
standar penyelenggaraan pendidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
19/2005 juncto PP no 23 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP-SNP), dan
peraturan penjabarannya berupa Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional. Standar
penyelenggaraan pendidikan tersebut terdiri atas standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

26
Untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai standar sebagaimana tersebut di atas, biaya
pendidikan merupakan konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah baik pusat dan
daerah.

Gambar 8 : Hubungan Standar Penyelenggaraan Pendidikan dengan Biaya


(Sumber: Abbas Ghozali, 2008)

Menurut Abbas Ghozali, merujuk pada PP No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan
Pendidikan, biaya yang dibutuhkan di sekolah (satuan pendidikan) terdiri atas: biaya
operasional pendidik dan tenaga kependidikan (personal); biaya operasional belajar
mengajar (non-personal); biaya investasi sarana prasarana serta investasi pendidik dan
tenaga kependidikan. Dalam konsep pendidikan dasar gratis, biaya-biaya tersebut menjadi
tanggungjawab pemerintah.

27
Selain SNP, pemerintah juga telah menetapkan Standar Pelayanan Minimum
(SPM) penyelenggaraan pendidikan dasar sebagai panduan bagi pemerintah daerah dan
satuan pendidikan (sekolah) dalam menyelenggarakan pendidikan melalui Permendikbud
No.23 th 2013. Dilihat dari isi-nya, SPM pendidikan hanya mencakup standar isi, standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana. SPM ini menjadi acuan bagi
pemerintah daerah untuk melakukan perencanaan dan penganggaran program pendidikan
dasar sesuai dengan target masing-masing daerah.
Dengan demikian pendidikan dasar gratis seharusnya dilakukan dalam rangka
mencapai standar kualitas tertentu baik itu SNP ataupun SPM. SPM merupakan prioritas
utama dan menjadi acuan pembiayaan pendidikan gratis, jika SPM sudah tercapai dapat
ditingkatkan ke tingkat SNP. Output dari penyelenggaraan pendidikan dasar gratis perlu
dibuatkan indikator capaiannya untuk memudahkan penilaian. Indikator pencapaian
kebijakan pendidikan dasar gratis berkualitas dapat dilihat setidaknya dari dua aspek yakni
partisipasi sekolah (APK/APM) dan kualitas hasil belajar.
Selain konsep kualitas pendidikan, hal yang perlu pertimbangkan dalam pendanaan
pendidikan adalah aspek kecukupan dan keadilan. Kecukupan diartikan sebagai
ketersediaan anggaran yang dialokasikan oleh pemerintahan di berbagai level untuk
menghasilkan pendidikan yang diharapkan. Kecukupan dibagi dua, kecukupan horizontal dan
vertikal. Kecukupan vertikal adalah kecukupan anggaran di tingkat pemerintah daerah dan
sekolah. Sedangkan kecukupan horisontal adalah kecukupan anggaran total dalam suatu
Negara (Ladd and Fiske, 2008).
Keadilan (Equity) dibagi menjadi dua, keadilan horisontal dan keadilan vertikal.
Keadilan horisontal diartikan sebagai lembaga pendidikan daerah dan peserta didik
mempunyai akses yang sama terhadap sumberdaya pendidikan. Sedangkan keadilan vertikal
dimaknai sebagai pendistribusian sumberdaya pendidikan sehingga peserta didik yang
membutuhkan anggaran yang lebih besar dapat terpenuhi agar dapat mencapai hasil
pendidikan yang lebih adil.
Salah satu kendala utama dalam persoalan akses masyarakat terhadap pendidikan
adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk memperoleh pelayanan
pendidikan. Peningkatan anggaran pendidikan, salah satunya dimaksudkan untuk
meringankan beban biaya pendidikan masyarakat. Tapi apakah peningkatan anggaran
pendidikan telah secara signifikan menekan biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh
masyarakat?

28
Hasil studi yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menjelaskan bahwa pengeluaran
pendidikan rumah tangga tidak mengalami penurunan, baik secara keseluruhan maupun
untuk masyarakat miskin.

Gambar 9. Pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan antara tahun 2003 2012
(Sumber: Bank Dunia, 2015)

Gambar 10. Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pendidikan Per Siswa tahun 2009-
2012 berdasarkan strata ekonomi orangtua (Sumber RPJMN 2015 2019)

Berdasarkan RPJMN tahun 2015 2019 ditemukan masih tingginya biaya pendidikan,
terutama terletak pada iuran SPP, biaya transportasi dan uang saku.
Skema BOS merupakan jantung kebijakan Pendidikan Dasar Gratis karena dirancang
untuk membiayai operasional non-personal (siswa), yang memungkinkan siswa, tanpa
kecuali, dapat belajar tanpa harus mengeluarkan biaya. Skema-skema lainnya, yakni BSM,
DAK Bidang Dikdas, dan Sertifikasi Guru, merupakan kebijakan yang mendukung

29
pelaksanaan BOS melalui pembiayaan personal siswa (terkait dengan keterpencilan
misalnya), pembiayaan sarana dan prasarana, serta peningkatan kualitas guru.

