Anda di halaman 1dari 4

Komite Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa mengelompokkan dalam KHA

menjadi delapan kategori, dan kategori ketujuh adalah tentang Pendidikan, Waktu
Luang, dan Kegiatan Budaya. Ada 3 Pasal KHA yang tercakup dalam kategori
Pendidikan ini, yaitu pasal 28, 29, dan 31. Arti dari pasal-pasal 28, 29, dan 31
KHA dalam penerapannya, terutama dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia
sebagai berikut.

 Pasal 28
Menyatakan bahwa pendidikan adalah hak dan mengusulkan langkah-
langkah agar hak ini dapat tercapai "secara progresif dan berdasar
kesempatan yang sama". Pendidikan dasar harus menjadi wajib dan dapat
diperoleh secara gratis atau cuma-cuma, tanpa biaya untuk semua anak, dan
Negara memberikan bantuan keuangan/finansial bila diperlukan. Negara
diminta untuk mendorong kehadiran anak secara teratur di sekolah dan
mengurangi tingkat putus sekolah. Informasi pendidikan harus tersedia dan
bisa diperoleh semua anak, dan Negara membuat pendidikan tinggi wajib
bagi semua anak berdasarkan kemampuan.
Pendidikan dasar adalah wajib. Demikian dinyatakan oleh KHA.
Negara-negara maju telah melaksanakan compulsory education, yaitu
kewajiban untuk mengikuti pendidikan formal. Artinya, semua anak dalam
rentang usia tertentu, harus melaksanakan kewajiban belajar. Orang tua
mempunyai tanggung jawab untuk mengirim anaknya bersekolah, dan dapat
dikenai tindakan hukum apabila mereka gagal melaksanakan kewajiban ini.
Di lain pihak, Negara mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk
membantu orang tua, apabila orang tua mengalami kesulitan (misalnya
dalam masalah keuangan) dalam melaksanakan kewajibannya itu.
Kewajiban belajar untuk tingkat pendidikan dasar yang berlaku di
Indonesia hingga saat ini tidak identik dengan wajib belajar dalam arti
compuisory education, seperti yang berlaku di negara-negara maju
(Convention on the Rights of the Child (CRC), First Periodic Report
Indonesia, 1993 - June 2000). Program wajib belajar pendidikan dasar di
Indonesia lebih bersifat pendidikan semesta atau universal education, yaitu
membuka kesempatan belajar dengan mendorong orang tua agar
menyekolahkan anak-anak mereka yang telah menginjak usia sekolah.
Konsep pendidikan semesta di Indonesia sudah diperkenalkan sejak
sebelum tahun 1994, dan diberlakukan untuk pendidikan dasar 6 tahun
menjadi 9 tahun, meliputi SD dan SMP. Sedangkan usia minimum masuk
sekolah dasar adalah 6 tahun. Namun demikian, pendidikan belum
sepenuhnya cuma-cuma atau gratis.
Dalam seminar nasional pendidikan yang bertema "Rekonstruksi
Paradigma Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Pendidikan dan
Otonomi Daerah" (Kompas, 5 Mei 2001), terungkap bahwa investasi
sumber daya manusia melalui pendidikan di Indonesia semakin tidak
menggembirakan. Anggaran pendidikan yang kecil menyebabkan sekolah
bergantung pada dukungan dana dari masyarakat untuk membiayai proses
belajar mengajar. Padahal, pada tingkat sekolah dasar keadaan keluarga
anak sekolah sulit diharapkan bisa mendukung pembiayaan proses belajar
mengajar tersebut (Suryadi, 2001). Oleh karena keluarga atau orang tua
anak banyak yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah.
Kecilnya biaya pendidikan yang disediakan oleh Pemerintah dapat pula
kita simak melalui ramainya pemberitaan-pemberitaan di surat kabar
nasional beberapa waktu lalu tentang biaya Ebtanas. Oleh karena sekolah-
sekolah udah terbiasa untuk memungut biaya Ebtanas tambahan dari siswa-
siswa sekolah mereka maka pengumuman serta seruan untuk tidak
memungut biaya Ebtanas pada tahun 2001 karena biaya untuk Ebtanas
sudah disediakan oleh pemerintah justru menimbulkan kebingungan pada
sebagian sekolah dan orang tua, yang tidak percaya atau belum yakin bahwa
Ebtanas bisa bebas biaya (Kompas, 18 April 2001).
Pemerintah telah menetapkan program wajib belajar pendidikan dasar
sejak tahun 1994, dan sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) telah
dihapuskan. Kemiskinan yang dialami oleh banyak keluarga di Indonesia
