Anda di halaman 1dari 12

PERMASALAHAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Perekonomian Indonesia semakin tak menentu, krisis yang terus


membelenggu negara kita tak kunjung ada ujungnya, kehidupan
masyarakat semakin menderita. Segala jenis kebutuhan sudah ak
terjangkau lagi oleh masyarakat miskin. Kelaparan terjadi dibanyak tempat
di Indonesia, masalah kesehatan, pendidikan juga merupakan masalah
bangsa yang belum dapat ditentukan solusinya. Biaya untuk kesehatan
dan pendidikan semakin mahal, untuk menjadikan Negara kita sebagai
Negara maju, berhasil ditentukan generasi penerus yang sehat
berwawasan luas. Pendidikan sebagai salah satu elemen yang sangat
penting dalam mencetak generasi penerus bangsa juga masih jauh dari
yang diharapkan. Masalah disana-sini masih sering terjadi. Namun yang
paling jelas adalah masalah mahalnya biaya pendidikan sehingga tidak
terjangkau bagi masyarakat dikalangan bawah. Seharusnya pendidikan
merupakan hak seluruh rakyat Indonesia seperti yang terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi salah satu tujuan Negara kita adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini mempunyai konsekuensi bahwa
Negara harus menyelenggarakan dan memfasilitasi seluruh rakyat
Indonesia untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan yang layak. Maka
tentu saja Negara dalam hal ini Pemerintah harus mengusahakan agar
pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan
merupakan faktor kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan. Biaya
pendidikan sekarang ini tidak murah lagi karena dilihat dari penghasilan
rakyat Indonesia setiap harinya. Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya
pendidikan di perguruan tinggi melainkan juga biaya pendidikan di sekolah
dasar sampai sekolah menengah keatas walaupun sekarang ini sekolah
sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) semuanya masih
belum mencukupi biaya pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Pendidikan di Indonesia masih merupakan investasi yang mahal sehingga
diperlukan perencanaan keuangan serta disiapkan dana pendidikan sejak
dini. Setiap keluarga harus memiliki perencanaan terhadap keluarganya
sehingga dengan adanya perencanaan keuangan sejak awal maka
pendidikan yang diberikan pada anak akan terus sehingga anak tidak akan
putus sekolah. Tanggung jawab orang tua sangatlah berat karena harus
membiayai anak sejak dia lahir sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Mahalnya biaya pendidikan sekarang ini dan banyak masyarakat yang
berada dibawah garis kemiskinan sehingga tidak begitu peduli atau
memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya, sehingga
membuat anak putus sekolah, anak tersebut hanya mendapat pendidikan
sampai pada jenjang sekolah menengah pertama artau sekolah menengah
keatas. Padahal pemerintah ingin menuntaskan wajib belajar sembilan
tahun. Jika masalah ini tidak mendapat perhatian maka program tersebut
tidak akan terealisasi. Banyak anak yang putus sekolah karena orang tua
tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya. Pendidikan bermutu itu
mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan
lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk
masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000,- sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Apa penyebab
mahalnya biaya pendidikan? Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang
ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki
akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah
terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan
Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,
Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan
MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.

Solusi dari permasalahan bahwa dalam penyelenggaraan suatu sistem


pendidikan yang bermutu dan berkualitas baik harus ada keseimbangan
antara aspek yang mempengaruhi dari sistem pendidikan itu sendiri. Dari
sini dalam sistem pendidikan bahwa perhatian pemerintah juga berperan
penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Diharapkan bagi semua pihak
baik itu pemerintah maupun masyarakat mampu bekerja sama dalam
mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di dalam sistem
pendidikan ini.[1]

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis
amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada
pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri
pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya
BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang
kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya
pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor
pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-
40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar
seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga
tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.


Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25%
belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi
pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan
Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi
pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu
disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education
Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah
memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya
untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat
yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan
terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status
sosial, antara yang kaya dan miskin.

Jadi, apa saja yang termasuk jenis pungutan liar sekolah? Ini dia daftar
yang Youth Proactive kompilasi dari Yayasan Satu Karsa Karya, CNN
Indonesia, dan Batam Pos.