Tabel 4. Besaran BOS 2005 2015

Sumber: Kemdikbud, 2005 2015

Berdasarkan Gambar 7 dan 8 serta Tabel 2 menunjukkan berarti bahwa tujuan utama program
BOS untuk mengurangi beban pengeluaran pendidikan masyarakat tidak terlalu tercapai.
Permasalahannya, berdasarkan temuan studi Bank Dunia menunjukkan adanya
penggunaan dana BOS ke pos-pos di luar operasional belajar siswa, terutama untuk
gaji/honor guru, investasi sarana dan prasarana, serta biaya pelatihan guru. Padahal,
keperluan-keperluan tersebut seharusnya dibiayai oleh skema-skema pendukung BOS, yaitu
BSM, DAK Bidang Dikdas, dan Sertifikasi Guru. Bank Dunia mengestimasi penggunaan
dana BOS untuk pos di luar belajar siswa antara 30-40 persen dari keseluruhan dana yang
diterima sekolah. Disamping itu hanya sekitar 16-18 persen saja yang benar-benar
dialokasikan ke sekolah untuk menunjang operasional belajar siswa (Article 33, 2011).
Program BOS, seperti yang tercantum dalan Juknis BOS 2015, ditujukan agar sekolah
dapat mencapai SPM. Bagi mereka yang sudah mencapai SPM dana BOS digunakan untuk
mencapai SNP. Oleh karena itu, prioritas utama BOS sepertinya adalah untuk mencapai
SPM. Untuk pencapaian lebih dari SPM, seperti SNP atau yang lebih tinggi dari itu, peran
pemerintah daerahlah yang mencukupinya.
Dalam studi yang dilakukan oleh BSNP, perhitungan satuan biaya operasional hanya
mempertimbangkan biaya operasional non-personalia, dan tidak memasukkan biaya investasi
dan personalia. Dengan asumsi bahwa studi BSNP mewakili kebutuhan operasional non-
personalia, dapat dikatakan bahwa satuan biaya BOS kurang dari seharusnya (under

30
estimate). Biaya investasi dan personalia, seperti gaji guru honorer, harusnya dialokasikan
dari skema yang berbeda, misalnya biaya tersebut dipenuhi oleh pemerintah daerah.

3.2. Analisis Kecukupan dan Keadilan dalam Anggaran Pendidikan Dasar


Penyelenggaran pendidikan dasar membutuhkan sumber daya pendidikan dasar.
Sumber daya pendidikan dasar (di sekolah/madrasah) tersebut dihitung per tahun dan dibagi
dengan jumlah peserta didik (di sekolah/madrasah tersebut) sehingga diperoleh Biaya satuan
pendidikan dasar. Biaya satuan pendidikan dasar terdiri atas: (1) Biaya satuan operasional
pendidik dan tenaga kependidikan atau disebut juga biaya satuan operasional personal; (2)
Biaya satuan Operasional bahan dan alat habis pakai serta pemeliharaan dan perbaikan ringan
atau biasa disebut Biaya satuan operasional non-personal; (3) Biaya satuan investasi pendidik
dan tenaga kependidikan atau dinamai biaya investasi personel serta; (4) Biaya satuan
investasi sarana dan prasarana atau biaya satuan investasi non-personel.
Ghozali (2008) telah mengidentifikasi jenis, spesifikasi, unit dan frekuensi sumber
daya pendidikan yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pendidikan dasar sebagaimana
tersebut di atas4. Dalam studinya Ghozali telah melakukan estimasi kebutuhan biaya satuan
pendidikan untuk tingkat SD/ MI dan SMP/MTs tahun 2006. Dengan menggunakan hasil
perhitungan Ghozali tersebut dapat diestimasi kebutuhan biaya satuan pendidikan untuk
SD/MI dan SMP/MTs tahun 2015 dengan cara meng-kali-kan dengan tingkat inflasi yang
terjadi sepanjang tahun 2006 sd tahun 2015.

31
Tabel 5. Estimasi Biaya Satuan Pendidikan untuk SD/MI & SMP/MTs per siswa
Tahun 2006 dan 2015

Keterangan:
1) SD/MI yang dimaksud memiliki 6 rombongan belajar dengan setiap rombongan belajar
terdapat 28 peserta didik, yang berarti SD/MI tersebut memiliki 168 Peserta didik.
2) SMP/MTs yang dimaksud memiliki 6 rombongan belajar dengan setiap rombongan belajar
terdapat 40 peserta didik, yang berarti SMP/MTs tersebut memiliki 240 Peserta didik.
3) Estimasi biaya satuan pendidikan untuk SD/MI dan SMP/MTs thn 2015 diperoleh dengan
memperhitungkan tingkat inflasi yang terjadi dalam rentang tahun 2006 sampai dengan
2015 sekitar 165 persen

Beberapa studi lain tentang perhitungan satuan biaya pendidikan terutama untuk biaya
operasional non-personalia menunjukan bahwa alokasi anggaran saat ini masih lebih rendah
dari kebutuhan. Apalagi jika standar yang digunakan adalah standar nasional pendidikan
seperti yang sudah dijalankan oleh banyak sekolah di Indonesia. Sementara alokasi anggaran
untuk biaya investasi (sarana prasarana dan personalia) dan biaya operasional personalia
tidak ada pembanding untuk menyimpulkan kecukupan anggaran.
Tidak banyak studi dalam rangka proyeksi kebutuhan anggaran penyelenggaraan
pendidikan dasar bermutu di Indonesia. Salah satu dari sedikit studi tersebut dilakukan
melalui project Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP)
tahun 2013. Untuk memproyeksi kebutuhan anggaran, ACDP melakukan dua tahap analisis.
Pertama mengidentifikasi gap anggaran yang dibutuhkan sekolah untuk menyelenggarakan
SPM pendidikan dasar. Lalu berikutnya memproyeksi kebutuhan anggaran pendidikan dasar
gratis hingga tahun 2020. Bagian lain dari studi ACDP menunjukan cara perhitungan serta
skenario pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah. ACDP menghitung

32
kebutuhan anggaran berdasarkan empat kategori belanja yaitu belanja modal; belanja
pegawai; belanja operasional non-personal dan belanja pribadi siswa.
Tabel 6. Sistem pendanaan FBE dan ruang lingkup tanggungjawab pemerintah