serta krisis ekonomi yang sudah berlangsung selama beberapa tahun ini bisa
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan banyak anak tidak bisa
memperoleh hak pendidikan dasar mereka. Untuk bisa sekolah, anak tidak
saja memerlukan pembebasan biaya SPP, tetapi juga perlu uang makan yang
sehat, pakaian seragam, buku dan alat-alat belajar lain, uang untuk transport
dan kebutuhan lain, dan sebagainya. Selain faktor kemiskinan orang tua
terhadap pendidikan anak serta keadaan demografis yang kurang
menguntungkan, misalnya letak rumah yang terpencil dan jauh dari sekolah,
tidak adanya transport umum yang murah, dan lainnya (Kompas, 17 April
2001).
Banyak usaha yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan
partsipasi anak untuk mengikuti pendidikan formal maupun nonformal, akan
tetapi belum semua populasi anak usia sekolah terjangkau, terutama anak-
anak jalanan serta pekerja anak. Apalagi sebagaimana telah dituliskan
bahwa pendidikan atau belajar di Indoneisa bukanlah “wajib” sebagaimana
yang dimaksud dalam compulsory education negara-negara maju.
Salah satu penyebab banyaknya anak putus sekolah atau tidak
bersekolah menurut Inspektorat Jendral Departemen Pendidikan Nasional
adalah kurangnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan anak. Apabila
hal ini benar karena sifat pendidikan semesta yang dirancang oleh
Pemerintah Indonesia, yaitu hanya mendorong orang tua untuk
menyekolahkan anak-anak mereka maka Pemerintah tidak mempunyai
“hak” atau kewajiban untuk memaksa orang tua untuk mengirim anaknya
untuk bersekolah. Oleh karena konsekuensi logis dari wajib belajar atau
bersekolah, seperti yang dilaksanakan oleh negara-negara maju adalah
Pemerintah negara-negara tersebut juga harus bisa menyediakan segala
biaya yang diperlukan untuk orang tua agar dapat menyekolahkan anaknya.
Menyediakan segala biaya yang diperlukan agar anak bisa sekolah
tampaknya belum bisa dilakukan oleh Pemerintahan kita.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus
mengupayakan wajib belajar 12 tahun melalui pelaksanaan Program
Indonesia Pintar (PIP). Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran,
Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Yudistira Wahyu
Widiasana mengatakan bahwa saat ini Kemendikbud sedang berusaha
mencapai usai pendidikan minimal 12 tahun. Presiden Republik Indonesia
melalui Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 telah menginstruksikan
kepada Menteri, Kepala Lembaga Negara, dan Kepala Pemerintah Daerah
untuk melaksanakan Program Keluarga Produktif melalui Program
Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), Program Indonesia Sehat (PIS) dan
Program Indonesia Pintar (PIP).
Dalam pasal 28 KHA juga disebutkan bahwa informasi dan bimbingan
tentang pendidikan dan kejuruan bisa diperoleh semua anak. Dalam
kenyataannya, informasi tentang sekolah menengah kejuruan sangat minim.
Informasi program pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta
berbagai kursus dan bimbingan belajar kebanyakan disediakan oleh pihak
swasta, dan bisa dibaca dalam berbagai media, seperti surat kabar, majalah,
televise, dan internet. Sayangnya, media seperti it, sering kali juga tidak bisa
diakses oleh anak dari keluarga miskin atau yang tinggal di daerah terpencil,
di mana alat komunikasi dan transportasi umum sangat sulit diperoleh.

 Pasal 29
Pasal 29 KHA menekankan tujuan pendidikan, antara lain
a) Pengembangan kepribadian, bakat, dan kemampuan anak
b) Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan
c) Pengembangan rasa hormat kepada orangtua, anak, dan budaya
d) Pengembangan rasa hormat terhadap lingkungan alam
e) Mempersiapkan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam
suatu masyarakat yang bebas

Indonesia mempunyai Asta Citra Anak Indonesia (penjabaran


Konvensi PBB tentang Anak, Asta Citra Anak Indonesia mungkin bisa
diinterprestasikan sebagai ‘kewajiban’ anak Indonesia. Butir-butir yang
tercantum dalam Asta Citra tersebut sebagai berikut ini.

Anda mungkin juga menyukai