Biaya formulir pendaftaran ulang;,Sumbangan siswa baru;, Biaya seragam


sekolah;Biaya LKS atau modul pengayaan;Biaya buku sekolah; Biaya les
atau tambahan pelajaran; Biaya praktikum; Kegiatan ekstrakurikuler; Iuran
kebersihan dan keamanan;, Biaya study tour; Biaya wisuda kelulusan;
Sumbangan Pengembangan Sekolah (perpustakaan, laboratorium, dsb);
Renovasi gedung.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,


privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah
dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP),
Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan
pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib
mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah
negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status


menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika
alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini
hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa
negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun
biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak


harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses
masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab.
Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah
untuk ‘cuci tangan’.[2]
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia
umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih
randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil
sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan
di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika
penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya
pendidiakan.

Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal
atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti
pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang
ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di
sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan
biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan
lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain
sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang
bersangkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan
les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik
tersebut.

Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya


adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa
pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan
negara lain.

Impian masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-


tunggu dari sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul
dengan seiring datangnya fenomena pendidikan gratis untuk Sekolah
Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis
ini memang sangat ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan
dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku
yang kian hari kian melambung, sumbangan ini-itu, gaji guru yang tidak
cukup dan biaya-biaya lainnya.

Dilihat dari perkembangannya, fenomena ini tidak lepas dari pro dan
kontra. Bagi yang pro, dengan program-program itu mengatakan bahwa itu
adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan
penurunan angka anak putus sekolah, sekolah gratis bagi orangtua bisa
mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya pendidikan dan tidak
ada lagi anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya karena belum bayar
iuran sekolah. Sedangkan yang kontra berkata pemerintah bagaikan
pahlawan kesiangan, Hal ini dikarenakan telah ada yang lebih dulu
melakukan hal tersebut, yaitu LSM-LSM yang concern pada bidang
pendidikan dan penanganan masyarakat tak mampu. Adanya kurang rasa
harus sekolah, kesadaran akan pendidikan sangat kurang, anak lebih
mementingkan pekerjaan dari pada harus sekolah yang tidak
mengeluarkan apa-apa. Biaya pendidikan gratis hanya sampai dengan
Sekolah Menengah Pertama sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
tidak. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Ataslah yang
merupakan tombak utama dan usia yang mapan untuk mencari pekerjaan
serta penghasil devisa negara.

Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya
semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya
tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental
serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras,
rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus
ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia
internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya
menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk.

Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orangtua


mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai
pendidikan anak-anaknya.Tidak hanya murid saja melainkan guru yang
terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah
gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan
kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan
hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran: pelayanan pada peserta didik
sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari
api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya
operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pembiayaan
seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor,
uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin
sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian
pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup
pembiayaan itu.

Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan,


penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinrerja guru
dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan
hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru
juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan
akan kesejahteraan guru. Tahun 2011 ini pemerintah telah memenuhi
ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan
sebesar 20%. Sehingga tersedianya anggaran untuk menaikkan
pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat
rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-
kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta.

Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut
untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru,
sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran,
biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional
sekolah.

Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya
besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam
bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah),
serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan
sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya
tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta
tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-
biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua.

Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang
masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah
daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada.
Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan
biaya.

Melihat kondisi di atas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk


mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi
alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah
murah, dan program bea siswa. Mengapa sekolah harus murah.
Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua orang, tidak hanya
para murid dan orangtuanya, namun juga para guru selagi
kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah
dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya
sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan
anaknya dan urusan pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga
lebih dikosentrasikan kepada kebutuhan sandang, pangan, papan dan
kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan,
sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.

Dan bukankah suasana yang menyenangkan salah satu faktor terpenting


dalam proses belajar-mengajar? Bagaimana peserta didik dapat belajar
dengan baik jika konsentrasinya harus terbagi memikirkan dana
sekolahnya yang belum terlunasi orangtuanya. Ataupun waktu di luar
sekolahnya harus terbagi untuk membantu orangtuanya mencari tambahan
penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh diri karena biaya
sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?

Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau


sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan
masyarakat akan peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan
pemerintah akan segera didengar dan dipatuhi masyarakat selagi
masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak mereka dan
berusaha menyejahterahkan masyarakatnya. Sebaliknya, pemerintah pun
akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat
pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta
dari rakyatnya.