Sumber ACDP, 2013

Berdasarkan Tabel 5 maka kebutuhan pendanaan pendidikan adalah untuk tahun 2016-2019
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 7. Estimasi anggaran yang dibutuhkan untuk pendidikan dasar
2016 2019 (dalam juta rupiah)

Sumber ACDP, 2013


Catatan:
(1) Estimasi belanja modal dan belanja pegawai diambil dari hasil estimasi ACDP tahun 2013

33
(2) Estimasi belanja operasional non-personalia dihitung dengan mengalikan satuan biaya BOS yang
diinflasikan (rata-rata inflasi tahunan 5,8%) dengan estimasi jumlah siswa berdasarkan dokumen
RPJM tahun 2015 2019
(3) Estimasi belanja pribadi dihitung dengan mengalikan hasil perhitungan anggaran BSM tahun 2012
oleh ACDP (2013) dengan rata-rata inflasi tahunan sebesar 5,8 persen

Pendanaan pendidikan harus memenuhi azas keadilan. Analisis yang dilakukan oleh
OECD tentang hasil PISA 2012 menunjukkan bahwa keadilan dalam pendanaan pendidikan
berkorelasi positif terhadap kualitas pendidikan. Dalam analisisnya, Jennifer Craw (2015)
menjelaskan bahwa Negara-negara dengan performa tinggi dalam skor rata-rata PISA untuk
matematika, bahasa, dan sains mempunyai tingkat keadilan yang tinggi. Keadilan dalam hal
ini diukur dari hubungan antara status ekonomi dengan performa, di mana semakin sedikit
pengaruh status ekonomi terhadap hasil test PISA artinya semakin adil.
Tabel 8. Performance, Efficiency and Equity: Top Performing Countries and the U.S.

1 Dihitung berdasarkan nilai rata-rata 3 mata uji PISA (Membaca, Matematika dan Sains)
2 Pengeluaran siswa secondary school, USD 2011
3 Berdasarkan persentase variasi nilai matematika dengan status sosial-ekonomi
4 tidak terdapat data pengeluaran untuk siswa Hong Kong and Shanghai
Sumber: OECD PISA 2012, OECD Education at a Glance 2014, and Singapore Ministry of Education dalam
Jennifer Craw, Statistic of the Month: Education Performance, Equity and Efficiency, Center on International
education Benchmarking, 2015.

Tabel 8 menunjukkan bahwa Shanghai yang menempati ranking satu dalam rata-rata
skor PISA, hanya 15.1 persen yang performanya dipengaruhi oleh status ekonomi. Demikian

34
juga Hongkong sebagai ranking kedua, hanya 7,5 persen yang performanya dipengaruhi oleh
status ekonomi. Artinya, antara siswa dari kelurga kaya maupun siswa dari keluarga miskin
tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dalam hasil test. Studi ini menjelaskan bahwa
jika semua anak dengan berbagai latar belakang yang berbeda mendapat akses yang adil pada
pelayanan Pendidikan yang berkualitas, maka mereka mempunyai kemungkinan yang sama
untuk berprestasi.
Keadilan dalam pendanaan pendidikan dapat berupa keadilan horisontal dan keadilan
vertikal. Keadilan horizontal, misalnya adalah keadilan antara daerah yang dapat diukur
dengan membandingkan anggaran pendidikan per kapita masing-masing daerah. Keadilan
vertikal, misalnya adalah keadilan pendanaan pendidikan antara kelompok ekonomi
masyarakat yang dapat diukur dari perbandingan pengeluaran pendidikan per kapita.
Kalimantan Timur, Papua Barat, dan DKi Jakarta merupakan daerah yang mempunyai
anggaran pendidikan per kapita yang cukup besar, sementara Banten, Jawa Barat, dan NTB
mempunyai anggaran pendidikan yang relatif rendah. Hal ini menunjukkan adanya
kesenjangan antar daerah dalam pendanaan pendidikan.

Gambar 11. Anggaran pendidikan daerah perkapita tahun 2013 (Sumber: Bank Dunia, 2014)

35
Masalah keadilan dalam pendanaan pendidikan akan terkait dengan keadilan dalam
mendapatkan akses terhadap pendidikan dasar. Saat ini kesenjangan partisipasi pendidikan
antar daerah, antara kota dan desa, dan antara penduduk kaya dan penduduk miskin masih
cukup tinggi. Terjadi kesenjangan partisipasi sekolah penduduk usia 13-15 tahun (SMP/MTs)
pada kelompok 20 persen termiskin sebesar 81,0 persen dengan kelompok 20 persen
penduduk terkaya sebesar 94,9 persen. Isu kesenjangan ini makin mencolok dengan masih
banyaknya anak usia di antara 13-15 tahun dari kelompok miskin yang tidak bersekolah
adalah anak-anak yang putus sekolah selama di SD/MI. Sebagian lagi lulus SD/MI tetapi
tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs/sederajat (RPJMN 2015 2019 Buku II).
Sementara pengeluaran rumah tangga miskin untuk pendidikan mempunyai proporsi
yang sangat besar dibanding total pengeluarannya dibandingkan dengan pengeluaran
pendidikan rumah tangga kaya. Untuk tingkat SD misalnya, pengeluaran pendidikan rumah
tangga termiskin sebesar 15 persen dari total konsumsi, sementara rumah tangga terkaya
hanya 5 persen. Di tingkat SMP, pengeluaran pendidikan rumah tangga termiskin mencapai
23 persen, sementara rumah tangga terkaya hanya 9 persen. Hal ini menjadikan pendidikan
bagi rumah tangga miskin menjadi sangat mahal. Data ini juga menujukkan adanya
kesenjangan antara rumah tangga miskin dan rumah tangga kaya dalam pendanaan
pendidikan.

