Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis
amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri
pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya
BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang
kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya
pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor
pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-
40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar
seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga
tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Jadi, apa saja yang termasuk jenis pungutan liar sekolah? Ini dia daftar
yang Youth Proactive kompilasi dari Yayasan Satu Karsa Karya, CNN
Indonesia, dan Batam Pos.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal
atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti
pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang
ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di
sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan
biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan
lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain
sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang
bersangkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan
les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik
tersebut.
Dilihat dari perkembangannya, fenomena ini tidak lepas dari pro dan
kontra. Bagi yang pro, dengan program-program itu mengatakan bahwa itu
adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan
penurunan angka anak putus sekolah, sekolah gratis bagi orangtua bisa
mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya pendidikan dan tidak
ada lagi anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya karena belum bayar
iuran sekolah. Sedangkan yang kontra berkata pemerintah bagaikan
pahlawan kesiangan, Hal ini dikarenakan telah ada yang lebih dulu
melakukan hal tersebut, yaitu LSM-LSM yang concern pada bidang
pendidikan dan penanganan masyarakat tak mampu. Adanya kurang rasa
harus sekolah, kesadaran akan pendidikan sangat kurang, anak lebih
mementingkan pekerjaan dari pada harus sekolah yang tidak
mengeluarkan apa-apa. Biaya pendidikan gratis hanya sampai dengan
Sekolah Menengah Pertama sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
tidak. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Ataslah yang
merupakan tombak utama dan usia yang mapan untuk mencari pekerjaan
serta penghasil devisa negara.
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya
semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya
tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental
serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras,
rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus
ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia
internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya
menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut
untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru,
sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran,
biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional
sekolah.
Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya
besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam
bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah),
serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan
sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya
tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta
tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-
biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua.
Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang
masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah
daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada.
Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan
biaya.
Dari berbagai masalah yang diungkap diatas maka harus ada solusi
bagaimana agar pendidikan dapat berjalan dengan baik ,terjangkau oleh
masyarakat dan tetap sebanding dengan mutu pendidikan yang diperoleh
oleh masyarakat. Karena hak mendapatkan fasilitas biaya pendidikan
murah (gratis) merupakan hak masyarakat sebagai pembayar pajak.
pilihan orang tuanya), orang tua siswa rela untuk meronggoh kocek untuk
diberikan kepada oknum-oknum yang menjanjikan kesempatan bersekolah
di sekolah yang diinginkan. Dan jangan salah, oknum ini tidak harus
berasal dari sekolah, banyak pejabat-pejabat yang menggunakan
kekuasaannya untuk menekan pihak sekolah agar tentengan (anak yang
membeli kursi) diterima. Bukankah ini salah satu bentuk korupsi? Jika dari
sekolah anak-anak kita sudah terbiasa melihat praktek-praktek curang
seperti ini, jangan salahkan banyak koruptor di Indonesia.
1. Kurang siapnya SDM daerah terpencil ini harus di akui mengingat selama ini
daerah yang terpencil kurang diperhatikan pemerataan pembangunannya, hanya
dimanfaatkan kandungan kekayaannya untuk kesejahteraan di pusat.
2. Tidak meratanya Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya daerah-daerah
miskin. Inipuan juga menjadi kendala yang cukup signifikan dalam
mengimplementasikan desentralisasi pendidikan. Karena bagaimanapun juga
butuh dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan kebijakan pemerintah ini.
Maka bagi daerah yang miskin seperti ini pemerintah pusat wajib mencarikan
solusi dengan mempercepat peningkatan berbagai sektor khususnya ekonomi.
3. Mental korup yang telah membudaya dan mendarah daging di bumi Indonesia.
Ini merupakan kelemahan yang harus diwaspadai dan harus segera diberantas
dengan menegakkan perangkat hokum yang baik.
4. Memunculkan raja-raja kecil di daerah surplus. Sebenarnya ini yang menjadi
kekawairan dalam otonomi daerah selama ini dengan munculnya sistem
feodalisme modern. Otonomi daerah diselewengkan dari niatnya semula untuk
lebih mensejahterakan rakyat di daerah, malah dijadikan untuk
menyengsarakan rakyat.
5. Dijadian komoditas untuk mendapatkan proyek bantuan dari pemerintah pusat.
Bagi daerah-daerah yang memiliki jaringan (link) di pusat mereka dengan
mudah mendapatkan bantuan dengan proposal ala kadarnya, akan tetapi daerah
yang tidak memiliki jaringan ke pusat pengajuan proposal sebagus apapun
kurang mendapat respon. Oleh karena itu pemerintah harus cermat dalam
menggelontorkan dana agar tepat sasaran dan harus dikontrol.
6. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup merepotan Depdinas
dalam mengalokasikannya. Walhasil akan menguntungkan departemen-
departemen lain yang mengelola pendidikan atau pelatihan, padahal
departemen lain telah memperoleh dana dari APBN. Sementara itu, hasilnya
masih diragukan karena ditangani bukan oleh para ahli pendidikan. Kelemahan-
kelemahan itu tentu harus dicarikan jalan keluarnya agar dapat diminimalisasi
keberadaannya.