Solusi Mahalnya Biaya Pendidikan


Besar kecilnya subsidi pemerintah inilah yang membuat mahal atau
murahnya biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh orang tua atau
masyarakat. Kalau kita ingin biaya pendidikan tidak mahal maka subsidi
pemerintah harus besar. Usaha untuk menjadikan pendidikan tidak mahal
untuk “dikonsumsi” orang tua dan masyarakat sebenarnya sudah
dilaksanakan pemerintah, baik dengan meningkatkan subsidi maupun
membangkitkan partisipasi masyarakat. Dalam pasal 49 ayat (1) UU
Sisdiknas disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari APBN dan
APBD. Ketentuan semacam ini juga ada dalam pasal 31 ayat (4) UUD
1945. Sayangnya, pemerintah sendiri tidak konsisten dalam menjalankan
ketentuan ini. Seandainya saja ketentuan UU dan UUD tersebut
direalisasikan maka sebagian permasalahan tentang mahalnya biaya
pendidikan di negara kita tentu akan teratasi.

Dari berbagai masalah yang diungkap diatas maka harus ada solusi
bagaimana agar pendidikan dapat berjalan dengan baik ,terjangkau oleh
masyarakat dan tetap sebanding dengan mutu pendidikan yang diperoleh
oleh masyarakat. Karena hak mendapatkan fasilitas biaya pendidikan
murah (gratis) merupakan hak masyarakat sebagai pembayar pajak.

Pertama diperlukan kejujuran dan rencana yang strategis dari jajaran


birokrasi pendidikan,untuk mengimplementasikan anggaran pendidikan
pada program pembiayaan pendidikan Gratis (Murah) bagi masyarakat.

Kedua,dalam sekolah (dunia pendidikan)harus dibersihkan dari berbagai


biaya pungutan, seperti biaya LKS,biaya seragam,biaya uang
gedung,biaya ektrakulikuler,dll. Oleh karena itu harusnya,program
pemberantasan korupsi harus bisa menyentuh dunia pendidikan terutama
disekolah-sekolah. Ketiga, kebijakan dari bidang pendidikan yang
menyepakati program kapasitasi pendidikan harus diberhentikan/dihapus.

Selanjutnya untuk mengatasi anggapan masyarakat yang menganggap


bahwa mahalnya biaya pendidikan karena adanya praktik korupsi yang
dilakukan pejabat dan birokrasi sekolah solusi yang kiranya perlu dilakukan
oleh sekolah adalah di setiap akhir tahun sekolah perlu menyampaikan
laporan tentang keuangan kepada wali murid (orang tua siswa) baik uang
masuk maupun pengeluaran uang sekolah. Dalam penyampaian laporan
perlu disertai bukti atau kwitansi yang jelas (sah),sehingga wali murid
(orang tua siswa) dapat percaya bahwa tidak ada penyelewengan dana.

Dalam biaya pendidikan, efisiensi hanya akan ditentukan oleh ketepatan di


dalam mendayagunakan anggaran pendidikan dengan memberikan
prioritas pada faktor-faktor input pendidikan yang dapat memacu prestasi
belajar siswa. 9

Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) merupakan


suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah dalam rangka
mengatur dan mengalokasikan dana pendidikan yang ada sumbernya dan
sudah terkalkulasi jumlah dan besarannya baik yang merupakan dana rutin
bantuan dari pemerintah berupa Dana Bantuan Operasional atau dana lain
yang berasal dari sumbangan masyarakat atau orang tua siswa.

Dalam merancang dan menyususn Anggaran Pendapatan dan Belanja


Sekolah ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya masalah
efektivitas pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi. Efektivitas
pembiayaan merupakan faktor penting yang senantiasa diperhitungkan
bersamaan dengan efisiensi, artinya suatu program kegiatan tidak hanya
menghitung waktu yang singkat tetapi tidak memperhatikan anggaran yang
harus dikeluarkan seperti biaya operasional dan dana pemeliharaan sarana
yang mengarah pada pemborosan. Jadi dalam hal ini Kepala Sekolah
bersama-sama guru dan Komite Sekolah dalam menentukan anggaran
pembelajaran harus berdasarkan kebutuhan yang riil dan benar-benar
sangat dibutuhkan untuk keperluan dalam rangka menunjang
penyelenggaraan proses pembelajaran yang bermutu.

Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan,


penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinrerja guru
dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan
hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru
juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan
akan kesejahteraan guru. Tahun 2011 ini pemerintah telah memenuhi
ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan
sebesar 20%. Sehingga tersedianya anggaran untuk menaikkan
pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat
rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-
kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta.