Gambar 12. Persentase Pengeluaran Pendidikan menurut kelompok ekonomi tahun 2009
(Sumber: Bank Dunia, 2013)

36
3.3. Analisis Efisiensi Anggaran Pendidikan Dasar
Efisiensi merupakan isu penting dalam pendanaan pendidikan. Efisiensi mendorong
penggunaan sumberdaya yang terbatas untuk hasil yang optimal. Efisiensi anggaran
pendidikan adalah pemanfaatan anggaran dengan cara yang optimal untuk memberikan hasil
pendidikan yang terbaik. Efisiensi diukur dengan membandingkan antara input dengan output
atau outcome. Efisiensi pendanaan pendidikan membandingkan anggaran pendidikan dengan
hasil pendidikan. Hasil pendidikan dapat berupa angka partisipasi dan kualitas pendidikan,
misalnya hasil ujian nasional (UN).
Analisis yang dilakukan oleh Jennifer Craw (2015) menjelaskan bahwa pengelolaan
anggaran pendidikan yang efisien berhubungan positif dengan performa. Dari tabel
sebelumnya, terlihat bahwa Negara-negara dengan pengeluaran per siswa yang rendah
mempunyai ranking skor PISA yang tinggi. Singapura misalnya, dengan tingkat pengeluaran
per siswa menengah sebesar $9,022 menempati ranking tiga teratas dalam skor PISA,
demikian juga Korea Selatan dengan tingkat pengelauran per siswa sebesar $8,199
menempati ranking lima.
Dari data yang dikeluarkan oleh UNESCO tentang anggaran pendidikan per siswa
masing-masing Negara dapat dilihat kenaikan atau penurunan anggaran per siswa yang
diberikan oleh pemerintah. Penurunan anggaran per siswa dapat diinterpretasikan dengan
adanya efisiensi, relative terhadap negara lain. Sebaliknya jika terjadi kenaikan maka dapat
dikatakan terjadi inefisiensi dalam anggaran Pendidikan. Jika data tersebut kemudian
dihubungkan dengan hasil Pendidikan yang tercermin dalam skor PISA, maka terlihat adanya
hubungan negatif antara keduanya, meski tingkat korelasinya sangat rendah. Hal ini berarti
bahwa Negara-negara yang lebih efisien cenderung dapat meningkatkan performa
pendidikannya dibanding Negara-negara yang kurang efisien.
Secara umum anggaran pendidikan nasional meningkat dari waktu ke waktu,
sementara hasil pendidikan yang rendah merupakan indikator adanya inefisiensi dalam
pengelolaan anggaran pendidikan. Dalam konteks kebijakan pendidikan dasar gratis,
efektivitas anggaran pendidikan dapat dilihat dari berkurangnya beban rumah tangga. Akan
tetapi, pada kenyataanya kenaikan anggaran pendidikan dasar tidak serta merta menurunkan
beban masyarakat untuk membiayai pendidikan. Belanja rumah tangga untuk pendidikan
pada tahun 2012 lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2009, meskipun anggaran Pemerintah
untuk pendidikan meningkat lebih dari 75 persen. Peningkatan pengeluaran rumah tangga
tersebut terjadi pada semua jenjang pendidikan (RPJMN 2015 2019).

37
3.4. Inefisiensi Program BOS
Efisiensi BOS dapat dilihat dari seberapa besar dampak program ini mengurangi
beban pengeluran rumah tangga. Pada kenyataannya dana BOS yang disediakan oleh
Pemerintah tidak signifikan mengurangi pengeluaran-pengeluaran untuk berbagai iuran di
sekolah. Pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, di mana Bantuan
Operasional baru mencakup sebagian dari biaya operasional yang diberikan, kenaikan
komponen pengeluaran tersebut sangat terlihat. Hal ini justru mengherankan mengingat
sasaran dari program ini adalah untuk membebaskan siswa dari iuran sekolah .
Secara umum program BOS juga belum berhasil meningkatkan kualitas pembelajaran.
Ini disebabkan karena sekolah/madrasah negeri masih diperbolehkan menggunakan dana
BOS yang diterimanya untuk membiayai kebutuhan di luar kebutuhan operasional non-
personalia termasuk membayar honorarium guru-guru non- PNS (JUKNIS BOS tahun 2014).
Di tengah kondisi umum sekolah yang masih kekurangan guru PNS (termasuk di
sekolah/madrasah negeri) kelonggaran penggunaan dana BOS ini dimanfaatkan oleh sekolah
untuk rekruitmen guru non-PNS. Selain itu, sekolah juga menggunakan dana BOS untuk
kegiatan-kegiatan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan guru, seperti untuk
membayar honor guru Non-PNS, membiayai pengawasan dan penilaian ujian, dan biaya
untuk pembelajaran ekstrakurikuler. Dengan demikian, proporsi alokasi dana BOS untuk
kegiatan lain menjadi sangat terbatas. Berdasarkan hasil Regional Independent Monitoring
(RIM) yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun 2010, ditemukan 30 persen dana BOS yang
diterima sekolah digunakan untuk gaji dan honor guru.
Untuk mengantisipasi membengkaknya penggunaan dana BOS untuk kegiatan-
kegiatan di luar operasional personalia, mulai tahun 2012 Kemendikbud telah mengeluarkan
aturan membatasi pengeluaran untuk bayar gaji dan honor guru non PNS hanya sebesar 20
persen dari total dana BOS yang diterima sekolah. Kemudian pada juknis BOS tahun 2015
pembatasan ini kembali diperketat hanya mengijinkan penggunaan dana BOS untuk
membayar gaji dan honor sebesar 15 persen saja.
3.5. Inefisiensi Anggaran untuk Guru
Dalan RPJMN 2015 2019 disebutkan bahwa sumber utama inefisiensi anggaran
pendidikan adalah karena tidak efisien-nya anggaran belanja pegawai termasuk guru. Dana
Alokasi Umum (DAU) di mana jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) sebagai salah
satu variabel penghitungnya ditengarai sebagai sumber inefisiensi anggaran pendidikan.
Dengan demikian berapa pun jumlah PNSD yang ada akan tetap dipenuhi gajinya oleh

38
pemerintah pusat, sehingga tidak ada insentif bagi daerah untuk melakukan efisiensi
penyediaan PNSD, termasuk guru.
Rasio guru-murid yang rendah tidak selalu berdampak pada membaiknya proses
pembelajaran tapi justru dapat meningkatkan inefisiensi penggunaan sumberdaya pendidikan,
mengingat gaji dan berbagai tunjangan guru merupakan bagian terbesar dari pengeluaran
Pemerintah untuk pendidikan dan akan terus mengalami peningkatan karena adanya
perekrutan baru serta penyediaan tunjangan sertifikasi yang mengikuti sistem penggajian.
Ketidakefisienan juga meningkat karena tidak baiknya distribusi guru di mana sekitar 20
persen guru SD dan SMP berada di sekolah yang mengalami kelebihan guru (dihitung
menggunakan standar kepegawaian yang ada), sedangkan sekolah yang terpencil dan miskin
mempunyai kesulitan untuk menarik guru guru yang bagus. Apabila rasio guru-murid dapat
dirasionalisasi dari 17 murid per guru menjadi 22 murid per guru (sebagaimana kondisi awal
tahun 2000-an), maka kebutuhan anggaran untuk gaji dan tunjangan profesi guru dapat
berkurang sekitar 21 persen dibanding dengan menggunakan rasio guru murid saat ini.
Dengan demikian akan terjadi penghematan sekitar 9 persen dari total anggaran pendidikan
tahun 2012.
Demikian juga dengan kenaikan anggaran untuk guru sepertinya belum berdampak
pada peningkatan kualitas guru yang menunjukkan adanya inefisiensi dalam penggunaan
anggaran guru. Studi sertifikasi guru yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa
sertifikasi guru yang melibatkan anggaran yang cukup besar tidak berpengaruh pada kualitas
guru.

Gambar 13. Dampak sertifikasi guru pada kualitas dan karakteristik guru
(Sumber: Bank Dunia, 2012)

39
Gambar 13 menunjukkan bahwa tambahan pendapatan terhadap guru dari program
sertifikasi ternyata tidak berdampak pada kompetensi guru yang tercermin dari rendahnya
nilai ujian guru, juga tidak berdampak pada perilaku dalam hal tambahan jam mengajar.
Sertifikasi hanya berdampak pada menurunnya kemungkinan memiliki pekerjaan sampingan
dan kemungkinan memiliki masalah keuangan. Pada studi ini juga dijelaskan bahwa
sertifikasi guru tidak berdampak pada hasil belajar siswa.
Efisiensi seperti telah disebutkan dapat dilihat dengan membandingkan antara
pengeluaran dengan hasil pembelajaran. Jika dibandingkan antara anggaran pendidikan per
kapita masing-masing daerah dengan hasil pendidikan, maka status daerah dapat tersebar
pada empat kuadran. Kuadran satu adalah mereka yang paling efisien, yaitu anggaran sedikit
tapi hasil tinggi; kuadran dua adalah mereka yang anggaran besar dan hasil pendidikan tinggi;
kuadran tiga adalah mereka yang anggarannya sedikit dan hasilnya rendah, sementara
kuadran empat adalah yang paling tidak efisien yaitu mereka yang mempunyai anggaran
tinggi dan hasil yang rendah.

Gambar 14. Efisiensi pendanaan pendidikan tahun 2014 (Sumber: Bank Dunia, 2014)

Sumatera Utara dan Bali termasuk provinsi yang paling efisien, DKI Jakarta, Sulawesi Utara,
Kalimantan selatan ada di kuadran dua, sementara NTT, Jawa Tengah, dan Sulawesi barat
ada di kuadran tiga, dan Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau
termasuk provinsi yang tidak efisien.
40
Selain kualitas, kecukupan, keadilan dan efisiensi, tata kelola yang baik dalam
pendidikan merupakan aspek penting dalam menjamin berjalannya program pendidikan. Tata
kelola secara sederhana meliputi aspek transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Pendanaan
pendidikan perlu dikelola secara transparan sehingga masyarakat mengetahui dan dapat ikut
serta dalam mengawasi penggunaannya agar dana tersebut digunakan sebagaimana mestinya.
Dana pendidikan juga harus dikelola dengan bertanggung jawab (akuntabel) sesuai dengan
apa yang sudah direncanakan. Partisipasi masyarakat didorong agar penggunaan anggaran
tidak menyimpang dari yang seharusnya.
Tata kelola pendanaan pendidikan dapat diukur dengan melihat hasil audit yang
dilakukan oleh lembaga berwenang seperti BPK, BPKP, atau pun inspektorat. Di tingkat
sekolah, tata kelola pendidikan juga dapat dilihat dari bagaimana keterlibatan masyarakat
ataupun komite sekolah dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.
Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia tentang Manajemen Berbasis Sekolah/MBS
(School based Management) pada 2010 menjelaskan bahwa dalam hal pengambilan
keputusan di sekolah tentang berbagai hal, keterlibatan komite sekolah, orang tua siswa dan
masyarakat masih sangat rendah. Sementara peran kepala sekolah dan guru masih sangat
dominan.