Biaya pendidikan mahal? ya, bagi sebagian besar masyarakat biaya


pendidikan masih dianggap mahal. Kita lihat contoh real mengenai
program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yang sejatinya masih menjadi
pekerjaan rumah bagi kita. Karena pada kenyataannya banyak anak-anak
usia sekolah yang tidakbersekolah atau putus sekolah dengan alasan
biaya.
Padahal ada dana bantuan dari pusat, tapi tetap saja ada
pungutanpungutan liar yang dilakukan sekolah berkedok kesepakatan
antara sekolah dan orang tua siswa. Tapi serta merta kita tidak bisa
menyalahkan sekolah saja. Praktek di luar, dana bantuan dari pusat tidak
utuh sampai di sekolah. Entah di tingkat mana dana-dana tersebut
dipangkas oleh oknum-oknum yang terhormat. Selain itu, adanya parktek
jual-beli kursi. Sungguh miris jika mendengarnya. Hanya untuk mencari
sekolah atau agar anaknya bersekolah di tempat yang diinginkan oleh
orang tuanya (yang notabene belum tentu anaknya nyaman berada di
sekolah

pilihan orang tuanya), orang tua siswa rela untuk meronggoh kocek untuk
diberikan kepada oknum-oknum yang menjanjikan kesempatan bersekolah
di sekolah yang diinginkan. Dan jangan salah, oknum ini tidak harus
berasal dari sekolah, banyak pejabat-pejabat yang menggunakan
kekuasaannya untuk menekan pihak sekolah agar tentengan (anak yang
membeli kursi) diterima. Bukankah ini salah satu bentuk korupsi? Jika dari
sekolah anak-anak kita sudah terbiasa melihat praktek-praktek curang
seperti ini, jangan salahkan banyak koruptor di Indonesia.

Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat


keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah ( daerah ).
Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem
pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang
memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil
kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat.

Kegagalan disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :

1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan


terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal
pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat,
propinsi dan daerah.
3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
4. Sumber daya manusia yang belum memadai.
5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang.
7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi yang tidak matang
juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah,antar sekolah
antar individu warga masyarakat.
2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua)
menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu
sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga
kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.
3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan
untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah.
4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara
kumulatif berpotendsi akan menurunkan pendidikan.
5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya
permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan
menurunkan mutu pendidikan.
6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan
potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu
pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke
daerah.

Adapun kelemahan yang timbul dalam implementasi kebijakan


desentralisasi pendidikan melalui UU Otonomi Daerah ini adalah :

1. Kurang siapnya SDM daerah terpencil ini harus di akui mengingat selama ini
daerah yang terpencil kurang diperhatikan pemerataan pembangunannya, hanya
dimanfaatkan kandungan kekayaannya untuk kesejahteraan di pusat.
2. Tidak meratanya Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya daerah-daerah
miskin. Inipuan juga menjadi kendala yang cukup signifikan dalam
mengimplementasikan desentralisasi pendidikan. Karena bagaimanapun juga
butuh dana yang tidak sedikit untuk melaksanakan kebijakan pemerintah ini.
Maka bagi daerah yang miskin seperti ini pemerintah pusat wajib mencarikan
solusi dengan mempercepat peningkatan berbagai sektor khususnya ekonomi.
3. Mental korup yang telah membudaya dan mendarah daging di bumi Indonesia.
Ini merupakan kelemahan yang harus diwaspadai dan harus segera diberantas
dengan menegakkan perangkat hokum yang baik.
4. Memunculkan raja-raja kecil di daerah surplus. Sebenarnya ini yang menjadi
kekawairan dalam otonomi daerah selama ini dengan munculnya sistem
feodalisme modern. Otonomi daerah diselewengkan dari niatnya semula untuk
lebih mensejahterakan rakyat di daerah, malah dijadikan untuk
menyengsarakan rakyat.
5. Dijadian komoditas untuk mendapatkan proyek bantuan dari pemerintah pusat.
Bagi daerah-daerah yang memiliki jaringan (link) di pusat mereka dengan
mudah mendapatkan bantuan dengan proposal ala kadarnya, akan tetapi daerah
yang tidak memiliki jaringan ke pusat pengajuan proposal sebagus apapun
kurang mendapat respon. Oleh karena itu pemerintah harus cermat dalam
menggelontorkan dana agar tepat sasaran dan harus dikontrol.
6. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup merepotan Depdinas
dalam mengalokasikannya. Walhasil akan menguntungkan departemen-
departemen lain yang mengelola pendidikan atau pelatihan, padahal
departemen lain telah memperoleh dana dari APBN. Sementara itu, hasilnya
masih diragukan karena ditangani bukan oleh para ahli pendidikan. Kelemahan-
kelemahan itu tentu harus dicarikan jalan keluarnya agar dapat diminimalisasi
keberadaannya.

Anda mungkin juga menyukai