Gambar 15. Tingkat Keterlibatan pemangku kepentingan pada


pengambilan keputusan di sekolah

Gambaran di atas menunjukkan bahwa tingkat transparansi dan akuntabilitas serta partisipasi
dalam pengelolaan sekolah masih rendah.

41
Pendanaan pendidikan dasar yang telah dilakukan baik oleh pemerintah, pemerintah
daerah maupun ternyata menunjukkan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan seperti
tampak pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Analisis SWOT Pendanaan Pendidikan Dasar
Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)
1. Komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk 1. gaji dan berbagai tunjangan guru merupakan bagian
mewujudkan pendidikan dasar bagi seluruh terbesar dari pengeluaran Pemerintah untuk
warganegara (UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2, UU pendidikan dan akan terus mengalami peningkatan
Sisdiknas Pasal 11 Ayat 2, Pasal 34 Ayat 2, karena adanya perekrutan baru serta penyediaan
dan Pasal 46 Ayat 1) tunjangan sertifikasi yang mengikuti sistem
2. Pendidikan sebagai prioritas utama pendanaan penggajian.
pembangunan daerah (misalnya Propinsi 2. alokasi anggaran saat ini masih lebih rendah dari
Sulawesi Selatan, NTB, Jawa Barat, kebutuhan (baru mencakup 15-25% dari Biaya
Kabupaten Siak, Jembrana, Makassar, Kota Satuan Pendidikan untuk SD/MI & SMP/MTs
Bandung) 3. masih tingginya biaya pendidikan, terutama iuran
3. Transfer dana dari pemerintah pusat ke SPP, biaya transportasi dan uang saku (Untuk
pemerintah daerah yang meliputi DAU tingkat SD misalnya, pengeluaran pendidikan rumah
termasuk gaji guru SD/SMP, DAK tangga termiskin sebesar 15 persen dari total
pendidikan, BOS yang ada di APBD provinsi, konsumsi, sementara rumah tangga terkaya hanya 5
BSM atau KIP, pembiayaan sarana dan persen. Di tingkat SMP, pengeluaran pendidikan
prasarana, serta peningkatan kualitas guru. rumah tangga termiskin mencapai 23 persen,
4. Bantuan program dan pendanaan dari berbagai sementara rumah tangga terkaya hanya 9 persen)
lembaga internasional (UNESCO, UNICEF, 4. penggunaan dana BOS yang tidak sesuai (30-40%
World Bank, USAID, AusAid, NZAid, dan digunakan untuk tambahan kesejahteraan guru
LSM Internasional) seperti gaji dan honor guru non-PNS)
5. perhitungan satuan biaya operasional hanya
mempertimbangkan biaya operasional non-
personalia, dan tidak memasukkan biaya investasi
dan personalia
6. Rendahnya political will pemerintah daerah
pendidikan terutama pendanaan pendamping BOS
(BOSDA)
Peluang (Opportunities) Tantangan (Threathness)
1. Anggaran pendidikan dalam RAPBN yang 1. Kesenjangan anggaran pendidikan per kapita yang
semakin besar (misalnya 214,2 triliun 2010 cukup besar (Banten dan Jawa Barat 2 juta/siswa
menjadi 367,1 triliun pada tahun 2014) sedangkan Kalimantan Timur dan Kalimantan
2. anak dengan berbagai latar belakang yang Tengah 7 juta/siswa)
berbeda tetapi mendapat akses yang adil pada 2. Negara-negara yang lebih efisien cenderung dapat
pelayanan Pendidikan yang berkualitas, maka meningkatkan performa pendidikannya dibanding
mereka mempunyai kemungkinan yang sama Negara-negara yang kurang efisien
untuk berprestasi 3. hasil pendidikan yang rendah merupakan indikator
3. Negara dan daerah dengan efisiensi yang adanya inefisiensi dalam pengelolaan anggaran
tinggi adalah penggunaan anggaran yang pendidikan.
rendah mampu memberikan hasil belajar yang 4. Belanja rumah tangga untuk pendidikan pada tahun
tinggi (seperti Finlandia, Singapura, Korea 2012 lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2009,
Selatan dan Sumatera Utara, Sumatera meskipun anggaran Pemerintah untuk pendidikan
Selatan, Bali, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, meningkat lebih dari 75 persen
NTB dan Lampung) 5. dana BOS yang disediakan oleh Pemerintah tidak
4. Kemauan politik seluruh stakeholder (Bupati, signifikan mengurangi pengeluaran-pengeluaran
DPRD, Komite Sekolah, komunitas dan untuk berbagai iuran di sekolah.
pemangku adat) 6. program BOS juga belum berhasil meningkatkan
kualitas pembelajaran karena hanya 16-18% yang
digunakan untuk menunjang operasional belajar
siswa

42
3.6. Rekomendasi
1. Perbaikan arah postur anggaran, dalam bentuk:
a. Untuk penuntasan Wajardikdas Gratis 9 tahun, Pemerintah perlu melakukan
penghitungan kebutuhan biaya (costing) Wajardikdas Gratis 9 tahun, termasuk
membuat standar biaya satuan ke empat komponen biaya pendidikan (operasional gaji
dan tunjangan; operasional non-personalia; investasi sarana dan prasarana serta
investasi pendidik dan tenaga kependidikan, yang rutin disesuaikan dengan kenaikan
tingkat kemahalan harga antar daerah.
b. Dalam proses penganggaran pendidikan pemerintah perlu memerhatikan aspek
keadilan terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, terluar dan
tertinggal (3T) serta kelompok masyarakat miskin.
c. Pemerintah perlu mendorong efisiensi anggaran pendidikan baik yang ada di APBN
maupun di APBD dengan memastikan bahwa setiap dana yang digunakan
dimanfaatkan secara optimal.
d. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran pendidikan
perlu terus didorong, misalnya melalui optimalisasi pelayanan pengaduan masyarakat,
mendorong transparansi hingga tingkat sekolah dengan pelibatan komite sekolah dan
masyarakat dalam proses perencanaan dan pemantauan pengelolaan anggaran sekolah.
e. Prioritas pemenuhan diarahkan pada alokasi sarana/prasarana dan investasi guru,
sebagai pos yang paling kurang terdanai saat ini.
f. Alokasi anggaran mengikuti prinsip desentralisasi di mana pemerintah daerah
merupakan pihak utama dalam pembiayaan pendidikan;
g. Pembagian pembiayaan antar pusat dan daerah mestinya menghindari pencatatan
berulang dalam memenuhi batas 20 persen alokasi anggaran pendidikan.
h. Perlu adanya standar acuan untuk kualitas pendidikan dasar gratis yang tidak hanya
meliputi proses, dan outcome sebagaimana saat ini diatur dalam Permendikbud No. 23
Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar dan
Mengusulkan perubahan PP No. 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP). Diharapkan standar yang baru meliputi juga input yang dibutuhkan untuk
mewujudkan pendidikan dasar gratis berkualitas (nutrisi, infrastruktur, dll), yang
nantinya menjadi acuan penganggaran sebagaimana SPM dan SNP saat ini.
i. Untuk rintisan Wajardikdas Gratis 12 tahun, Pemerintah pusat harus membuat Skema
Pentahapan (Roadmap) untuk pencapaian Wajardikdas Gratis 12 tahun. Roadmap
mencakup pemenuhan pos biaya yang wajib ditanggung pemerintah dan pembagian

43
antara pemerintah pusat dan daerah. Roadmap ini sebaiknya dibuat untuk 2 masa
pemerintahan ke depan. Dalam roadmap ini juga dijelaskan, jika pada masa awal dari
roadmap tersebut belum semua bisa ditanggung pemerintah, partisipasi masyarakat
dimungkinkan dengan pengaturan yang jelas.
2. Pemerintah perlu memperbaiki skema penyaluran anggaran pendidikan di atas, dalam
bentuk:
a. Skema untuk pos operasional non-gaji di tingkat sekolah (saat ini BOS)
i. Mengubah nama BOS menjadi DOS (Dana Operasional Siswa), agar menjelaskan
bahwa mandatnya adalah pembiayaan wajib oleh pemerintah, bukan bantuan.
ii. Biaya satuan operasional (non gaji) tingkat satuan pendidikan perlu ditingkatkan
hingga memenuhi 100 persen. Pemerintah harus mengunci peruntukkan program
BOS hanya untuk operasional (non gaji), dan tidak membolehkan peruntukkan
untuk pos lainnya. Dengan merubah pasal-pasal yang terkait komponen
penggunaan dana BOS dalam Permendikbud yang mengatur tentang Juknis BOS
tahun 2016
b. Perubahan skema untuk pos investasi sarana-prasarana (saat ini DAK)
i. Merubah DAK menjadi skema baru, yang dikhususkan untuk pemenuhan sarana
prasarana sekolah.
ii. Skema baru ini bersifat entitled untuk setiap sekolah, seperti BOS, dengan
formula penghitungan alokasi yang dirancang khusus agar bisa memenuhi
kebutuhan sekolah (formula based).
c. Perubahan skema untuk pos biaya operasional personal (gaji guru) mencakup seluruh
besaran untuk kesejahteraan guru, baik gaji maupun tunjangan.
d. Skema untuk biaya investasi personal (peningkatan kapasitas guru)
i. Diprioritaskan untuk membiayai reformasi lembaga LPTK.
ii. Memastikan pendanaan training guru dengan kriteria tertentu, misal: bagi guru
yang siap, mendampingi musyawarah guru mata pelajaran meningkatkan
kapasitas didampingi LPTK.
e. Perubahan skema penyaluran
i. Diusulkan agar penyaluran semua skema tersebut mengikuti prinsip
desentralisasi, yaitu disalurkan langsung ke pengguna. Dalam hal ini skema BOS
(nantinya DOS dan skema sarana prasarana sekolah disalurkan langsung dan
dibelanjakan di tingkat sekolah, sementara skema investasi personal (guru) bisa
disalurkan ke tingkat sekolah;

44
ii. Penyaluran harus benar-benar memerhatikan indeks provinsi, di mana jumlah
anggaran yang disalurkan untuk setiap provinsi tidaklah equal.
f. Pengintegrasian sebaran anggaran di luar 4 skema.
i. Memetakan sebaran anggaran pendidikan atau yang bersinggungan dengan
penyelenggaraan Wajardikdas Gratis Berkualitas di kementerian-kementerian di
luar Kemdikbud (misalnya di Kemensos, KPPA, KemenPU dan PeRa, Kemenhub,
dll), dan mengintegrasikan dalam 4 komponen biaya pendidikan.
ii. Membuat arahan yang jelas untuk program-program di luar 4 skema di atas, agar
berfungsi melengkapi 4 skema utama dengan efektif.
Adapun revisi regulasi yang diusulkan adalah:
1. Mengusulkan revisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
46 ayat 1 untuk mengatur kewajiban pembiayaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, dengan rinci, dengan mengakomodasi aturan dan konsep pendidikan dasar gratis
yang berkualitas, adil dan efisien
2. PP No. 48 Tahun 2008, seharusnya diperjelas tanggung jawab masyarakat terhadap
pembiayaan pendidikan;
3. Membuat regulasi untuk memberi payung hukum atas Roadmap Pembiayaan Pendidikan

Referensi

Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP). (2014). Studi Perencanaan


Strategis Percepatan Pendidikan Dasar di Pedesaan dan Daerah Terpencil di Tanah
Papua. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Article 33 Indonesia. (2016). Pendanaan Pendidikan Dasar Gratis Berkualitas di Indonesia.
Laporan Riset World Bank dan Prorep. Jakarta
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, (2014). Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 2019, Buku II Agenda Pembangunan
Bidang
Benson, C. dkk. (2011). The medium of instruction in the primary schools in Ethiopia: a
study and its implications for multilingual education. In Skutnabb-Kangas, Tove &
Heugh, Kathleen (eds.) (2011). Multilingual Education and Sustainable Diversity Work:
From Periphery to Center. New York: Routledge.
Boyle, Siobhan, Andy Brock, John Mace and Mo Sibbons, (2002). Reaching the Poor: the
Costs of Sending Children to School. United Kingdom Department for International
Development.
Craw Jennifer, (2014), Statistic of the Month: Education Performance, Equity and Efficiency,
Center on International education Benchmarking.
http://www.ncee.org/2015/01/statistic-of-the-month-education-performance-equity-and-
efficiency/.

45
Deininger, Klaus (2003). Does Cost of Schooling Affect Enrollment by the Poor? Universal
Primary Education in Uganda. Economics of Education Review 22, pp: 291-305.
Deolalikar, Anil B (1997). The Determinants of Primary School Enrollment and Household
Schooling Expenditures in Kenya: Do They Vary by Income? University of
Washington, Seattle, WA.
Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (2013). Financing
Projections to 2020 for Implementation of Free Basic Education. Report No. ACDP
006
Ghozali, Abbas (2010). Ekonomi Pendidikan. Jakarta, Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah, cetakan 1.
Heugh, K. and Skutnabb-Kangas, T. (2010). Multilingual education works when peripheries
take the centre stage. In Heugh, Kathleen & Skutnabb-Kangas, Tove (eds) (2010).
Multilingual education works: from the Periphery to the Centre. New Delhi: Orient
BlackSwan, 316-342.
Holmes, Jessica (1999). Measuring the Determinants of School Completion in Pakistan:
Analysis of Censoring and Selection Bias. Economic Growth Center Discussion Paper
No. 794. Yale University. New Haven, CT.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Program Indonesia Pintar (PIP) bagi siswa
yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya
International Bank for Recontruction and Development/The World Bank (2004). World
Development Indicator, Washington DC, Communication Development Incorporated.
Ladd, Helen F and Fiske, Edward B (2008). Handbook of Research in Education Finance
and Policy. New York, Routledge, first published
MacKenzie, P. (n.d.). Multilingual Education among Minority Language Communities with
reference to thedevelopment of MLE programmes in India. Retrieved online from
www2.ohchr.org/english/.../Pamela_McKenzie_long_paper.doc
Malone, S. (2007). Mother tongue-based multilingual education: Implications for education
policy. A Paper presented at the Seminar on Education Policy and the Right to
Education: Towards more Equitable Outcomes for South Asias Children, Kathmandu,
17-20 September 2007.
Mohanty, A., Mishra, M. K., Reddy, N. U., Ramesh, G. (2009) Overcoming the Language
Barrier for Tribal Children: Multilingual Education in Andhra Pradesh and Orissa,
India.
Mukudi, Edith (2004). The Effects of User-Fee Policy on Attendance Rates Among Kenyan
Elementary School Children. International Review of Education, 50 (5-6): 447-61
Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
Permendikbud No. 23 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimun Penyelenggaraan
Pendidikan Dasar.
Ramirez, J. David., Yuen, Sandra D. & Ramey, Dena R. (1991). Executive Summary: Final
report: Longitudinalstudy of structured English immersion strategy, early-exit and late-
exit transitional bilingual education programs for language-minority children,
Submitted to the U. S.
Saikia, Jayashree and Ajit K. Mohanty (2004). The role of mother tongue medium instruction
in promotingeducational achievement: A study of grade four Bodo children in Assam
(India). Manuscript.
Skutnabb-Kangas, T. (2009). Linguistic Genocide: Tribal education in India. NFCS ewsletter
(National Folklore Support Center, Chennai, http://www.indianfolklore.org), special
issue No 32.

46
Skutnabb-Kangas, T., & Mohanty, A. (2009). Policy and strategy for MLE in Nepal (A report
submitted to the Department of Education, Inclusive Education Section). Sanothimi,
Bhaktapur: Department of Education.
Stephens, David (2003). Quality of Basic Education: Gender and Education for All: The
Leap of Quality, Background Paper Prepared for the Global Education for all Global
Monitoring Report 2003/4, Norway
The World Bank (2012). Sertifikasi Guru di Indonesia: Peningkatan Pendapatan atau Cara
untuk Meningkatkan Pembelajaran? Naskah Kebijakan.
The World Bank (2012). The BOSDA Improvement Program: enhancing equity and
Performance through Local School Grants. Policy Brief.
The World Bank (2013). Indonesia: Spending More or Spending Better, Improving education
financing in Indonesia. Report No. 73050-ID.
The World Bank (2013). Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia.
Ringkasan. Report No. 73359- ID.
The World Bank (2015). Expanding education access and raising quality: Assessing the BOS
program. A presentation material.
Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang Undang Dasar (UUD) 1945

47

Anda mungkin juga menyukai